Shocking! The Broke Campus Heartthrob Is My Child’s Father – Bab 41-50
Bab 41
Jiang Ruoqiao tak bisa tidak mengagumi kepekaan para teman sekamarnya.
Dia memang diam-diam sedang "memelihara" seorang pria. Eh, tidak, lebih tepatnya, sedang membesarkan seorang anak laki-laki.
Mendengar ucapan mereka, dia pun larut dalam pikirannya. Mungkinkah ini perubahan bawah sadar yang datang setelah menjadi seorang ibu? Padahal dia tampak tak jauh beda dari sebelumnya, tapi kalau direnungkan baik-baik... tetap saja terasa mengerikan. Misalnya soal memesan hotel, dia bersumpah saat memilih hotel di aplikasi, sama sekali tidak terpikir “aku harus berhemat dan pilih yang terjangkau.” Tapi jarinya, tanpa sadar melewati hotel berbintang dan akhirnya membuka hotel jaringan ekonomis yang sangat bernilai ini, lalu langsung memesannya.
Sama halnya dengan memesan makanan.
Dia juga tidak ada niat untuk berhemat, tapi... siapa yang bisa menjelaskan kenapa dia tidak memesan salad sehat seperti biasanya, dan malah memilih nasi ayam goreng murah meriah?
Ini tidak masuk akal!
Kenapa dia bisa jadi seperti ini?!
Jiang Ruoqiao duduk diam di tepi tempat tidur, dalam hati menyesal sampai ingin muntah darah, sambil memandang rendah dirinya sendiri.
Setelah Yun Jia dan yang lain selesai melihat-lihat kamar kecil seluas dua puluh meter persegi itu, mereka masing-masing mencari tempat duduk yang nyaman. Barusan Yun Jia hanya asal bicara saja, selain Jiang Ruoqiao sendiri, tak ada yang menanggapinya serius. Itu karena mereka bertiga sangat mengenal Jiang Ruoqiao.
Jiang Ruoqiao adalah tipe orang yang punya “pantang menanggung beban siapa pun” tertulis di DNA-nya, dan itu bisa terlihat jelas dari sikapnya dalam hubungan percintaan.
Jadi, kalau suatu hari dia sampai rela membiayai seseorang, orang itu pasti hanya akan jadi kakek-neneknya, atau anaknya sendiri di masa depan.
Pria? Tidak mungkin :)
Kalau pria itu sampai butuh ditanggung olehnya, dia pasti langsung marah dan menendangnya agar cepat angkat kaki.
Jiang Ruoqiao tetap tidak menceritakan soal Lu Siyan. Bukan karena tidak percaya pada ketiga temannya.
Sebaliknya, mereka berempat sangat dekat satu sama lain.
Hanya saja, masalah ini terlalu besar dan terlalu tidak masuk akal. Dia tidak akan menyembunyikannya dari orang-orang terdekat, dan pasti akan mencari kesempatan untuk bercerita, tapi bukan sekarang. Sekarang situasinya bagaimana? TK baru saja dipastikan, Lu Siyan belum mulai sekolah, rumah belum dapat, pengasuh juga belum ada, urusannya dengan Jiang Yan pun belum selesai secara tuntas—bahkan belum genap 24 jam mereka putus.
Sebelum Yun Jia dan yang lain datang, Jiang Ruoqiao sudah memesankan bubble tea sesuai selera mereka.
Jiang Ruoqiao sendiri tidak suka minuman manis.
Tiga temannya memegang bubble tea masing-masing dan menyeruput habis-habisan, sementara Jiang Ruoqiao meringkuk di tempat tidur dengan air mineral.
Ketiganya punya kesan buruk terhadap Jiang Yan. Tapi karena mereka sudah putus, tak perlu lagi membahas si Jiang Yan dan adik perempuannya yang suka bilang “warna ungu itu penuh pesona”…
Yun Jia menggigit sedotan dan berkata, “Aku merasa ibunya Jiang Yan itu benar-benar bikin ilfeel. Kalian nggak merasa gitu? Untung Ruoqiao kabur cepat. Coba kalau jadi nikah sama Jiang Yan, mertua begitu bisa bikin orang stres seumur hidup.”
Jiang Ruoqiao tersenyum tanpa berkata apa-apa.
Lihat kan, kalau berdiri di posisinya, jadi dirinya, akan sangat mudah melihat keanehan ibu Jiang itu.
“Bener juga,” Gao Jingjing yang biasanya jarang berkomentar tentang hal semacam ini, kali ini malah buka suara, “Nggak usah bahas yang lain dulu, lihat aja betapa dia melindungi Lin Kexing, itu aja udah mencurigakan. Kalau begini, bisa jadi dia anggap Lin Kexing sebagai anak kandung. Punya adik ipar model begini, siapa pun pasti apes. Mereka berdua juga nggak ada hubungan darah, dan si adik itu kayaknya masih ada rasa ke Jiang Yan. Astaga, aku ngebayangin aja udah jijik. Nanti kalau kamu cemburu, jangan-jangan malah kamu yang disalahin sama keluarganya, dianggap kecil hati, nggak mau akur sama ‘adik’.”
Luo Wen mengernyit, “Yang begini memang rumit. Kalau adik kandung, sepupu, atau adik tiri, ya masih bisa dimaklumi. Tapi kalau adik yang nggak ada hubungan darah, malah bisa jadi ancaman dari segala arah.”
“Siapa bilang nggak.” Gao Jingjing, yang paling teliti di antara mereka, berkata dengan suara pelan, “Tapi itu semua bukan yang paling parah. Yang paling parah itu…”
Dia berhenti sejenak.
Jiang Ruoqiao menatap Gao Jingjing, dan mengangguk pelan, tanda dia mengerti maksudnya.
Luo Wen: “?? Kalian ngomong kode apaan?”
Gao Jingjing tertawa, “Yang paling parah, ibu Jiang Yan menganggap Lin Kexing itu calon menantunya.”
Nah, ini poin utamanya.
Jiang Ruoqiao tersenyum samar, “Biarin dia anggap siapa pun, itu udah nggak ada urusan sama aku. Asal nggak nyusahin aku, aku bisa jadi mantan pacar yang semua orang puji.”
Yun Jia: “Jiang Yan benar-benar bisa pergi dari Tiongkok aja sekalian.”
“Cowok yang bisa dimanipulasi bareng-bareng sama ibunya dan ‘adik’nya, aku beneran curiga dia lulus kuliah lewat jalur resmi atau nggak.”
“Belum tentu,” kata Gao Jingjing. “Karena kita dekat sama Ruoqiao, kita berdiri di pihaknya, jadi bisa lihat semuanya lebih jelas. Coba kalau dari sudut pandang lain, belum tentu bisa sadar.”
Jiang Ruoqiao mengangguk sambil tersenyum, “Betul banget.”
Namanya juga cerita ‘sweet romance’—begitulah.
Kalau tidak tahu situasinya, berdiri dari sudut pandang Lin Kexing, mungkin akan merasa ibu Jiang itu adalah ibu mertua ideal.
Soalnya dalam cerita aslinya, ibu Jiang memang kemudian memperlakukan Lin Kexing lebih baik dari anak kandungnya sendiri.
Tapi kalau melihat keseluruhan detail ceritanya, apakah masih bisa dibilang ini cerita romantis manis?
Padahal dalam cerita asli, hal seperti ini bahkan tidak pernah disebut. Ini semua kesimpulan yang dia dapat dari melihat dari luar cerita, siapa tahu dalam novel ini masih banyak detail yang penulisnya sendiri pun tidak tulis.
Di sisi lain, Jiang Yan masih bertahan di depan gedung apartemen, tak mau pergi.
Dari siang sampai sore, lalu berlanjut ke malam.
Dia tak peduli soal makan, bahkan saat perut lapar pun tak merasa apa-apa. Ini adalah kedua kalinya dalam hidupnya dia merasa panik seperti ini—pertama kali saat mendengar ayahnya meninggal karena kecelakaan, dan kali kedua, sekarang ini. Dia sangat ingin meyakinkan diri, bahwa dengan hubungan mereka, Jiang Ruoqiao pasti akan memberinya kesempatan untuk menjelaskan. Asal dia berusaha, semuanya akan kembali baik-baik saja. Tapi di lubuk hatinya ada suara berkata: kamu sebentar lagi akan kehilangan dia.
Jiang Yan belum pulang, dan ibu Jiang pun mulai khawatir, begitu juga dengan Lin Kexing.
Di permukaan, Lin Kexing terlihat seperti biasa saat kembali ke rumah. Ibu Lin memang sedang sangat sibuk akhir-akhir ini, bahkan tak sempat mengurus putrinya, jadi Lin Kexing berhasil lolos kali ini. Tapi belum sempat bernapas lega, dia sudah dengar bahwa Jiang Yan belum pulang. Dulu dia sering ke bangunan samping, tapi hari ini dia langsung bersembunyi di bangunan utama, takut bertemu Jiang Yan. Tapi sekarang... dia tak peduli lagi, langsung berlari ke bangunan samping dan mencari ibu Jiang, tak bisa menyembunyikan kekhawatirannya: “Kak Jiang Yan belum pulang?”
Ibu Jiang menggeleng, “Belum. Ditelepon pun tak diangkat.”
Sebenarnya, ibu Jiang tidak heran.
Sebagai ibu, dia paling tahu anaknya. Dia tahu betapa dalam perasaan anaknya pada Jiang Ruoqiao. Dulu dia pun merasa menyesal, karena Jiang Yan dan Kexing sudah saling kenal lebih dari sepuluh tahun, tinggal di bawah satu atap selama itu, tapi selama itu pula Jiang Yan tak pernah punya perasaan seperti itu ke Kexing. Justru saat pertama kali bertemu Jiang Ruoqiao, Jiang Yan langsung tertarik.
Jiang Yan dan mendiang ayahnya sangat mirip.
Mereka sekeluarga adalah tipe orang yang, sekali suka di pandangan pertama, akan terus suka.
Kalau tidak suka sejak awal, seberapa lama pun bersama, cinta tak akan muncul.
Tapi, apa arti cinta dalam hidup? Apalagi bagi pria dan kariernya, cinta hanyalah hiasan. Ada bagus, tak ada pun tak mengapa.
Pernikahan, bukankah lebih tentang tanggung jawab?
Dia tahu anaknya, makin banyak kebaikan yang diterima dari keluarga Lin, makin besar perasaan dan pengorbanan Lin Kexing, sampai suatu titik anaknya merasa tak mampu membalas, saat itulah dia akan memilih bertanggung jawab.
Lin Kexing cemas, “Kalau begitu... perlu cari dia nggak?”
Sudah malam, kenapa belum juga pulang?
Jangan-jangan terjadi sesuatu?
Ibu Jiang menghela napas, “Tak perlu. Dia harus berpikir sendiri. Kalau hal sekecil ini saja tak bisa dilalui, berarti dia dan pacarnya memang tak cocok. Kalau kepercayaan sekecil ini pun tak ada, bagaimana bisa bersama seumur hidup? Biar dia pikirkan baik-baik.”
Lin Kexing terdiam, tapi tidak berkata apa-apa. Saat menatap malam di luar jendela, wajahnya penuh kecemasan.
Jiang Yan berjaga semalaman, tak berani memejamkan mata, tapi tetap tak berhasil menunggu Jiang Ruoqiao.
Sampai titik ini, dia pun sadar. Dia sedang dihindari. Telepon dan WeChat diblokir, seharian menunggu juga tak bertemu... dia benar-benar ingin putus!
Di sisi lain, Jiang Ruoqiao tidur nyenyak semalaman di hotel, tanpa mimpi.
Dia mempercepat alur cerita asli, memutuskan hubungan lebih dulu, dan putusnya bukan karena Jiang Yan miskin, tapi karena ada perilaku semacam pengkhianatan. Jika nanti dia masih menyalahkan dirinya, maka dia yang pertama tak akan terima. Seperti dua kali sebelumnya, setelah putus, hatinya terasa lega. Kali ini lebih lega lagi, karena dia sudah membuat perubahan. Selama Jiang Yan perlahan-lahan menghilang dari hidupnya, dia yakin masa depannya pasti akan lebih baik.
Ujung-ujungnya, tetap saja pria yang menyia-nyiakannya.
Hal pertama yang Jiang Ruoqiao lakukan setelah bangun adalah memeriksa email, melihat apakah perusahaan sudah membalas.
…Belum juga.
Dia menghibur diri, perusahaan besar biasanya tidak akan memberi hasil wawancara secepat itu.
Lagi pula, untuk satu posisi saja, biasanya HR akan menjadwalkan beberapa kandidat sekaligus untuk wawancara.
Seharian penuh, Jiang Ruoqiao tetap berada di hotel. Tapi bukan berarti tak melakukan apa-apa, dia mencocokkan jadwal kuliah semester depan dengan jadwal bos perempuan yang biasa bekerja sama dengannya, lalu menyusun jadwal pemotretan. Selain itu, dia juga mulai mengurus akun media sosialnya lagi. Untuk bagian ini, Jiang Ruoqiao memang terlihat agak malas belakangan ini. Setelah dipikir-pikir, sepertinya karena terlalu terpengaruh alur cerita asli... Dia pun berusaha bangkit, karena dari akun ini, tiap bulan dia masih bisa mendapatkan pemasukan, jadi tidak boleh dibiarkan terbengkalai.
Sebelumnya, dia sudah mengumpulkan foto dan video lamanya dari teman-temannya.
Setelah banyak pertimbangan, dia memutuskan membuat beberapa video bertema “nostalgia” untuk melihat reaksi audiens.
Dia mengedit video dengan serius, menyusun konten dengan cermat. Hanya untuk memilih lagu latarnya saja, sudah habis hampir satu jam. Karena sikap seriusnya itulah, meskipun frekuensi unggahan videonya jarang, bisa sampai beberapa hari sekali, tapi grup penggemarnya tetap stabil, dan setiap video tetap mendapat klik, komentar, dan share yang lumayan.
Setelah selesai, dia mengunggah video berdurasi empat menit itu ke akunnya.
Baru saja selesai, dia mendapat dua pesan dari Lu Yicheng yang cukup menarik perhatian.
【Kemarin itu Jiang Yan yang pakai HP-ku untuk meneleponmu. Maaf.】
【Hari ini aku janjian dengan agen untuk lihat rumah. Kamu ada waktu? Kalau tidak, aku bisa bawa Siyan sendiri, nanti bisa kukirimi video dan kita diskusikan, bagaimana?】
Jiang Ruoqiao menopang dagunya dengan tangan, memiringkan kepala membaca pesan itu.
Tak bisa menahan senyum geli—kenapa dia begitu hati-hati?
Apa dia terlihat galak? Menakutkan?
— 🎐Read only on blog/wattpad: onlytodaytales🎐—
Bab 42
Jiang Ruoqiao juga tidak akan marah pada Lu Yicheng.
Jika Jiang Yan meminjam ponselnya, apa alasannya untuk menolak? Namun, untuk urusan melihat-lihat rumah, dia tetap ingin ikut serta. Sebelumnya Lu Yicheng sudah bilang, uang sewa dari rumahnya sendiri tidak cukup untuk menyewa tempat dekat Universitas A, jadi kekurangan selisihnya harus dibagi dua. Karena dia juga ikut menanggung, maka urusan sewa-menyewa ini dia tidak mungkin lepas tangan. Bagaimanapun, yang akan tinggal di rumah itu selain Lu Yicheng, ada juga anaknya.
Lagi pula, sejak siang kemarin sampai sekarang, dia belum keluar kamar hotel.
Sudah agak bosan juga, setelah mempertimbangkan sejenak, dia membalas pesan: 【Aku ikut.】
Lu Yicheng sedang beres-beres koper di rumah.
Tahun ajaran baru akan segera dimulai, dua murid les lainnya pun untuk sementara kosong jadwalnya. Baik murid SMP maupun SMA, menjelang sekolah pasti sangat sibuk. Dia juga harus mengecek ulang jadwal dengan para orang tua murid untuk atur ulang les. Liburan musim panas kali ini membuat saldo tabungannya naik lagi, tapi bisa dibayangkan, dalam beberapa hari ke depan uang yang dia hasilkan pasti akan habis lagi...
Lu Yicheng memang tidak sampai “takut” pada Jiang Ruoqiao, tapi memang bisa dibilang dia cukup berhati-hati.
Pertama, dia tidak yakin apakah Jiang Ruoqiao merasa sedih atau tidak karena putus dengan Jiang Yan.
Kedua, dia juga tidak yakin apakah Jiang Ruoqiao merasa terganggu atau tidak saat melihat keintiman Jiang Yan dengan Lin Kexing.
Terakhir, dia makin tidak yakin, apakah di waktu seperti ini Jiang Ruoqiao punya waktu untuk ikut dengannya melihat-lihat rumah.
Tapi soal ini, dia memang ingin memberitahukannya. Meski belum lama mereka berinteraksi, dia bisa merasakan kalau Jiang Ruoqiao adalah orang yang teliti dan serius. Jika tanpa persetujuannya dia langsung pergi survei dan putuskan menyewa rumah, kemungkinan besar Jiang Ruoqiao akan kesal.
Saat menerima balasan dari Jiang Ruoqiao, Lu Yicheng menghela napas lega—lega dari dalam hati, dari seluruh tubuh.
Bahkan dia sendiri tak sadar bahwa ekspresinya saat ini begitu santai.
Jari-jarinya yang putih dan panjang mengetik pesan dengan cepat di ponsel. Tanpa disadari, setiap kali melihat pesan dari Jiang Ruoqiao, dia pasti langsung membalas dalam hitungan detik: 【Oke, kita ketemuan di pintu masuk stasiun metro, empat puluh menit lagi, menurutmu bagaimana?】
Takut dia disalahpahami sedang mendesak, dia menambahkan satu pesan lagi: 【Aku tidak terburu-buru kok.】
Jiang Ruoqiao: 【Kirimkan alamatnya, aku langsung ke sana. Aku sudah tidak tinggal di Apartemen Jingsheng. Kita ketemu satu setengah jam lagi.】
Lu Yicheng agak terkejut.
Kenapa dia tidak tinggal di sana lagi? Tapi setelah dipikir-pikir, dia langsung mengerti. Sepertinya Jiang Ruoqiao sedang menghindari Jiang Yan.
Dia pun membalas pesan dan mengirimkan alamat padanya.
