His Canary – Bab 62-70 (TAMAT)

Bab 62-70

***


HIS CANARY - BAB 62: YAN'AN FANWAI (1)

Yan Ningshuang selalu mengira dirinya adalah seorang putri,

Kemudian, dia bertemu An Chengfeng,

Lalu dia menyadari,

Putri yang merasa benar sendiri itu,

Di mata orang yang dia sukai—hanyalah seorang penyihir jahat.

Dan dua perasaan yang dulu dia kira membahagiakan,

Ternyata hanyalah rasa suka sepihak darinya saja.

...

Yan Ningshuang adalah putri yang paling disayangi dalam keluarganya, namun sikapnya memang aneh sejak kecil.

"Shuangshuang, sepupumu datang untuk bermain denganmu, bagaimana bisa kamu mengacuhkannya?"

"Dia menangis terus, aku tidak suka bermain dengannya."

"..."

"Shuangshuang, guru di taman kanak-kanak bilang kamu membuat siswa laki-laki menangis lagi hari ini. Kamu tidak boleh seperti ini terus."

"Aku benar kok, dia duluan yang menggoda Xiaomeng di sebelahku."

"Lalu kenapa kamu malah membuat Xiaomeng menangis juga?"

"Soalnya dia terlalu penakut, aku tidak suka orang seperti itu."

"..."

Terlalu banyak kejadian seperti itu. Lama kelamaan, anak-anak di sekitarnya tidak suka mengajaknya bermain. Bahkan sepupunya, Fu Wanmeng, mulai menjauh darinya. Perlahan, dia pun jadi sendiri.

"Shuangshuang, kamu tidak bisa selalu seperti ini, nanti tidak akan ada yang mau bersamamu, apalagi di luar sana."

"Aku tahu, tapi aku memang tidak mau mengubahnya."

"Tapi kalau begini, anak-anak lain tidak akan berani bermain denganmu!"

Yan Ningshuang mengangkat wajah cantiknya seperti boneka, memandang ibunya dan berkata dengan keras kepala, "Kalau begitu aku akan bermain sendiri saja!"

Meski saat itu matanya penuh air mata, matanya yang jernih berkedip beberapa kali, tapi dia tetap tak mau melunak. Karena itu, dia lama sendiri, sampai akhirnya dia bertemu dengan An Chengfeng.

"Heh? Kamu boneka ya?"

Saat pertama kali bertemu An Chengfeng, Yan Ningshuang merasa dia seperti matahari kecil yang hangat. Ia suka tertawa dan tidak takut dengan orang asing. Baru kenal sebentar, ia sudah menariknya ke sana kemari menjelajahi setiap sudut rumah.

"Shuangshuang, kamu suka Kak Chengfeng?"

Yan Ningshuang mengangguk.

"Nanti kamu akan menikah dengan Kak Chengfeng?" Kakek An tersenyum dan mengusap kepala Yan Ningshuang. Tatapannya penuh kasih sayang. Ia menyukai anak ini bukan hanya karena wajahnya, tapi juga karena kecerdasannya dan karakternya.

Gadis seperti ini adalah berkah bisa tumbuh bersama cucunya.

"Apa itu menikah?" Yan Ningshuang masih terlalu kecil saat itu. Ia tidak mengerti arti "menikah", hanya bisa menatap kakeknya dengan bingung.

Kakek Yan duduk di sebelah Kakek An sambil minum teh. Saat melihat mata cucunya yang bening, dia tersenyum dan berkata, "Selama kamu suka kakakmu, kamu bisa menikah dengannya. Menikah itu artinya bersama selamanya."

"Jadi Shuangshuang, kamu mau selalu bersama Kak Chengfeng di masa depan?"

Hidup terlalu panjang, meski Yan Ningshuang cerdas sejak kecil, dia tidak tahu seberapa panjang hidup itu.

Dia mendengar kata-kata Kakek Yan, lalu ketika berpikir, matanya tanpa sengaja bertemu dengan An Chengfeng yang berdiri di samping Kakek An, dan dia melihatnya menggaruk kepala sambil menyunggingkan senyum lebar.

Senyum... yang sangat cerah, tanpa kepura-puraan.

Senyum itu seolah mekar hanya untuknya, bersinar seperti matahari di langit, dalam waktu yang lama, menyinari hati Yan Ningshuang yang keras kepala dan sepi.

Meskipun sinar matahari yang hangat itu kelak berubah menjadi panas yang menyakitkan, yang membuatnya terluka, dia tidak pernah melupakan getaran yang dibawa senyum itu padanya.

"Aku mau."

Yan Ningshuang kecil memandang An Chengfeng dan berkata, "Aku suka Kak Chengfeng. Aku ingin selalu bersamanya."

"..."

Yan Ningshuang dan An Chengfeng sangat dekat satu sama lain. Meskipun Yan Ningshuang memiliki sifat seperti duri es, ketika dia terus-menerus membentur An Chengfeng, dia tetap bisa tertawa, sampai akhirnya sifat kecilnya membuat An Chengfeng benar-benar kesal, dan dia memilih mengabaikannya untuk sementara.

"Aku tidak salah. Kan kamu yang memecahkan vas milik Kakek An. Kamu salah, kenapa aku tidak boleh bilang ke Kakek An?"

Yan Ningshuang berdiri di belakang An Chengfeng dengan gaun putih seperti putri. Dia melihat An Chengfeng terus membelakanginya dan menolak bicara padanya. Dia menginjak tanah dengan cemas, "Kak Chengfeng!"

"..." An Chengfeng mengabaikannya. Dia jongkok, menunduk menggambar lingkaran di tanah dengan jarinya, sambil mengeluh dalam hati.

Cuma mecahin vas, apa nggak bisa pura-pura nggak tahu? Harus banget lapor ke kakek, pantatku sakit!

"Kak Chengfeng, kamu benar-benar tidak mau bicara denganku?"

Kalau mengabaikan ya sudah, kamu tahu kan kalau kamu ngaduin aku, aku bakal ngambek!

Semakin dipikir, dia semakin kesal, sambil mengelus pantatnya yang sakit dan menggerutu, "Aku benci banget!"

Itu murni keluhan, dia tidak bermaksud apa-apa ke siapa pun, dan suaranya pun kecil, tapi Yan Ningshuang yang berdiri di belakangnya mendengar dengan jelas.

"Kalau kamu ngacuhin aku, aku bakal pergi. Aku nggak bakal nyari kamu lagi!"

Yan Ningshuang benar-benar sedih. Air mata memenuhi matanya. Untuk pertama kalinya sejak kecil, dia merasa sangat tersakiti. Melihat An Chengfeng belum juga menoleh, dia pun lari pulang sambil menangis keras.

"Shuangshuang!"

Yan Ningshuang merasa sangat tersakiti. Dia terus menangis, berkata berulang kali bahwa dia tidak salah. Saat itu, dia mendengar langkah kaki tergesa di belakangnya, lalu mendengar suara seseorang memanggilnya.

"Shuangshuang, jangan lari, tunggu aku!"

Dia mengusap air matanya dan menghentikan langkah. Saat menoleh, dia melihat An Chengfeng mengejarnya sambil terengah-engah. Setelah melihat dia menoleh, An Chengfeng berhenti dengan canggung dan berkata, "Kamu, berhenti menangis."

"Kamu bilang kamu benci aku, kamu ngacuhin aku!"

"Yah, aku cuma marah, ngomong sembarangan doang, nggak serius."

"Aku nggak ngacuhin kamu, kita tetap teman baik." Lalu, dia mencari-cari di sakunya, akhirnya mengeluarkan segenggam bunga merah muda kecil berkelopak banyak dari sakunya dan menaruhnya di telapak tangan Yan Ningshuang dengan senyum bangga. "Ini buat kamu."

"Tapi bunganya botak dan jelek, kenapa kamu kasih ke aku?"

Meski Yan Ningshuang bilang begitu, dia tetap menerima bunga itu dengan hati-hati, dan secara tidak sengaja kelopaknya terjatuh dari tangannya. Dia berkata panik ke An Chengfeng, "Kak Chengfeng, tolong ambilkan kelopak itu, jangan sampai ditiup angin!"

"Oke, oke, aku tahu!"

An Chengfeng memungut kelopak bunga dan meletakkannya di telapak tangannya, lalu menaruh tangan kecil di bawah tangan Yan Ningshuang dan menopang bunga itu bersamanya. Keduanya saling memandang lama.

"Heh, kamu tahu nggak kenapa aku mecahin vas itu?"

Yan Ningshuang menggeleng dan terus menatap bunga itu, seolah-olah sangat serius menghitung kelopaknya.

"Soalnya bunganya cantik, aku pengen petik buat kamu, tapi aku nggak bisa ngambilnya."

"..."

Jantung Yan Ningshuang berdetak kencang tiba-tiba. Dia menatap An Chengfeng dengan bingung, melihat matanya yang gelap menatapnya dengan sedih, membuatnya merasa seperti dia telah melakukan sesuatu yang salah…

"Aku, aku nggak salah." Dia tetap pada prinsipnya, meskipun dia memecahkan vas, itu untuk memberinya bunga.

"Oke, oke, aku nggak nyuruh kamu minta maaf kok."

An Chengfeng menjulurkan lidah dan tersenyum lebar. "Kita baikan ya, besok kamu main lagi sama aku!"

"..."

Saat itu mereka berdua masih sangat kecil, tapi An Chengfeng memperlakukannya seperti putri, selalu sabar menghadapi sifat keras kepalanya. Meski anak-anak lain tidak suka bermain dengannya, An Chengfeng selalu baik padanya. Bahkan dia sering menggandeng tangannya menjelajahi berbagai tempat bermain di kompleks vila, dan dengan tegas bilang ke anak-anak lain, "Shuangshuang itu sahabatku, dia nggak jahat sama sekali!"

"Shuangshuang itu lucu, kenapa kalian nggak mau main sama dia?"

"Heh, kalau kalian kabur saat lihat Shuangshuang, aku nggak mau main sama kalian lagi!"

"..."

Berkat usaha An Chengfeng yang terus-menerus, beberapa anak akhirnya mau menerimanya lagi. Mereka mulai mencoba bermain dengannya, tapi Yan Ningshuang justru merasa tidak senang.

"Aku nggak mau main sama mereka. Aku cuma mau main sama Kak Chengfeng ..." Meski bermain bersama, anak-anak itu tetap menjaga jarak dari Yan Ningshuang. Dan karena punya lebih banyak teman, An Chengfeng jadi tidak bisa hanya memperhatikannya. Ia sering bercanda dan tertawa dengan teman-teman lain, sampai-sampai ketika dia memanggilnya beberapa kali, dia tidak mendengar.

"Huwaa—"

Dia sedang kesal melihat An Chengfeng, saat itu tiba-tiba seorang gadis kecil berlari melewatinya. Mungkin karena kakinya terlalu panjang, atau mungkin dia berlari terlalu cepat tanpa melihat ke depan. Dia menginjak kaki Yan Ningshuang dan jatuh ke tanah. Dia menangis keras sekali.

"Ada apa ini?"

Anak-anak di sekitarnya menyadari kejadian itu, dan An Chengfeng yang paling besar dan paling dewasa di antara mereka langsung membantu gadis kecil itu berdiri dan menenangkannya.

"Jangan nangis." An Chengfeng mengobrak-abrik sakunya, tidak menemukan tisu, jadi dia mengusap air mata gadis itu dengan lengan bajunya.

Entah kenapa, melihat adegan itu membuat hati Yan Ningshuang terasa sangat tidak nyaman. "Nangis apaan sih, siapa suruh kamu lari sekencang itu!"

Jatuhnya tidak terlalu parah. Yan Ningshuang tidak mengerti kenapa gadis itu bisa menangis begitu keras, jadi dia berkata dengan jijik, "Kamu tuh manja banget."

Dia belajar itu dari An Chengfeng. Setiap kali dia menangis karena ulahnya, sebelum dibujuk, An Chengfeng selalu bilang dia manja, tapi dia tampaknya paham kata itu.




— 🎐Read on onlytodaytales.blogspot.com🎐—


HIS CANARY - BAB 63: YAN'AN FANWAI (2)

Tangisan gadis ini benar-benar mengganggu!

Yan Ningshuang merasa bahwa dia jauh lebih baik daripada gadis ini, setidaknya dia jatuh dan mematahkan kakinya tanpa menangis!

"Ini semua salahmu, ini salahmu!" Ketika gadis itu mendengar Yan Ningshuang berkata demikian, dia menangis lebih keras, menarik pakaian An Chengfeng dan berkata dengan marah. "Jelas dia tersandung padaku!"

Begitu ucapan ini keluar, semua mata tertuju pada Yan Ningshuang.

Anak-anak pada usia itu masih sangat sederhana. Gadis itu memang berlari terlalu cepat. Dia tidak menyadari kaki Yan Ningshuang, tetapi dia merasakannya saat kakinya menginjak kakinya.

Dan ini bukan pertama kalinya Yan Ningshuang mengganggu orang lain dan membuat mereka menangis, dan baru saja dia menertawakannya di depan begitu banyak orang, jadi reaksi pertama gadis itu adalah menganggap dia sengaja mengerjainya.

"Kamu, kamu berbohong!"

Yan Ningshuang yang pertama kali difitnah. Dia mengabaikan pandangan curiga dari anak-anak di sekitarnya dan dengan tegas berkata, "Jelas kamu tidak hati-hati, jangan salahkan orang lain."

"Aku bodoh sekali sampai mati, tidak ingin menyalahkanmu!"

"Itu kamu, kamu yang tersandung padaku!" Gadis itu semakin panik, tangisannya semakin keras, akhirnya menarik perhatian orang dewasa di sekitar.

Jika ada orang dewasa, segala sesuatunya akan jauh lebih mudah ditangani. Orang dewasa membawa anak-anak mereka pergi. Mereka yang belum pergi juga beralih bermain di tempat lain. Tempat yang tadinya ramai mendadak sepi, hanya tersisa Yan Ningshuang dan An Chengfeng.

"Baiklah, kita juga pergi."

An Chengfeng mengangkat bahu dengan putus asa dan hendak memegang tangan Yan Ningshuang, tetapi dia tidak bergerak.

"Ada apa?" An Chengfeng melihatnya dengan sedikit bingung.

Yan Ningshuang tetap berdiri tegak, dagunya terangkat dengan bangga, matanya yang besar cerah dan jernih, tetapi dia perlahan-lahan dikelilingi oleh kabut air mata.

"Aku tidak menjatuhkannya."

Dia menggenggam tinjunya dan berusaha untuk tidak menangis. Dia terus menatap An Chengfeng dengan cermat.

