I Can't Hear Your Regret - Bab 4

BAB 4

Irene mengakhiri percakapan dengan sapaan singkat.

Irene membuka pamflet yang ia ambil di pintu masuk.

Pamflet itu berisi informasi rinci tentang lukisan-lukisan yang membuatnya penasaran. Ia membacanya dengan saksama saat sebuah bayangan jatuh di atasnya.

Ia mendongak dan tersenyum cerah.

“Tuan Hegwins. Kapan Anda datang?”

“Aku baru saja tiba. Semoga aku tidak membuatmu terlalu lama menunggu.”

“Tidak sama sekali. Aku begitu tenggelam dalam pameran sampai lupa waktu.”

“Kau suka lukisan?”

Kawasan Eldenberg, terkenal sebagai resor kaum bangsawan, mengadakan pameran sepanjang tahun.

Saat kecil, ketika sempat tinggal di selatan untuk sementara waktu, Irene hanya bisa menyaksikan pameran Eldenberg dari kejauhan. Saat dewasa, ia punya kesempatan untuk berkunjung, tapi waktu yang tersedia sangat terbatas.

Mungkin karena itulah, begitu sampai di Eldenberg, aula pameran langsung menarik perhatiannya. Maka ia datang ke sini setelah mendengar Kaiden akan terlambat karena pekerjaan.

Pameran yang akhirnya ia datangi dan jelajahi itu melebihi ekspektasinya.

“…Ya, aku suka. Saat melihat karya para seniman, aku juga ingin melukis.”

“Akankah kita bisa melihat pameran yang penuh dengan lukisan-lukisanmu, Nona Whitfield? Aku sangat menantikannya.”

Senyum nakal muncul di bibir Kaiden. Lelucon dan candanya yang konyol sering membawa tawa.

Irene menyukai momen seperti ini.

“Sayangnya, kau tidak akan pernah melihatnya. Aku hanya melukis sebagai hobi.”

“Kau bisa merasakan inspirasi dan tetap melukis meski hanya sebagai hobi. Kau cukup berbakat untuk jadi seniman ternama.”

“Kalau itu benar-benar terjadi, kau akan jadi orang pertama yang kuundang ke pameranku.”

Irene menambahkan dengan nada murah hati. Kaiden tersenyum samar dan mengangguk ringan.

“Itu akan menjadi kehormatan bagi keluargaku, Nona Whitfield.”

Irene akhirnya tertawa lepas. Tawa mereka berlanjut sampai mereka mengelilingi aula pameran satu putaran. Namun langkahnya tidak mudah terhenti.

Ia ingin berkeliling sedikit lebih lama bersama Kaiden.

Rasa enggan terus mengguncang hatinya. Ia ingin memperpanjang momen ini, meski hanya sedikit lebih lama.

Ia memperhatikan Kaiden dengan saksama. Pria itu sedang menatap keluar jendela besar.

“Pameran ini sepertinya tidak sesuai selera Anda, Tuan Hegwins?”

“Menurutmu bagaimana?”

Kaiden, menurunkan pandangannya sedikit, balik bertanya. Irene berpikir dalam-dalam.

Sepanjang pameran, pandangan Kaiden hampir seluruhnya tertuju padanya atau ke luar jendela. Ia memang sempat melihat-lihat lukisan, tapi ekspresinya tampak acuh tak acuh.

“Aku rasa aku harus mengganti orang pertama yang kuundang ke pameranku. Terlepas dari selera, Anda sepertinya tidak tertarik dengan lukisan.”

“Ada sesuatu yang kau lewatkan, Nona Whitfield.”

Kaiden, mendekat, mencondongkan tubuhnya. Saat jarak mereka menipis, aroma cedarwood tercium di hidungnya. Irene menahan napas tanpa sadar. Ia merasa seolah Kaiden bisa mendengar detak jantungnya yang berdegup kencang.

“Aku baru saja ingin melihat pamflet itu dan mencoba memahami maksud sang seniman.”

Suara lembut dan santai itu mendarat di telinganya. Mata emas Kaiden menyapu pamflet di tangannya.

“Pameran ini adalah kumpulan karya bergaya realisme.”

Irene berusaha untuk tidak terlalu menyadari keberadaannya dan fokus pada isi pamflet.

“…Ya, benar. Karena lukisan-lukisan ini menggambarkan peristiwa yang langsung dialami, ada kesenangan tersendiri dalam mengintip kehidupan para senimannya.”

Kaiden mengangguk dan membalik halaman pamflet. Ujung jari mereka tanpa sadar bersentuhan.

Irene refleks mengepalkan tangan. Itu hanyalah sentuhan biasa, tapi terasa sangat menggugah.

Sebuah jari panjang dengan buku-buku jari yang tebal menunjuk pamflet.

“Aku paling suka karya ini. Kalau kau?”

Kaiden memiringkan kepalanya dan menatap mata Irene. Jaraknya cukup dekat hingga nafasnya terasa.

Irene tanpa sadar melirik ke arah bibirnya.

“Nona Whitfield?”

Suara Kaiden memecah keheningan yang memanjang.

“Ah…”

Irene akhirnya sadar dan buru-buru mengalihkan pandangan. Apa yang tadi ia pikirkan?

Wajahnya memerah karena malu.

Apakah itu terlihat jelas?

Ia mencoba menghapus panas dari pipi dan telinganya, tapi tak bisa dikendalikan.

Irene sengaja menundukkan kepalanya lebih dalam. Ia tak lupa melihat karya yang ditunjuk Kaiden.