Meskipun baru akan keluar rumah 24 jam lagi, Jiang Ruoqiao tetap berdandan dengan serius. Dia mengenakan gaun putih berlengan puff dengan hiasan mutiara dan payet di dada. Karena cuaca sangat panas, rambut panjangnya yang sedikit bergelombang dikuncir tinggi. Berdiri di depan cermin, Jiang Ruoqiao sangat puas dengan penampilannya. Mungkin karena tidur cukup semalam, wajahnya tampak segar. Gaya dan dandanan hari ini pun terlihat muda dan bersemangat. Untuk riasan, dia hanya memakai riasan tipis.
Dia menyemprotkan parfum manis beraroma bunga khas remaja yang baru dibelinya, lalu memanggul tas kecil dan keluar.
Mungkin karena pengaruh ibunya yang seorang penari balet, sejak kecil Jiang Ruoqiao selalu menampilkan sisi terbaik dan paling cantiknya di depan orang.
Saat dia tiba di tempat yang dijanjikan, Lu Yicheng dan Lu Siyuan sudah menunggunya.
Dia cukup puas, sudut bibirnya terangkat.
Adapun Lu Yicheng, karena pengaruh langsung maupun tidak langsung dari Lu Siyuan, tanpa disadari dia juga terbiasa tidak pernah datang terlambat saat bertemu Jiang Ruoqiao. Lebih baik datang setengah jam lebih awal daripada terlambat satu menit pun.
Begitu melihat Jiang Ruoqiao, Lu Siyuan langsung melesat seperti peluru kecil.
Jiang Ruoqiao langsung menyambut dan mengangkatnya, tapi hanya memeluk beberapa detik sebelum melepaskannya.
Dia memang belum terbiasa dengan hubungan ibu-anak yang lengket, karena sejak kecil dia tidak pernah merasakannya. Dia lebih terbiasa dengan relasi yang agak berjarak. Jadi terhadap kedekatan Lu Siyuan, dia merasa senang, tapi juga agak canggung.
Lu Siyuan menengadah menatap Jiang Ruoqiao, lalu berkata penuh pujian seperti biasa, “Hari ini kamu cantik banget! Dan…” Kepalanya mendekat, mengendus kuat-kuat, “Wangi banget!”
Jiang Ruoqiao langsung tertawa geli.
Setelah ragu sejenak, dia mengelus pipi Lu Siyuan. “Makasih ya. Memang aku pakai parfum baru.”
Lu Yicheng berdiri dua meter jauhnya, memperhatikan mereka.
Agak di luar dugaan, tapi jika dipikir-pikir memang seharusnya begitu. Jiang Ruoqiao terlihat sangat baik. Di wajahnya tak tampak awan mendung sedikit pun. Masih seperti biasanya—tak terlihat cemas, apalagi terbebani dengan urusan Jiang Yan.
Saat Lu Yicheng tengah memandangi Jiang Ruoqiao, Jiang Ruoqiao juga melihat ke arahnya.
Tatapan mereka bertemu. Sebelum Lu Yicheng sempat buru-buru mengalihkan pandangan, Jiang Ruoqiao sudah tersenyum ramah padanya, lalu menggandeng Lu Siyuan dan berjalan ke sisinya, bertanya dengan wajar, “Sudah lama nunggu?”
“Enggak,” jawab Lu Yicheng.
Memang tidak lama, hanya dua puluh menit.
Jiang Ruoqiao tersenyum, “Aku pernah ke sini, di depan ada toko es krim handmade. Rasanya enak. Nanti aku traktir kalian makan.”
Lu Yicheng baru mau bilang tidak usah, tapi Lu Siyuan langsung memotong, “Oke! Aku mau es krim~”
Lu Yicheng: “……”
Benar saja, di depan ada toko kecil bernuansa pink yang tertata manis.
Di papan nama tertulis: Es Krim Handmade Italia.
Apa pun yang berbau luar negeri memang tidak pernah murah.
Jiang Ruoqiao langsung masuk ke toko bersama Lu Siyuan untuk memesan. Lu Yicheng melirik harga sekilas, agak terdiam. Yang paling murah saja sudah tiga puluh yuan. Jiang Ruoqiao memesan rasa vanila untuk dirinya dan rasa cokelat untuk Lu Siyuan. Lalu dia menoleh ke Lu Yicheng, bertanya santai, “Lu Yicheng, kamu mau rasa apa?”
Lu Yicheng menghitung sebentar. Dua es krim mereka saja sudah tujuh puluh sampai delapan puluh yuan.
Dia menggeleng, “Aku enggak usah.”
Tapi dia tetap maju, mengeluarkan ponsel dari kantong untuk menunjukkan kode pembayaran ke kasir.
Jiang Ruoqiao segera mengulurkan tangan menghalangi kode pembayaran itu, alis indahnya mengernyit, “Kan aku yang traktir.”
Lu Yicheng menatapnya sejenak, lalu akhirnya menarik kembali ponselnya, bahkan berkata, “Hmm, maaf.”
Jiang Ruoqiao menatap curiga.
Ada apa dengan orang ini? Aneh banget?
Setelah Jiang Ruoqiao membayar, tak lama kemudian, ibu dan anak itu masing-masing memegang cone es krim. Meski mahal, rasanya memang sepadan. Rasa susunya sangat kental, dan es krimnya dibentuk seperti bunga mawar oleh si kasir—benar-benar sempurna sebagai properti foto.
Lu Yicheng sudah membuat janji dengan agen properti.
Dia membawa ibu dan anak itu masuk ke kompleks perumahan. Jiang Ruoqiao sambil makan es krim sambil melihat sekeliling dan berkomentar, “Tempat ini lumayan, dari sini ke Universitas A jalan kaki enggak sampai sepuluh menit ya…”
Lu Yicheng yang orangnya teliti menjawab, “Kalau aku, delapan menit.”
Jiang Ruoqiao mengangguk, “Berarti dekat.”
Hanya terpisah dua blok jalan saja.
“Kalau ke TK berapa lama?”
Lu Yicheng berpikir sejenak, “Lima belas menit jalan kaki. Tapi TK-nya punya mobil antar-jemput, aku sudah tanya gurunya, bisa antar sampai depan gerbang kompleks.”
Jiang Ruoqiao: “Oke.”
Agen properti yang menjemput mereka adalah wanita muda, mengenakan setelan kerja. Kelihatannya dia masih baru di bidang ini, tidak seperti agen lain yang banyak bicara.
Unit yang satu ini termasuk properti langka di kompleks itu.
Dua kamar satu ruang tamu, sebenarnya dulu adalah satu kamar dan satu ruang tamu, tapi oleh pemiliknya diubah jadi dua kamar. Kamar-kamarnya tidak besar, luas seluruh unit pun tidak sampai empat puluh meter persegi. Si agen mengira yang akan tinggal tiga orang—dua dewasa satu anak—jadi dia ragu sejenak lalu berkata, “Kalau kalian bertiga tinggal di sini, mungkin agak sempit… Kalau kalian mau sewa lebih dari tiga tahun, aku bisa coba nego ke pemilik rumah, mungkin bisa bongkar tembok tengah dua kamar ini.”
Mata Jiang Ruoqiao langsung membelalak—apa maksudnya, satu keluarga??
Tanpa sadar dia menjawab, “Jangan!”
Agen itu sampai kaget.
Jiang Ruoqiao buru-buru menjelaskan, “Kami bukan satu keluarga, nona, jangan salah paham. Hanya mereka berdua yang tinggal.”
Aduh, dia masih dua puluh tahun!!
Masa orang-orang saat melihat Lu Siyuan tidak penasaran sama sekali dengan hubungan mereka?
Tidak, ini salah, tak peduli hubungannya apa, mereka tidak boleh disangka satu keluarga. Apakah dia terlihat seperti ibu dari anak umur lima tahun??
Ya ampun, dia baru dua puluh tahun, dua puluh tahun!
Agen itu komat-kamit, “Ah, maaf ya…”
Dia sebenarnya juga agak bingung.
Tapi mereka bertiga memang terlihat seperti satu keluarga… hanya saja ayah dan ibunya terlalu muda, seperti masih mahasiswa…
Tapi itu tidak mengubah kesan bahwa mereka terlihat seperti keluarga kecil.
Lu Yicheng juga menjelaskan dengan tenang, “Nona Huang, memang Anda salah paham, kami bukan satu keluarga.”
Agen itu menatap Lu Yicheng, lalu Jiang Ruoqiao lagi.
Lu Siyuan malah senang mendengar itu, tapi dia cuma berani diam-diam senang, karena "Mama" kelihatannya sedang stres berat.
Jiang Ruoqiao sadar bahwa reaksinya agak berlebihan, lalu menenangkan diri dan kembali ke citra dewinya, tersenyum lembut pada agen.
Unit ini cukup oke.
Memang ruangannya kecil, ruang tamunya juga kecil, tapi menghadap ke arah yang bagus, lokasi strategis, dan yang paling penting, di kompleks ini hanya tinggal satu unit dengan tata ruang seperti ini yang belum disewa. Harga sewanya juga masih dalam batas kemampuan mereka. Jiang Ruoqiao bahkan merasa bisa langsung teken kontrak. Siapa sangka, Lu Yicheng membuka ransel hitamnya, membuka resleting, dan mengeluarkan alat kecil yang mirip mesin EDC.
Agen: “?”
Jiang Ruoqiao juga heran.
Lu Yicheng batuk pelan, “Aku pinjam alat pendeteksi formaldehida dari orang tua muridku.”
Jiang Ruoqiao: “Hah?”
Dia langsung nyambung, “Iya ya, hampir lupa. Ini buat anak kecil tinggal, tentu harus periksa itu juga.”
Agen: “……”
Dia memuji kaku, “Pak Lu benar-benar teliti ya.”
Meski dia belum lama bekerja, tapi selama ini belum pernah bertemu pria seteliti Lu Yicheng.
Jiang Ruoqiao ikut mendekat melihat alat di tangan Lu Yicheng, agak tak percaya, “Ini benar-benar berfungsi?”
Kenapa rasanya seperti alat tipu-tipu?
Lu Yicheng mengangguk, “Harusnya sih berfungsi. Tapi idealnya semua ruangan ditutup selama dua puluh empat jam sebelum dicek. Orang tua muridku kerja di bidang ini, alatnya harusnya cukup akurat.”
Melihat Jiang Ruoqiao tertarik, dia pun sabar menjelaskan cara memakainya.
Mereka jadi berdiri makin dekat.
Lu Yicheng ini mungkin sudah terbiasa mengajar les, jadi setiap kali menjelaskan sesuatu dia sangat serius, bahkan bisa dibilang sepenuh hati.
Sampai tanpa sengaja dia menunduk dan melihat bulu mata lentik dan wajah putih bersih Jiang Ruoqiao, dia pun melongo sejenak.
— 🎐Read only on blog/wattpad: onlytodaytales🎐—
Bab 43
Penampilan Jiang Ruoqiao memang sangat menonjol, itu tidak diragukan lagi.
Lu Yicheng pernah diajak oleh teman sekamarnya untuk menghadiri acara penyambutan mahasiswa baru. Saat itu, Jiang Ruoqiao belum menjadi pacar Jiang Yan. Dia mengenakan gaun pesta dan riasan yang sangat rapi. Saat dia berjalan ke arah teman-temannya, kebetulan melewati Lu Yicheng. Saat ini, dia tak bisa menahan diri untuk berpikir, apakah ingatannya sebaik itu? Semua yang dia pikir sudah lama dia lupakan, kini tiba-tiba muncul tanpa suara. Saat itu rambutnya juga keriting, dan ada pita warna-warni yang jatuh di rambutnya.
Waktu itu, dia juga tidak memperhatikan Lu Yicheng.
Atau lebih tepatnya, dia memang tidak memperhatikan siapa pun secara khusus.
Yang aneh adalah, ketika Jiang Yan pertama kali menyebutkan nama itu di asrama, Lu Yicheng langsung tahu siapa yang dimaksud, dan bahkan masih ingat wajahnya.
Jiang Ruoqiao menyadari Lu Yicheng tiba-tiba terdiam, lalu mengangkat mata menatapnya.
Namun Lu Yicheng sudah mengatur kembali emosinya. Setelah jeda sejenak, dia melanjutkan, "Aku juga tidak terlalu yakin apakah ini akurat, tapi setidaknya lebih baik daripada tidak ada sama sekali."
Dia memang selalu bersikap tenang dan pendiam.
Tapi kata "pendiam" ini terkadang juga membawa makna lain: penyamaran.
Atau mungkin bukan penyamaran, tapi dia memang sudah terbiasa menyimpan semua emosi yang sesungguhnya. Sejak kecil kehilangan orang tuanya dan hanya tinggal bersama neneknya, dia memang tidak punya kemewahan untuk bertindak sesuka hati, jadi sejak dini dia sudah belajar menjadi dewasa, tidak pandai mengungkapkan perasaan sejatinya.
Seperti saat ini. Dia bisa dengan cepat mengatur dirinya kembali dalam hitungan detik, bahkan Jiang Ruoqiao pun tidak menyadari ada yang aneh padanya.
"Pokoknya dicoba saja," kata Jiang Ruoqiao.
Jarak antara mereka berdua masih tetap sama.
Sementara itu, si agen properti hanya menjadi penonton.
Dia bahkan merasa heran, mereka benar-benar bukan satu keluarga? Kenapa kelihatan begitu harmonis?
Terutama si pria tampan dan wanita cantik itu, sangat serasi.
Pria itu tinggi dan ramping, mengenakan baju putih dan celana hitam, rambutnya rapi, seluruh penampilannya bersih dan kalem.
Perempuan itu bertubuh langsing, memakai gaun lengan balon putih, tampak ceria dan lincah, wajahnya cantik dan bersih, memancarkan pesona seperti bersinar terang.
Benar-benar bukan pasangan?
Jiang Ruoqiao masuk ke dalam ruangan bersama Lu Yicheng untuk memeriksa kandungan formaldehida.
Sementara itu, Lu Siyuan tetap tinggal di ruang tamu, tidak ikut masuk. Jiang Ruoqiao dan Lu Yicheng pun tidak menyadari hal itu karena saat ini mereka berdua paling fokus pada satu hal: apakah kadar formaldehida di rumah ini memenuhi standar atau tidak.
Lu Siyuan menatap mata penasaran si agen properti dan ikut menurunkan suara, berkata, “Mereka cocok sekali, kan?”
Si agen mengangguk.
Eh? Siapa yang bicara?
Dia kaget dan langsung menunduk, melihat Lu Siyuan berdiri di sampingnya.
Lu Siyuan tersenyum, “Aku juga merasa mereka sangat cocok. Kakak, kamu punya mata yang tajam.”
Lalu dia melirik lencana nama di saku baju si agen dan berkata, “Kakak, kamu pasti akan jadi hebat di masa depan! Naik jabatan dan gaji~”
Si agen pun tertawa, “Benarkah? Adik kecil, semoga ucapannya jadi kenyataan ya.”
Alat deteksi formaldehida yang dipinjam dari Lu Yicheng menunjukkan bahwa kadar di setiap ruangan masih dalam batas aman. Si agen pun berkata, “Kompleks ini rata-rata sudah berdiri lebih dari sepuluh tahun, pemilik sebelumnya juga sempat tinggal di sini beberapa tahun sebelum direnovasi dua tahun lalu dan terus ditempati sejak saat itu. Jadi kalian berdua, benar-benar tidak perlu khawatir soal formaldehida.”
Kalimatnya memang…
Tapi memang itu kenyataannya!
Tidak ada yang lebih efektif membersihkan formaldehida selain rumah yang terus ditempati.
Lu Yicheng menyimpan kembali alat deteksi, lalu memeriksa jendela. Walaupun ini lantai empat, tetap harus memastikan aspek keamanan, terutama memeriksa apakah teralis jendelanya cukup kuat.
Kalau dia tinggal sendiri, mungkin dia tidak akan peduli soal formaldehida atau teralis jendela. Tapi karena ada seorang anak, maka banyak hal kecil yang jadi berisiko.
Jiang Ruoqiao dan Lu Yicheng sama-sama orang yang teliti. Setelah satu orang memeriksa, yang lain akan memeriksa ulang, untuk memastikan tidak ada yang terlewat.
Kalau sudah tanda tangan kontrak baru ketahuan ada masalah, itu baru bikin pusing.
Si agen properti belum pernah bertemu penyewa seperti mereka, tapi dia juga belajar banyak dari situ. Siapa tahu suatu saat dia bisa menerapkannya, dan mungkin klien akan merasa dia orang yang sangat bisa diandalkan?
Setelah diperiksa berkali-kali dan dipastikan tidak ada masalah, Lu Yicheng dan Jiang Ruoqiao pun sepakat untuk menandatangani kontrak.
Satu masalah besar akhirnya selesai.
Sebelum bulan September, mereka sudah bisa langsung pindah.
Jiang Ruoqiao merasa Lu Yicheng orang yang bisa diandalkan, apalagi waktu di penginapan pedesaan, kalau bukan karena dia menghentikan Jiang Yan, mungkin dia tidak akan bisa pergi dengan mulus. Jadi dia mengusulkan untuk makan malam bersama, tentu saja dia yang traktir.
Lu Yicheng ingin berkata, tidak perlu makan di luar, dia bisa beli bahan makanan dan masak sendiri di rumah.
Tapi saat akan mengucapkan itu, dia menelannya kembali.
Kalau dia bilang begitu, bisa-bisa membuat Jiang Ruoqiao salah paham bahwa dia mengajaknya ke rumah, jadi dia hanya mengangguk, “Baik, terima kasih.”
Jiang Ruoqiao bertanya pada Lu Siyuan, “Anak ganteng, malam ini mau makan apa? Bebas pilih, apa saja boleh.”
Baru saja dia akan menyebut KFC atau Pizza Hut, Lu Yicheng sudah memotongnya lebih dulu, “KFC, Pizza Hut, McD jangan ya, kamu baru makan itu beberapa hari lalu, harus mulai kurangi.”
Lu Siyuan: “……”
Ayahnya makin lama makin mirip ayah itu.
Jiang Ruoqiao juga buru-buru mengangguk, “Benar, aku juga nggak mau makan itu, kalorinya terlalu tinggi.”
“Terus kenapa masih tanya aku?” Lu Siyuan manyun, “Kalian berdua aja yang diskusi, toh ujung-ujungnya juga ayah nurut sama mama, tetap mama yang memutuskan.”
Jiang Ruoqiao: “?”
Lu Yicheng batuk kecil, “Bagaimana kalau makan dumpling saja? Di dekat sini ada warung dumpling yang lumayan, semua dibuat sendiri oleh pemiliknya.”
Jiang Ruoqiao tidak keberatan.
Toh dia cuma mau bayar.
Lu Siyuan juga langsung tergoda, ingin makan dumpling isi jagung, jamur, dan daging babi.