Tidak ada satu pun dari anak-anak yang mempercayainya, dan tidak ada satu pun orang dewasa yang datang yang mempercayainya. Mereka melihat matanya penuh dengan tuduhan dan ketidakpuasan, Yan Ningshuang melihat dengan jelas, mereka tidak menyukainya.

Tidak, ada satu pengecualian.

"Baiklah, aku percaya padamu!" An Chengfeng mengusap kepalanya seperti orang dewasa, menghiburnya. "Kita abaikan mereka dulu. Aku akan menjelaskan semuanya besok."

"Tidak perlu."

Yan Ningshuang mengusap matanya dan terlihat angkuh. "Mereka suka atau tidak, pokoknya mereka tidak suka aku, dan aku juga tidak suka mereka."

Begitulah dirinya, sejak kecil.

Mungkin pada awalnya dia tidak tahan dengan kecurigaan dan penolakan dari orang lain, tetapi kemudian dia terbiasa dan melepaskannya.

Tidak masalah, lagipula itu orang-orang yang tidak penting, asalkan orang yang aku pedulikan mempercayai aku.

"Shuangshuang, kamu tidak bisa seperti ini."

An Chengfeng akhirnya menariknya. Mereka berdua berjalan bersama, An Chengfeng mulai cerewet dan mendidiknya seperti orang dewasa kecil, "Kamu harus mengubah sifatmu, kalau tidak kamu tidak akan punya teman."

"Aku tidak perlu kalau tidak bisa, aku punya kamu kok!"

An Chengfeng merasa senang dan tersenyum bahagia. "Apa kamu cuma mau jadi temanku?"

"Aku hanya akan memberikannya padamu. Aku tidak suka siapa pun kecuali kamu!"

Satu adalah saudara perempuan yang angkuh dan sombong, yang lainnya adalah anak muda yang ceria dan baik hati dari sebelah rumah. Keduanya berjalan berpegangan tangan bersama. Selama tawa mereka, sinar matahari menarik bayangan keduanya yang sangat panjang.

"Saudara Chengfeng." Suara gadis itu terdengar dari angin.

"Tidak peduli apa yang orang lain pikirkan tentang aku di masa depan, kamu harus tetap berada di sisiku, oke?"

An Chengfeng membengkokkan ranting willow di bagian bawah pohon willow dan mengambilnya dengan santai di tangannya.

Dia baru saja lebih memperhatikan ranting yang terpantul, jadi dia tidak mendengar apa yang baru saja Yan Ningshuang katakan.

"Apa yang kamu katakan?"

Yan Ningshuang mengernyitkan alis, menunjuk ranting di tangannya dan berkata. "Aku juga mau."

"..."

Dia tidak mengulangi kalimat itu karena dia percaya dengan yakin dalam hatinya bahwa An Chengfeng akan memperlakukannya dengan baik sepanjang hidupnya.

Berapa lama dalam hidupku?

Kemudian, Yan Ningshuang memandang ke langit di banyak malam, dan menghitung sedikit demi sedikit dengan An Chengfeng, dan kemudian dia menyadari:

Ternyata hidup yang dulu aku anggap sudah berakhir sejak masa kecilku, sudah selesai.

Berapa lama dalam hidupku?

Definisi An Ningshuang tentang itu adalah: dari kebaikan An Chengfeng padanya, hingga detik terakhir sebelum dia membencinya.

Waktu membeku, jadi hidup yang dia anggap sepenuhnya sudah selesai. Sisanya hanya penderitaan dan kesengsaraan yang tak berujung, mengembara dan berjuang.

"…"

Kemudian, An Chengfeng mencoba membawanya bermain dengan anak-anak lain. Bahkan ketika waktunya untuk pergi ke sekolah, dia mencoba mengenalkan teman-temannya padanya. Sayangnya, semuanya gagal.

Yan Ningshuang seperti mawar berduri dengan penampilan yang indah dan menarik, tetapi tidak bisa disentuh. Orang-orang yang tidak bisa memetiknya atau yang tidak tahu bagaimana cara mendapatkannya pasti akan tertusuk olehnya.

Akibatnya, objek dari pengasingan Yan Ningshuang sejak kecil terus berlanjut hingga sekolah, saat itu, dia masih dikelilingi oleh An Chengfeng.

Dia akan merawat semua kemarahannya yang kecil, akan menenangkannya saat dia marah, dan selalu suka memetik bunga kecil dan rantingnya. Jadi Yan Ningshuang memberinya perasaan yang unik. Dia hanya akan patuh padanya, dan akan menemaninya bermain lumpur dan melemparkan ranting willow.

Ini adalah kenangan yang paling berharga dalam masa kecil Yan Ningshuang, jadi meskipun An Chengfeng membencinya setelah itu, dia akan mengikutinya dengan tekun dan ingin memanggil kembali orang yang hanya baik padanya.

Hanya saja... apakah dia benar-benar hanya memperlakukannya saja?

Kemudian, Yan Ningshuang sering terjatuh dalam renungan. Dari kepastian di awal hingga kecemasan yang menggoyahkan, akhirnya dia kehilangan kepercayaan dirinya...

Lalu dia mengerti bahwa terkadang beberapa hal tidak bisa dipelajari dengan mendalam. Karena setelah menggali sampai akhir, mungkin hanya akan menjadi mimpi yang hancur.

Jika mimpinya hancur, maka ketekunan yang dia miliki selama bertahun-tahun hanya menjadi lelucon.

Kapan semuanya berubah? Mungkin dimulai dari Chen Wanwan yang menyusup/mengganggu di antara keduanya.

Tidak, lebih tepatnya, itu harusnya berada di antara perasaan Yan Ningshuang yang merasa benar.

Chen Wanwan adalah putri dari seorang tukang kebun di keluarga An. Ketika pertama kali datang ke Anzhai, ayahnya tidak tahu apa-apa kecuali rasa penasarannya yang sangat besar, jadi dia tersesat saat mengunjungi rumah tersebut. Dia dikembalikan.

Dalam hal penampilan, Chen Wanwan jauh lebih rendah dibandingkan Yan Ningshuang. Dalam hal temperamen, kekuatan yang dimiliki Yan Ningshuang bahkan lebih membuat Chen Wanwan tidak bisa mengangkat kepalanya. Hanya saja dia sangat lembut. Ketika dia memperlakukan An Chengfeng, dia selalu tersenyum manis dan lembut, sangat empatik, cerdas, dan baik hati.

Lambat laun, keduanya menjadi akrab.

"Shuangshuang, aku baru bertemu teman baru. Karakter dan sikapnya benar-benar sangat baik. Aku rasa kalian berdua pasti akan menjadi teman!"

Pada akhir pekan, An Chengfeng berlari ke rumah Yan Ningshuang untuk mencari orang. Dia berjalan dengan gembira menuju tangan Yan Ningshuang dan berjalan menuju rumahnya.

"Siapa dia?"

Itu keluar terlalu cepat. Saat itu, Yan Ningshuang masih memegang pekerjaan rumah matematika yang belum selesai. Dia hanya tidak bisa menyelesaikannya sendirian, jadi dia menulis dari rumah An Chengfeng sebentar.

Dia membayangkan semuanya dengan baik, bahkan ingin tinggal di rumahnya untuk makan malam hari ini, sampai dia melihat sosok samar yang berdiri di depannya, langkah Yan Ningshuang melambat, dan senyum di sudut bibirnya pun memudar.

"Siapa dia?"

Gadis itu mengenakan gaun katun dan linen berwarna putih dengan bunga matahari besar di atasnya. Itu sangat mencolok. Yan Ningshuang teringat senyum An Chengfeng ketika pertama kali melihat gaun itu.

"Hallo, namaku Chen Wanwan." Dengan dorongan dari An Chengfeng, Chen Wanwan berjalan sedikit malu-malu dua langkah ke depan. Dia tersenyum ramah, matanya jernih dan murni, menatap Yan Ningshuang dengan gugup.

"..."

Ada jeda sejenak di udara, dan melihat Yan Ningshuang hanya mengernyitkan dahinya pada gaun Chen Wanwan, lalu mendorongnya dan tersenyum untuk meredakan ketegangan. "Wan Wan, jangan khawatir, Shuangshuang memang begini temperamennya."

"Saudara Chengfeng, tidak apa-apa." Chen Wanwan tersenyum padanya dan berbisik. "Aku tidak keberatan."

Melihat interaksi antara keduanya, Yan Ningshuang mendengus dingin, meliriknya, dan bertanya. "Temperamen buruk apa aku ini, aku sudah bilang berapa kali, aku tidak tertarik bertemu teman-temanmu yang kacau."

Saudara yang baik, baik hati dan lembut!

Ini benar-benar pertama kalinya Yan Ningshuang merasa tumbuh. Ketika pertama kali dia melihatnya begitu dekat dengan gadis lain selain dirinya, dia tiba-tiba merasa bahwa mainan kesayangannya telah direbut. Anda tidak sopan.

Dia tidak tahu mengapa dia sangat membenci Chen Wanwan. Ketika melihatnya, dia merasa tidak nyaman sejak pandangan pertama, jadi dia menarik lengan An Chengfeng dan berkata dengan tidak puas. "Aku tidak suka dia dan tidak mau berteman. Aku hanya ingin kamu sendiri."

Pada saat ini, keduanya sudah tidak lagi tidak tahu usia anak-anak, dan An Chengfeng mendorongnya dengan putus asa, berkata. "Kamu tidak bisa selalu bertindak seperti ini."

"Kamu tidak mau berpikir, sekarang teman-teman di sekolah menganggap kamu seperti apa, dan tidak ada yang berani mendekatimu, kecuali aku, kamu tidak punya teman."

"Apakah kamu pikir kamu benar? Kamu mungkin ingin aku tetap bersamamu seumur hidup."



— 🎐Read on onlytodaytales.blogspot.com🎐—



KANARI-NYA - BAB 64: YAN'AN FANWAI (3)

Ucapan An Chengfeng sepenuhnya dipertimbangkan demi komunikasi dengan Yan Ningshuang. Seiring keduanya tumbuh dewasa, wawasan mereka pun perlahan meluas.

An Chengfeng sejak kecil suka berteman, dan karena kepribadiannya yang baik, ia bisa berteman di mana pun berada. Pada awalnya, ia bisa bermain dengan Yan Ningshuang, tapi kini mereka telah tumbuh besar, dan lebih lazimnya anak laki-laki dekat dengan laki-laki, dan perempuan dengan perempuan. Oleh karena itu, jika ia terus melekat padanya seperti ini, rasanya memang tidak ada jalan keluar.

“Kamu tidak ingin bersamaku seumur hidup?”

Pola pikir Yan Ningshuang tidak sejalan dengannya. Ia keras kepala dan sombong. Sejak ia mulai mengerti dunia, ia hanya mengenal satu teman, yaitu An Chengfeng. Ia menyukainya, jadi ia hanya ingin selalu bersamanya. Apakah itu salah?

Ia merasa dirinya benar, justru merasa An Chengfeng yang salah.

“An Chengfeng, aku tidak mengerti. Aku sudah memberikan seluruh perasaanku padamu. Kenapa kamu tidak bisa memberikan seluruh perasaanmu padaku juga?” Kakek Yan Ningshuang pernah berkata padanya, jangan melakukan sesuatu setengah hati. Ia percaya bahwa perkataan ini juga berlaku untuk orang yang dicintai.

Jika benar-benar menyukai seseorang, maka harus mencintainya sepenuh hati. Maka dari itu, Yan Ningshuang merasa ia telah melakukannya. Ia bisa tidak peduli dengan pandangan orang lain, tapi ia hanya peduli pada An Chengfeng.

Lalu bagaimana dengan dia?

Dulu ia selalu menemaninya, tapi kini ia punya semakin banyak teman. Setiap hari ia selalu dikelilingi banyak orang. Lalu di mana Yan Ningshuang?!

“Shuang…”

An Chengfeng memandang Yan Ningshuang dengan perasaan pusing. Ia ingin menenangkannya, tapi saat melihat tatapan mata gadis itu tertuju pada Chen Wanwan di sampingnya, hatinya tenggelam dan ia tidak bisa menahan diri untuk berdiri di depannya.

“Bisakah kamu tenang? Menurutku ada yang salah dengan cara berpikirmu. Kamu…”

“Ada yang salah dengan cara berpikirku?”

Yan Ningshuang menyelanya dengan dingin. Ia mengangguk dan berkata, “Baik, kalau kamu pikir ada yang salah dengan cara berpikirku, maka tolong jauhi aku mulai sekarang!”

“…”

Sudah banyak pertengkaran antara keduanya, dan cukup hebat, tapi ini adalah yang pertama kalinya seperti ini. Setelah Yan Ningshuang pulang, An Chengfeng tidak mengejarnya untuk menenangkan.

Ia dengan marah melemparkan PR-nya ke dinding, mengurung diri di kamar, dan menangis sesenggukan. Ia tidak tahu bahwa An Chengfeng juga merasa sedih.

“Kak Chengfeng?”

Setelah Yan Ningshuang pergi, An Chengfeng tak bergerak, hanya diam memandangi kepergiannya. Cahaya di matanya lenyap, senyumnya pun menghilang.

“Jangan panggil aku Kak Chengfeng, cukup panggil aku Fengfeng saja.” Entah kenapa, begitu mendengar panggilan itu, ia langsung teringat pada Yan Ningshuang.

An Chengfeng mengacak-acak rambutnya dengan cemas, lalu duduk lesu di tanah, mengambil batang rumput liar dan menggigitnya, kemudian berbaring dengan kepala bertumpu pada lengannya.

Ia menatap lurus ke langit biru dalam waktu lama, sampai-sampai melupakan kehadiran Chen Wanwan di sisinya.

Ia baru saja bertengkar dengan Yan Ningshuang, jadi suasana hatinya pun kacau. Ia peduli padanya. Bagaimanapun, mereka tumbuh besar bersama, dengan perasaan yang istimewa.

An Chengfeng dulu berpikir ia sudah cukup memahami Yan Ningshuang. Bahkan jika tidak sepenuhnya mengerti, ia bisa tidak peduli, hanya karena sifatnya, ia bisa bermain dan bersenang-senang dengannya. Tapi entah sejak kapan, ia merasa tidak bisa mengikuti langkahnya.

Bukan hanya tak bisa mengikuti, kadang, ia bahkan tak ingin mengikuti.

Apakah karena ia tidak memahaminya, lalu merasa kesal?

Tidak, bukan itu.

An Chengfeng menggeleng dalam hati. Justru karena ia peduli, ia ingin berbuat baik padanya. Ia ingin agar Yan Ningshuang bisa punya lebih banyak teman, ingin ia bisa tertawa dan berkumpul seperti gadis-gadis lain. Apakah itu salah?