“‘Sepasang Kekasih Berjalan di Pantai’ ini memang menarik perhatian. Aku juga paling suka lukisan ini. Gambar seorang pria dan wanita berjalan di pantai saat matahari terbenam sungguh indah.”

Komentar canggung itu jauh dari cukup untuk mengalihkan perhatian Kaiden. Irene merasa jantungnya bisa meledak kapan saja karena tatapannya yang jelas terasa.

Yang menyelamatkan Irene dari situasi itu adalah cahaya jingga terang yang jatuh di kakinya. Mengikuti cahaya itu, pandangannya beralih ke jendela.

Di balik jendela dengan pemandangan laut, ia melihat langit senja. Pemandangan itu seperti lukisan yang dipindahkan ke dunia nyata. Tertarik oleh pemandangan itu, Irene tanpa sadar menarik lengan baju Kaiden.

“Tuan Hegwins, ada pemandangan serupa di luar.”

Sebuah kehangatan terasa di punggung tangannya yang memegang lengan Kaiden. Irene terkejut, tapi tak mengalihkan pandangan dari luar. Tangan besar yang awalnya hanya menyentuh, perlahan menyatu dengan jari-jarinya.

“Sepertinya pemandangannya akan lebih indah dari luar. Mau berjalan bersama?”

Suara rendah itu meresap di antara degup jantung yang tak jelas milik siapa.

Shoo-ah-ah. Suara ombak lembut terbawa angin.

Irene memandangi laut musim dingin dan menghela napas kecil. Langit jingga terlihat samar di permukaan ombak tenang. Busa putih muncul di sepanjang garis pantai setiap kali ombak menghantam. Mungkin karena dingin, pantai yang tertutup salju putih itu sepi.

Irene berjalan ke depan seperti anak kecil yang bersemangat. Setiap langkahnya mengeluarkan suara salju terinjak. Baru setelah sampai di ujung pantai tempat ombak menyentuh pasir, ia menyadari bahwa ia berjalan sendirian.

Kaiden sedang memandangi Irene dari pantai.

Ia berbalik dengan wajah merona dan melambaikan tangan.

“Tuan Hegwins! Indah sekali, bukan?”

Senyum serupa muncul di bibir Kaiden. Jawabannya tenggelam dalam suara ombak. Meski tak terdengar, dari ekspresinya, Irene tahu mereka merasakan hal yang sama.

Irene kembali menatap pantai senja. Angin dingin bertiup, membuat mantel dan roknya berkibar. Pemandangan itu membuat dingin pun terasa romantis.

Ia tengah terpaku pada cakrawala saat merasakan seseorang di belakangnya.

“Bagaimana kalau kita masuk sekarang? Anginnya sangat dingin.”

Saat jaraknya semakin dekat, suara Kaiden terdengar jelas. Irene menjawab tanpa menoleh.

“Boleh kita lihat sedikit lagi?”

“Tapi hanya sampai matahari terbenam.”

Kaiden menghela napas, lalu menyerahkan secangkir kertas padanya. Mungkin ia sudah menyuruh pelayannya untuk membawa minuman hangat.

Irene mengangguk dan menerima cangkir itu. Hangatnya terasa di telapak tangannya.

Dari aromanya yang manis, sepertinya itu adalah cokelat panas. Cangkir yang Kaiden pegang juga berisi cokelat panas.

“Aku kira kau akan minum kopi, Tuan Hegwins. Tak kusangka.”

“Setiap kali aku minum kopi, ekspresimu seperti seorang bangsawan yang memikul seluruh beban dunia, jadi aku tak tega meminumnya.”

“Katamu kau insomnia. Kau harus mulai menguranginya.”

Ekspresi dan suaranya penuh kekhawatiran. Kaiden yang menatapnya, tersenyum ringan.

“Kau akan jadi dokter yang hebat untukku.”

“Hmm… Sebenarnya aku sudah pikir-pikir, tapi sepertinya aku tidak mau. Aku harus melihatmu sakit terus, Tuan Hegwins. Aku pasti merasa sangat bersalah.”

“Kalau begitu, agar tak membuatmu khawatir, aku harus tetap sehat.”

“Tapi kalau sakit, kau harus menghubungiku, ya?”

“Akankah kau merawatku semalaman?”

“Kalau kau ingin, aku bersedia.”

Irene mengangkat bahu dan menyesap cokelat panasnya. Matahari kini tinggal separuh di cakrawala. Angin laut yang bertiup juga terasa lebih dingin.

“Tidakkah kau merasa dingin?”

“Tidak. Sama sekali tidak. Aku bahkan tidak merasakan dingin karena sedang menatap pemandangan yang begitu indah.”

Padahal ia tidak suka dingin, tapi ia ingin terus menatap laut. Irene menambahkan dengan senyum lembut.

“Aku mengerti kenapa seniman itu melukis pantai senja. Aku pun pasti ingin menangkap pemandangan ini di atas kanvas.”

“Lukisan yang Nona Whitfield buat pasti lebih indah dari ‘Sepasang Kekasih Berjalan di Pantai’.”

“Kalau begitu, lukisan itu akan jadi karya utama di pameranku.”

Irene perlahan memejamkan mata. Pameran yang sebelumnya terasa konyol, kini begitu mudah ia bayangkan.

Dalam imajinasinya, ia berhenti di tengah pameran. Di sana, tergantung sebuah lukisan yang memuat momen serupa pantai yang ia lihat hari ini, namun terasa lebih istimewa.

Lalu suara Kaiden menyapu masuk bersama suara ombak.

“Apakah ada sepasang kekasih di lukisan yang Nona Whitfield bayangkan?”

***


Comments

Donasi

☕ Dukung via Trakteer

Popular Posts