Lu Yicheng membawa mereka berdua menyusuri beberapa gang kecil. Tepat saat Jiang Ruoqiao mulai merasa kesabarannya habis, akhirnya mereka sampai. Ini bukanlah restoran, melainkan hanya warung kecil.
Jiang Ruoqiao: “…………”
Lu Yicheng melihat Jiang Ruoqiao tidak langsung duduk, mengira dia merasa jijik dengan kebersihan meja dan kursinya.
Dia berkata, “Tunggu sebentar.”
Lalu dia mengambil tisu dari meja, membasahinya dengan air dari gelas, lalu membungkuk dan membersihkan seluruh meja, terutama bagian tempat Jiang Ruoqiao akan duduk. Setelah itu dia pakai tisu kering untuk menyeka dua kali, baru berkata, “Sudah bersih, silakan duduk.”
Lu Siyuan: “……”
Yah, dia sudah terbiasa.
Jiang Ruoqiao agak kaget, tidak tahu harus bereaksi bagaimana, dia menatap Lu Yicheng.
Lu Yicheng berdiri di sampingnya. Hari ini dia memakai sepatu tanpa hak, kira-kira hanya setinggi dagu Lu Yicheng.
Melihat dia masih belum duduk, Lu Yicheng berkata dengan ragu, “Kalau begitu… bagaimana kalau kita ganti tempat saja. Maaf, aku kurang mempertimbangkan.”
Memang dia tidak pandai memilih tempat, karena sebelumnya memang tidak pernah makan berdua dengan perempuan. Jadi menurutnya, makan ya cari tempat yang enak dan murah.
Apalagi dia tahu Jiang Ruoqiao yang traktir, dia tidak ingin terlalu merepotkan.
Jiang Ruoqiao mengangkat tangan, langsung duduk, “Nggak apa-apa. Di sini saja.”
Dia hanya tidak menyangka Lu Yicheng bisa sepeduli itu.
Tahu kalau dia teliti itu satu hal, tapi menikmati perhatian dari ketelitiannya adalah hal lain.
Dulu juga pernah ada laki-laki yang membersihkan meja untuknya, tapi... rasanya berbeda. Mereka melakukannya untuk menyenangkan dan mengambil hatinya. Lu Yicheng berbeda, dia benar-benar hanya ingin membersihkan meja, hanya ingin membuatnya duduk dengan nyaman. Karena itu, saat dia membersihkan meja, ekspresi seriusnya, alis yang menunduk, lengan ramping yang terlihat saat menggulung lengan baju… entah kenapa terlihat begitu menyenangkan.
Lu Yicheng pun lega.
Pemilik warung itu adalah pria paruh baya berusia sekitar 40-an, terlihat sederhana dan jujur.
Mereka memesan tiga piring dumpling.
Satu piring isi jagung, jamur, dan daging babi—pilihan Lu Siyuan.
Satu piring isi sayuran segar—pilihan Jiang Ruoqiao.
Dan satu piring isi sawi putih dan daging babi—pilihan Lu Yicheng.
Dumpling itu terlihat jelas buatan tangan. Jiang Ruoqiao mengambil satu dengan hati-hati dan mencicipinya.
Lu Yicheng tidak langsung makan, hanya menatapnya, seolah menunggu pendapatnya.
Jiang Ruoqiao mengangkat kepala, meja empat persegi kecil itu membuat jarak antara mereka berdua cukup dekat. Saat dia menatapnya, Lu Yicheng juga sedang menatapnya dengan serius. Dia tersenyum dengan mata yang melengkung, “Isinya enak, nggak terlalu asin.”
Lu Yicheng juga tersenyum samar, “Hmm.”
Jiang Ruoqiao tidak terbiasa makan makanan berat di malam hari.
Hari ini pengecualian, terutama karena dumpling. Setelah makan beberapa, dia berhenti dan hanya duduk sambil minum air.
Lu Yicheng melihat dia tidak makan lagi, bertanya, “Kenapa? Nggak cocok di lidah?”
Lu Siyuan yang sedang makan dengan lahap menjawab sambil setengah mengunyah, “Mama kalau malam bisa makan tujuh dumpling, itu sudah sangat menghormati Papa.”
Jiang Ruoqiao langsung membetulkan, “Bukan tujuh, tapi enam. Kalau tidak nanti perhitungan kaloriku jadi kacau.”
Lu Yicheng ragu, “Makan sedikit banget?”
Lu Siyuan berkata, “Itu udah banyak, Mama biasanya malam cuma makan salad sayur. Bisa makan enam dumpling besar itu sudah seperti jamuan tahun baru.”
Jiang Ruoqiao menepuk dahi: kenapa anak ini tahu semua kebiasaannya?
Memang benar, demi tampil bagus di kamera, dia selalu menjaga bentuk tubuh.
Biasanya dia juga lari atau main tenis, tapi yang paling penting tetap harus jaga pola makan. Pagi dia makan banyak, siang cukup kenyang, malam sebisa mungkin tanpa karbohidrat.
Lu Yicheng: “……”
Dia agak susah memahami, apalagi saat melihat pergelangan tangan Jiang Ruoqiao yang putih dan ramping, seperti bisa patah kalau ditekan sedikit.
Sudah kurus begitu, masih harus hitung-hitungan kalori?
Lu Yicheng sendiri menghabiskan satu piring dumpling.
Lu Siyuan juga makan dengan lahap, hampir habis juga.
Dengan dua piring bersih dari "kedua Lu", piring di depan Jiang Ruoqiao jadi sangat mencolok.
Lu Siyuan berkata dengan sangat wajar, “Papa, kamu nggak makan lagi?”
Lu Yicheng menjawab, “Aku sudah habis.”
“Belum kok.” Lu Siyuan menunjuk ke piring Jiang Ruoqiao yang masih tersisa, “Punya Mama belum habis.”
Biasanya memang begitu, kalau Mama nggak habis, Papa yang makan.
Kalau Mama nggak suka makan apa, Papa yang habiskan.
Lu Yicheng: “?”
Jiang Ruoqiao menahan tawa.
Lu Yicheng agak canggung, tapi tidak berkata apa-apa.
Karena dia tahu, selama bersama anak ini, apapun yang dia katakan akan tetap berujung memalukan.
Misalnya, kalau dia bilang “Aku nggak makan sisa orang lain”, anak ini pasti akan berkata, “Tapi di masa depan Papa makan sisa Mama dengan sangat nikmat loh.”
— 🎐Read only on blog/wattpad: onlytodaytales🎐—
Bab 44
Jiang Ruoqiao juga merasa bahwa membuang makanan di depan anak kecil bukanlah hal yang baik.
Namun sepiring dumpling ini memang sudah tidak sanggup ia habiskan.
Awalnya pun ia jarang makan dumpling, dan memang kurang menyukai makanan dari tepung. Hari ini ia makan enam buah dumpling hanya karena isian buatan pemilik restoran ini cocok di lidahnya.
Lu Yicheng juga khawatir kalau Lu Siyuan akan bertanya mengapa mereka membuang makanan.
Faktanya, ia sendiri memang tidak suka membuang makanan. Ia pernah kelaparan saat kecil, dan tahu bahwa bisa makan tiga kali sehari adalah sebuah keberuntungan. Ia juga tak ingin memberikan contoh yang salah pada anaknya. Lu Yicheng dan Jiang Ruoqiao saling bertatapan, lalu ia yang lebih dulu berkata, “Dibungkus saja, besok pagi aku goreng dumpling buat Siyuan.”
Jiang Ruoqiao merasa ini ide yang bagus.
Apalagi Lu Yicheng bilang, dumpling-nya untuk Siyuan. Jadi rasa canggungnya pun jauh berkurang.
Ia menghela napas lega dan mengangguk, “Oke.”
Lu Siyuan mencibir sedikit, tapi tidak menolak usulan itu. Dia memang cukup suka dumpling goreng.
Jiang Ruoqiao pun berdiri dan berjalan ke stan si pemilik restoran untuk membayar, sekalian meminta kotak bungkus.
Sementara itu, ponsel yang disimpan di kantong Lu Yicheng terus berdering tanpa henti. Ia pun mengeluarkannya dan menyalakan layar. Ternyata pesan dari grup asrama mereka.
Jiang Yan: 【Du Yu, kamu kan dekat sama Yun Jia, tolong bilangin ke dia, aku cuma mau ketemu Ruoqiao sekali saja, sekali aja cukup.】
Jiang Yan: 【Lao Wang, aku tahu kamu sama Ruoqiao sama-sama di organisasi mahasiswa, tolong bantuin aku bilang juga. Sungguh.】
Jiang Yan: 【Kalau pun mau mati, aku juga pengen mati dengan jelas. Aku cuma ingin menjelaskan.】
Jelas terlihat, Jiang Yan benar-benar panik kali ini.
Lu Yicheng hanya menatap pesan-pesan itu.
Jiang Yan tidak menghubunginya karena semua orang tahu, dia dan Jiang Ruoqiao benar-benar tidak akrab. Tidak punya kontak satu sama lain, tidak berteman di WeChat, dan tidak berada dalam lingkar pergaulan yang sama.
Du Yu muncul di grup: 【Bos Jiang, bukannya aku gak mau bantu, tapi aku sendiri juga lagi repot. Yun Jia sekarang aja udah gak mau ngomong sama aku, aku harus bilang ke siapa?】
Wang Jianfeng menyusul: 【Jiang Yan, walaupun aku dan Jiang Ruoqiao sama-sama di organisasi mahasiswa, tapi kami kerja di bagian masing-masing, biasanya juga jarang ketemu. Kamu suruh aku cari siapa? Lagian, kalau makin dibesar-besarkan, bisa jadi Jiang Ruoqiao malah makin gak suka.】
Lu Yicheng menundukkan kepala.
Dari sudut matanya, ia melihat Jiang Ruoqiao datang menghampiri. Ia pun segera mengunci layar ponsel, lalu dengan tenang menerima kotak bungkus yang ia bawa, dan memakai sumpit bersih untuk memindahkan dumpling isi sayur dari piringnya ke kotak.
Jiang Ruoqiao tampak seperti biasa, bahkan terlihat lebih segar dari sebelumnya.
Namun ia sendiri tidak yakin apakah perasaan Jiang Ruoqiao benar-benar sebaik yang tampak. Ia ingin bicara, tapi tidak tahu harus bilang apa. Bagaimanapun juga, ia memang tidak punya posisi untuk menghiburnya.
Jiang Ruoqiao masih terkagum, “Lu Yicheng, kamu benar-benar hemat banget ya. Makan dumpling ini cuma enam puluh yuan lebih.”
Sulit dipercaya.
Ini pertama kalinya ia mentraktir orang makan, tapi biayanya tidak sampai seratus yuan.
Lu Yicheng tersenyum, “Itu harga normal saja.”
Bahkan menurutnya, menghabiskan ratusan yuan untuk makan di luar itu tidak sebanding.
Jiang Ruoqiao tersenyum geli, menggoda, “Kamu memang pintar mengatur keuangan.”
Tak heran kalau reputasinya bagus. Dalam urusan hidup sehari-hari, dia bisa dibilang hemat. Tidak ada pengeluaran untuk hiburan, entah itu sedang kuliah atau kerja paruh waktu, benar-benar memberi kesan orang yang bisa diandalkan.
Jiang Ruoqiao kembali memperhatikan penampilannya, seakan tidak sengaja.
Ia mengenakan kaus putih, sepertinya baju-bajunya hanya terdiri dari tiga warna: hitam, putih, dan abu-abu. Pakaian yang dimilikinya juga sangat sedikit, mungkin hanya tiga atau empat potong.
Bukan merek ternama, tapi bersih dan rapi.
Celananya hitam, panjang sampai mata kaki.
Sepatunya sepasang sneakers yang tak bisa ia kenali merknya.
Dengan mata tajamnya, Jiang Ruoqiao bisa menilai, seluruh pakaian ini mungkin tidak lebih dari tiga ratus yuan.
Bahkan lebih murah dari jepit rambut yang ia pakai.
Dia tampaknya selalu membawa tas ransel hitam, yang merupakan barang paling mahal dari seluruh penampilannya. Merek olahraga, mungkin juga tak lebih dari tiga ratus yuan, tapi tampak berkualitas baik.
Tetap saja, pria yang bersih itu punya nilai plus. Ada pria yang pakai barang mahal, tapi tetap terlihat kotor dan tidak segar, ya tetap saja percuma.
Lu Yicheng sadar Jiang Ruoqiao sedang memperhatikannya.
Ia sedikit canggung, tapi membiarkannya.
Jiang Ruoqiao mengalihkan pandangan, “Ayo jalan.”
Selama Jiang Ruoqiao ada, Lu Siyuan seolah tidak melihat siapa pun selain dia, terus menempel dan menggandeng tangannya, berjalan sambil melompat kecil. Hanya di saat seperti inilah, ia terlihat seperti anak-anak seusianya.
Lu Yicheng berjalan beberapa langkah di belakang mereka.
Masih bisa mendengar isi percakapan mereka.
Lu Siyuan bertanya penasaran, “Mama, kamu nggak tinggal di apartemen yang cantik itu lagi?”
Jiang Ruoqiao tersenyum, “Itu bukan rumahku, itu rumah milik bos toko tempat aku kerja sambilan. Tak lama lagi sekolah mulai, jadi aku harus kembali ke asrama.”
“Terus sekarang Mama tinggal di mana?”
“Di hotel.” jawab Jiang Ruoqiao.
Lu Siyuan tampak berpikir, matanya berputar-putar, “Mama tinggal di hotel sendirian, takut gak?”
Belum sempat Jiang Ruoqiao menjawab “tidak takut”, dia sudah langsung mengajukan diri, “Kalau gitu, malam ini aku temenin Mama tidur, ya! Kalau aku ada, Mama nggak akan takut~”
Jiang Ruoqiao: “……”
Ia tadinya ingin menolak, tapi begitu melihat tatapan penuh harapan di mata Lu Siyuan, ia terdiam.
Menghadapi sepasang mata seperti itu, benar-benar sulit untuk mengatakan tidak. Akhirnya ia berkata, “Boleh saja, tapi kamu harus tanya dulu ke ayahmu.”
Tanpa berpikir panjang, Lu Siyuan langsung menjawab, “Pendapat Ayah nggak penting~”
Lu Yicheng: “?”
Meskipun dia tahu, di masa depan nanti posisinya dalam keluarga tidak terlalu tinggi, tetap saja jangan segitunya.
Jiang Ruoqiao pun menoleh melihat Lu Yicheng.
Lu Yicheng dalam hati menghela napas, lalu mengangguk, “Kalau kamu tidak merasa terganggu, aku tidak keberatan.”
Jiang Ruoqiao membentuk simbol "OK" dengan jarinya, lalu kembali menoleh ke Lu Siyuan. Hatinya terasa hangat entah kenapa. “Kalau begitu malam ini kamu yang ditunjuk untuk melindungi aku ya, Pangeran Kecil.”
Lu Siyuan sangat gembira.
Memang begitu seharusnya. Dulu Ayah sering lembur, jadi Mama lah yang menemani dan membacakan dongeng sebelum tidur.
Dongeng dari Mama jauh lebih seru daripada dari Ayah.
Kalau begitu, malam ini bisa berharap dapat ciuman selamat malam nggak ya?
Lu Siyuan sampai memerah sampai ke telinga karena semangat.
Begitu tiba di stasiun metro, meskipun bukan jam pulang kerja, orang masih ramai. Mereka bertiga berdesak-desakan masuk ke dalam gerbong. Lu Yicheng melirik, melihat wajah Jiang Ruoqiao tampak agak tegang karena desakan orang banyak, ia segera memanfaatkan tinggi badannya untuk menciptakan ruang kecil, menarik Jiang Ruoqiao masuk ke dalam “wilayah perlindungan” miliknya, termasuk Lu Siyuan yang berada di sisinya. Lu Yicheng merentangkan tangan untuk menahan sisi pintu, membentuk ruang kecil agar keduanya tidak terdorong oleh penumpang lain.
Orang-orang lain: “……”
Beberapa menggerutu pelan, tapi Lu Yicheng tidak peduli.
Jiang Ruoqiao tepat berada di bawah dagunya.
Lu Yicheng sadar jarak mereka terlalu dekat, ia khawatir napasnya mengganggu, jadi ia menoleh dan bernapas ke arah lain.
Jiang Ruoqiao menengadah, melihat garis rahangnya yang tegas.
Wajahnya tak berekspresi, karena ia sedang menahan dorongan dari orang-orang, tak ingin Jiang Ruoqiao dan Lu Siyuan kesulitan berdiri, jadi ia bertahan lebih kuat, lengannya menegang, dan urat di punggung tangannya mencuat.
Jiang Ruoqiao menundukkan mata.
Mereka begitu dekat, hingga ia bisa mencium wangi lembut dari sabun cuci baju di tubuhnya.
Aroma yang bersih, bercampur sinar matahari.
Kalau ia bisa mencium baunya, berarti Lu Yicheng pun bisa mencium wangi bunga lembut dari tubuhnya yang samar namun menetap di udara. Ia tak bisa mengenali itu wangi apa. Dalam dua puluh tahun hidupnya yang sederhana, ia tak punya hiburan, hidup hanya dengan buku dan kebutuhan dasar. Aroma yang paling sering ia hirup pun begitu-begitu saja.
Lu Yicheng berdiri di dekat pintu, saat ia menoleh, bisa melihat bayangannya sendiri di kaca jendela kereta.
Kereta melaju cepat menembus terowongan, disertai suara gesekan yang memekakkan telinga.
Ia menatap pantulan wajahnya, sejenak merasa asing.
Jiang Ruoqiao juga diam.
Lu Siyuan memeluk pinggangnya, bersandar dengan manja.
Aneh sekali, di tengah suasana penuh hiruk-pikuk kehidupan seperti ini, Jiang Ruoqiao justru terpikir sesuatu—Siyuan pernah bilang bahwa di masa depan, dia dan Lu Yicheng juga naik kereta bersama untuk bepergian, apakah saat itu juga seperti ini?
Jiang Ruoqiao menunduk, menggeleng pelan.
Apa yang sedang kupikirkan?
Beberapa stasiun kemudian, jumlah penumpang yang naik mulai berkurang, dan makin banyak yang turun.
Mereka pun tiba di stasiun dekat hotel tempat Jiang Ruoqiao menginap.
Jiang Ruoqiao menggandeng Lu Siyuan keluar dari gerbong, dan Lu Yicheng ikut turun. Ini stasiun transit, ia harus ganti jalur.
Jiang Ruoqiao berkata, “Aku bawa dia dulu ke hotel.”
Lu Yicheng mengangguk, “Aku pulang dulu, ambilkan baju ganti, handuk, sikat gigi, dan pasta giginya.”