Ini pertama kalinya ia merasa sangat lelah menghadapi sifat kekanak-kanakan Yan Ningshuang. Ia tidak ingin lagi membujuknya, merasa tidak hanya frustasi, tapi juga merasa diperlakukan tidak adil.

Sejak kecil, siapa pun yang bersalah duluan, selalu ia yang lebih dulu menundukkan kepala. Tidak bisakah kali ini dia yang minta maaf duluan?

Ya, kali ini ia ingin menunggu dia yang datang padanya!

An Chengfeng berpikir demikian, menatap langit biru sambil tersenyum. Ia mencoba menekan kegelisahan di hatinya, berharap Yan Ningshuang akan datang dan berdamai dengannya sebentar lagi.

Setengah hari berlalu, malam pun tiba. Satu hari berlalu, dua hari berlalu…

Tapi An Chengfeng tidak juga melihat upaya damai dari Yan Ningshuang, bahkan malah berujung pada perang dingin antara keduanya.

Suatu hari di sekolah, ia menyaksikan Yan Ningshuang mendorong seorang gadis di dekatnya. Sikapnya yang pongah membuat An Chengfeng merasa asing untuk pertama kalinya.

“Ayo, coba saja kalau berani!”

Beberapa hari terakhir, Yan Ningshuang menjadi buah bibir karena urusannya dengan An Chengfeng. Tak disangka ia mendengar tiga atau empat gadis mengumpatnya di belakang. Kata-kata mereka menyakitkan dan membuatnya sangat tidak nyaman.

“Kamu berani mengumpatku di depan wajahku?” Orang yang paling lantang memakinya justru adalah orang yang dulu tersenyum paling ramah padanya. Ia bertanya-tanya, apakah orang yang begitu manis padanya dan memberinya cokelat itu sebenarnya membicarakannya di belakang? Itu membuatnya jijik.

“Kamu mau apa?!” Chen Wanwan dan beberapa teman datang. Ia berusaha menarik Yan Ningshuang pergi, tapi malah didorong oleh Ningshuang.

“Minggir!”

Yan Ningshuang muak dengan Chen Wanwan yang selalu berpura-pura baik, apalagi baru saja bertengkar dengan An Chengfeng gara-gara dia, jadi ia bersikap sangat tidak ramah.

Ia memang salah karena mendorong orang, ia memang ekstrem, tapi ia tak tahan pada orang-orang yang hanya bisa mencemoohnya di belakang. Setidaknya ia berani terang-terangan, tidak seperti mereka.

Karena ia enggan menjelaskan, orang-orang yang mencoba melerai malah dianggap sebagai penindas, menimbulkan kesalahpahaman, dan kemudian — An Chengfeng.

“Kenapa dorong orang?” An Chengfeng tak mendengar mereka mencaci Yan Ningshuang, dan ia tak percaya Yan Ningshuang akan mendorong tanpa alasan, jadi ia hanya ingin dia menjelaskan.

“Karena aku tidak suka melihat mukanya, jadi aku dorong,” kata Yan Ningshuang dengan nada menantang.

Sejak kecil, ia tidak pernah menjelaskan tindakannya, dan An Chengfeng tidak pernah menyalahkannya, jadi ia ingin mencobanya lagi, tapi kali ini ternyata tak berhasil.

Ia mempertaruhkan kepercayaan An Chengfeng, mempertaruhkan tempatnya di hati An Chengfeng, tapi ia salah...

“Yan Ningshuang, tolong minta maaf pada teman sekelas ini.”

Ketika Chen Wanwan memintanya minta maaf pada gadis yang didorong sampai menangis, ia merasa itu lucu sekali. “Siapa kamu sebenarnya?”

“Kamu pikir kamu punya hak untuk mengatur aku?”

Karena An Chengfeng hanya diam, Yan Ningshuang mulai menyerang Chen Wanwan, mengatakan hal-hal yang sangat kasar di hadapannya. Ia melampiaskan kemarahannya, marah pada Chengfeng, marah karena dia tidak mempercayainya. Dan pada saat yang sama, ia benar-benar membenci Chen Wanwan — benci tanpa alasan.

Ucapannya pedas, temperamennya buruk, dan kesombongannya membuat ia sulit bergaul. Semua ini sudah An Chengfeng ketahui sejak awal. Tapi hari itu, ketika mendengar dia menghina keluarga Chen Wanwan, hatinya terasa dingin.

Shuang yang ia kenal bukanlah orang seperti ini.

Saat itu, An Chengfeng merasa — mungkin, itu adalah kali pertama ia benar-benar mengenal dirinya.

...

Hubungan keduanya membeku. An Chengfeng awalnya ingin menunggu Yan Ningshuang yang memulai duluan, dan Yan Ningshuang enggan mencari An Chengfeng karena sifat bangganya. Mereka hanya terus saling bertahan, tak ada yang mau mengalah.

Saat ini, Chen Wanwan dan An Chengfeng hanyalah teman biasa. Bahkan karena Yan Ningshuang, An Chengfeng sengaja menjaga jarak dengan Chen Wanwan. Yang benar-benar merusak hubungan mereka adalah kemunculan gadis lain — Shao Lexue.

Shao Lexue duduk sebangku dengan An Chengfeng. Ia cantik dan kepribadiannya juga baik. Ia suka tertawa dan punya hubungan akrab dengan An Chengfeng. Lama-lama, hubungan mereka berkembang.

Saat cinta mulai bersemi, An Chengfeng dan Shao Lexue pun resmi bersama.

Awalnya mereka hanya sering mengobrol, lalu bergandengan tangan, hingga akhirnya bermain bersama di akhir pekan. Lama-lama, meskipun tidak diumumkan, orang-orang pun mengetahuinya.

Reputasi An Chengfeng di sekolah cukup besar. Begitu ia pacaran, berita menyebar cepat. Tapi karena Yan Ningshuang jarang bergaul dengan teman sekolah, ia justru jadi yang paling akhir tahu.

Saat itu, hubungan mereka sebenarnya sudah membaik, tapi entah kenapa, Yan Ningshuang merasa hubungan itu menjadi jauh. Meskipun An Chengfeng masih tersenyum padanya, ia merasa ada yang janggal.

Ketika tahu bahwa An Chengfeng sudah punya pacar, hubungan mereka sudah berjalan hampir setahun.

Beberapa waktu lalu, ia sempat mendengar desas-desus di sekolah, tapi tak percaya. Ia mengamati diam-diam, dan dua orang itu memang jarang berinteraksi di sekolah, sampai akhirnya… ia melihat sendiri mereka bergandengan tangan dengan mesra.

Hari itu adalah akhir pekan. Yan Ningshuang dengan berat hati datang mencari An Chengfeng, tapi dalam perjalanan ke rumahnya, ia melihat pemandangan yang menyakitkan hati.

Rumput bergoyang, daun menghijau, bunga bermekaran, dan dari kejauhan, Yan Ningshuang melihat: An Chengfeng dan pacarnya berjalan bergandengan di jalan setapak taman. Saat itu, tinggi An Chengfeng sudah cukup untuk meraih ranting dedalu.

Ia memetik ranting willow, membentuknya jadi lingkaran, lalu menyelipkan bunga-bunga indah di sekitarnya. Terakhir, ia memakaikan rangkaian itu di kepala gadis tersenyum manis di sisinya.

Saat itu, dunia Yan Ningshuang terasa berputar.

“Kalian sedang apa?!”

Pikiran Yan Ningshuang kosong. Ia berlari ke arah mereka, merebut mahkota bunga dari kepala Shao Lexue dan melemparkannya ke tanah. Ia mendorong An Chengfeng dengan marah, hampir berteriak, “Kenapa kamu tega padaku?!”

An Chengfeng terkejut. Ia menatap karangan bunga di tanah, lalu refleks memeluk Shao Lexue yang ketakutan, bertanya, “Kenapa aku tega padamu?”

Ya, kenapa?

Yan Ningshuang menatap An Chengfeng yang tampak polos, merasa pilu tak tertahankan.

Dulu, An Chengfeng memetik ranting willow dan bunga kecil untuknya. Tapi ia tak pernah membuat mahkota seperti itu untuknya.

Dulu, saat semua anak menjauhinya, hanya dia yang tetap di sisinya dan bilang percaya padanya. Tapi ia tak pernah bilang akan selalu percaya.

Dulu, ia pernah berjanji akan terus bersama, tapi tak pernah bilang ingin bersama selamanya...

Singkatnya, karena ia hanya menganggapnya sebagai teman. Karena ia tak pernah menyukainya. Karena ia tak pernah peduli padanya. Sesederhana itu.

“Ini pacarmu?” Kalimat itu tak sanggup ia ucapkan, jadi ia tekan dia dengan perjanjian masa kecil mereka. “Apa kamu lupa, An Chengfeng? Kakekmu sudah menjodohkan kita. Kamu tidak boleh suka orang lain. Kamu hanya boleh suka aku!”

Harga dirinya tidak mengizinkan untuk mengalah saat ini. Karena rasa cintanya, ia tidak bisa mundur. Tapi meski begitu berani, ia tetap kalah pada An Chengfeng yang tak memiliki dirinya dalam hati.

“Kapan itu terjadi?”

An Chengfeng seperti berpikir lama baru mengingat hal itu. Ia menatap Yan Ningshuang dengan heran dan mengerutkan kening. “Shuangshuang, jangan bodoh. Itu hanya lelucon dari Kakek. Aku tidak pernah menganggapnya serius. Kamu sungguh percaya?”

“Kalau kamu tidak menyebutnya, aku bahkan sudah lupa.”

Tidak serius? Hampir lupa?

Ternyata semua yang ia simpan di hati selama ini, bagi An Chengfeng hanya angin lalu.

Ya, memang dia yang terlalu bodoh karena berpikir bahwa ia memiliki tempat di hatinya.

Untuk pertama kalinya, Yan Ningshuang merasa sikap cuek An Chengfeng sangat menyebalkan. Ia menginjak-injak mahkota bunga itu dengan marah dan menunjuk hidungnya. “An Chengfeng, pulang dan tanyakan pada kakekmu! Perjodohan itu lelucon atau sungguhan!”

“Kalau itu benar, aku perintahkan kamu segera putus. Aku tidak izinkan kamu menyukai orang lain. Kamu harus menyukaiku.”

“An Chengfeng, kamu hanya boleh menyukaiku, dengar?!”

“…”



— 🎐Read on onlytodaytales.blogspot.com🎐—

BURUNG KENARI-NYA – BAB 65: YAN'AN FANWAI (4)

Kalimat ini masih terucap. Dalam sekejap, aku terkejut bukan hanya oleh Yan Ningshuang sendiri, tetapi juga oleh An Chengfeng.

Tak berani menatap mata cerah An Chengfeng, Yan Ningshuang hampir melarikan diri ke padang pasir. Ini adalah pertama kalinya dia merasa begitu malu dan panik sampai-sampai dia tak berani menatap mata An Chengfeng.

Insiden ini akhirnya menjadi begitu kacau hingga An Chengfeng terpaksa dipisahkan dari Shao Lexue, dan karena keluarga An, Shao Lexue menjalani proses pindah sekolah keesokan harinya.

"Naik angin, kamu bukan anak kecil lagi, kamu harus melakukan sesuatu yang pantas!"

"Pernikahan antara kamu dan Shuangshuang telah ditentukan oleh ayahmu dan aku sejak kalian kecil. Karena Shuangshuang masih mengingatnya, maka itu berlaku, jadi kalian akan menikah setelah lulus!"

"Menikah?"

Saat itu, An Chengfeng baru setengah remaja, tetapi dia tahu betapa pentingnya pernikahan. "Itu hanya candaan waktu kecil. Kenapa harus aku yang menaatinya saat sudah besar?"

"Kamu harus menurut dan menuruti. Itu keberuntunganmu bisa menikah dengan gadis seperti Frost Frost, kamu tidak tahu mana yang benar!"

Tidak tahu mana yang benar?

An Chengfeng tersenyum. Ini pertama kalinya dia begitu jijik mendengar nama Yan Ningshuang, dan begitu jijik terhadap keluarganya. Pemberontakan dalam hatinya mengamuk. Dia mulai melawan keluarganya.

Menjadi anak baik dan pelajar teladan? Tidak, dia justru ingin bolos dan berkelahi, bermain setiap hari.

Ingin memperlakukan Yan Ningshuang dengan baik di masa depan dan menikahinya? Tidak, karena dia tidak bisa melawan, maka dia ingin merusak reputasinya sendiri, menjadikannya permainan di antara para gadis, membawa nama terkenal sebagai reputasi.

Hubungannya dengan Yan Ningshuang retak, dan benar-benar putus saat dia melihat Shao Lexue menangis dan pergi di depannya. Saat itu dia juga mendengar Yan Ningshuang mengaku padanya dari belakang, dia berkata: Dia menyukainya.

"Suka aku?"

An Chengfeng mencibir. Saat menghadapi Yan Ningshuang, matanya penuh dengan rasa jijik dan penolakan. Dia menahan amarah dalam hatinya dan menggeram rendah. "Yan Ningshuang, aku beri tahu kamu, aku tidak akan pernah menyukaimu seumur hidupku!"

"Aku tidak hanya tidak akan menyukaimu, tapi mulai hari ini, aku hanya akan semakin membencimu."

"Hari kamu muncul di depanku, adalah hari yang aku benci!"

"..."

Jika Shao Lexue telah membangkitkan keinginan An Chengfeng untuk cinta, maka Chen Wanwan menjadi satu-satunya penebusan dalam hatinya. Dalam kegelapan panjang yang dialami An Chengfeng, Chen Wanwanlah yang selalu bersamanya, menggenggam tangannya, mengatakan bahwa dia akan selalu ada untuknya.

"Wanwan, kamu tahu tidak? Hari ini aku lewat ruang kerja kakek, aku mendengar dia dan ayah bicara bahwa rantai modal keluarga An putus, tapi keluarga Yan pasti akan membantu."

"Ini perbuatan tak menguntungkan. Kenapa keluarga Yan mau membantu? Bukannya karena Yan Ningshuang menyukaiku, atau karena aku jadi alat tawar-menawar keluarga."

An Chengfeng dulunya percaya diri dan optimis. Dia melakukan apa pun sesukanya, dan tidak pernah berpikir panjang. Tapi malam itu, Chen Wanwan menemaninya semalaman dan melihatnya menangis sepanjang malam.

"Wanwan, kamu tidak akan berubah, kan?"

Chen Wanwan mengangguk dan berkata, "Aku tidak akan berubah, aku akan selalu bersamamu."

"..."

Terhadap Chen Wanwan, An Chengfeng sangat serius, bahkan sampai rela melindunginya dari segala bahaya, memuaskan semua fantasinya sebagai gadis.

"Yan Ningshuang memang pintar belajar. Setiap ujian selalu masuk tiga besar. Aku berharap aku bisa sepintar dia."

"Baiklah, kalau Wanwan ingin jadi juara kelas, maka aku akan bantu kamu belajar setiap hari mulai hari ini." Sebenarnya, dia tidak hanya membantu belajar, tapi juga sengaja membuat dirinya mendapat nilai di bawah agar Wanwan bisa jadi peringkat pertama dan merasa bahagia.

"Aku dengar kelas tiga SMA akan segera dibagi kelas. Aku senang sekali. Nanti aku bisa sekelas denganmu, tapi Yan Ningshuang..."

"Tidak apa-apa, aku tidak akan membiarkan dia mendekatiku, dan aku juga akan jauh darimu, jadi dia tidak akan melihat hubungan kita."

"Tapi... kamu pasti akan menikah suatu saat nanti, apakah kamu akan meninggalkanku saat itu?"

"Tidak, aku tidak akan menikah dengannya, dan aku tidak akan meninggalkanmu. Aku akan bersamamu, bagaimanapun juga."

Ya, bagaimanapun juga...

Kemudian, hubungan An Chengfeng dan Chen Wanwan tetap diketahui oleh Yan Ningshuang. Dia berkata bahwa dia merasa bersalah padanya. Dia bilang akan mundur dengan sendirinya, tapi lalu?

Kakek An akhirnya tahu tentang mereka. Sesuai janji An Chengfeng pada Chen Wanwan saat itu, dia tidak menundukkan kepala, tidak meninggalkannya, bahkan demi dia, dia rela disingkirkan oleh keluarganya.

Saat itu mereka sudah kuliah, dan mereka berdua tinggal di kamar sempit setiap hari, menjalani hidup susah, tapi An Chengfeng tidak menyesalinya.

Apa itu kemewahan dan kekayaan? Yang paling membahagiakan adalah bisa bersama orang yang paling kau cintai.

An Chengfeng kuliah sambil bekerja, dan kehidupan seperti itu berlangsung hampir setahun. Kehidupan mereka tidak membaik. Chen Wanwan tidak tahan lagi.

"Ayo pulang, Chengfeng!" Dia sudah muak dengan kehidupan miskin ini, apalagi melihat teman-teman kuliah mengenakan pakaian indah setiap hari, dia merasa rendah diri di hadapan mereka.

"Wanwan, pulang sama saja dengan menyerah, kamu tidak ingin bersamaku?"

"Tapi aku sudah cukup hidup tanpa uang. Aku ingin kosmetik dan pakaian indah. Sekarang kamu bisa berikan aku itu?"

"Anak baik, aku akan berusaha mencari uang untukmu."

An Chengfeng dulunya adalah tuan muda kaya yang tidak pernah menyentuh pekerjaan rumah, tapi sekarang dia bekerja beberapa pekerjaan demi Chen Wanwan setiap hari. Saat Yan Ningshuang yang jauh di luar negeri mengetahui kabar ini, hatinya membeku.

Kemudian, dia pulang ke Tiongkok dan menemukan tempat An Chengfeng bekerja paruh waktu melalui Jingrong. Dia melihatnya dari jauh dalam waktu lama, sampai malam tiba, dan dia kembali ke gang kotor dengan wajah letih dan membawa makan malam.

Dia tidak melihat betapa terlukanya Yan Ningshuang yang menangis di belakangnya.

"..."

An Chengfeng bukan orang bodoh. Saat ini, dia tahu betapa rapuhnya hubungannya dengan Chen Wanwan. Dia merawat hubungan ini dengan hati-hati, tapi perlahan, dia mulai merasa tak berdaya.

Chen Wanwan dulu menyukainya, tapi bukan hanya dirinya, juga latar belakang keluarganya. Dia pernah berpikir untuk bersama pria yang baik padanya. Dia sudah mencoba, tapi kalah oleh kemiskinan.

An Chengfeng bekerja keras mencari uang untuk membelikannya kosmetik dan pakaian, tapi Chen Wanwan tidak menginginkan kosmetik murah atau pakaian biasa. Nafsu keinginannya makin besar, dan dia terus mendorongnya untuk kembali dan meminta maaf pada Kakek An. Dia meninggalkannya di rumah.

"Wanwan, jika aku tidak pernah kembali ke rumah dan tetap miskin seperti ini, apakah kamu akan tetap bersamaku?"

Kali ini, Chen Wanwan tidak langsung menjawab, dia mulai ragu.

"Wanwan."

Mata An Chengfeng tampak hancur dan dia menyentuh pipi Chen Wanwan dengan tangan gemetar. "Jangan paksa aku untuk berhenti mencintaimu, ya?"

Dia satu-satunya, dia tidak ingin membuktikan bahwa dia orang tak berguna, apalagi setiap perasaannya hancur, tapi dia tetap gagal.

"Wanwan, kita putus saja." Berkali-kali, keteguhannya, cinta sampai akhir, Chen Wanwan tetap berhasil menghapus cintanya dari hati An Chengfeng.

Dia pulang ke rumah, dia menundukkan kepala, tapi dia tidak akan mencintai Chen Wanwan lagi, dan... tidak akan mencintai siapa pun.

Terbangun di kegelapan, dia bangkit dari tempat tidur dan membuka jendela untuk merasakan dinginnya angin malam. Semua masa lalu terlintas satu per satu, dan dia tiba-tiba menyadari bahwa semua ketidakbahagiaannya berasal dari retaknya hubungannya dengan Yan Ningshuang.

Karena perang dingin dengan Yan Ningshuang, lukanya terbuka dan dia menyukai Shao Lexue. Karena hubungannya dengan Yan Ningshuang benar-benar hancur, perasaan mereka menjadi asing.

Apa rasanya mabuk dalam kesadaran?

Mungkin seperti An Chengfeng. Setelah jatuh cinta pada Chen Wanwan, dia tahu gadis itu bukan gadis baik, tapi dia tetap tak rela melepaskannya.

Berkali-kali, dia mencoba membuktikan bahwa dia bisa menemukan cinta sejati, dan... berkali-kali pula, dia hancur.

...

An Chengfeng dan Chen Wanwan telah lama putus. Dia berusaha menyembunyikannya, tapi tetap diketahui Yan Ningshuang.

Segalanya mulai tak terkendali, dan Yan Ningshuang, yang perlahan mulai bersikap dingin padanya, tiba-tiba muncul kembali di hadapannya. Dia mulai tersenyum padanya dan menggodanya. Perasaan masa kecil yang sudah lama hilang membuatnya tertegun.

"Hai, kunci mobilku hilang. Antar aku, ya?"

"Suruh sopirmu jemput."

"Tidak, aku hanya ingin kamu yang antar. Kalau kamu tidak berani antar aku, jangan harap bisa pergi hari ini."

"..."

"Aku dengar Su Tangjia akan adakan pesta tahun baru malam ini, ayo kita pergi bersama!"

"Aku tidak mau pergi bersamamu."

"Kamu tetap harus pergi bersamaku. Pakai baju dan keluar sekarang juga!"

"..."

"Ah, kakiku terkilir, sakit..."

"Aku..."

"Jangan tolak aku. Cepat bantu aku ke tempat yang sepi."

"..."

Dug dug--

Pukul dua belas malam, An Chengfeng menatap jam tua di dinding dengan pandangan kosong. Tahun baru tiba, dan hari ini, orang yang menemaninya justru Yan Ningshuang.

Malam itu mereka minum banyak anggur, sebagian besar dalam diam, tapi suasananya sangat harmonis.

An Chengfeng yang pertama mabuk. Yan Ningshuang membantunya dengan langkah gontai menuju ruang istirahat. Tubuh tinggi besar An bersandar padanya, matanya setengah terpejam.

Yan Ningshuang mengira dia belum sepenuhnya sadar, jadi dia mendekat dan mencium bibirnya. Tangannya gemetar, gemetar saat mencoba membuka kancing mantelnya, tapi dihentikan oleh sepasang tangan besar.

"Shuang."

Ini pertama kalinya An Chengfeng memanggilnya seperti itu setelah bertahun-tahun, tapi dia berkata: Tidak.

"Kenapa tidak?"

Yan Ningshuang dengan keras kepala menarik pakaiannya, tidak tahu bahwa dia juga gemetar karena gugup, tapi tetap mengangkat kepala dengan bangga, seperti angsa putih yang anggun. "Ini hanya tidur satu malam. Apa susahnya?"

"Tidak."

Nada suara An Chengfeng kali ini penuh amarah, dia mendorong Yan Ningshuang, mundur beberapa langkah, menopang dahinya dan mengulanginya. "Kita tidak bisa, kita tidak bisa."

"Shuangshuang, lupakan aku. Aku pernah bilang aku tidak menyukaimu, dan itu masih berlaku."

"Lalu kamu juga pernah bilang kamu akan selalu membenciku, apa itu juga masih berlaku?"

Yan Ningshuang mencibir. "Kalau kamu benar-benar membenciku, kamu seharusnya tidak menolak aku tadi. Kamu seharusnya membuangku dengan kejam, memberiku harapan lalu menghancurkannya, bukankah itu akan membuatmu lebih bahagia?"

"Jangan bicara."

"Aku akan tetap bicara!"

Entah dari mana datangnya keberanian, Yan Ningshuang melompat ke hadapannya, berdiri di ujung kaki dan memeluk lehernya, dia mencium bibirnya dengan keras, seolah mengerahkan seluruh kekuatannya.

"An Chengfeng, aku tidak percaya kamu tidak punya perasaan untukku! Bahkan jika kamu tidak mencintaiku, apakah begitu sulit mengakui bahwa kamu punya perasaan padaku?!"

"..."

Suka?

An Chengfeng tidak tahu. Setelah mengalami Shao Lexue dan Chen Wanwan, dia telah mengaburkan definisi cinta.

Tapi apa pun itu, Yan Ningshuang selalu menjadi sosok istimewa dalam pikirannya. Apa yang membuatnya istimewa? Dia bahkan tidak mengerti, bahkan tidak bisa membedakan apakah itu persahabatan masa kecil yang ingin ia perbaiki, atau cinta yang ia sesali kemudian.

‘Dulu aku berkata, menggenggam tangan tidak boleh dilepaskan, jadi aku keras kepala mengira itu yang disebut seumur hidup.ʼ

‘Aku mengingat semua kebaikan dan kehangatanmu, jadi aku jadi kejam dan kehilangan akal sehat.ʼ

‘Jika, jika ada banyak kepercayaan di dunia ini, mungkin segalanya tidak akan seburuk ini.ʼ

‘Jika saja aku dulu tidak egois dan lebih menghargaimu, mungkin kita tidak akan sekacau ini di akhir.ʼ

Sejak malam itu, An Chengfeng dan Yan Ningshuang jarang terlihat oleh orang lain. Keduanya seperti punya pemahaman tanpa kata, tidak mengganggu siapa pun, tapi mereka bertemu secara kebetulan, seperti malam ini, saat dia melewati sebuah ruang pribadi, dia melihat Yan Ningshuang duduk sendiri di lantai dan menyanyi.

Meskipun dia tidak tahu lagu apa yang dinyanyikan Yan Ningshuang, An Chengfeng berdiri di luar pintu dan mendengarkan dengan sepenuh hati. Dalam lamunan, dia mengingat masa lalu mereka.

Sebenarnya, banyak hal di masa kecil, jika keduanya bisa mundur selangkah, mungkin tidak akan jadi seburuk ini.

Mereka sama-sama salah.

An Chengfeng salah karena tidak benar-benar memahami Yan Ningshuang. Dia jelas ingin baik padanya tapi tidak pernah berusaha memahami isi hatinya.

Kesalahan Yan Ningshuang bahkan lebih parah. Kesalahannya adalah dia terlalu mengandalkan kasih sayang An Chengfeng dan menjadi tak takut, ingin memiliki dia secara sepihak, tapi tidak pernah membuka hatinya.

Sekarang, semua masa lalu telah berlalu, dan tak seorang pun dari mereka bisa menyalahkan siapa pun, tapi mereka juga tak bisa kembali ke keintiman semula.

"Kak Chengfeng."

"Tak peduli orang lain berpikir apa tentangku di masa depan, kamu harus tetap di sisiku, ya?"

Mengingat kata-kata yang tak pernah sempat ia dengar sejak kecil, air mata Yan Ningshuang tetap tak bisa ditahan, dia menyesal, benar-benar menyesal. Seperti lirik lagu: Jika ada banyak kepercayaan di dunia ini, mungkin segalanya tidak akan seburuk ini.

Jika saja An Chengfeng benar-benar mendengar apa yang dia katakan, maka An Chengfeng pasti akan mengangguk dan setuju, mungkin dia benar-benar akan berdiri di sisinya, lalu... ditinggalkan.

"Kak Chengfeng." Tapi sekarang sudah terlambat untuk mengatakan apa pun.

Yan Ningshuang melihat An Chengfeng di pintu, dia menyeka air matanya dan keluar, tersenyum padanya, dan memanggil gelar yang telah lama hilang itu.

"Ayo kita bertaruh, mari beri waktu dua tahun untuk satu sama lain, selama waktu itu, jangan saling menghubungi, masing-masing membawa koper sendiri untuk menjelajahi dunia..."

"Dunia ini begitu luas, mungkin kita akan bertemu orang yang kita sukai. Jika suatu hari nanti, aku tidak akan mengejarmu lagi. Kamu tidak perlu merasa sakit. Mari kita saling melepaskan, ya?"

"Baik." An Chengfeng menutup matanya, pura-pura tersenyum. "Dunia ini begitu luas, semoga kita bisa menemukan penebusan masing-masing."

"Ya, dunia ini begitu luas, bagaimana jika kita benar-benar bertemu suatu hari dalam dua tahun ke depan?"

An Chengfeng mencibir. "Mana mungkin itu terjadi?"

"Tapi jika kita benar-benar bertemu dalam dua tahun, dan kita belum menemukan cinta sejati masing-masing, mungkin ini memang takdir..."

"Apa itu takdir?"

"Kita ditakdirkan untuk bersama."

"..."





— 🎐Read on onlytodaytales.blogspot.com🎐—


KANARI-NYA – BAB 66: QIAO YANFANWAI (1)

Perusahaan keluarga Qiao Qiao bangkrut. Ayahnya telah mencari banyak teman akhir-akhir ini, tetapi tak satu pun yang bersedia membantunya.

"Ibu, Ibu mau ke mana?"

Qiao Qiao yang baru berusia enam tahun melihat ibunya mengepak sepotong pakaian ke dalam koper di kamar tidur dan melihatnya menarik koper itu pergi.

"Qiao Qiao, ibumu tidak mau kamu lagi, mulai sekarang kamu ikut ayah ya?"

"Apakah suatu hari nanti Ayah juga tidak mau Jojo?"

"Tidak, Ayah akan selalu bersamamu."