Ia menunduk melihat Lu Siyuan, “Perlu aku bawain Lego juga?”
Lu Siyuan menatapnya sebal, “Kalau aku sama Mama, mana mungkin masih mikirin mainan.”
Lu Yicheng tertawa, “Kalau sama aku, kamu malah cuma mikirin Lego.”
Lu Siyuan menjulurkan lidah, “Ayah, jangan kekanak-kanakan gitu dong, rebutan perhatian sama Mama~”
“……” Lu Yicheng tak berkata apa-apa.
Ia berdiri di tengah keramaian, diam seperti pohon poplar, menatap mereka keluar dari stasiun, baru kemudian berbalik menuju jalur lain.
Lu Yicheng kembali naik metro. Kali ini gerbongnya lebih sepi, bahkan ada kursi kosong. Ia memberikan tempat duduknya pada seorang ibu hamil, lalu berdiri sambil berpegangan. Suasana longgar, tidak berdesakan. Harusnya ia merasa lega, tapi kenapa justru merasa tidak terbiasa?
Setelah beberapa stasiun, ia keluar dari metro, dan berjalan cepat pulang.
Ia naik tangga ke lantai enam tanpa merasa lelah. Tapi di antara lantai lima dan enam, ia tiba-tiba berhenti.
Karena di depan pintu rumahnya, ada seseorang yang sedang duduk.
Jiang Yan membawa kantong belanja. Lampu sensor suara di tangga rusak, cahaya bulan menerobos masuk. Wajahnya tampak suram saat melihat Lu Yicheng pulang. Ia berkata, “Bos Lu, aku datang buat minum bareng.”
Lu Yicheng menggenggam kunci di tangannya, suaranya datar, “Sebentar lagi aku harus keluar.”
Jiang Yan menjawab ringan, “Ada urusan? Oh iya, anakmu ke mana?”
Ia juga sengaja melongok ke belakang Lu Yicheng, tak melihat anak kecil itu. Tadi ia sudah mengetuk lama, tidak ada jawaban, hampir pergi, tapi ternyata Lu Yicheng malah baru pulang.
Lu Yicheng menjawab, “Dia ke tempat ibunya, aku mau bawain baju ganti buat dia.”
“Mudah tuh,” kata Jiang Yan santai, “Aku tunggu kamu pulang aja. Kebetulan, malam ini aku juga malas pulang. Numpang nginap di tempatmu semalam, ya.”
Lu Yicheng: “……”
Tak bisa menolak. Dulu teman-teman sekamarnya juga pernah menginap semalam dua malam di sini.
Akhirnya ia membuka pintu. Saat melepas sepatu, ia melihat sepasang sandal merah muda di rak sepatu, dan pelipisnya menegang.
Jiang Yan jelas tidak menyadari hal-hal sekecil itu. Ia melepas sepatu dan langsung duduk di sofa ruang tamu, sudah membuka kaleng bir.
Lu Yicheng merasa sedikit tak berdaya.
Dalam ketakberdayaan itu, ada perasaan gelisah yang samar.
Ia tahu Jiang Ruoqiao tidak meninggalkan barang apa pun di rumah ini. Bahkan kemarin ia sudah membereskan semua. Tapi tetap saja, ia tidak suka Jiang Yan sendirian berada di sini.
— 🎐Read only on blog/wattpad: onlytodaytales🎐—
Bab 45
Lu Yicheng membawa pakaian ganti milik Lu Siyan dan keluar rumah.
Jiang Yan tinggal sendiri di dalam rumah, sesekali melihat ponsel, sesekali minum bir.
Untungnya dari rumah Lu Yicheng ke hotel tempat Jiang Ruoqiao menginap ada jalur langsung lewat kereta bawah tanah. Ia berjalan cepat sepanjang jalan, dan dengan kecepatan secepat mungkin tiba di depan hotel. Sambil terengah-engah, ia menelepon Jiang Ruoqiao.
Tak lama kemudian, Jiang Ruoqiao pun turun.
Lu Yicheng duduk di lobi hotel, sebuah hotel hemat dari jaringan hotel ternama. Lobinya kecil. Jiang Ruoqiao sedikit terkejut melihatnya. "Kok cepat banget?"
Baru saja ia bersiap untuk hapus makeup ketika menerima telepon darinya.
Hitungan waktunya paling-paling setengah jam saja.
Setengah jam itu, dia sudah pulang dulu, ambilkan baju, lalu datang ke sini.
Lu Yicheng sudah menenangkan napasnya, ia pun tidak bermaksud menyembunyikan apa pun, dan berkata jujur: "Jiang Yan datang mencariku, dia masih di rumahku."
Ini pertama kalinya Lu Yicheng menyebut Jiang Yan lagi setelah Jiang Ruoqiao putus dengannya.
Jiang Ruoqiao terdiam beberapa detik, kemudian dengan tenang hanya menjawab "Oh", seolah tidak tertarik sedikit pun pada hal itu.
Lu Yicheng menyerahkan tas padanya.
Bahkan dalam situasi mendesak seperti ini, ia tetap mengemas barang-barang dengan rapi, "Di dalam tas ini ada handuknya. Yang putih buat cuci muka dan tangan, yang cokelat buat mandi. Singlet dan celana pendek itu buat tidur. Satu set baju biasa juga ada. Sikat gigi, gelas kumur, dan pasta gigi ada di bagian paling dalam." Ia berhenti sebentar, "Ada juga satu buku cerita."
Jiang Ruoqiao sudah terbiasa dengan ketelitiannya.
Ia sekilas memeriksa isinya lalu menerima tas itu, "Ya, aku tahu."
"Kalau begitu," Lu Yicheng melihat jam tangannya, "sudah malam, aku pulang dulu."
"Hati-hati di jalan."
Sekarang, setiap kali mereka berpisah, Jiang Ruoqiao juga terbiasa mengucapkan kalimat itu.
Ia menyebutnya sebagai bentuk sopan santun.
Lagipula, Lu Yicheng memang pantas diperlakukan seperti itu.
Lu Yicheng mengangguk, tapi tetap bersikeras menunggu sampai ia masuk lift, bahkan memastikan lift berhenti di lantai tempat ia menginap, barulah ia berbalik dan pergi. Saat kembali ke rumah, Jiang Yan sedang meringkuk di sofa tertidur. Mendengar suara pintu, ia bangun dalam kondisi masih mengantuk.
Dua hari ini ia hampir tidak tidur, bahkan semalam begadang di depan apartemen.
Fisiknya benar-benar sudah mencapai batas. Matanya merah, terlihat sangat lelah.
Lu Yicheng ragu-ragu, menarik kursi dan duduk.
Mereka duduk saling berhadapan, namun terasa seperti berada di dua sisi yang berlawanan.
Jiang Yan tersenyum pahit, “Presdir Lu, maaf sudah ganggu malam-malam, aku benar-benar tidak tahu harus ke mana.” Ekspresinya tiba-tiba kosong. “Aku juga belum bisa menemukan Ruoqiao.”
Lu Yicheng menyatukan kedua tangan, mungkin untuk membuat dirinya terlihat lebih santai, ia menyilangkan kaki, tangannya bersandar sembarangan di lutut.
Tampak seperti pendengar yang baik, tapi itu hanya ilusi.
Kalau Jiang Yan cukup mengenalnya, ia akan tahu bahwa ini adalah sikap waspada Lu Yicheng.
“Aku tahu aku salah,” kata Jiang Yan. “Tapi aku berani bersumpah, selain dia aku tidak pernah suka siapa pun, dan tidak akan pernah suka siapa pun. Hari itu…” ia mengusap wajahnya yang kusut, “aku… benar-benar salah orang. Aku kira itu dia.”
Lu Yicheng hanya diam mendengarkan.
“Salah orang?” Lu Yicheng akhirnya buka suara, murni karena rasa heran.
Mungkin karena ia belum pernah mencintai siapa pun, atau karena ia tidak punya pengalaman, tapi menurutnya, ini bukan kesalahan yang bisa dimaklumi.
Sampai salah mengenali pacar sendiri?
Meski dalam gelap, orang itu seharusnya tetap bisa dikenali.
Lewat napas, lewat frekuensi bernapas—sudah terbukti secara ilmiah bahwa ini bisa dibedakan.
Jiang Yan: “Hari itu aku minum alkohol.”
Lu Yicheng mengangguk pelan, “Tapi juga nggak minum banyak. Bir kan kadar alkoholnya nggak tinggi.”
Jiang Yan menjawab lirih, “Ya, aku memang salah.”
Ia sendiri juga tidak tahu bagaimana bisa sampai salah mengenali.
“Aku selalu berpikir aku akan menikah dengannya. Bahkan sekarang pun masih begitu,” mata Jiang Yan kosong, seperti sedang mengungkapkan perasaan, tapi juga seperti sedang berbicara sendiri. “Tapi aku baru sadar sekarang, selama dia tidak mau menghubungiku, tidak mau menemuiku, aku benar-benar nggak bisa berbuat apa-apa. Aku bahkan nggak tahu dia ada di mana sekarang.”
Lu Yicheng benar-benar tidak ingin mendengar.
Untuk "menutup telinga", ia bahkan memikirkan makalah yang dikirim seniornya beberapa hari lalu. Tapi perkataan Jiang Yan tetap menyusup masuk ke telinganya.
“Aku nggak habis pikir, kenapa semuanya bisa jadi seperti ini,” Jiang Yan masih bicara, “padahal kita dulu baik-baik saja. Kita sudah janjian—aku bakal kerja keras, cari duit, beliin dia tas. Sudah janjian juga mau pergi ke pulau lihat laut pas liburan musim dingin. Bahkan sudah janjian mau nonton film di hari ulang tahunnya... Kenapa bisa jadi begini?”
Pandangan mata Lu Yicheng yang sebelumnya datar, akhirnya sedikit berubah.
Ia berkata pelan, “Karena kamu. Karena adik ‘perempuan’mu itu.”
Jiang Yan mengangkat kepala, “Apa?”
Lu Yicheng mencoba bersikap objektif, “Karena dia masuk kamarmu, dan karena kamu salah mengenali. Jiang Yan, dua hal yang seharusnya tidak terjadi, justru terjadi bersamaan. Jadi, hasilnya ya seperti ini.”
Masalah yang sesederhana ini, apa harus membuatmu bingung dan tak bisa memahami?
Sebagai orang luar, menurut Lu Yicheng, ini semua karena dua hal fatal.
Jiang Yan seharusnya tidak salah mengenali pacarnya.
Begitu juga Lin Kexing seharusnya tidak masuk ke kamar Jiang Yan, tak peduli apapun hubungan mereka, dalam kondisi seperti itu, itu sangat tidak pantas.
Jiang Yan terdiam, lalu mengambil botol bir di meja dan minum seteguk, tersenyum pahit: “Kamu benar.”
“Aku baru sadar hari ini kalau aku ini munafik,” kata Jiang Yan, “aku tiba-tiba sadar, kalau saja dia mau memaafkanku dan kembali padaku, maka aku bahkan…” Ia berhenti sebentar, “bahkan bisa tidak pergi ke rumah keluarga Lin lagi, bahkan tidak ketemu Kexing lagi.”
Pikiran ini sangat menyakitinya.
Padahal keluarga Lin sudah sangat baik padanya, tapi pada momen ini, ia menyadari siapa yang paling penting.
Tentu saja, karena tahu itu, ia semakin tak bisa kehilangan Jiang Ruoqiao.
Lu Yicheng sendiri tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya malam ini.
Jelas-jelas Jiang Yan datang untuk curhat, tapi ia malah memasang posisi bertahan, seolah ini sebuah debat. Seperti sekarang, setelah mendengar semua itu, ia justru ingin bertanya, "Kamu kira ini pengorbananmu?"
Tapi akhirnya ia tidak mengatakannya.
Kamu kira ini pengorbananmu?
Bukankah itu memang hal yang seharusnya kamu lakukan?
Lin Kexing dan Jiang Ruoqiao, sejak awal memang pilihan yang harus kamu ambil. Kalau memilih salah satu, kamu harus meninggalkan yang lain. Bukankah itu hal wajar?
Kenapa sekarang malah terdengar seperti kamu "mengorbankan" sesuatu untuk Jiang Ruoqiao?
Sudahlah.
Lu Yicheng pikir, ini bukan debat. Dan kalau pun menang, lalu apa?
Jiang Ruoqiao bahkan tidak peduli pada Jiang Yan.
Ia memang tidak suka hubungan yang berlarut-larut setelah putus, tidak suka hubungan yang menggantung. Kalau sudah putus, maka seumur hidup jangan ada hubungan lagi. Bagaimana nasib Jiang Yan setelah itu, bukan urusannya.
Terlebih lagi, saat ini ia sedang menghadapi masalah besar: mandikan anak manusia.
Lu Siyan berjinjit canggung, menyikat giginya sampai bersih.
Lalu cuci muka, dan mengelap wajah dengan handuk putih.
Kemudian, ibu dan anak saling memandang.
Jiang Ruoqiao bertanya dengan agak canggung: “Dulu di rumah, kamu dimandikan sama Lu Yicheng atau kamu mandi sendiri?”
Meski mereka adalah ibu-anak… tetap saja agak canggung kalau harus memandikannya.
Ia belum pernah mandikan anak kecil sebelumnya.
Lu Siyan langsung menjawab: “Kalau Ayah ada, Ayah yang mandikan. Kalau nggak ada, aku sendiri.”
Jiang Ruoqiao: Hah?
Bagus juga itu!
Lu Siyan menghela napas, “Dulu juga begitu.”
Yang ia sebut "dulu", sebenarnya adalah "masa depan".
Jiang Ruoqiao mengangkat alis, “Kalau begitu, silakan mandi sendiri ya.”
Setelah itu, Jiang Ruoqiao keluar dari kamar mandi, mengambil kapas pembersih di tas makeup dan mulai menghapus riasan di tempat tidur.
Lu Siyan cepat-cepat buka baju, berdiri telanjang di bawah pancuran, mandi dengan gerakan kikuk namun rajin, membersihkan tubuhnya sampai harum, mengeringkan badan, mengenakan singlet dan celana pendek, lalu keluar dengan sedikit malu-malu. Mungkin karena sudah lama tidak tidur bareng ibunya, ia merasa senang sekaligus canggung.
Jiang Ruoqiao sudah selesai bersih-bersih, melirik ke arahnya, lalu menyalakan TV hotel dan memindahkan saluran ke channel anak-anak, “Aku mau mandi ya.”
Lu Siyan pipinya merah, “Iya!”
Jiang Ruoqiao tak tahan tertawa, berjalan mendekat, membelai rambut keritingnya dengan lembut, “Wah, aneh juga ya. Baru kali ini lihat pangeran kecil kita malu-malu.”
Lu Siyan keras kepala: “Nggak! Cuma airnya panas, jadi aku kepanasan!”
Jiang Ruoqiao tak membongkarnya. Tapi ia baru sadar, Lu Siyan yang pemalu memang mirip Lu Yicheng.
Malam itu memang terasa sangat hangat.
Setelah mandi, Jiang Ruoqiao berbaring bersama Lu Siyan di tempat tidur hotel, menonton kartun anak bersama.
Lu Siyan perlahan mendekat padanya, akhirnya hampir seluruh tubuhnya menempel padanya.
Jiang Ruoqiao merasa harus menarik ucapannya. Kartun ini ternyata tidak terlalu kekanak-kanakan… bahkan cukup menarik. Saat ia mulai menonton dengan serius, ia menunduk dan mendapati Lu Siyan sudah tertidur, napasnya teratur. Setiap kali melihat wajah tidur anaknya, hati Jiang Ruoqiao terasa lembut seperti disapu bulu lembut—mungkin inilah yang disebut "rasa disembuhkan".
Lama-kelamaan, rasa kantuknya pun datang.
Ia mematikan TV, menambahkan air murni ke humidifier bawaannya.
Barulah ia berbaring.
Setelah sekian lama, ini pertama kalinya ia tidur sekasur dengan seseorang. Dan orang itu adalah anaknya sendiri.
Agak aneh, agak canggung, tapi juga… menyenangkan.
Menjelang tengah malam, Jiang Ruoqiao terbangun dan merasa tubuh Lu Siyan sangat panas, napasnya pun terasa hangat membara. Ia panik, menempelkan telapak tangan di dahinya. Tak yakin, ia pun menempelkan dahinya untuk memastikan—benar saja, Lu Siyan demam.
Ia cemas, tapi cepat tenang.
Ia ambil beberapa tisu untuk menyeka keringat dan mengganjal punggungnya.
Lalu segera menelepon resepsionis hotel dan minta termometer.
Mungkin karena nada bicaranya cemas, staf hotel sangat sigap. Seorang ibu petugas mengantar termometer segera.
Hasil pengukuran: hampir 39°C.
Si ibu memberi saran praktis, “Turunkan panasnya dulu. Di bawah ada apotek, beli plester penurun panas dan obat demam anak, nanti juga sembuh.”
Tapi Jiang Ruoqiao tidak berani gegabah.
Kalau dirinya yang sakit, ia tak akan sepanik ini. Tapi ini anak kecil—mana bisa sembarang beli obat tanpa resep? Kalau ada apa-apa, gimana?
Tanpa ragu, Jiang Ruoqiao memutuskan untuk membawa Lu Siyan ke rumah sakit.
Untungnya staf hotel sangat membantu, ikut membantunya menurunkan Lu Siyan ke bawah. Sambil menunggu mobil online datang, ia mengirim pesan ke Lu Yicheng. Ia khawatir tak bisa menangani sendiri, apalagi rumah sakit pasti butuh banyak pemeriksaan, ia tak mungkin menggendong anak sendiri ke sana ke mari.
Takut Lu Yicheng tidur dan tak dengar pesan, ia juga langsung menelpon.
Beberapa saat kemudian, Lu Yicheng mengangkat.
Di tengah malam yang sunyi, anak kecil di sampingnya sedang demam. Meski tampak tenang, hatinya sudah kacau dan penuh rasa takut. Tapi entah kenapa, begitu mendengar suara Lu Yicheng, hatinya terasa tenang.
Lu Yicheng mendengarkan semua ceritanya, lalu langsung membuat rencana: “Bawa dia ke rumah sakit anak, langsung ke IGD dan tunggu aku di sana. Aku berangkat sekarang, seharusnya aku sampai duluan. Aku daftarkan dulu.”
Ia berhenti sejenak.
Meski suara Jiang Ruoqiao terdengar sangat tenang, ia tetap tak tahan untuk menambahkan satu kalimat:
“Jangan khawatir, semuanya akan baik-baik saja.”
— 🎐Read only on blog/wattpad: onlytodaytales🎐—
Bab 46
Saat Jiang Ruoqiao membawa Lu Siyin ke rumah sakit anak, Lu Yicheng sudah mendaftar lebih dulu dan menunggu di depan pintu.
Dia tahu Jiang Ruoqiao tidak kuat menggendong Lu Siyin, jadi langsung menunggu di depan rumah sakit. Begitu mereka datang, dia segera menggendong Lu Siyin dari kursi belakang mobil. Karena goncangan tiba-tiba, Lu Siyin membuka mata dan menatap sebentar. Mungkin karena demam, wajahnya agak merah, matanya pun terlihat sangat basah, rambut ikalnya terkulai manis, tampak sangat menyedihkan.
Setelah melihat bahwa yang menggendongnya adalah ayah, dan ibu berdiri di samping dengan cemas, Lu Siyin menjadi tenang. Ia pun bersandar manis di bahu Lu Yicheng dan kembali tidur.
Di rumah sakit ada bagian gawat darurat, dan Lu Yicheng sudah mendaftar sebelumnya. Ia berjalan cepat sambil menggendong Lu Siyin masuk ke dalam, Jiang Ruoqiao berlari kecil mengikutinya dari belakang.
Pada saat itu, mereka tampak seperti keluarga kecil yang sesungguhnya.
Karena pasien anak yang datang ke IGD bukan hanya Lu Siyin, ada juga anak-anak lain. Kebanyakan dari mereka datang bersama orang tua atau kakek-nenek. Anak-anak tertidur, sementara wajah para orang dewasa penuh dengan kekhawatiran.
Dokter memeriksa Lu Siyin secara sederhana, mengajukan beberapa pertanyaan, lalu memberikan surat pengantar untuk pemeriksaan darah.
Saat itulah Jiang Ruoqiao merasa bahwa keputusannya memang tepat.
Sendirian, dia pasti tidak akan sanggup. Harus mendaftar, mencari dokter untuk pengantar pemeriksaan, membawa anak ke laboratorium... Tidak berlebihan jika dikatakan seperti sedang berperang.
Setelah pengambilan darah, menunggu hasilnya keluar, kembali ke dokter untuk resep obat, langit pun mulai terang.
Jiang Ruoqiao merasa ini lebih melelahkan dari lari 800 meter saat ujian fisik.
Untungnya tidak terlalu serius. Dokter memperkirakan karena dalam dua hari ini mereka pergi ke pegunungan lalu kembali ke kota, perbedaan suhu terlalu besar dan lokasi tidur yang sering berpindah, anak tidak tahan sehingga menyebabkan demam. Mereka hanya disarankan memberi obat dan memperhatikan kondisi anak. Selama anak tetap aktif dan demamnya turun, tidak ada masalah.
Jiang Ruoqiao merasa kakinya lemas, bergumam, “Aku kira aku tidak menjaganya dengan baik.”
Lu Yicheng juga terlihat lelah. Sambil menggendong Lu Siyin, ia duduk di kursi di sebelahnya dan menenangkan, “Mana mungkin. Dokter juga bilang, di musim panas memang sering terjadi pilek. Panas dan dingin bergantian, orang dewasa saja bisa sakit, apalagi anak-anak. Kulihat Siyin semangatnya bagus, kamu jangan khawatir.”
Beberapa saat kemudian, mereka bersiap meninggalkan rumah sakit.
Jiang Ruoqiao masih merasa trauma.
Meski Lu Yicheng bilang ini bukan salahnya, dia tetap merasa takut. Maka ia menyarankan agar Lu Yicheng membawa pulang Lu Siyin, dan ia akan menyusul ke sana saat makan siang.
Lu Yicheng belum sempat mengangguk setuju, tapi anak yang sedang digendongnya tiba-tiba terbangun. Anak yang sedang sakit tidak sepenurut biasanya, dengan cemberut ia berkata, “Aku tidak mau, aku mau tidur sama Mama.”
Saat anak sakit, yang paling ingin mereka cari adalah ibunya, tempat mencari rasa aman.
Akhirnya, Jiang Ruoqiao pun mengangguk setuju.
Dia bisa memahami perasaan Lu Siyin.
Karena dulu saat kecil, kalau sakit, dia juga ingin berada di sisi ibunya.
Dulu dia tidak mendapatkannya, sekarang dia tidak ingin Lu Siyin mengalami hal yang sama.
Jiang Ruoqiao menerima Lu Siyin dari pelukan Lu Yicheng dan berkata pelan, “Tapi Mama tidak sepandai Papa dalam merawatmu.”
Itu kenyataan.
Bisa mengurus dirinya sendiri saja sudah cukup bagus, apalagi mengurus anak.
Mata Lu Siyin basah, ia menggeleng pelan, entah memikirkan apa, lalu mencium keningnya dan berkata pelan, “Aku nggak merasa begitu, Mama juga hebat kok.”
Jiang Ruoqiao terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis.
Senyuman itu berbeda dari biasanya.
Lu Yicheng menatapnya.
Mungkin hanya ilusi, tapi saat itu Jiang Ruoqiao terlihat seperti seorang gadis kecil.
Bukan seorang ibu, tapi seperti gadis seumuran dengan Lu Siyin.
Ia tampak bahagia, puas, dan saat menunduk, Lu Yicheng bahkan bisa melihat kelegaan di wajahnya.
Kelegaan? Mungkin dia salah lihat.
Lu Yicheng jarang sekali naik taksi, tapi kali ini ia menyetop satu dan membawa Jiang Ruoqiao serta Lu Siyin kembali ke hotel. Sebenarnya demi menghindari kesan tak pantas, ia tidak seharusnya naik ke atas. Tapi melihat lengan Jiang Ruoqiao yang kurus dan putih, dia merasa tidak tega membiarkannya menggendong Lu Siyin sampai ke kamar. Maka, dengan persetujuannya, ia ikut masuk ke lift hotel dan mengantar sampai ke depan kamar.
Jiang Ruoqiao menggesek kartu kamar dan pintu pun terbuka.
Lu Yicheng menggendong Lu Siyin masuk, menahan pandangan dan tidak melihat sekeliling kamar, seolah dirinya buta. Setelah meletakkan Lu Siyin di atas tempat tidur, ia bersiap pergi. Jiang Ruoqiao tidak merasa canggung. Karena ada Lu Siyin, dia pun tidak berani sembarangan meletakkan pakaian pribadinya, jadi tidak ada barang yang bisa membuat Lu Yicheng si pria lurus jadi risih.
“Pakaian kotor Siyin kemarin di mana?” tanya Lu Yicheng.
Jiang Ruoqiao menjawab, “Di rak kamar mandi, aku rencananya panggil laundry pagi ini.”
Lu Yicheng mengangguk, “Kamu cari kantong plastik, biar aku yang bawa pulang.”
Jiang Ruoqiao: “...Oke.”
Lu Yicheng masuk kamar mandi untuk mengumpulkan pakaian kotor Lu Siyin. Saat memasukkan satu per satu ke dalam kantong, matanya sempat terhenti pada gaun putih yang tergantung di gantungan.
Itu adalah gaun yang dipakai Jiang Ruoqiao kemarin.
Ia ragu sejenak, lalu mengalihkan pandangan.
Jiang Ruoqiao tidur sejenak.
Saat bangun, sudah hampir siang.
Hal pertama yang ia lakukan adalah mengukur suhu tubuh Lu Siyin. Demamnya mulai menurun, ia pun lega dan segera mengirim pesan ke Lu Yicheng untuk memberitahu kabar baik. Baru kemudian ia sadar, ada email baru yang masuk tadi malam dari HR perusahaan, mengundangnya untuk wawancara siang ini.
Ia sangat gembira.
Tak menyangka bisa lolos tes tertulis.
Biasanya kalau sudah lolos tahap itu, wawancara juga hampir pasti. Asal tampil normal saja sudah cukup. Ia segera membalas email, menyatakan akan hadir tepat waktu.
Waktu yang tersisa hingga janji wawancara tinggal sekitar tiga jam.
Jiang Ruoqiao melirik Lu Siyin yang sudah mulai pulih dan sedang asyik menonton TV.
Kesempatan wawancara ini sangat langka. Ia bahkan belum layak disebut pemula, jadi kalau meminta HR mengubah waktu wawancara, takutnya akan meninggalkan kesan buruk.
Tapi meninggalkan Lu Siyin sendirian di hotel juga tidak mungkin. Cuaca hari ini sangat panas. Kalau membawa Lu Siyin kembali ke rumah Lu Yicheng, perjalanan akan sangat melelahkan bagi anak yang masih demam.
Setelah berpikir lama, Jiang Ruoqiao akhirnya mengirim pesan ke Lu Yicheng untuk menanyakan apakah ia sedang luang.
Saat menerima pesan, Lu Yicheng sedang memasak dumpling di dapur.
Ia mengosongkan satu tangan untuk membalas pesan. Saat itu, Jiang Yan keluar dari kamar dengan sandal rumah menuju kamar mandi, dan melewati dapur. Melihat Lu Yicheng sedang sibuk, ia masuk ke dapur.
Awalnya Lu Yicheng tidak sadar akan kehadiran Jiang Yan.
Begitu Jiang Yan berdiri di sebelahnya, layar ponselnya masih menampilkan pesan dari Jiang Ruoqiao.
Lu Yicheng gugup dan hendak mengunci layar, tapi malah menekan tombol volume.
Untungnya Jiang Yan tidak melihat layarnya, hanya melirik ke wajan, “Dumpling ya?”
Lu Yicheng: “Hm.”
Saat Jiang Yan datang, Lu Yicheng baru ingat bahwa ia tidak sendirian di rumah.
Tapi dumpling yang dimasak tidak banyak, hanya sekitar sepuluh buah, jelas tidak cukup untuk dua orang.
Jiang Yan tampak gembira, “Barusan Ruoqiao menghubungiku, ngajak ketemuan sore ini.”
Dia sebelumnya diblokir oleh Jiang Ruoqiao.
Hari ini cuaca cerah, ternyata benar-benar ada kabar baik!
Baru bangun tidur langsung dapat pesan dari Ruoqiao.
Jiang Yan senang bukan main, tidak sadar bahwa Lu Yicheng sedang tenang-tenang saja membalik dumpling.
“Kamu bilang dia udah maafin aku belum ya?” Jiang Yan semakin yakin, “Dia tahu aku dulu gimana, pasti dia udah sadar itu cuma kesalahpahaman.”
Lu Yicheng tidak menjawab.
Setelah Jiang Yan meninggalkan dapur, Lu Yicheng kembali mengeluarkan ponsel dari sakunya, menatap pesan Jiang Ruoqiao, ekspresinya tenang, lalu membalas: 【Ada.】
Jadi, saat dia bertanya apakah Lu Yicheng punya waktu, itu benar-benar ada urusan.
Jiang Ruoqiao lega saat menerima balasan: 【Kirim nomor KTP-mu, aku mau pesan kamar per jam.】
Setelah berpikir, ia mengirim satu pesan lagi: 【Aku ada wawancara jam 2:30 siang. Ini penting buatku, aku nggak mau lewatkan. Aku akan pesan kamar di sebelah kamarku, biar kamu jaga Siyin.】
Di saat penting, uang receh tak bisa disayang-sayang.
Meminta Lu Yicheng menjaga anak boleh.
Tapi membiarkan dia berada di kamarnya sendiri sementara ia tak ada di sana... rasanya tidak pantas.
Dia takut Lu Yicheng juga tidak nyaman.
Dengan sifat hati-hatinya, pasti tidak akan duduk di tempat tidurnya.
Lu Yicheng ingin membalas “nggak usah buang-buang uang”, tapi saat jarinya sudah siap mengetik, ia sadar itu kamar Jiang Ruoqiao.
Meskipun kamar hotel, tapi kalau dia harus berada di sana selama beberapa jam, memang agak canggung.
Dia menghapus “nggak usah” dan menggantinya dengan: 【Aku pesan sendiri.】
Jiang Ruoqiao: 【.】
Lu Yicheng bingung: Titik doang maksudnya apa?
Sebelum dia sempat berpikir lebih jauh, Jiang Ruoqiao mengirim pesan lagi: 【Untung Siyin hafal nomor KTP kamu, aku udah pesan kamar per jam, enam jam ya.】
Lu Yicheng menghela napas. Jadi maksud titik tadi, itu tanda tidak puas atau menolak halus.
Sekarang dia paham.
Ia membalas: 【Terima kasih.】
Melihat balasannya, Jiang Ruoqiao tersenyum. Lu Yicheng ini... benar-benar sopan.
Alasan Jiang Ruoqiao menghubungi Jiang Yan dan mengajaknya bertemu hari ini,
Bukan karena tiba-tiba memaafkan.
Tak ada hubungannya dengan memaafkan. Hanya saja, tadi pagi bos perempuan di tempat kerjanya menelepon, menanyakan apakah uang gaji sudah diterima, sekaligus penasaran tentang urusannya dengan Jiang Yan. Karena kemarin Jiang Yan bahkan pergi ke beberapa lokasi tempat mereka biasa syuting, dan sang bos melihatnya. Jiang Yan bahkan bertanya apakah Ruoqiao tinggal di rumah bos, dan tahu di mana dia sekarang... Bos pun sampai terkejut.
Hal itu membuat Jiang Ruoqiao merasa kesal.
Tapi ia teringat dalam novel aslinya, tokoh utama pria juga pernah mati-matian mempertahankan hubungan dengan tokoh perempuan pendukung.
Putus ya putus, apalagi yang perlu dijelaskan? Menjelaskan juga tak ada gunanya.
Mau dijelaskan atau tidak, hasil akhirnya tetap sama—putus.
Apa dia pikir Jiang Ruoqiao akan langsung luluh dan balikan begitu dengar penjelasannya? Huh, air Samudra Pasifik masuk ke otaknya pun dia tidak akan sebodoh itu.
Dia pikir Jiang Ruoqiao tipe perempuan macam apa?
Namun, meski ia berpikir begitu, Jiang Yan tidak demikian. Setelah berpikir, Jiang Ruoqiao pun memutuskan: kalau Jiang Yan ingin menjelaskan, ya dengarkan saja.
Setelah penjelasan itu selesai, masing-masing bisa kembali ke hidup masing-masing, tidak usah main drama lagi saat masuk sekolah nanti.
Orang ini benar-benar tidak peka! Bisa dibilang paling tidak tahu diri di antara semua orang yang pernah dekat dengannya.
Kalau orang lain, mana ada muka buat menjelaskan, putus ya sudah, diam di pojokan. Tapi dia, seolah ingin seluruh dunia tahu.
— 🎐Read only on blog/wattpad: onlytodaytales🎐—
Bab 47
Sering kali, laki-laki memiliki kepercayaan diri yang buta.
Jiang Yan mengira bahwa karena Jiang Ruoqiao mau mendengarkan penjelasannya, itu berarti mereka masih punya kemungkinan untuk rujuk. Ia langsung menghapus segala kemuraman sebelumnya, mengucapkan terima kasih pada Lu Yicheng, lalu meninggalkan rumah keluarga Lu dan naik taksi kembali ke Mingmen Huafu. Entah kenapa, saat kembali melangkah ke rumah keluarga Lin, perasaan Jiang Yan menjadi sangat rumit. Ia teringat pada Lin Kexing, pada kekacauan yang terjadi, dan saat ini, ia bahkan merasa takut bertemu Lin Kexing. Ia tak mau berpisah sedetik pun dari Jiang Ruoqiao, tapi pada Lin Kexing...
Jiang Yan sengaja tidak melihat ke arah bangunan utama, juga tidak seperti biasanya menengadah ke lantai dua.
Ia menundukkan kepala dan masuk ke bangunan samping tanpa menoleh.
Begitu masuk, ia langsung bertemu ibunya.
Melihat putranya pulang, Ibu Jiang merasa sedikit lega. Bagaimanapun juga, burung yang lelah selalu kembali ke sarangnya. Dalam dua hari ini, tak peduli di mana Jiang Yan berada atau bersama siapa, pada akhirnya ia tetap kembali ke sini, ke rumah keluarga Lin. Sebenarnya, kalau saja Kexing mau lebih berpikir ke arah ini, ia akan tahu bahwa kesabaran akan membuahkan hasil yang manis. Sayangnya, Kexing terlalu terburu-buru dan melangkah salah, menyebabkan keadaan menjadi tak terkendali.
“A Yan, ikut Ibu ke dalam sebentar.” Ibu Jiang meletakkan pekerjaannya dan memanggil Jiang Yan.
Jiang Yan menjawab pelan.
Ia mengikuti ibunya masuk ke suite di bangunan samping. Begitu pintu dikunci, ekspresi Ibu Jiang langsung berubah. Sebelum Jiang Yan sempat bereaksi, ia sudah menampar wajah anaknya dengan keras. Jiang Yan terpaksa menoleh karena kekuatan tamparan itu, dan ia terdiam, perlahan menatap ibunya.
Mata Ibu Jiang memerah, tangannya gemetar, seakan menyesal telah menampar putranya. Ia membalikkan badan dan dengan suara tersendat berkata, “A Yan, kau tahu tidak, keluarga Lin itu sangat berjasa pada kita?”
Jiang Yan menunduk, kedua tangannya mengepal tanpa sadar.
Dua hari ini, satu-satunya yang ia pikirkan adalah bagaimana mendapatkan kembali pengampunan dari Ruoqiao.
Yang lain tidak terpikirkan. Saat ini, di saat genting ini, siapa pun yang lain menjadi tidak penting.
Jiang Yan tak menjawab.
Ibu Jiang melanjutkan, “Ibu merasa sangat bersalah pada Nyonya. Dulu dia yang menampung kita berdua. Sepuluh tahun ini, dia menyediakan tempat tinggal yang aman untuk kita. Bahkan untuk pendidikanmu, dia juga banyak membantu. Tapi sekarang, kau malah menyakiti satu-satunya putrinya! Ibu tak bisa menerima ini. A Yan, apa kau sudah gila? Kexing selalu menganggapmu sebagai kakaknya sendiri!”
Jiang Yan memejamkan mata, rahangnya menegang, seluruh tubuhnya terlihat tegang.
“Dua hari ini, Kexing sangat sedih, terus menangis. Ibu bisa lihat, dia benar-benar menganggapmu sebagai kakaknya. Selama ini, Nyonya dan Kexing sudah begitu baik pada kita, kau pasti tahu. Kexing itu kasihan, kedua kakaknya beda ibu dan jauh lebih tua. Sejak kecil dia sudah menganggapmu sebagai keluarga, sebagai kakak...”
Ibu Jiang tahu, sekarang belum saatnya Jiang Yan mengetahui perasaan Kexing.