Qiao Chengping membawanya keluar dari vila mewah, dan mereka berdua menyewa sebuah gubuk sempit. Hari-hari mereka menjadi sulit.

"Jojo, Ayah mau pergi kerja lagi, kamu harus jadi anak baik di rumah ya."

Qiao Qiao menarik lengan baju ayahnya dengan sedih, menatapnya dengan mata redup. "Ayah nggak bisa bawa aku? Aku bosan sendirian."

"Anak baik, Ayah sibuk dan nggak sempat jaga kamu."

Sejak kebangkrutan keluarga Qiao, Qiao Chengping bahkan tidak mampu membiayai sekolah putrinya. Untuk menghemat biaya, sementara waktu ia hanya bisa membiarkan Qiao Qiao belajar sendiri di rumah.

Setelah Qiao Chengping pergi hari itu, Qiao Qiao duduk sendiri di dekat jendela untuk waktu yang lama. Ia melihat banyak anak-anak berlarian di gang sambil membawa mainan, ia merasa sangat kesepian, tidak tahan, ia juga ingin bermain dengan mereka.

Hanya berjalan-jalan di gang, hanya bermain dengan kakak-kakak itu, seharusnya tidak apa-apa...

Qiao Qiao pun berpikir demikian, lalu membuka pintu.

Gang itu ramai dan semrawut. Qiao Qiao yang berpakaian serba putih tampak mencolok di sana. Ia ingin bermain dengan kelompok anak-anak itu, tapi tak berani bicara, hanya berdiri memandangi mereka dengan iri dari kejauhan.

Eh, mereka keluar dari gang!

Anak-anak itu awalnya berada di ujung gang, tapi baru saja berbelok ke jalan raya di luar. Qiao Qiao buru-buru melangkah maju beberapa langkah. Saat ia keluar dari gang, ia tak melihat kelompok anak-anak itu. Ke mana mereka pergi?

Qiao Qiao tidak menemukan anak-anak itu, tapi melihat seorang wanita berbaju putih melayang di seberang trotoar. Orang itu tampak seperti ibunya.

"Ibu—"

Qiao Qiao kecil hanya tahu gembira bertemu ibunya, ia menerobos keramaian mengejarnya tanpa pikir panjang, tak menyadari lalu lintas yang padat di jalan.

Ciiit—

Dengan suara rem yang keras dan mendadak, Qiao Qiao terkejut melihat kendaraan yang hampir menyentuh perutnya, ia hanya bisa memandangi si pengemudi turun dari mobil.

"Nyari perkara sama gue, ha?"

Qiao Qiao ketakutan sampai matanya memerah. Ia menatap pengemudi yang semakin mendekat, melangkah mundur, dan jatuh terjerembab ke jalan.

"Yah, belum kena tabrak aja udah jatuh. Nggak diajarin orang tuanya kalau ada orang yang nggak bisa kamu ganggu?"

"Udah sana minggir, jangan pura-pura!"

"Oke." Pintu yang tertutup tiba-tiba terbuka, seorang pemuda tampan dan lembut berjalan keluar. Ia memegang buku di satu tangan dan mengusap dahinya dengan tangan lain, lalu berkata lembut, "Dia cuma anak kecil, nggak perlu segalak itu."

"Tapi, Tuan Muda—"

Mengabaikan keberatan sopir, Jing Yan berjalan beberapa langkah ke arah Qiao Qiao dan berjongkok. Ia menyelipkan setumpuk uang ke tangannya dan bertanya pelan, "Segini cukup?"

Saat melihat Qiao Qiao, dia hanya menatapnya diam-diam, mata merahnya bening dan jernih, membuatnya sedikit terpana.

"Mau berdiri?"

Jing Yan tersenyum tipis, bibirnya melengkung lembut, memberi kesan hangat dan tidak berbahaya. Qiao Qiao terbuai olehnya, meskipun sangat pemalu, tetap menyodorkan tangan kecilnya yang gemetar ke telapak tangannya, dan ditarik berdiri.

"Pegang uangnya."

Saat Jing Yan mencoba mendorong uang itu lagi ke tangannya, Qiao Qiao menghindar. Ia malah mengaitkan jari kelingkingnya ke jari bocah lelaki itu dan berkata dengan suara lembut, "Kakak, aku nggak mau uang, aku mau cari ibuku."

Tangan kecil gadis itu lembut dan ringan, namun menariknya dengan penuh niat. Dia menatap gadis kecil itu sekilas dan bertanya pelan, "Kalau begitu kamu tahu di mana ibumu?"

"Aku nggak tahu di mana dia, tapi tadi aku lihat dia di seberang jalan."

Qiao Qiao menunjuk ke seberang jalan, menggigit bibirnya cukup lama, dan matanya sudah dipenuhi air mata. "Tapi, tapi sekarang... dia udah pergi."

...

Qiao Chengping, yang sangat kecewa, membuka pintu rumah dan melihat ke sekeliling ruangan kecil itu tanpa melihat Qiao Qiao. Ia jadi panik. Ia buru-buru keluar mencari, dan akhirnya melihatnya menggandeng tangan seorang anak laki-laki asing di pinggir jalan.

"Jojo!" teriaknya cemas.

Qiao Qiao mendengar itu, dan setelah melihat ayahnya di ujung gang, ia segera melepaskan tangan Jing Yan dan berlari cepat ke arahnya.

Hangatnya jari kecil itu menghilang, angin berhembus membawa sisa-sisa kehangatan. Jing Yan menoleh, melihat Qiao Qiao melompat ke pelukan pria itu.

Tubuh mungil itu, yang barusan dengan manja memanggilnya "kakak" sambil menggenggam tangan kecilnya, kini langsung berlari ke pelukan orang lain dan tersenyum bahagia.

Jing Yan menyipitkan matanya sedikit, menatap senyum manis Qiao Qiao cukup lama, lalu kembali ke mobil dengan bibir tersenyum samar, memeluk bukunya. "Ayo jalan."

Mobil perlahan melaju, dan Jing Yan sempat melirik wajah pria itu lewat kaca spion, lalu menutup matanya perlahan.

...

Perusahaan Qiao Chengping terselamatkan. Saat mendengar kabar itu, ia menggendong Qiao Qiao berkeliling rumah kontrakan kecil mereka.

"Qiao Qiao, beres-beres ya, besok Ayah ajak kamu ketemu penyelamat kita."

"Besok Ayah nggak kerja?"

"Qiao Qiao bodoh, Ayah tetap kerja besok, tapi pekerjaan ini lebih penting dari semua kerjaan sebelumnya." Kalau dia bisa benar-benar dekat dengan keluarga besar Jing, maka ia pasti bisa bangkit kembali. Masa lalu yang gemilang akan kembali!

"Ayah biasanya nggak pernah ajak Jojo kerja, kan?"

"..." Ya, menurut wataknya, pertemuan sepenting ini, mustahil ia membawa putrinya, tapi anehnya, orang yang meminta Qiao Qiao datang adalah pihak keluarga Jing sendiri.

Mungkin mereka tahu situasi keluarganya dan ingin memastikan dengan melihat Qiao Qiao langsung? Qiao Chengping tak percaya keluarga Jing begitu iseng, tapi ia tak bisa menebak alasannya.

"Jadi Qiao Qiao harus patuh sama Ayah kali ini dan ikut, dengar ya?"

Tak masalah, asal bisa menyelamatkan perusahaan keluarga Qiao, ia rela melakukan apa pun.

...

Keesokan harinya, keluarga Jing mengirim mobil untuk menjemput mereka.

Keluarga Jing punya kekuasaan besar. Begitu masuk ke hutan, seluruh kawasan itu milik mereka. Mobil melaju dengan tenang ke dalam, dan Qiao Qiao menatap ke luar jendela.

"Jojo, cantik ya?"

Jojo mengangguk. "Cantik."

"Nanti Ayah beli tempat seperti ini buat kamu, mau?"

Qiao Qiao tersenyum senang dan menjawab dengan ceria, "Mau."

Saat mobil masuk ke vila di gunung, mobil berhenti. Ketika mereka turun, sudah ada dua orang menunggu di luar.

"Tuan Qiao, silakan lewat sini." Seorang wanita pirang mengundang Qiao Chengping masuk ke vila dengan sopan, tapi ia ragu menatap putrinya.

"Tuan Qiao, jangan khawatir, akan ada yang menjaga dia."

Qiao Chengping merasa lega, setelah menasihati Qiao Qiao dengan lembut, ia mengikuti wanita itu pergi.

"Ayah—"

Melihat Qiao Chengping berjalan makin jauh, Qiao Qiao merasa panik. Ia ingin berlari mengejar ayahnya, tapi ditahan oleh orang di sampingnya.

Seorang wanita muda yang ramah mencubit pipi kecilnya dengan lembut dan bertanya, "Jojo, aku ajak kamu ke tempat yang seru ya?"

Qiao Qiao menatap arah ayahnya pergi dengan ragu, matanya terang tapi tak bersuara.

Gadis ini bagaikan malaikat kecil yang tanpa cela.

God (Tuhan) terpikat olehnya, lalu memeluk Qiao Qiao dan berkata dengan ramah, "Jojo, namaku God."

"Halo, Kak." Qiao Qiao memegangi baju God erat-erat dan menyapanya pelan. Suara itu membuat hati God meleleh.

God membawanya ke taman belakang Jingzhai. Ada batu-batuan, aliran air, kolam dari batu halus, taman bunga luas, dan ayunan besar.

Qiao Qiao menyukai tempat ini. Ia jongkok di antara bunga-bunga dan menatap bunga-bunga itu, lalu menatap kursi ayunan besar di antara bunga-bunga dan meminta God mengangkatnya.

Tapi karena terus memikirkan ayahnya, Qiao Qiao tidak begitu menikmati, malah terus-menerus bertanya tentang keadaan ayahnya, dan akhirnya meminta God langsung membawanya menemui ayahnya.

"Jojo, kalau ayahmu mau kamu tinggal di sini, kamu..."

"Aku nggak mau tinggal di sini! Aku mau cari Ayah! Ayah bilang nggak akan ninggalin aku!"

God baru ingin membujuknya, tapi terkejut dengan reaksi kuat Qiao Qiao. Ia buru-buru menghentikan ayunan dan hendak menenangkannya, tapi Qiao Qiao melompat dari ayunan dan mulai berlari ke arah jalan.

"Jojo—" God buru-buru mengejar.

"Aku mau cari Ayah! Dia nggak akan ninggalin aku!"

Qiao Qiao berlari dengan panik hingga tak melihat seorang remaja datang dari arah berlawanan. Ia menabraknya langsung.

"Ada apa?"

Untung saja Jing Yan sigap, jadi Qiao Qiao tidak jatuh. Ia menunduk melihat wajah kecil yang berlinang air mata dalam pelukannya, lalu mengangkat tangannya menghapus air mata itu, dan melirik ke arah God yang baru mengejar.

"T-Tuan Muda."

Wajah God pucat, buru-buru menjelaskan. "Qiao Qiao bilang mau cari ayahnya, saya nggak sempat jaga dia, jadi..."

"Tak berguna." Suara dingin keluar dari bibir tipis Jing Yan. Lalu ia menunduk melihat gadis kecil yang masih terisak di pelukannya, menghapus air matanya, dan bertanya pelan, "Jojo, ingat aku?"

Qiao Qiao matanya berlinang dan tak bisa melihat wajahnya dengan jelas, tapi menjawab dengan senang, "Lihat... lihat."

Jing Yan tersenyum kecil, menghapus air matanya dengan jarinya, mendekat sedikit, dan bertanya dengan senyum, "Sekarang kelihatan jelas?"

"Kelihatan."

"Kalau begitu aku siapa?"

"Kamu kakak ganteng yang aku temui di jalan waktu itu."

"Jojo suka aku?"

"Um... kamu kayak Ayah, baik sama aku."

Mendengar itu, Qiao Qiao berhenti menangis, tapi matanya masih basah, terlihat lembut. Jing Yan mengelus rambut lembutnya, menghiburnya dengan suara lebih lembut, dan bertanya, "Jojo, tinggal di sini dulu sama aku beberapa hari ya?"

"Hah?"

"Kakak lagi sakit. Tinggal di vila sendirian buat pemulihan tuh membosankan. Kamu mau temenin kakak dulu?"

"Nanti kalau kakak udah sembuh, kakak ajak kamu ketemu Ayah lagi."





— 🎐Read on onlytodaytales.blogspot.com🎐—


HIS CANARY - BAB 67: QIAO YANFANWAI (2)

Qiao Qiao polos dan baik hati, meskipun ada ribuan orang yang tidak rela, mereka hanya bisa diam.

“Qiao Qiao yang manis di sini ya, Ayah… Ayah akan menjemputmu dalam dua hari.”

Saat itu, Qiao Qiao masih terlalu kecil, jadi dia tidak bisa memahami maksud Qiao Chengping, tapi entah kenapa, dia merasa kalau ayahnya tidak terlihat bahagia.

Sebelum pergi, Qiao Chengping seolah punya seribu kata yang ingin diucapkan kepada Qiao Qiao, namun pada akhirnya hanya menatap Jing Yan di belakangnya, lalu memeluk Qiao Qiao dengan lembut, berulang kali berkata: “Tenang saja, Qiao Qiao. Hanya dua atau tiga hari saja, Ayah akan segera menjemputmu.”

Namun, entah itu ditujukan kepada Qiao Qiao, atau hanya untuk menenangkan dirinya sendiri.

“...”

Segala sesuatu di sini sangat asing bagi Qiao Qiao, dan satu-satunya yang bisa dia andalkan hanyalah kakak kecil yang lembut dan elegan. Tempat ini terlalu besar, dan terlalu banyak orang asing, jadi dia senang mengikuti ke mana pun Jing Yan pergi. Bahkan saat tidur, dia pergi ke kamar tidur Jing Yan.

“Kak Yan, bolehkah aku tidur bersamamu?” Qiao Qiao mengenakan piyama putih yang kebesaran dan berdiri tanpa alas kaki di depan pintu kamar Jing Yan.

“Takut tidur sendiri?”

Jing Yan baru saja mengganti piyamanya saat itu. Ketika melihat Qiao Qiao tanpa alas kaki, dia langsung melangkah maju dan menggendongnya. Si bola kecil yang lembut itu segera bersandar manis di pelukannya, dengan aroma susu ringan yang menguar dari tubuhnya.

“Qiao Qiao suka minum susu, ya?”

Jing Yan menundukkan kepala dan mencium aromanya lagi, lalu berbaring di ranjang sambil memeluknya.

Qiao Qiao menggeliat gelisah, mencengkeram baju di dadanya dan berkata, “Iya, suka. Tuhan—eh, Ayah menyuruhku minum susu sebelum tidur.”