Sedikit pun tidak boleh.
Jadi ia menekankan bahwa bagi Kexing, Jiang Yan hanyalah keluarga, hanyalah seorang kakak.
Tapi ia tak tahu kata-kata Jiang Ruoqiao yang dulu menusuk hati Jiang Yan.
Saat ini, sebutan kakak-adik itu sangat menyakitkan di telinganya, apalagi kata-kata ibunya, yang seakan tumpang tindih dengan sindiran dari Ruoqiao. Ia sangat menderita.
Ia benar-benar tak tahan lagi.
Tak ingin lagi mendengar kata "adik" dan "kakak".
Karena itu mengingatkannya pada malam itu, saat mata jernih Ruoqiao menatapnya dan bertanya dengan tenang, “Sekarang kau masih bilang dia adikmu?”
Untuk pertama kalinya, ia memotong ucapan ibunya, suaranya rendah, “Jangan katakan lagi. Dia bukan adikku, aku juga bukan kakaknya.”
Ibu Jiang tertegun.
Karena tindakan anaknya, juga karena kata-katanya.
Sebagai seorang ibu, ia sangat paham—kata-kata itu bukan dalam arti ambigu.
Jiang Yan berkata dengan suara dalam, “Aku dan Kexing, pada dasarnya, tidak punya hubungan darah. Kami bukan kakak-adik. Aku minta maaf untuk kejadian ini, aku akan menyelesaikan urusan yang lebih mendesak dulu, lalu akan minta maaf pada Kexing. Bu, tolong jangan lagi mengatakan bahwa dia adikku, aku kakaknya. Kata-kata itu hanya membuatku makin sulit, tak ada gunanya.”
Ibu Jiang tercengang.
“Dan lagi, Bu.” Jiang Yan mengepalkan tangannya, akhirnya mengambil keputusan, “Aku akan segera pindah ke asrama. Mungkin nanti saat liburan aku juga tidak akan pulang ke sini. Aku akan mencari tempat sewa sendiri. Kalau Ibu mau menemuiku, datang saja ke sana.”
Ia sudah memikirkan matang-matang.
Kalau ingin mendapatkan kembali Ruoqiao, maka ia harus memutus hubungan dengan keluarga Lin.
Meskipun berat, ia harus melakukannya.
Apalagi, setelah kejadian dengan Kexing, ia memang tidak pantas tinggal di rumah itu seolah tak terjadi apa-apa. Ke depannya… lebih baik mengurangi pertemuan, agar keduanya bisa lebih tenang.
Ibu Jiang benar-benar tertegun.
Apa yang terjadi? Kenapa tiba-tiba begini?
Ia mulai panik, ekspresinya pun menunjukkan kegelisahan.
Jiang Yan memijat batang hidungnya, tampak sangat lelah, “Aku ingat semua kebaikan Nyonya Lin. Di masa depan, selama aku bisa bantu, aku pasti tidak akan menolak. Hanya saja... aku juga harus memikirkan hal lain, Bu, maaf.”
Setelah mengatakan itu, Jiang Yan masuk ke kamar mandi, berniat mandi lalu beristirahat sejenak agar bisa pergi menemui Ruoqiao dengan kondisi terbaik.
Tinggallah Ibu Jiang terdiam di tempat, merasa sangat takut—kenapa semuanya berkembang ke arah yang paling buruk?
Ia tahu anaknya menyukai Jiang Ruoqiao, tapi tak menyangka sedalam ini—sampai-sampai rela meninggalkan keluarga Lin.
Sore itu, Jiang Ruoqiao tiba tepat waktu di perusahaan itu.
Wawancaranya jauh lebih formal dari yang ia bayangkan. Selain HR, ia juga harus menghadapi supervisor dan manajer. Untungnya, ia sudah mempersiapkan diri dengan baik. Di kampus pun ia tidak pernah ketinggalan pelajaran. Ditambah dengan pengalaman dua tahun di dunia fotografi, ia mampu tetap tenang di situasi seperti ini. Seperti yang diduga, ia bisa lihat bahwa supervisor dan manajer sangat puas padanya. Meski mereka tidak mengatakan apa pun, ekspresi wajah mereka cukup menjelaskan segalanya.
Ia diam-diam merasa lega.
Kalau tidak ada halangan, pekerjaan ini bisa dibilang sudah pasti.
Saat keluar dari ruang wawancara, supervisor yang sangat mengaguminya memanggilnya.
Supervisor itu perempuan muda berusia tiga puluhan, tampak sangat profesional dan rapi.
Dengan tersenyum, supervisor menepuk pundaknya, “Xiao Jiang, aku panggil begitu tidak apa-apa ya?”
Jiang Ruoqiao buru-buru mengangguk.
Supervisor mengedipkan mata, “Sebenarnya aku ini fans-mu.”
Jiang Ruoqiao: “?”
“Aku sudah nonton semua videomu.” Supervisor tertawa, “Begitu melihatmu, aku langsung yakin, Xiao Jiang, kamu itu mahasiswa yang sangat hebat. Jadi kesempatan wawancara ini memang diberikan secara khusus, tapi jika kami menerimamu, itu karena kemampuanmu memang pantas mendapatkannya.”
Supervisor memang sangat menyukainya.
Ia mengenal Jiang Ruoqiao secara tidak sengaja, dan bisa melihat bahwa gadis ini memang luar biasa dari karya videonya—sangat detail.
Baik ujian tertulis maupun wawancara hanya formalitas, dan gadis yang belum lulus ini bahkan lebih menonjol dibanding dua pelamar sebelumnya.
Jiang Ruoqiao merasa terkejut sekaligus terharu mendengar kata-kata itu.
“Baiklah, Xiao Jiang, tunggu email pemberitahuan dari HR kami, ya.” Supervisor tersenyum.
Jiang Ruoqiao mengangguk kuat, “Baik!”
Keluar dari gedung perusahaan, semangat Jiang Ruoqiao tiba-tiba membara.
Meskipun dirinya sekarang masih jauh dari sosok profesional, tapi entah kenapa, ia penuh harapan untuk masa depannya.
Tahun-tahun penuh perjuangan dan kerja keras... akhirnya tidak sia-sia.
Saat ini, bahkan memikirkan pertemuannya dengan Jiang Yan pun tidak mampu merusak suasana hatinya.
Ia masih khawatir dengan kondisi Lu Siyuan.
Begitu masuk ke stasiun kereta bawah tanah, ia langsung menelepon Lu Yicheng.
Telepon langsung tersambung, suara tenang Lu Yicheng terdengar di telinganya, “Halo.”
Ia terdiam sejenak, lalu bertanya basa-basi, “Wawancaranya lancar?”
Jiang Ruoqiao menjawab dengan ringan, “Cukup baik, seharusnya tidak ada masalah besar.”
Lu Yicheng tertawa, “Kalau begitu, selamat ya.”
“Terima kasih.” Jiang Ruoqiao bertanya lagi, “Siyuan bagaimana? Sudah baikan?”
“Setelah minum obat, dia tidur sebentar. Barusan ukur suhu, sudah tidak demam lagi.” jawab Lu Yicheng.
“Syukurlah.” Jiang Ruoqiao bertanya, “Dia ada di dekatmu?”
“Ada.” Lu Yicheng berhenti sejenak, “Kau mau bicara dengannya?”
“Mau.”
Lu Yicheng menyerahkan ponsel kepada Lu Siyuan yang sudah menunggu-nunggu, sambil berkata pelan, “Ibumu mau bicara denganmu.”
Ia tak menutup mikrofon ponsel saat berkata itu, jadi Jiang Ruoqiao pun mendengarnya. Saat itu, kereta bawah tanahnya tiba. Ia masuk ke dalam kereta, dan karena sedang bicara dengan pria itu, ia teringat pada hari kemarin. Kemarin pada jam segini, mereka bertiga naik kereta bersama-sama.
Suara riang Lu Siyuan terdengar, “Mama!!”
Jiang Ruoqiao berdiri dan mencari tempat, lalu tersenyum, “Siyuan, kamu sudah nurut sama Papa belum?”
“Sudah, bahkan obat yang pahit itu aku minum juga.” Lu Siyuan merasa dirinya sangat keren, “Pahit banget, tapi aku tetap minum!”
Jiang Ruoqiao tertawa, “Kamu memang hebat. Mau minta hadiah nggak?”
Lu Siyuan bertanya penuh semangat, “Mama, wawancaranya berhasil ya?”
“Cukup baik.” Jiang Ruoqiao tetap rendah hati di depan anaknya, “Aku hanya tampil seperti biasanya.”
“Kalau begitu pasti diterima!” Lu Siyuan memuji, “Mama memang hebat, semua bisa Mama lakukan dengan baik,” lalu sadar itu agak berlebihan, ia menambahkan, “kecuali masak!”
Jiang Ruoqiao: “……”
Lu Siyuan bertanya lagi, “Mama, kamu sekarang mau pulang nggak?”
Jiang Ruoqiao agak ragu, “Belum, Mama masih ada urusan. Tapi Mama pasti akan pulang makan malam sama kamu.”
Lu Siyuan kecewa, “Oh… terus Mama mau ke mana?”
Jiang Ruoqiao menjawab, “Ke taman di seberang hotel, taman Huxin, ada banyak permainan di sana. Nanti kalau kamu sudah sembuh, Mama ajak kamu main ke sana.”
Lu Siyuan langsung semangat, “Benar nih?!”
Ia menjauhkan ponsel dan dengan bangga berkata pada Lu Yicheng, “Papa, Mama mau ke taman Huxin, dia janji nanti ajak aku ke sana!”
Lu Yicheng tertegun.
Jadi, dia janjian dengan Jiang Yan di taman Huxin?
Setelah menutup telepon, Jiang Ruoqiao segera menuju taman Huxin. Ia memilih tempat ini dengan pertimbangan matang. Pertama, tempatnya ramai dan terbuka, kedua, lokasinya dekat dengan hotel, cocok untuk ngobrol. Setelah urusannya dengan Jiang Yan selesai, ia bisa cepat kembali ke hotel menemani Siyuan makan malam.
Taman Huxin seperti biasa sangat ramai.
Saat tiba di tempat yang disepakati, Jiang Yan belum datang.
Kalau Jiang Yan masih pacarnya, perbuatannya ini pasti sudah dikecam.
Tapi sekarang dia sudah jadi masa lalu, apa pun yang dia lakukan, Ruoqiao tidak terlalu peduli.
Di samping danau ada hamparan rumput luas.
Ada yang membawa anjing, anak-anak bermain bola, bahkan ada yang rebahan di rumput sambil memandang langit—sangat santai.
Ia duduk di samping, menunggu Jiang Yan.
Setelah beberapa saat, sebuah bola mengenai kakinya. Saat ia mendongak, seorang anak laki-laki sekitar lima-enam tahun berlari mendekat dengan malu-malu. Ini langsung mengingatkan Jiang Ruoqiao pada bocah kecil di rumah. Usianya hampir sama, tingginya juga mirip… tentu saja tidak semanis anak di rumah! Ia resmi mengumumkan, Lu Siyuan adalah anak paling menggemaskan di dunia~
Dulu, Jiang Ruoqiao biasanya menghindari anak-anak.
Sekarang sudah berbeda.
Melihat anak-anak seumuran Siyuan, ia langsung teringat padanya.
Dan saat mengingatnya, senyumnya muncul tanpa sadar.
Maka, pemandangan yang Jiang Yan lihat dari kejauhan adalah: di atas rumput, seorang gadis cantik dan anggun tersenyum lembut saat mengembalikan bola ke anak kecil, dan berkata sesuatu padanya. Anak itu tampak malu, dan senyuman sang gadis sangat hangat.
Selama ini, hidup Jiang Yan terlihat baik-baik saja.
Tapi bagaimanapun, rumah keluarga Lin bukan rumahnya. Nyonya Lin sebaik apa pun padanya, tetap saja bukan keluarga sejati.
Jadi, sepuluh tahun ini, bisa dibilang ia hidup menumpang. Rasanya tidak nyaman.
Dalam hatinya, ia sangat mendambakan rumah tangganya sendiri. Melihat pemandangan ini, ia mulai membayangkan masa depan—jika bisa bersama Ruoqiao, pacaran, menikah, beli rumah, lalu punya anak lucu, itu adalah masa depan terindah yang bisa ia bayangkan.
Sambil berkhayal, Jiang Yan berjalan mendekat.
Jiang Ruoqiao juga melihatnya dan menyembunyikan senyumnya.
Saat bertemu lagi, sudah tak ada lagi kehangatan masa lalu. Jiang Ruoqiao menatapnya tanpa ekspresi.
Jiang Yan duduk di sampingnya. Keduanya menatap kehidupan di atas rumput, hingga akhirnya Jiang Ruoqiao yang lebih dulu membuka suara, “Kau masih ingin mengatakan apa?”
Ia menambahkan, “Kalau hanya mau menjelaskan, tidak usah.”
Tidak ada gunanya lagi. Mereka sudah resmi berpisah.
Jiang Yan merasa sedih, suaranya pelan, “Aku dan dia... benar-benar tidak punya hubungan seperti itu. Aku sama sekali
— 🎐Read only on blog/wattpad: onlytodaytales🎐—
Bab 48
Kalimat "berpisah baik-baik" membuat Jiang Yanjie seperti disambar petir, tertegun di tempat.
Ia menoleh kaku menatapnya.
Baru saat itulah ia benar-benar sadar bahwa dia memang ingin meninggalkannya. Seakan sedang berjuang mati-matian untuk mempertahankan, ia berkata, "Aku tahu aku salah. Kalau kamu tak ingin mendengar penjelasan, aku tak akan bilang apa-apa. Ruo Qiao, tenang saja, aku akan pindah dari rumah keluarga Lin. Setelah ini aku juga tak akan bertemu dengannya lagi."
Jiang Ruo Qiao sedikit terkejut mendengarnya.
Karena dalam novel aslinya, Jiang Yan digambarkan sangat bertanggung jawab terhadap keluarga Lin, dan memang ia serta Lin Kexing memiliki ikatan sejak kecil.
Karena itulah, perasaan Jiang Yan terhadap Lin Kexing selalu ambigu—antara kekasih dan saudara, saling bercampur. Sebagai cerita bertema romansa, Jiang Yan juga digambarkan sangat perhatian terhadap Lin Kexing.
Tapi sekarang, ia justru bisa mengucapkan kata-kata seperti itu, mengatakan akan pindah dari rumah keluarga Lin dan tak akan bertemu lagi dengan Lin Kexing.
Lalu, sebenarnya Lin Kexing itu punya tempat sejauh mana di hatinya?
Selain merasa heran, lebih dari itu adalah rasa kecewa yang entah dari mana datangnya.
Kecewa terhadap Jiang Yan. Sebenarnya, orang seperti apa dia? Mau dibilang orang yang setia kawan, tahu berterima kasih—tapi sekarang bisa dengan mudah bilang tak akan bertemu Lin Kexing lagi. Mau dibilang mencintainya sangat dalam, tapi saat belum kehilangan dirinya, ia sangat buruk dalam menjaga batas. Baik terhadap dirinya maupun terhadap Lin Kexing, ia sangat mengecewakan.
“Jiang Yan,” Jiang Ruo Qiao juga tidak yakin apakah alur cerita telah menyimpang, “apa ibumu tahu soal ini?”
Ia berkata, “Apakah dia mengizinkannya?”
Jiang Yan tidak menyangka Jiang Ruo Qiao akan menyinggung ibunya saat ini. Ia pun tergagap sejenak, “Dia tahu.”
Jiang Ruo Qiao memutuskan untuk memberinya satu pengingat terakhir, “Aku dan kamu sudah bukan sepasang kekasih lagi. Jadi apa pun yang kukatakan, terserah kamu mau dengar atau tidak, anggap saja aku sedang meluapkan isi hati. Aku benar-benar harus bilang ini. Jiang Yan, aku pernah bilang, Lin Kexing itu menyukaimu. Dan ibumu pasti juga tahu soal itu. Pernahkah kamu pikirkan, saat ibumu menyuruhmu membawa Lin Kexing ikut liburan bersama kita, apa maksud sebenarnya? Setelah kejadian itu, dia bisa datang dari pusat kota untuk menjemput Lin Kexing, itu juga ada maksudnya. Dulu kamu bisa saja tidak paham, tidak sadar. Tapi mulai sekarang belajarlah lebih jeli, supaya lain kali tidak berakhir dengan putus lagi. Kamu akan menyakiti orang lain juga dirimu sendiri.”
Itu adalah nasihat tulus darinya.
Setelah berkata demikian, dia pun berdiri. “Jiang Yan, kamu tak perlu lagi mencariku ke mana-mana, tak perlu lagi berusaha menjelaskan atau memperbaiki. Kuharap apa yang kukatakan hari ini tidak membuatmu merasa bahwa masalah di antara kita masih bisa diperbaiki. Karena kita memang tidak cocok—ini tidak ada hubungannya dengan Lin Kexing. Tetap pada prinsip: berpisah baik-baik. Aku tidak ingin ini berakhir dengan buruk. Sampai di sini saja.”
Perpisahan memang sudah tak terhindarkan.
Dia pun punya alasannya sendiri. Tapi pada akhirnya, semuanya bermuara pada ketidakcocokan.
Seumur hidupnya, ia tak akan pernah bisa menerima pacar yang punya “adik angkat” seperti itu, apalagi kalau pacarnya sendiri tak punya batas yang jelas.
Belum lagi soal ibunya Jiang Yan... dia harus seberani apa untuk bersedia menyiksa dirinya dalam mode hard seperti itu?
Jiang Ruo Qiao pun pergi.
Ia pikir, pembicaraan kali ini sudah cukup jelas untuk membuat Jiang Yan paham situasinya.
Setidaknya ia tak akan lagi mencarinya ke mana-mana, juga tak akan mencoba memberi penjelasan.
Jiang Yan hanya diam berdiri seperti kehilangan jiwa. Kali ini, dia tidak mengejarnya.
Setelah Jiang Ruo Qiao keluar dari pandangan Jiang Yan, ia mengeluarkan ponsel dari tasnya dan menelepon Lu Yicheng.
Telepon cepat sekali tersambung.
Lebih cepat dari biasanya.
Suara Lu Yicheng terdengar tetap tenang seperti biasa, “Halo.”
Jarak dari danau ke gerbang taman cukup jauh, taman Danau Tengah memang sangat luas. Sambil berjalan, Jiang Ruo Qiao bertanya ringan, “Kamu dan Siyan belum makan kan? Aku sudah selesai, sekarang mau pulang. Kalian mau makan apa? Aku beli dulu, bawa pulang sekalian.”
Lu Yicheng menjawab, “Belum makan. Tapi tak usah repot-repot...”
Mereka sudah cukup lama berinteraksi. Walau menjaga jarak, mereka tetap saling memahami satu sama lain.
Jiang Ruo Qiao seakan tahu apa yang ingin ia katakan, memotongnya, “Jangan bilang kamu mau ke pasar beli bahan dan masak sendiri. Kalau nunggu kamu, kapan kita bisa makan?”
Lu Yicheng: “……”
“Baiklah. Terserah kamu,” ujarnya.
Jiang Ruo Qiao dalam hati: nah, gitu dong.
“Coba tanyakan ke Siyan, dia ingin makan apa.”
Lu Yicheng menjawab tanpa kompromi, “Apa pun yang dia ingin makan tidak boleh. Meskipun demamnya sudah turun, tapi tetap harus makan yang ringan dan bergizi.”
Jiang Ruo Qiao tak tahan dan tertawa, “Kok galak banget.”
Anak-anak zaman sekarang kalau sakit malah bisa makan yang biasanya dilarang.
Entah kenapa, saat mendengar suara tawanya dan candaan itu, telinga Lu Yicheng memanas, tapi wajahnya tetap serius. “Kemarin dokter sudah mengingatkan.”
Jiang Ruo Qiao memperpanjang nada bicara, berpura-pura serius mengiyakan, “Ah, dokter Lu benar. Oke deh. Jadi, dia boleh makan apa?”
Lu Yicheng: “……” Ia menggenggam ponsel, “Yang ringan. Mie boleh, bubur juga boleh. Kalau aku tidak salah ingat, di luar hotel ada warung mie ayam kampung, bisa belikan itu. Minum kuah ayam juga bagus.”
Jiang Ruo Qiao mengiyakan, “Oke, terus kamu mau makan apa?”
Lu Yicheng menjawab, “Apa saja.”
Jiang Ruo Qiao: …orang ini benar-benar gampang banget.
“Kalau begitu, aku bungkus beberapa lauk dan nasi dari sana, kita makan bareng.”
Lu Yicheng agak tertegun saat mendengar kata “kita”.
Saat ini taman Danau Tengah sangat ramai, karena matahari akan terbenam. Ada arena bermain anak-anak, ada juga para lansia yang menari di alun-alun, juga pasangan muda yang berjalan santai. Jiang Ruo Qiao berusaha menghindari keramaian, tapi ke mana pun ia pergi tetap banyak orang. Yang paling menjengkelkan, ada dua anak laki-laki sekitar sepuluh tahunan yang sedang main skuter elektrik, jelas belum lihai. Jiang Ruo Qiao mencoba menghindar, tapi tetap tertabrak. Bahkan anak yang satunya juga kehilangan kendali dan menabraknya dari arah lain.
Jiang Ruo Qiao: ...bahaya!
Benar saja, ia tak sempat menghindar, tertabrak dan ponselnya pun terlepas.
Ia hanya bisa menyaksikan ponselnya terinjak-injak.
Bagi Lu Yicheng yang mendengarkan lewat telepon, ia hanya mendengar jeritan Jiang Ruo Qiao, lalu suara aneh yang menyakitkan telinga, kemudian sambungan terputus.
Ia kaget bukan main.
Apa yang terjadi?
Ia berusaha menenangkan diri, lalu mencoba menelepon kembali, tapi suara operator otomatis mengatakan nomor yang anda tuju sedang tidak aktif.
Apa yang terjadi sebenarnya?
Jiang Ruo Qiao melihat layar ponselnya yang hancur berantakan seperti salju, langsung lemas! Ponsel barunya belum lama diganti, sekarang sudah rusak? Ia coba menyalakannya kembali, tapi tidak merespons. Gila! Ia ingin maki-maki! Menengadah, dua biang keladinya sudah kabur entah ke mana.
Anak macam apa itu!
Ia marah luar biasa.
Ia sempat ingin melapor ke pengelola taman, minta lihat rekaman CCTV untuk cari anak-anak itu dan minta ganti rugi... tapi urusannya pasti panjang. Bisa jadi akan ribut sama orang tua mereka. Ujung-ujungnya uang belum tentu dapat, malah tambah stres. Yang paling parah, dia juga tak tahu siapa yang injak ponselnya. Mau cari siapa?
Sial, benar-benar sial banget!
Jiang Ruo Qiao langsung menyalahkan pertemuannya dengan Jiang Yan tadi.
Kalau tidak ketemu, semuanya aman-aman saja!
Sementara itu di hotel, Lu Yicheng terus mencoba menelepon Jiang Ruo Qiao, tapi ponselnya tetap tidak aktif. Ia berusaha meyakinkan diri bahwa itu taman ramai, tak mungkin terjadi hal buruk, apalagi Jiang Yan bukan tipe orang seperti itu. Tapi di sisi lain, ia tak bisa mengendalikan rasa khawatirnya.
Teriakannya barusan.
Dan ponsel yang tiba-tiba mati.
Semua itu memicu pikiran buruk.
Lu Siyan yang sedang nonton kartun di tempat tidur, melihat ayahnya mondar-mandir dengan wajah tegang, alisnya nyaris bertaut. Ia ketakutan, diam-diam memindahkan remote TV, mengecilkan volume, lalu bertanya, “Ayah, kenapa?”
Lu Yicheng berhenti berjalan.
Ia sudah membuat keputusan. Ia simpan ponsel dan berkata pada Lu Siyan, “Siyan, ayah harus keluar sebentar. Kamu jangan ke mana-mana. Kecuali ayah dan ibu yang mengetuk, jangan buka pintu untuk siapa pun.”
Terhadap Lu Siyan, ia merasa cukup tenang.
Sebelumnya saat ia harus ke rumah murid untuk bimbingan, Siyan juga pernah ditinggal sendiri di rumah.
Siyan sudah diajari dengan baik, tahu apa yang boleh dan tidak boleh, tak pernah membuka pintu untuk orang asing, juga tidak pernah keluar rumah diam-diam.
Hotel ini juga punya reputasi bagus.
Lu Yicheng berusaha menenangkan diri, “Ayah segera kembali.”
Lu Siyan tampak cemas, “Ada apa?”
“Tidak apa-apa.” Lu Yicheng menjawab, “Mungkin ibumu sedang mengalami sedikit masalah. Ayah akan jemput dia
— 🎐Read only on blog/wattpad: onlytodaytales🎐—
Bab 49
Jiang Yan memandang Lu Yicheng dengan curiga.
Terutama karena Lu Yicheng dan Jiang Ruoqiao jelas sedang berbicara. Tapi dia sama sekali tidak ingat, bukankah dua orang ini tampaknya tidak terlalu akrab?
Dan lagi, kenapa Lu Yicheng ada di sini?
Lu Yicheng juga memandang Jiang Yan.
Tatapan mereka bertemu, dengan Jiang Ruoqiao di antara mereka. Tapi jarak antara Jiang Ruoqiao dan Lu Yicheng jauh lebih dekat dibandingkan dengan jaraknya ke Jiang Yan. Keramaian orang-orang yang lalu lalang seolah jadi garis pemisah antara dua dunia. Jiang Ruoqiao dan Lu Yicheng berada di satu sisi, sedangkan Jiang Yan berada di sisi yang lain.
Tatapan Lu Yicheng tetap tenang.
Kenapa dia ada di sini? Bagaimana dia bisa di sini?
Sebenarnya, pertanyaan ini mudah dijawab. Setelah Jiang Ruoqiao dan Jiang Yan putus, seharusnya dia sudah tidak perlu memikirkan ini lagi.
Jiang Ruoqiao melihat Lu Yicheng tidak berkata apa-apa, dan Jiang Yan pun melangkah mendekat. Dia lalu menatap Lu Yicheng lagi, dan entah bagaimana bisa langsung mengerti apa yang dipikirkan oleh pria itu saat ini.
Tapi, tak peduli nanti apakah Lu Yicheng dan Jiang Yan akan jadi teman atau tidak, setidaknya dia merasa, urusan putusnya dia dan Jiang Yan tidak boleh melibatkan Lu Yicheng.
Awalnya, semua ini memang tidak ada hubungannya dengan Lu Yicheng.
Hatinya yang masih menyisakan sedikit rasa bersalah berkata, jangan seret Lu Yicheng ke dalam ini, jangan sampai orang salah paham dan mengira dia ikut campur dalam hubungan temannya.
Pria yang begitu jujur dan lurus seperti dia, tidak seharusnya disalahpahami seperti itu.
Jiang Ruoqiao buru-buru berkata duluan, nadanya datar, “Kebetulan ketemu saja.”
Dia melihat jam tangannya. “Sudah tidak awal, aku masih ada urusan, aku pergi dulu.”
Setelah itu, dia tidak menoleh melihat ekspresi Jiang Yan, tapi sekilas melirik wajah Lu Yicheng, lalu tanpa ragu pergi dari gerbang taman itu. Jiang Yan ingin memanggilnya, tapi kemudian sadar bahwa dia sudah tidak punya hak untuk itu. Tatapannya redup saat melihat ke arah Lu Yicheng, masih tidak bisa menyembunyikan rasa penasarannya, “Direktur Lu, kenapa Anda ada di sini?”
Lu Yicheng tahu maksud dari ucapan Jiang Ruoqiao tadi.
Dia tidak mempermasalahkannya.
Tapi karena sikapnya sudah sejelas itu, dia pun tidak ingin berkata apa-apa lagi. “Ada urusan lewat sini saja.”
“Oh.” Jiang Yan bertanya lagi, “Kalian sedang bicara apa tadi?”
“Tidak bicara apa-apa,” jawab Lu Yicheng. Sikapnya agak dingin.
Jiang Yan memang merasa ada yang janggal, tapi sebenarnya apa yang membuatnya ragu, dia sendiri juga tidak tahu. Akhirnya, dia mencoba meyakinkan diri bahwa memang seperti yang dikatakan Direktur Lu, hanya kebetulan lewat. Walau tidak bisa dibilang akrab, tapi sebelumnya dia memang pernah membawa Ruoqiao ke acara makan bareng anak-anak satu asrama, beberapa hari lalu juga ke acara outbond di desa… jadi, meskipun bukan teman dekat, kalau ketemu seharusnya wajar saja untuk saling menyapa.
Lu Yicheng sempat ragu sebentar, lalu berkata, “Aku masih ada urusan, pamit dulu.”
Jiang Yan baru tersadar. “Oke. Silakan.”
Lu Yicheng pun pergi.
Jiang Yan berdiri sebentar di depan gerbang taman, lalu pergi ke arah yang sama sekali berbeda dari Lu Yicheng maupun Jiang Ruoqiao. Luka dan kesedihan karena putus tidak langsung terasa di saat itu juga. Seperti saat ini, walau pikirannya tahu mereka sudah putus, tapi tubuh dan alam bawah sadarnya belum bisa menyadari itu. Dia masih lamban... Jadi meskipun dia bisa melihat Ruoqiao pergi, ketika dia sudah menyeberang jalan dan duduk di dalam bus, lalu dari jendela bus melihat sebuah toko es krim handmade, rasanya seperti ada jarum menusuk ke dalam hatinya. Bukan rasa sakit yang tajam, tapi begitu jelas. Jarum itu akan makin dalam, dan saat dicabut nanti, pasti akan membuat luka yang parah.
Dia masih bisa terlihat tenang sekarang.
Hanya karena di lubuk hatinya masih ada suara yang berkata, jangan menyerah.
Selama pikiran itu masih ada, selama dia masih bisa melihatnya... rasa sakit karena putus bisa ditekan.
Jiang Ruoqiao tiba lebih dulu dari Lu Yicheng di kedai mie sup ayam yang disebut pria itu, dan memesankan semangkuk untuk Lu Siyuan.
Sambil menunggu mie-nya dimasak, dia pergi ke restoran terdekat dan memesan dua lauk daging dan satu sayur.
Semua di Beijing berjalan cepat, jadi mie-nya cepat selesai, dan koki di restoran juga segera menyelesaikan tiga menu masakan. Saat Jiang Ruoqiao masuk ke lobi hotel sambil membawa bungkusan makanan berat, dia melihat Lu Yicheng sedang berdiri di depan lift, menatap layar angka yang menunjukkan lantai dengan ekspresi melamun. Tapi saat pintu lift terbuka di lantai satu, dia tidak masuk, seolah sedang menunggu seseorang.
Jiang Ruoqiao pun berjalan mendekat.
Belum sampai dekat, pria itu sudah memalingkan pandangan dan menoleh ke arahnya.
Lu Yicheng bukan mendengar langkah kaki, tapi mencium aroma bunga yang manis dan lembut dari tubuh wanita itu lebih dulu.
Melihatnya membawa banyak bungkusan, dia mengulurkan tangan, maksudnya sudah jelas.
Jiang Ruoqiao menyerahkan makanan itu ke tangannya.
Dari tangannya ke tangannya, tak terelakkan ada sedikit sentuhan. Ujung jarinya menyapu telapak tangan pria itu. Lu Yicheng terdiam sejenak, lalu kembali tenang seperti biasa. Jiang Ruoqiao sendiri tidak menunjukkan reaksi apa-apa.
Mereka masuk lift bersama, Jiang Ruoqiao men-tap kartu kamarnya.
Dia sudah memesankan kamar harian untuk Lu Yicheng.
Waktu sewa masih belum habis. Dia sudah bilang ke resepsionis, dan kamar yang diberikan tepat di sebelah kamarnya.
Di dalam lift, mereka tidak bicara. Karena kejadian tadi memang membuat mereka agak canggung.
Untungnya, lift segera tiba di lantai tujuan. Mereka keluar berurutan dan menuju kamar yang dipesankan untuk Lu Yicheng. Lu Siyuan sudah menunggu di dalam, dan begitu melihat ayah ibunya pulang bersama, dia begitu senang sampai melompat-lompat di atas ranjang, sama sekali tidak seperti anak yang sedang sakit.
Mungkin karena terlalu senang, mie ayam yang ringan pun dimakan dengan sangat lahap oleh Lu Siyuan.
Jiang Ruoqiao dan Lu Yicheng duduk di kursi makan tiga lauk yang ia bungkus tadi.
Dua orang dan tiga masakan, jumlahnya pas.
Mereka tidak bicara, tapi dengan adanya Lu Siyuan, suasana tidak pernah benar-benar sepi. Anak itu melihat makanan di atas meja dan langsung meneteskan air liur sambil berteriak, “Curang! Curang! Kenapa ada tumis daging favoritku, dan kentang juga favoritku!”
Jiang Ruoqiao ingin menyendokkan beberapa untuknya.
Tapi Lu Yicheng dengan tenang berkata, “Makanan ini pakai cabai, dan terlalu berminyak serta asin. Tidak sehat, dia belum sembuh total.”
Jiang Ruoqiao mengangkat bahu dan berkata pada Lu Siyuan yang tampak memelas, “Tak bisa apa-apa, Dokter Lu tidak mengizinkan. Aku pun tak bisa apa-apa.”
Lu Yicheng: “……”
Tidak perlu mengejek dia dokter. Dia cuma menjalankan saran medis saja.
Lu Siyuan pun memalingkan wajah dengan enggan dan kembali menyantap mie-nya.
Sebagian besar waktu, Lu Siyuan memang anak yang cukup bisa diajak bicara.
Tapi baru beberapa detik dia diam, dia sudah angkat kepala dan bertanya pada Jiang Ruoqiao, “Mama, taman Huxin itu seru banget ya?”
Kalau dia tidak menyebutnya, tidak apa-apa. Tapi begitu dia menyebut taman Huxin, Jiang Ruoqiao dan Lu Yicheng langsung canggung.
Jiang Ruoqiao buru-buru mengalihkan pembicaraan, “Di masa depan, mama tidak pernah ajak kamu ke taman Huxin ya?”
Lu Siyuan menggeleng. “Tidak, aku belum pernah dengar juga!”
Jiang Ruoqiao berpikir, sepertinya taman itu nanti akan direnovasi atau diganti nama.
Ibu dan anak itu pun mengobrol ringan. Hari ini, demam Lu Siyuan sudah turun, dan Lu Yicheng juga bersiap membawanya pulang setelah waktu sewa kamar habis. Tinggal di hotel juga bukan solusi, dan dua hari lagi sekolah akan dimulai. Jiang Ruoqiao juga harus kembali ke asrama. Lu Siyuan tidak lagi memaksa harus bersama mamanya... dia merasa hotel juga tidak seru, tetap lebih enak tidur di ranjang rumah. Yang paling penting, dia sudah kangen mainan-mainan di rumah.
Setelah makan, Lu Yicheng langsung dengan sigap mulai membereskan sampah di meja.
Lu Siyuan pergi ke kamar mandi.
Jiang Ruoqiao tahu Lu Yicheng cukup peduli pada hal-hal seperti ini. Bagaimanapun, hubungan mereka sebenarnya tidak ada apa-apa, tapi beberapa hari ini memang terasa seperti sedang melakukan sesuatu diam-diam. Tapi ini juga tidak bisa dihindari. Nanti semuanya akan lebih baik. Soal hubungan antar laki-laki, dia tidak bisa ikut campur, dia hanya bisa berusaha bersikap sebaik mungkin, setidaknya di depan Lu Yicheng dia harus jadi orang yang pantas.
Dengan suara pelan, dia berkata, “Sepertinya dia sudah menerima kenyataan putus, aku dan dia memang sudah benar-benar selesai.”
Jadi, setelah ini tidak perlu merasa terbebani secara psikologis lagi.
Tapi anehnya, kenapa begitu diucapkan malah terdengar janggal?
Padahal dia cuma ingin menyampaikan fakta, bahwa dia dan Jiang Yan memang sudah selesai. Tapi kenapa setelah dikatakan, terdengar seperti “dia sedang melapor ke kekasih gelapnya”, eh, tidak, Lu Yicheng yang begitu bermoral tidak mungkin melakukan sesuatu yang bertentangan dengan nilai. Lebih tepatnya mungkin seperti “dia sedang menjelaskan pada suaminya yang sah bahwa dia tidak akan lagi berhubungan dengan orang yang tidak beres”??
Apa-apaan ini?
Benar-benar bikin gila.
Lu Yicheng mengangguk pelan, tampak seperti tidak mempermasalahkan itu sama sekali, terlihat sangat lapang dada.
Jiang Ruoqiao: gila, malah jadi makin aneh.
Dia pun menambahkan, “Kayaknya kejadian hari ini juga tidak ada apa-apa.”
Barulah Lu Yicheng meliriknya sebentar. Tapi akhirnya tidak berkata apa-apa.
Sudahlah, pada akhirnya, yang tersisa adalah urusannya dengan Jiang Yan.