“Benar-benar anak baik.”

Jing Yan tertawa kecil, memegangi kepala Qiao Qiao agar bersandar di lengannya. Tangan lainnya tak tahan mencolek pipinya yang lembut.

Gadis kecil yang murni dan halus seperti ini seharusnya dimanjakan dan dibesarkan dengan kasih sayang.

Ini adalah pertama kalinya Jing Yan tidur seranjang dengan orang lain, namun secara tak terduga dia tidur nyenyak. Saat bangun pagi, Qiao Qiao masih berada di pelukannya, tertidur dengan manis. Beberapa helai rambut hitam lembut jatuh di pipinya, bergetar mengikuti napasnya.

Tampaknya… membiarkannya tinggal di sini adalah ide yang bagus.

Selama Qiao Qiao tinggal di sana, mereka selalu tidur di ranjang yang sama. Jing Yan sangat sibuk. Selain belajar dengan tutor setiap hari, dia juga sering menghilang secara misterius untuk waktu yang lama. Namun setiap kali kembali, dia akan kelelahan dan bermalas-malasan di kursi santai dekat jendela sambil membaca buku.

Saat seperti itu, Qiao Qiao selalu menempel padanya, berbaring di tubuhnya sambil ikut melihat bukunya, meskipun dia tidak bisa membaca satu kata pun.

Seperti biasa, kali ini Qiao Qiao baru saja memanjat ke atasnya, tapi Jing Yan meringis, wajah putihnya menjadi lebih pucat. Qiao Qiao terkejut, kebingungan. “Kak Yan, kenapa kamu?”

“Tidak apa-apa.”

Jing Yan sedikit bangkit, memegang pinggang Qiao Qiao dan memindahkannya ke samping, berpura-pura santai. “Qiao Qiao terlalu berat, jadi aku kesakitan tadi.”

“Bohong, Ayah bilang aku tidak gemuk.”

“Iya, Qiao Qiao paling imut, tidak gemuk sama sekali.” Karena Qiao Qiao berguling-guling di atasnya, bagian atas bajunya tersingkap sedikit, memperlihatkan sepetak kecil kulit di pinggang—yang sudah membiru dengan garis-garis merah.

“Kenapa Kak Yan sering menghilang lama, ke mana sih?”

Saat Qiao Qiao tidak memperhatikan, Jing Yan cepat-cepat menutupi memarnya, berpikir sejenak, lalu berkata, “Kak Yan sedang melakukan hal rahasia.”

Qiao Qiao bingung. “Apa itu hal rahasia?”

“Itu… hal yang tidak bisa dikatakan.”

“Yang tidak boleh dikatakan?” Qiao Qiao mengangguk tanpa mengerti, “Baiklah.”

Karena itu hal yang tidak boleh dikatakan, maka dia tidak akan bertanya.

Jing Yan benar-benar gemas dengan ekspresinya yang polos. Dia mengusap rambutnya, dan entah kenapa tiba-tiba bertanya, “Qiao Qiao suka tinggal di sini?”

Qiao Qiao menggeleng jujur. “Tidak suka, tapi aku suka Kak Yan.”

Jawaban yang tak terduga ini membuat Jing Yan sedikit terdiam, lalu tak tahan bertanya, “Qiao Qiao mau tinggal di sini bersamaku?”

“Tidak, aku ingin bersama Ayah.”

Mendengar itu, ekspresi Qiao Qiao langsung suram, dia menyandarkan kepalanya di bahu Jing Yan dan bergumam, “Kak Yan, kapan Ayah akan menjemputku?”

Bulu mata Jing Yan berkedip sedikit, merasakan hangatnya napas gadis kecil itu, bibirnya menyungging senyum tipis, dan menjawab pelan, “Sebentar lagi.”

“...”

Qiao Chengping memang segera datang untuk menjemputnya, tapi orang pertama yang dia temui bukanlah putrinya, melainkan Jing Yan.

“Bagaimana ini, aku tidak mau mengembalikan Qiao Qiao padamu.” Jing Yan duduk santai di sofa single empuk, menopang dagunya dengan satu tangan, dan berkata santai, “Serahkan Qiao Qiao padaku, aku akan menjaganya agar keluarga Qiao tak perlu khawatir seumur hidup.”

“Tuan Muda Jing, Raja Jing, Qiao Qiao itu putriku, dia bukan barang dagangan…”

“Oh.” Jing Yan terdengar acuh tak acuh, lalu mengambil buku di meja dan membukanya di pangkuan. Wajahnya yang menunduk tampak lembut dan tak berbahaya, seperti anak laki-laki tampan yang baik hati.

Suasana menjadi sunyi, meskipun pendingin ruangan bekerja, keringat dingin mulai menetes di dahi Qiao Chengping. Beberapa kali dia ingin bicara, tapi tak tahu harus mulai dari mana. Dia tampak sangat menderita.

“Tinggalkan Qiao Qiao di sini, aku akan membesarkannya lebih baik darimu.”

Akhirnya Jing Yan bicara lagi. Bibirnya tersungging sedikit ke arah Qiao Chengping, tampak lembut tapi kata-katanya tajam. “Kalau kau tetap memaksa membawanya pergi, aku tidak akan menghalangi.”

“Begitu pula, kau tidak akan punya apa pun. Saat itu, apa yang bisa kau lakukan untuk membesarkan putrimu?”

Wajah Qiao Chengping menunjukkan kesakitan, bibirnya bergetar, dan butuh waktu lama sebelum akhirnya bisa bersuara lagi. “Kau… kau ingin aku melakukan apa?”

“Mudah saja.”

Jing Yan menutup bukunya, menatapnya sambil tersenyum, kata demi kata, “Katakan padanya, kau tidak menginginkannya lagi.”

“...”

Sampai Qiao Chengping benar-benar menghilang dari pandangan Qiao Qiao, dia masih belum bisa memproses apa yang dikatakan ayahnya tadi.

“Qiao Qiao, maaf, Ayah tidak bisa menginginkanmu lagi.”

“Ayah harap kau hidup baik di sini… maaf.”

Kata-kata ayahnya terus bergema di telinganya, dan akhirnya dia mengerti bahwa ayahnya juga sudah tak menginginkannya lagi, seperti ibunya, meninggalkannya tanpa menoleh...

“Qiao Qiao, ibumu tidak menginginkanmu lagi, kamu mau ikut Ayah, ya?”

“Nanti Ayah nggak mau Qiao Qiao juga?”

“Tidak, Ayah akan selalu bersamamu.”

“...”

“Pembohong.” Qiao Qiao berkedip lagi saat teringat ucapan ayahnya, air matanya jatuh, menetes ke lantai.

Akhirnya dia tak bisa menahan diri lagi, jongkok dan menangis tersedu-sedu, bergumam, “Kalian semua pembohong, katanya nggak akan ninggalin aku!”

Gadis kecil itu panik. Saat dia merasa tenggelam dalam kegelapan, Jing Yan memeluknya dan menepuk punggungnya lembut, berulang kali menenangkan, “Jangan takut, Qiao Qiao, aku akan selalu bersamamu.”

“Ayah juga bilang akan selalu bersamaku, tapi akhirnya ninggalin aku juga!”

“Qiao Qiao, aku beda dengan ayahmu.”

Jing Yan mencium keningnya dan memeluknya dengan lembut. “Aku nggak cuma akan bersamamu selamanya, tapi juga akan selalu melindungimu, mencintaimu, percayalah padaku, ya?”

Akan selalu bersamanya dan mencintainya?

Saat kata-kata itu keluar dari mulutnya, Jing Yan sendiri terkejut. Dia menoleh melihat wajah Qiao Qiao yang menangis sedih, matanya berkilat-kilat, bahkan dia sendiri tak tahu apa tujuannya.

Yang dia tahu hanya satu: dia terlalu kesepian. Selain mempelajari berbagai ilmu rumit setiap hari, dia juga harus bergelut dengan sisi gelap yang tak bisa dijangkau anak seusianya. Rasanya tidak bisa dipahami oleh orang biasa.

Karena dia lahir di keluarga Jing, dia memiliki lebih dari orang lain. Tapi juga kehilangan lebih dari siapa pun.

Jing Yan tahu, hatinya yang seperti tinta pekat ini, meski wajahnya tampan, meski dia berusaha menjadi orang baik, tetap tidak bisa menahan kerusakan dalam hatinya.

Tapi kehadiran Qiao Qiao menyelamatkannya. Dia sendiri tidak mengerti, Qiao Qiao tidak melakukan apa pun, tapi dia seperti nyala api kecil. Hanya dengan senyum dan suaranya saja, sudah bisa menerangi hati gelapnya.

Dia tidak tahu berapa lama api kecil itu bisa terus menyala dalam hatinya, tapi selama Qiao Qiao masih menghangatkannya, Jing Yan… tidak akan membiarkannya pergi.

Hari demi hari berlalu, kemudian berminggu-minggu, berbulan-bulan, dan bertahun-tahun. Jing Yan benar-benar membiarkan Qiao Qiao tinggal bersamanya tahun demi tahun. Bukannya bosan, dia justru makin memanjakannya.

Namun, seberapa besar pun cintanya, dia tetap tidak membiarkan Qiao Chengping menemui putrinya. Bahkan dia tidak memberi sedikit pun kabar tentang Qiao Chengping kepada Qiao Qiao, meskipun… dia sudah mengusir Qiao Chengping keluar kota.

“Kak Yan.”

Selama bertahun-tahun, mereka tidak pernah tidur terpisah. Qiao Qiao sudah terbiasa bangun di pelukan Jing Yan setiap hari, terutama saat musim dingin, dia tak ingin bangun sama sekali.

“Lepas aku, jangan peluk terus!” Qiao Qiao sedang kesal lagi beberapa hari ini gara-gara soal sekolah. Semalam dia membungkus diri rapat-rapat sebelum tidur, tapi pagi ini bangun lagi-lagi dalam pelukan Jing Yan. Dia marah, mendorongnya, membungkus dirinya dengan selimut dan pindah ke sisi lain tempat tidur, diam-diam.

“Mau pergi begitu saja?”

Selama ini, Jing Yan selalu menyewa guru privat untuk mengajarnya. Dia seperti burung kenari dalam sangkar, hidup di dalam kandang yang dibangun Jing Yan untuknya. Jing Yan pikir dia bisa memeliharanya seperti ini selamanya, tapi tak disangka burung kenari ini sudah mulai ingin terbang keluar dari sangkarnya.

Saat itu Jing Yan bingung. Dia ingin Qiao Qiao tetap dalam hidupnya selama mungkin, tapi akal sehatnya berkata bahwa kalau benar-benar peduli, dia harus membiarkannya melakukan apa yang dia inginkan.

Apa dia benar-benar harus melepaskan burung kenari kecil ini?

Jing Yan menopang tubuh bagian atasnya dan menatap Qiao Qiao yang membelakanginya, matanya gelap dan dalam. Dia tidak tahu betapa fatalnya keputusan yang dia buat hari ini nantinya, bahkan… bisa membuatnya kehilangan Qiao Qiao sepenuhnya.

Penulis ingin berkata: Saat ini Jing Yan belum terlalu buruk. Dia benar-benar ingin memperlakukan Qiao Qiao dengan baik, tapi sayangnya…

Dia akan menjadi jahat nantinya.

Oh iya, lupa bilang kemarin, cerita lain yang dibintangi Jing Yan dan lainnya berjudul Kakak Sedang Menjadi Jahat. Ilusinya adalah tokoh utama pria tampak seperti kakak yang penuh kasih sayang di awal cerita. Yang tertarik bisa simpan dulu, setelah buku manis ini selesai, akan dilanjutkan.






— 🎐Read on onlytodaytales.blogspot.com🎐—


KANARYANYA – BAB 68: QIAO YANFANWAI (3)

Qiao Qiao akhirnya bisa pergi ke sekolah. Setiap hari ia mengenakan seragam sekolah dan mengikat rambut panjangnya dengan ekor kuda. Ia selalu senang melompat-lompat turun tangga spiral, satu anak tangga demi satu anak tangga.

Tak ada yang bisa menghentikannya...

Jing Yan merasa bahwa gadis itu bisa saja kapan pun terbang menjauh darinya, seperti seekor kenari yang mengepakkan sayapnya dan sepenuhnya lepas dari kendalinya.

“Qiao Qiao.” Jing Yan tak bisa menahan diri, ia memeluknya dari belakang, menghentikan langkah kakinya yang hendak melangkah keluar gerbang. “Kau akan tetap bersamaku, kan?”

Qiao Qiao terdiam sejenak, lalu bertanya dengan ceria, “Kak Yan, kau mau ke mana kalau aku pergi?”

Ya, kalau dia pergi, tak akan ada yang tersisa padanya.

Barulah Jing Yan bisa bernapas lega. Ia mengelus kepala Qiao Qiao dari belakang, tak melakukan gerakan mesra lainnya. “Pulanglah cepat setelah sekolah.”

Qiao Qiao tersenyum, mengangguk, dan menjawab, “Baik.”

“...”

Qiao Qiao memang polos, tapi dia tidak bodoh.

Waktu kecil dia memang tidak mengerti, tapi setelah dewasa, dia mengingat kembali semua yang pernah terjadi dan merasa ada yang hilang dari hidupnya.

Di hari pertama sekolah, Qiao Qiao keluar dari gerbang sekolah mengikuti arus orang. Dia tidak mencari supir yang menunggunya seperti biasanya, melainkan pergi ke gang tempat dia pernah tinggal bersama ayahnya sewaktu kecil.

Gang itu masih seperti dalam ingatannya—kotor dan padat. Qiao Qiao berjalan masuk lebih dalam sambil membawa tas sekolah, dan akhirnya menemukan gubuk kecil itu.

“Kamu cari siapa?”

Saat ia ragu-ragu hendak mengetuk pintu, terdengar langkah kaki di sampingnya. Ketika ia menoleh, ia melihat seorang anak laki-laki berseragam sekolah yang sama dengannya.

“Kamu... Qiao, kan?” Anak itu melepas headphone-nya dan tersenyum ramah pada Qiao Qiao, menampilkan gigi harimau kecilnya yang lucu. “Kamu nggak ingat aku? Aku Qiao Rui, duduk di belakang kamu.”

Qiao Qiao merasa wajah anak laki-laki itu memang familiar. Setelah diingatkan, dia pun tersenyum malu dan berkata, “Namaku Jojo.”

“Aku tahu namamu Qiao Qiao.” Qiao Rui berjalan mendahuluinya dan mengeluarkan kunci untuk membuka pintu. “Kenapa kamu berdiri di depan rumahku?”

“Ini rumahmu?”

Qiao Qiao melihat Qiao Rui membuka pintu dengan luwes dan mempersilahkannya masuk. “Mau mampir sebentar?”