Mereka sudah jadi teman sekamar dua tahun, dan cukup saling mengenal. Detail-detail kecil yang dulu tidak diketahui Jiang Ruoqiao—seperti waktu Jiang Yan ke rumahnya dan melihat botol semprot itu, atau waktu Jiang Yan tidak bisa menghubungi dia pakai dua HP temannya, tapi berhasil saat pakai HP Lu Yicheng—semua itu mungkin tampak biasa bagi Ruoqiao, tapi tidak bagi dia. Maka dari itu, meskipun dia kelihatan tenang, dia tahu, Jiang Yan akan segera sadar ada yang tidak beres. Dan itu tidak masalah. Dari dulu, dia sudah siap jika persahabatan mereka harus berakhir.
Dia tidak takut.
Dia tidak melakukan kesalahan, dan Ruoqiao juga tidak.
Jiang Yan tidak kembali ke apartemen Mingmen Huafu.
Hari ini terlalu banyak kejadian, dan dia belum bisa mencernanya, jadi dia asal saja menyewa sebuah kamar hotel.
Berbaring di tempat tidur, yang terngiang di kepalanya adalah kata-kata Ruoqiao tentang Kexing, tentang ibunya.
Tiba-tiba, banyak hal lain menyerbu pikirannya.
Yang pertama, botol semprot yang dia lihat di rumah Lu Yicheng saat pergi ke desa tempo hari.
Yang kedua, saat bermain truth or dare, kenapa Lu Yicheng tidak mau jawab siapa perempuan terakhir yang dia hubungi? Apa yang tidak bisa dikatakan?
Yang ketiga, kenapa waktu Du Yu dan Wang Jianfeng menelepon Ruoqiao, dia menolak semua, tapi begitu pakai HP Lu Yicheng, dia langsung angkat? Apa benar karena dia tidak menyimpan nomor itu jadi mengira itu telepon asing?
Dan juga hari ini.
Hari ini benar-benar aneh.
Meskipun bisa saja dijelaskan sebagai pertemuan kebetulan, tapi tetap saja ada yang tidak beres.
Apa yang tidak beres?
Jiang Yan tiba-tiba duduk tegak.
Ekspresi wajah.
Ya, ekspresi wajah.
Kalau cuma ketemu dan menyapa, kenapa wajah mereka tidak menunjukkan ekspresi kaku atau canggung seperti orang yang tidak akrab, malah... malah terasa seperti sangat mengenal satu sama lain?
Ada yang tidak beres. Sangat tidak beres.
Saat terpikir kemungkinan yang paling tidak ingin dia bayangkan, ekspresi wajah Jiang Yan pun menjadi kelam dan rumit.
— 🎐Read only on blog/wattpad: onlytodaytales🎐—
Bab 50
Saat itu waktunya Jiang Ruoqiao kembali ke kampus. Ia telah mengosongkan kamar tempat tinggalnya dan berjanji akan datang ke kampus bersama Yun Jia dan teman-teman satu kamarnya.
Tidak semua asrama seramai kamar mereka.
Ada mahasiswa yang rumahnya jauh, jadi akan datang beberapa hari lebih lambat. Ada juga yang harus mengurus urusan keluarga dan menunda kepulangan. Dibandingkan dengan itu, kamar mereka jadi tampak sangat hidup. Keempat orang sudah lengkap, dan sepanjang pagi semuanya sibuk: ada yang mencuci seprai, ada yang merapikan meja belajar, ada juga yang menggantung kelambu. Mereka semua sibuk dengan urusan masing-masing. Baru menjelang siang, pekerjaan itu selesai sementara, dan mereka berempat sepakat pergi makan siang bersama di kantin.
Mata kuliah semester pertama tahun ketiga ini tidak terlalu banyak.
Dalam satu minggu, hanya ada satu hari yang jadwalnya penuh.
Malam sebelumnya, Jiang Ruoqiao menerima email dari bagian HR perusahaan yang menyatakan bahwa ia sudah bisa mulai bekerja. Perusahaan sudah tahu kondisinya sejak awal rekrutmen, bahwa ia tidak akan bekerja penuh waktu, hanya sebagai pekerja paruh waktu. Gaji dan bonus yang ia terima pun sesuai porsi paruh waktu. HR menyampaikan bahwa ia akan berkoordinasi langsung dengan supervisor, dan pekerjaan akan disesuaikan dengan jadwal kuliahnya.
Semua ini berjalan jauh lebih lancar dari yang ia bayangkan.
Memang gaji pokok pekerja paruh waktu tidak tinggi, dan persentase bonusnya pun lebih kecil dari pegawai tetap. Tapi ia sudah mencari informasi, baik dari internet maupun dari kakak tingkat yang berpengalaman. Perusahaan sebesar ini tidak akan kekurangan pekerjaan, jadi selama ia rajin, pendapatannya akan cukup ideal.
Awal semester ini juga bertepatan dengan hari ulang tahun Jiang Ruoqiao.
Ia lahir di akhir Agustus.
Tiga teman sekamarnya sedang memikirkan bagaimana merayakan ulang tahunnya. Sebenarnya ulang tahun itu tiap tahun ada, dan di kamar mereka sudah menjadi kebiasaan: tiga orang patungan beli kue, dan si yang ulang tahun mentraktir makan. Jiang Ruoqiao teringat janjinya dengan Lu Siyuan, lalu berkata, "Aku ada acara malam ini, jadi makan-makannya kita majukan ke siang, ya."
Yun Jia memeluk lengan Jiang Ruoqiao dan menangkap sesuatu yang mencurigakan, “Pasti mau kencan, ya?”
Luo Wen seperti biasa langsung memotong topik, “Jangan-jangan sama Jiang Yan?”
Yun Jia langsung menepuk kepala Luo Wen, “Ih, jangan rendahan banget dong! Jiang Ruoqiao siapa coba? Dia tuh tipe orang yang gak akan pernah balikan sama mantan!”
Luo Wen cemberut, “Aku cuma nanya doang, kok langsung dipukul sih.”
Jiang Ruoqiao mendekat, “Sini, sini, kakak tiupin biar gak sakit~”
Luo Wen: “Ihh, geli!”
“Tapi bener juga sih,” kata Jiang Ruoqiao, “Yun Jia ada benarnya. Balikan sama mantan, itu sih cari masalah. Tenang aja, malam ini memang ada urusan, tapi bukan dengan cowok.”
Menurutnya itu jawaban yang benar.
Si bocah Siyuan itu sekarang baru anak kecil, belum bisa dibilang laki-laki.
Yun Jia malah terlihat kecewa, “Oh, bukan sama cowok ya…”
Jiang Ruoqiao: “Eh, jangan begitu dong!”
Sementara itu, Lu Yicheng sedang membantu Lu Siyuan pindahan.
Pindahan itu kerjaan fisik yang melelahkan dan ribet, tapi untungnya dalam sehari mereka berhasil menyelesaikannya. Mereka pindah ke sebuah rumah kecil di dekat kampus A. Setelah selesai, Lu Siyuan akhirnya punya waktu untuk bilang pada ayahnya bahwa ia ingin pergi ke kota untuk beli hadiah ulang tahun buat ibunya.
Lu Yicheng meliriknya, “Hadiah ulang tahun? Kamu punya uang?”
Lu Siyuan menggosok-gosokkan tangannya, memasang ekspresi manja khas anak lima tahun yang lucu dan menggemaskan.
“Ayah, pinjemin duit dong~ ayah baik~” Lu Siyuan bahkan mulai nyanyi lagu "ayah baik, ayah jahat", “Aku punya ayah yang baik, masak bunyi cling-clang cling-clang~ cuci baju ciush-ciush ciush-ciush~”
Kulit kepala Lu Yicheng mulai gatal.
Ia mengangkat tangan, “Udah, udah, jangan nyanyi lagi. Nanti tetangga protes.”
Lu Siyuan tertawa lebar, memperlihatkan lesung pipi yang menggemaskan.
Lu Yicheng langsung teringat Jiang Ruoqiao.
“Pinjam berapa? Kapan balikin?” Lu Yicheng sengaja menggodanya.
Lu Siyuan: “…Aku gak tahu, seribu deh.”
Lu Yicheng: “Nggak ada.”
Lu Siyuan coba nawar, “Lima ratus?”
Lu Yicheng tetap diam sambil tersenyum.
Akhirnya Lu Siyuan makin frustasi, “Tiga ratus?”
Masih tidak dijawab.
Lu Siyuan pasrah, “Ya udah, Ayah deh yang tentuin mau pinjemin berapa!”
Lu Yicheng tersenyum, “Seratus.”
Lu Siyuan berteriak ke langit, “Ayah, kamu pelit banget! Mama tahu gak sih kamu pelit gini? Gimana sih kamu bisa dapetin mama waktu itu?!”
Lu Yicheng tidak menjawab. Pikirannya sederhana: melihat penampilan Jiang Ruoqiao, ia bukan tipe orang yang kekurangan barang. Kalaupun kekurangan, harganya pasti di luar jangkauan. Menghabiskan ratusan ribu untuk beli sesuatu yang sudah ia punya jelas gak masuk akal. Tapi yang terpenting: ini kesempatan mendidik anak—bahwa hadiah bukan soal harga, tapi soal niat.
“Mau gak?” tanya Lu Yicheng.
Lu Siyuan menunduk, “...Mau.”
Ia bahkan gak punya seratus ribu.
Lu Yicheng serius, “Tadi kamu bilang pinjam, jadi harus ada surat utang.”
Lu Siyuan: “?”
Seriusan?? Harus bayar balik beneran??
Ia melotot tak percaya.
Lu Yicheng tetap tenang, “Masa kamu bilang pinjam tapi gak berniat balikin?”
Lu Siyuan refleks membantah, “Nggak! Aku nggak gitu kok!”
Cuma... dia menyesal, kenapa gak langsung minta uang jajan aja?
Lu Yicheng bisa menebak isi kepalanya, lalu berkata, “Kalau kamu bilangnya uang jajan, Ayah akan kasih dan gak perlu balikin. Tapi kamu bilangnya pinjam, jadi ya harus balikin. Ngerti?”
Lu Siyuan mengerti.
Ia menyesal, kenapa harus sok formal tadi?
Mau gak mau, ia menulis surat utang pertama dalam hidupnya. Banyak huruf yang belum bisa ia tulis, tapi karena ia sudah bisa mengeja sedikit, dengan bimbingan ayahnya, surat itu pun selesai.
Tanggal pengembalian?
Tiga belas tahun lagi.
Pas umur 18, sudah dewasa, bisa kerja.
Mereka pergi ke kota. Di pusat perbelanjaan kecil, dengan bekal 100 ribu, Lu Siyuan muter-muter dan akhirnya masuk toko pernak-pernik. Ia membeli jepit rambut untuk Jiang Ruoqiao—jepit manis berhias ceri yang tampak seperti sungguhan. Lu Yicheng syok: jepit sekecil itu kok bisa 98 ribu?? Tapi ia tetap membayar dan tambah sedikit untuk bungkus kado.
Meski begitu, Lu Siyuan masih tampak murung, “Ini mungkin jepit paling murah yang mama punya.” Ia mengepalkan tangan, “Nanti aku akan cari uang sendiri, kasih mama yang terbaik!”
Lu Yicheng: “?”
Jepit 98 ribu masih dibilang murah?
Malam harinya, Jiang Ruoqiao datang ke rumah sewa Lu Yicheng membawa sisa kue ulang tahunnya.
Tiga teman sekamar membelikan kue delapan inci. Mereka berempat semua sedang jaga gula, jadi banyak yang tersisa. Dulu biasanya kue sisa dibuang saja, tapi sekarang ia merasa sayang. Ia mulai merasa terpengaruh oleh Lu Yicheng—sayang membuang makanan.
Bahkan ada teman sekelas yang juga kasih kue ulang tahun, tapi karena semuanya laki-laki, dan ia tidak ingin membawa kue dari cowok lain ke rumah Lu Yicheng, akhirnya tidak dibawa.
Ia memesan makanan lewat aplikasi saat dalam perjalanan. Begitu sampai, pesanan datang: pizza 12 inci, empat pasang chicken wings, pasta kesukaan Lu Siyuan, dan nasi panggang keju untuk Lu Yicheng.
Lu Yicheng: “?”
Kebanyakan.
Gimana cara ngabisinnya?
Sementara itu, Jiang Ruoqiao cuma makan apel. Saat ditanya kenapa gak makan malam, ia menjawab, “Siang makan western sama teman, sore makan kue, minum milk tea. Kalori hari ini udah kebanyakan. Malam cuma bisa makan apel.”
Kalau ada timun, mungkin apelnya pun ia tolak.
Lu Yicheng: “…”
Dia benar-benar gak paham cewek.
Padahal udah kurus banget, kenapa masih begitu?
Jiang Ruoqiao menjelaskan, “Kamu tahu kan aku jadi model di toko hanfu. Meskipun foto bisa diedit, tetap saja kalau kurusan itu lebih fotogenik. Aku anggap ini profesionalitas.”
Tapi dia juga tahu: terlalu kurus juga gak baik. Ia ingin kurus sehat, bukan kurang gizi.
Lu Yicheng mengangguk.
“Aku selalu medical check-up tiap tahun.” Ia tersenyum, “Tenang aja, aku sayang nyawa kok.”
Lu Yicheng ikut tersenyum.
Lu Siyuan sangat senang malam itu. Ada kue, pizza, chicken wings, pasta! Kalau bisa, ulang tahun mama tiap hari!
Sebelum potong kue, ia meminta ayahnya nyalakan lilin, “Mama, buat satu permohonan lagi, ulang tahun loh!”
Jiang Ruoqiao menuruti. Lu Yicheng menyalakan lilin dan mematikan lampu ruang tamu. Seketika ruangan hanya diterangi cahaya lilin. Jiang Ruoqiao menutup mata, membuat permohonan sambil tersenyum manis. Lesung pipinya terlihat jelas dalam cahaya lembut.
Apa yang ia doakan?
Siangnya ia sudah mendoakan kesehatan keluarga dan berharap rezeki lancar.
Tapi sekarang, dengan Lu Siyuan di sisinya, ia merasa hangat.
Kali ini, ia berdoa: Kalau permohonan bisa dikabulkan, semoga anakku tumbuh sehat dan kuat.
Selesai tiup lilin dan potong kue, Jiang Ruoqiao duduk memandangi Lu Siyuan makan sambil menopang dagu dan tersenyum.
Lu Yicheng ke dapur untuk ambil sarung tangan dan air minum. Saat itu, ponselnya bergetar.
Notifikasi dari grup kamar.
Jiang Yan menyebutnya:
【@Lu, Lu-zong, kami bertiga sekarang di jalan makanan kecil. Ayo gabung, traktiran saya.】
Lu Yicheng keluar dari dapur, berdiri di pintu dan menatap Jiang Ruoqiao yang sedang mencolek krim kue dan menempelkannya ke alis Lu Siyuan sambil tertawa keras. Suara tawanya memenuhi ruangan. Ia pun ikut tersenyum.
Ia mengetik:
【Maaf, ada urusan malam ini.】
Di tempat lain, Jiang Yan duduk di warung kaki lima.
Du Yu dan Wang Jianfeng sedang ngobrol, suasananya ramai.
Tapi saat membaca pesan Lu Yicheng, semua suara itu seakan menghilang. Jiang Yan mengepalkan tangan di bawah meja. Wajahnya tegang, mata gelap.
Waktu sudah larut. Jiang Ruoqiao juga tak mungkin tinggal lama.
Setelah Lu Siyuan kenyang, ia melihat jam. Sudah hampir jam sembilan. Ia harus kembali ke asrama.
Lu Yicheng ikut berdiri.
Lu Siyuan mengelus perutnya, “Mama pulang malam sendirian tuh gak aman. Papa, antar mama ya!”
Awalnya Jiang Ruoqiao ingin menolak, tapi teringat kabar dari senior cewek yang baru-baru ini diganggu pria cabul di jalan malam. Pria itu bahkan sempat membuka celana. Meski akhirnya kabur, kejadian ini membuat semua mahasiswa waspada.
Lu Yicheng juga tahu kasus ini. Mereka saling berpandangan.
Lu Yicheng mengangguk, “Aku antar, deket kok.”
Jiang Ruoqiao bukan tipe sok jual mahal, jadi ia mengiyakan, “Terima kasih, ya.”
Mereka berdua mengingatkan Lu Siyuan.
Lu Siyuan mengacungkan jempol, “Tenang, aku gak ke mana-mana. Siapa pun datang gak aku bukain pintu. Gak ke dapur, gak main colokan listrik, gak ngintip ke luar. Aku bakal duduk di sofa sampai Papa balik.”
Jiang Ruoqiao dan Lu Yicheng: “…”
Begitu mereka keluar, mereka mempercepat langkah. Keduanya sama-sama khawatir meninggalkan Lu Siyuan sendirian.
Begitu masuk kampus, barulah mereka memperlambat langkah dan mengobrol soal masa depan.
Lu Yicheng tahu Jiang Ruoqiao akan selesai kontrak modeling di toko hanfu akhir tahun dan akan mulai kerja paruh waktu sebagai penerjemah.
Jiang Ruoqiao juga tahu Lu Yicheng setuju membantu perusahaan seniornya.
“Terus terang, aku baru sadar ternyata biaya membesarkan anak tuh mahal banget.” katanya. “Ada senior yang anaknya minum susu formula sejak lahir, sebulan bisa habis delapan kaleng. Harganya 400–500 ribu per kaleng. Satu bulan aja 4 juta cuma buat susu!”
Biasanya ia gak suka banyak cerita ke orang lain, tapi dengan Lu Yicheng rasanya nyaman. Ia merasa dimengerti.
Lu Yicheng juga mengangguk, “Bener. Anak kecil itu mahal banget.”
Jiang Ruoqiao tertawa, “Tapi untungnya sekarang Siyuan udah gak pakai popok, gak minum susu mahal. Jadi lumayan hemat lah, hahaha!”
Ia menoleh, tertawa riang. Matanya berbinar.
“Menurutmu ini termasuk mentalitas Ah Q gak sih?”
Lu Yicheng ikut tertawa, “Bisa juga.”
Tak lama, mereka sampai di depan gedung asrama putri.
Karena belum semua mahasiswa balik, tempat itu agak sepi.
Saat mereka hendak berpamitan, tiba-tiba seseorang muncul dari bayangan.
Itu adalah Jiang Yan.
Ia menatap dua orang yang sedang tertawa bahagia itu dengan ekspresi datar.
— 🎐Read only on blog/wattpad: onlytodaytales🎐—
***
Comments
Post a Comment