Qiao Qiao ragu sejenak sambil memegang erat tali ransel, lalu memutuskan untuk masuk.

Setelah bertahun-tahun tidak kembali, rumah kecil itu sudah berubah total. Qiao Qiao berdiri lama di dalam rumah, lalu menggigit bibir dan bertanya, “Qiao Rui, kamu sudah berapa lama tinggal di sini?”

“Um... dua tahun?” Qiao Rui melempar tas ke sofa dan duduk.

“Kamu tahu siapa yang tinggal di sini dua tahun lalu?”

“Sepertinya seorang wanita usia 20-an atau 30-an. Katanya dia dipromosikan di perusahaannya dan sudah pindah karena beli rumah baru. Kamu kenal?”

“Tidak.”

Qiao Qiao menggeleng lesu. “Dulu waktu kecil aku tinggal di sini. Tapi kemudian...”

“Pokoknya, aku ingin mencari ayahku.”

“Ayah?”

Qiao Rui memandangi Qiao Qiao dengan tatapan penuh minat, lalu melihat jam di ponselnya, melepas jaket, dan masuk ke dapur. “Aku mau masak. Mau makan bareng?”

“Enggak usah.” Qiao Qiao sadar hari sudah sore. Saat membuka pintu, ternyata sudah gelap, dan ia tertawa kecil tanpa sadar.

“Kalau gitu... aku antar kamu pulang.”

Melihat Qiao Qiao hendak pergi, dia pun segera menyusul dengan jaket di tangan. Dia teringat perkataan Qiao Qiao tadi dan bertanya penasaran, “Kamu bilang kamu dulu tinggal di sini dan sekarang mau cari ayahmu. Berarti kamu nggak tinggal sama dia sekarang?”

Meskipun mengenakan seragam sekolah, aura Qiao Qiao seperti air tenang yang tidak bisa dipalsukan.

Mereka mengobrol sambil berjalan. Mungkin karena Qiao Rui terlalu ramah, atau karena dia teman pertama yang Qiao Qiao temui di sekolah, dia merasa percaya diri untuk bercerita.

“Kenapa kamu berhenti?”

Qiao Rui yang asyik mendengarkan terkejut karena Qiao Qiao tiba-tiba berhenti. Gadis itu menatap jalan bercabang di depannya dan berkata ragu, “Aku... aku nggak ingat jalan pulang.”

Biasanya dia selalu dijemput supir atau bersama Jing Yan. Ini pertama kalinya dia pergi sendirian, dan dia bahkan tidak tahu lokasi pasti vila tempat Jing Yan tinggal.

Mungkin... tidak usah pulang?

Qiao Qiao terkejut dengan pikiran itu. Saat keduanya bingung berdiri di persimpangan jalan, puluhan mobil mewah hitam datang dari arah seberang dan dengan cepat mengepung mereka. Qiao Rui terkejut dan langsung berdiri di depan Qiao Qiao untuk melindunginya.

“Jojo.”

Pintu mobil di tengah terbuka, dan Jing Yan melangkah cepat ke arah Qiao Qiao. Ia langsung memeluknya erat tanpa peduli tatapan orang-orang, memeluknya sangat erat.

“...”

Saat Jing Yan turun dari mobil, karena pencahayaan yang buruk, Qiao Qiao tidak melihat ekspresi wajahnya. Tapi begitu ia mendekat, tatapannya tak lagi lembut dan sopan. Ia bahkan tidak melirik Qiao Rui. Ia hanya mencengkeram tangan Qiao Qiao dan membawanya masuk mobil.

“Kak Yan.”

Sepanjang perjalanan, Jing Yan tak berkata sepatah kata pun. Ia hanya membisikkan sesuatu lewat earphone-nya.

Mungkin karena suasana hatinya buruk, lampu di dalam mobil sangat redup. Jing Yan terus menunduk, rambut hitam keritingnya menutupi setengah wajah, menyisakan hawa dingin.

“Kak Yan.” Qiao Qiao memberanikan diri memanggilnya lagi, menarik lengan bajunya dengan hati-hati dan bertanya, “Kamu marah ya?”

“Kak Yan, jangan marah ya. Aku nggak bermaksud, aku cuma... cuma pengen cari ayahku.”

“Ayahmu sudah tidak menginginkanmu lagi. Kupikir kamu sudah tahu itu.”

Suara dingin lirih keluar dari bibir tipis Jing Yan. Ia tetap tidak menatap Qiao Qiao, hanya memejamkan mata.

Nada bicara itu sangat menekan, membuat Qiao Qiao takut. Ia melepaskan tangan dari lengannya, dan Jing Yan menarik napas, menyembunyikan kemarahan yang hampir meledak.

Ia selalu bersikap lembut padanya. Ini pertama kalinya ia memperlihatkan amarah, walau hanya sedikit, tapi tetap menakutkan bagi Qiao Qiao.

“Jojo.”

Sesampainya di vila, Jing Yan kembali seperti biasa. Ia menggendong Qiao Qiao masuk, menaruhnya di sofa, memegang tangan kecilnya, dan berjongkok dengan lembut di hadapannya, membujuknya pelan.

Saat itu, ia mulai berpikir untuk melarang Qiao Qiao sekolah. Tapi saat melihat mata jernih Qiao Qiao seperti mata rusa, ia mengubur semua niat gelapnya.

Jing Yan selalu berpikir bahwa perasaan adalah senjatanya, tapi Qiao Qiao adalah pengecualian. Ia tak pernah menggunakannya. Ia ingin memberi Qiao Qiao segalanya, tapi rasanya tak ada gunanya.

Sejak sekolah, sorot mata Qiao Qiao jadi lebih cerah, pikirannya tak lagi fokus padanya. Jing Yan melihatnya, tapi tak pernah menghentikannya.

Selama Qiao Qiao tidak pergi, dia rela menahan diri. Karena dia tak bisa membiarkan gadis itu menangis.

Tapi pada akhirnya, Qiao Qiao menghancurkannya. Harga dirinya, keangkuhannya, dan semua kebanggaannya hancur oleh gadis itu.

“...”

Hubungan Qiao Qiao dan Qiao Rui semakin dekat. Mereka jadi sahabat, berbagi rahasia satu sama lain.

Qiao Rui tahu Qiao Qiao ditinggalkan orangtuanya dan tinggal bersama "kakak" tanpa hubungan darah. Qiao Qiao tahu Qiao Rui yatim piatu, dan bekerja serabutan untuk bertahan hidup.

“Jojo, aku sudah dapat informasi soal ayahmu!”

Qiao Rui, karena pengalamannya yang luas, berhasil menemukan informasi tentang Qiao Chengping. “Paman Qiao udah nggak di kota ini. Dia pindah ke Kota C beberapa tahun lalu. Detailnya belum tahu. Aku akan hubungi teman-teman di Kota C.”

Qiao Rui sangat pintar dan dewasa. Ia banyak mengajarkan hal pada Qiao Qiao.

Selanjutnya...

(Terjemahan ini akan berlanjut dalam bagian berikutnya karena panjangnya naskah. Lanjutkan?)





— 🎐Read on onlytodaytales.blogspot.com🎐—


KANARI-NYA - BAB 69: QIAO YAN FANWAI (4)

01

Di tahun pertama pernikahan Qiao Qiao dan Jing Yan, Qiao Qiao memiliki keinginan untuk melarikan diri.

Jing Yan masih sangat baik padanya, satu-satunya perubahan adalah dia menjadi lebih dominan dari sebelumnya, dia tidak lagi menyembunyikan amarahnya, dan Qiao Qiao akan merasa takut setiap kali itu muncul.

Jing Yan tidak menghentikan komunikasi Qiao Qiao, dan karena alasan inilah Qiao Qiao masih bisa terus menghubungi Qiao Rui. Mereka berdua tidak memiliki perasaan lain, benar-benar hanya teman baik.

Dia berpikir begitu, tetapi Jing Yan tidak berpikir demikian. Ketika dia keluar bekerja dan melihat Qiao Qiao dan Qiao Rui duduk makan bersama, Jing Yan marah. Di depan restoran, dia menyeret orang itu pulang.

Bukan hanya menyeret Qiao Qiao pulang, tapi... dia juga memukuli Qiao Rui.

Karena hal ini, Qiao Qiao mengabaikan Jing Yan selama berhari-hari. Dia semakin tidak tahan dengan kekuatannya, sehingga muncul pikiran untuk melarikan diri.

Dia benar-benar kabur, tetapi tertangkap oleh Jing Yan setengah jam kemudian.

“Jojo, kamu sengaja membuatku marah?”

Jing Yan menekan dahinya dan menatap Qiao Qiao yang sedang meronta di tanah, berjongkok di depannya, ujung jarinya menyentuh pergelangan kakinya, dia berkata, “Jangan paksa aku menyakitimu.”

“Aku benci kamu, aku benci kamu, aku paling benci kamu seumur hidupku, kalau kamu bisa, bungkam aku!”

Jing Yan sedikit kaku, mengangkatnya dari tanah, dan menciumnya. “Baiklah.”

02

Qiao Qiao tidak pernah tahu bahwa cara Jing Yan bisa begitu kejam. Apa yang dia maksud dengan membungkamnya adalah membawanya ke lingkungan yang benar-benar asing, di mana dia tidak mengenal siapa pun, tidak tahu bahasa, dan tidak tahu ke mana harus pergi.

Jing Yan membawanya ke Amerika Serikat. Meskipun dia mengatakan tidak akan membatasi kebebasannya, ada belenggu tak kasat mata yang mengikatnya.

“Jojo, mari kita punya anak.”

Setelah satu atau dua tahun hidup dalam ketidakpastian di Amerika, suatu malam, Jing Yan tiba-tiba mengatakan bahwa dia ingin memiliki anak. Saat itu, Qiao Qiao sudah benar-benar mengenal Jing Yan, dan juga tahu bahwa akar keluarga Jing ada di sini. Di sini, dia bisa disebut raja kegelapan.

Selain sifat dominannya yang berlebihan, Jing Yan masih sangat baik padanya. Dia akan membantunya mandi dan mengganti pakaian saat Qiao Qiao mengantuk. Dia akan selalu memeluknya dan menjaga jarak saat dia sakit. Dia memeluknya saat tidur malam.

Dia jarang memperlihatkan sisi buruknya kepada Qiao Qiao, dan kemudian Qiao Qiao jatuh cinta pada kitab Buddha, dan seiring waktu dia juga melepaskan ketidakrelaannya dan kewaspadaannya.

“Jing Yan, aku bahagia bersamamu, tapi bisakah kamu berjanji padaku, jangan terus melakukan hal buruk?”

Jing Yan tersenyum lembut, wajahnya tampan dan lembut, napasnya bersih dan tenang, sama sekali tidak seperti orang jahat. Dia tidak menjawab, hanya menunduk dan mencium Qiao Qiao, jadi Qiao Qiao mengerti bahwa pria ini—dia tidak akan pernah berubah.

Qiao Qiao mencoba menggunakan anaknya untuk mengikat dan membujuknya menjadi baik, tapi dia tidak menyangka tubuhnya menjadi lemah setelah hamil. Kehamilannya sangat sulit, dan dia tidak bisa menahan sakit. Dia butuh tiga sampai empat tahun untuk pulih.

Mungkin karena Qiao Qiao sakit terlalu lama, wajah Jing Yan yang tenang dan lembut menjadi dingin, jadi Qiao Qiao selalu mengajaknya menyembah Buddha, dan dia mengikutinya dengan patuh, berdiri di depan Buddha, tapi dia tidak pernah berlutut.

Buddha mengatakan bahwa seseorang yang meletakkan pisau pembantai bisa menjadi Buddha. Jing Yan pernah menutup hatinya dan kehilangan Qiao Qiao.

Oleh karena itu, dia dan Buddha benar-benar berada di dua sisi yang berlawanan. Dia tidak mendapatkan Qiao Qiao melalui kebaikan, tetapi dengan melepaskan iblis di dalam hatinya.

Lihatlah betapa kuatnya dia sekarang, setelah melepaskan hatinya.

03

Karena alasan fisik, Qiao Qiao tidak bisa merawat anaknya dengan baik setelah melahirkan. Tuan Jing adalah pria tua yang sangat baik, yang membuat Qiao Qiao, yang tidak mengenalnya, selalu waspada terhadapnya, tapi dia lupa satu hal:

Terkadang, semakin penuh belas kasih di permukaan, semakin kejam hatinya.

Qiao Qiao menyadari masalah ini terlalu terlambat. Dia mengambil kembali Jing Rong, tapi Jing Rong tidak dekat dengannya. Terkadang, dia merasa Jing Rong memandangnya seperti melihat orang asing.

“Arong.”

Saat itu, Qiao Qiao menjadi sangat cemas, bukan hanya karena suasana hati yang buruk, dia juga sering marah dan tidak suka disentuh oleh Jing Yan, tapi dia suka dekat dengan Jing Rong, selalu menggenggam tangannya, terus menanyakan apakah dia lelah, mengantuk, lapar atau tidak. Bahkan... dia tidur bersamanya di malam hari.

“Aku bisa sendiri.”

Meskipun Jing Rong masih anak-anak saat itu, dia anak yang sangat cerdas. Dia bisa melihat ketidakpuasan ayahnya terhadap dirinya akhir-akhir ini, dan dia bisa jelas melihat ketulusan hati Qiao Qiao.

‘Baoer—’

Memanfaatkan saat Jing Yan tidak ada, Jing Rong memeluk kepala Qiao Qiao dan mencium dahinya. Dia memiringkan kepala dan menatap Qiao Qiao sambil tersenyum, jelas anak laki-laki yang sangat tampan, tapi saat ini dia tersenyum seperti iblis kecil.

Anak yang mau dekat dengannya tentu hal yang baik, tapi Qiao Qiao yang menatapnya tersenyum justru merasa panik, dia tak tahan memeluknya dan ingin mengatakan sesuatu padanya.

“Hush—”

Jing Rong menyentuh bibir ibunya dengan jari kelingking, menatapnya sambil tersenyum, dan berkata dengan santai, “Qiao Qiao tidak bisa tidur bersamaku malam ini.”

“Kenapa?” Qiao Qiao mengambil tangan kecilnya dan mengelus rambut lembutnya. “Kamu tidak suka mama?”

“Tapi aku tidak bisa menyaingi ayahku.”

Sebelum Qiao Qiao bisa benar-benar memahami ucapan Jing Rong, anak itu tiba-tiba mendorongnya, lalu tubuhnya terangkat ke udara, jatuh ke pelukan orang lain.

“Jing, Jing Yan.”

“Bagus—” Jing Yan memeluknya erat, rambut yang sedikit tergerai menutupi tatapan dingin di matanya, dan dia langsung membawa Qiao Qiao kembali ke kamar.

“Jing Rong sudah besar. Mulai hari ini, aku tidak izinkan kamu tidur dengannya lagi.”

“Tapi...”

“Tidak,” kata Jing Yan dengan lembut, “Jika kamu tidak ingin aku menjadi lebih buruk, kamu harus menuruti aku.”

Pintu perlahan tertutup, dan Qiao Qiao yang terbaring di bahu Jing Yan masih melihat ke arah tadi. Sosok kecil itu berdiri tegak, bibirnya tersenyum dan matanya hitam terang, tapi Qiao Qiao merasa dia seperti Jing Yan saat menjadi ‘jahat’.

Jahat yang dingin, dengan senyum penuh kelembutan.

...

04

Karena alasan Jing Yan, Jing Rong hampir mengalami kecelakaan. Dia tidak terluka, tetapi saat membuka gudang senjata dan membunuh perampok, dia juga membunuh pengawalnya sendiri.

“Jing Yan, berapa banyak hal berbahaya yang kamu biarkan Arong lakukan di belakangku?!”

Saat mendengar berita itu, Qiao Qiao menerobos masuk ke ruang kerja Jing Yan, memukul dan menggigitnya, bahkan melempar semua dokumen di ruang kerja ke lantai.

Itulah pertengkaran paling sengit antara Qiao Qiao dan dia. Pada akhirnya, Jing Yan hanya bisa memeluknya dan memanggil dokter untuk menenangkannya.

“Aku menyesal...”

Qiao Qiao menangis sangat keras, sampai akhirnya kehabisan tenaga dan hanya bisa membiarkan Jing Yan memeluknya, tapi air matanya masih mengalir. “Kalau bisa, aku ingin pergi darimu bersama Arong...”

“Kamu tahu, itu tidak mungkin.” Meski jelas marah, saat menghadapi Qiao Qiao, dia tetap menjaga akal sehat. Dia memeluknya erat, mencium air mata di wajahnya, menepuk-nepuk punggungnya untuk menenangkannya. “Anak baik, jangan melawan aku.”

“Aku tidak sedang melawanmu!”

Tak peduli seberapa marah Qiao Qiao, saat menghadapi Jing Yan, dia merasa seperti memukul kapas. Tidak ada kekuatan sama sekali, membuatnya merasa putus asa.

“Aku ingin membawa Arong pergi darimu, aku ingin kembali ke negara asal, aku ingin Arong menjadi anak biasa!”

“Kalau kamu terus bicara seperti itu untuk membuatku marah, aku akan serahkan Jing Rong ke ayahku untuk dilatih sekarang, dan kamu hanya bisa tinggal di sini selamanya.”

“Uu...” Qiao Qiao menangis tertahan, meronta tak berguna, akhirnya hanya bisa menunduk. “Jing Yan, biarkan Arong kembali ke Tiongkok.”

Jing Yan tidak tergerak, dan perlahan mengusap air matanya.

“Jing Yan, aku tidak akan pergi. Biarkan saja Arong kembali ke Tiongkok. Aku mohon padamu.”

Jing Yan mengambil kompres es dan mengompres matanya yang bengkak dan merah, menahan tangan kecilnya yang kacau.

“Kak Yan, izinkan Arong kembali ke negara kita? Kita akan hidup berdua saja. Aku akan tinggal di Amerika dan tinggal bersamamu, ya?”

“...”

Jing Yan akhirnya tersenyum. Dia menatap pintu lama sekali, dan matanya dingin dan datar, lalu melambai—selamat tinggal.

05

Qiao Qiao benar-benar berusaha keras agar Jing Yan menjadi orang baik.

Qiao Qiao benar-benar berusaha keras agar Jing Rong lepas dari keluarga gelap Jing.

Qiao Qiao benar-benar berusaha keras agar Jing Yan memperbaiki keluarga Jing. Dia ingin memberi anak Jing Rong rumah yang bersih.

Qiao Qiao benar-benar berusaha keras...

Qiao Qiao benar-benar menganggap Jing Yan sebagai keluarga,

Qiao Qiao benar-benar jatuh cinta pada Jing Yan di akhir,

Akhirnya, Qiao Qiao benar-benar berharap bisa hidup bahagia bersama Jing Yan—seumur hidup.

“...”

Jing Yan benar-benar mencintai Qiao Qiao.

Jing Yan benar-benar mencintai Qiao Qiao.

Jing Yan benar-benar mencintai Qiao Qiao.

Kemudian, meskipun Jing Yan tidak menjadi orang baik, dia memang berubah karena Qiao Qiao.

Kemudian, meskipun Jing Yan tidak membiarkan Jing Rong lepas dari keluarga gelap Jing, dia memang berusaha demi Qiao Qiao.

Kemudian, meskipun Jing Yan tidak mengubah keluarga Jing, dia memang mencoba demi Qiao Qiao.

Bagaimanapun, Jing Yan benar-benar mencintainya. Tidak hanya itu, dia akan terus menyakitinya dan memanjakannya seperti ini untuk waktu yang lama.

Jika ada kehidupan selanjutnya, dia tetap ingin bersama Jojo tercintanya.


---

Ini bukan akhir dari seluruh cerita, Qiao Yan Fanwai selesai.

Penulis berkata: Qiao Yan Fanwai juga telah resmi berakhir. Kali berikutnya orang seperti Jing Yan muncul adalah di “Kakak Sudah Menghitam”. Meskipun dia tidak bisa melanjutkan jiwa Qiao Yan, dia bisa melanjutkan darah mereka. Mungkin itu dimulai dengan adik yang mengontrol kakaknya dan kakak yang mengontrol adiknya, lalu berkembang jadi satu hitam dan satu takut, hahahaha ~

DuangDuang, terakhir hanya ada sedikit Fan Jingxi, tidak terlalu panjang, bab terakhir ~

Tiba-tiba terasa... berat untuk mengakhiri ini.




— 🎐Read on onlytodaytales.blogspot.com🎐—

HIS CANARY - BAB 70: KAGEAKI EXTRA (AKHIR)

Jing Xi sudah lama sendirian, sampai akhirnya datanglah sosok mungil yang lembut dan manis dalam hidupnya. Namanya Jing Yi, yang secara nominal adalah adik perempuannya.

Nama asli Jing Yi adalah Dong Ciqi. Meskipun karakter "1" terdengar sederhana, namun memiliki makna yang dalam. Menurut Dong Ci, meski Jing Yi bukan anak kandungnya, dia berharap hidupnya bisa sesederhana dan sebersih itu—cukup dengan dicintai saja.

“Kakak… Kakak…”

Di mata Jing Xi, Jing Yi sungguh menyebalkan. Dia selalu memanggil “kakak” berulang kali, seperti ayam betina yang sedang bertelur.

Anehnya, Jing Xi sama sekali tidak membencinya.

“Kakak, aku mau minum susu.”

“Nih, buat kamu.”

“Hmm… Aku mau Kakak yang nyuapin.”

“...”

“Kakak, Ayah nggak ngizinin aku tidur sama Ibu. Malam ini, peluk aku ya waktu tidur.”

“Enggak, kamu nggak bisa diem.”

“Ooooo—”

Begitu melihat Jing Yi akan menangis, Jing Xi langsung buru-buru memeluknya dan menutup mulut kecilnya. “Jangan nangis, kalau sampai Ibu kamu tahu, nanti aku nggak bisa tidur bareng kamu lagi!”

“...”

Sejak Jing Yi ada, hidup Jing Xi mulai berwarna. Saat melihat Jing Rong mencium Dong Ci, dia akan buru-buru membalik badan untuk menutupi mata si gadis kecil. Saat Dong Ci dan Jing Rong bersitegang, dia akan memeluk dan bermain bersama Jing Yi di ruang gamenya. Dan tentu saja, saat berbuat onar, dia bisa dengan mudah menyalahkan Jing Yi, toh Jing Rong dan Dong Ci tidak akan pernah memarahi gadis kecil itu.

“Satu-satunya, tangan Kakak keseleo hari ini. Nanti kalau Ibu tanya, bilang aja Kakak jatuh pas lagi gendong kamu, ngerti?”

“Tapi Kakak tadi nggak gendong aku.”

Jing Xi menekan lengannya yang bengkak, lalu mengetuk dahi Jing Yi dengan tangan satunya. “Bodoh, masa nggak bisa bohong sih?”

“Nggak boleh bohong.”

Jing Yi mendekat ke sisi Jing Xi, mencoba masuk ke dalam pelukannya. “Kenapa tangan Kakak sakit?”

“Kamu berat banget, terus Kakak jatuh.”

“Hah? Tapi Kakak nggak gendong aku hari ini.”

“Kakak bilang gendong ya berarti gendong. Kamu dengerin Kakak nggak?”

“Dengerin.”

“Terus kenapa tangan Kakak sakit?”

“Hmm… Gendong aku, terus jatuh.” Jing Yi menggigit jarinya dengan wajah sedih, padahal dia tahu hari ini Kakaknya nggak gendong dia.

“Satu-satunya.”

Jing Xi hanya tersenyum, mencubit pipi Jing Yi, lalu saat dia menoleh, dia melihat Jing Rong berdiri tak jauh di belakang, menatapnya dengan senyum penuh makna. Jing Xi langsung gugup dan menyembunyikan lengannya di belakang punggung.

“Hanya latihan biasa aja udah bisa bikin kamu kayak gitu, kamu hebat banget ya.”

“Kamu masih mau wujudin keinginan Ibu?”

“Aku nggak mau mewujudkannya.” Jing Xi mengikuti Jing Rong ke ruang kerja, meninggalkan tawa ringannya. “Menurutku keluarga Jing sekarang udah bagus. Kalau mau terus berkembang, nggak bisa dicuci bersih.”

“Menarik.”

Jing Rong tertawa ringan. “Mencuci bersih keluarga Jing itu keinginan ibumu dan Qiao Qiao. Bagaimanapun, seluruh keluarga Jing nanti juga akan jadi milikmu, kamu bisa arahin ke mana pun. Tapi satu hal, jangan libatkan ibumu dan Qiao Qiao.”

Setelah berpikir sejenak, Jing Rong melirik boneka pink di atas meja dan menambahkan, “Termasuk juga satu-satunya.”

“...”

Mungkin karena masih muda dan penuh semangat, Jing Xi sangat ambisius. Sebagai penerus keluarga Jing, dia masih terlalu hijau, hingga mengabaikan hitam-putih, hanya memikirkan keuntungan keluarga. Dia hanya ingin keluarga Jing terus berkembang, hingga suatu hari saat dia ke kantor pusat di Amerika, dia diserang, koma, dan saat terbangun, dia melihat wajah sedih yang menangis di samping tubuhnya...

Mungkin karena perlindungan Jing Xi dan Dong Ci, gadis kecil di hadapannya itu lebih murni dibanding anak-anak seusianya. Mata beningnya tidak menyimpan noda sedikit pun, dan bayangan Jing Xi terlihat jelas di sana. “Kakak, kenapa Kakak selalu terluka, bikin satu-satunya khawatir?”

Bukan lagi kakak yang manja seperti dulu, kini sosok kakak itu penuh luka dan amarah, namun tetap menggenggam erat lengan bajunya. “Setiap Kakak terluka, Ayah selalu bantu sembunyiin dari Ibu. Tapi Kakak nggak pernah nyembunyiin dari aku.”

“Kakak takut Ibu sedih, tapi Kakak nggak takut aku sedih juga?”

“Aku nggak mau lihat Kakak terluka lagi.”

“...”

Saat itu, hati Jing Xi runtuh perlahan. Dan entah kenapa, dia tiba-tiba paham kenapa Dong Ci dan Qiao Qiao ingin keluarga Jing jadi bersih.

Baiklah, demi gadis kecil yang bodoh dan lengket ini, dia juga akan mencoba membersihkan keluarga Jing. Meskipun kepentingan itu utama, tapi...

Dia lebih takut kehilangan satu-satunya dalam mengejar kekuasaan dan keuntungan. Bukankah itu sama saja seperti menggali sepotong daging dari hatinya?

Setelah bertahun-tahun, Jing Yan dan Qiao Qiao kembali tinggal di Tiongkok. Mereka membeli vila kecil yang tenang dan menanam bunga setiap hari.

Saat itu, Jing Rong melihat tempat tinggal mereka dari jendela ruang kerja dengan senyum di wajahnya, lalu bertanya santai pada Jing Xi, “Kapan kamu mau ambil alih keluarga Jing?” Dia sudah tidak sabar untuk hidup tenang seperti Jing Yan dan Qiao Qiao.

“Bantu aku satu hal, dan aku janji kamu bisa pensiun dalam dua tahun.”

“Udah pintar, berani nawar sama ayah sendiri.” Jing Rong memahami maksud Jing Xi, lalu menunduk melihat ibu dan anak perempuan yang sedang minum teh di aula bunga di bawah sana, dan tersenyum kecil. “Kamu benar-benar tega, bahkan adik sendiri nggak kamu lepasin. Gimana kalau Ibumu tahu, marah nggak tuh?”

Gila? Bukankah itu kata yang sering dipakai Dong Ci untuk menggambarkannya?

Jing Xi tertawa kecil, menutup laptopnya, lalu berjalan ke sisi Jing Rong dan berdiri di sampingnya, menatap ke arah Jing Yi yang tersenyum di bawah. “Kamu tinggal bilang bisa bantu atau nggak. Walaupun aku keluarin satu-satunya dari keluarga Jing, itu cuma untuk kasih dia identitas baru dan membawanya masuk lagi. Kalau aku yang jagain mereka seumur hidup, bukankah Ibu akan lebih tenang?”

Mereka semua adalah gadis-gadis yang dia besarkan. Orang lain tak boleh menyakiti mereka, dan dia pun tak boleh menyakiti mereka.

Jing Rong mengetuk jendela dengan ujung jarinya, “Satu-satunya tahu isi pikiranmu?”

“Apa yang bisa diketahui gadis bodoh itu? Bodohnya kebangetan.” Mata Jing Xi berbinar. Saat itu, seolah-olah Jing Yi menyadari tatapan mereka, dia mendongak dan melambaikan tangan, sambil berseru, “Kakak! Ngapain sih sama Ayah di ruang kerja? Turun dong, minum teh bareng. Teh bunga buatan Ibu enak banget!”

Di aula bunga, bunga-bunga bermekaran, angin berhembus pelan, menjatuhkan kelopak bunga ke bahu dan rambut Jing Yi, membuat Jing Xi terpukau.

Waktu terasa damai, dan hatinya pun tenang.

Jing Xi berpikir, meskipun dia adalah pewaris termuda di keluarga Jing... tapi semua ini layak diperjuangkan.

“...”

***


TAMAT


Comments

Donasi

☕ Dukung via Trakteer

Popular Posts