Wife Can't Escape – Bab 61-70
Bab 61
Song Luan tahu bahwa ada mata-mata Zhao Nanyu di sekitarnya, mungkin lebih dari satu. Ia sudah terlebih dahulu mengepak barang bawaannya, sebagian besar berisi perhiasan emas dan perak yang bisa ditukar dengan uang. Ia hanya membawa satu set pakaian ganti.
Zhao Nanyu benar-benar mengenalnya. Dalam dua hari terakhir, beberapa orang asing berjaga di depan halaman rumahnya. Mereka bertubuh besar dan terlihat galak. Song Luan mendengar bahwa sepupu Zhao Nanyu sempat datang menjenguk, tapi dihentikan oleh para penjaga itu. Sementara dirinya sendiri, setiap kali keluar, selalu diikuti oleh bayangan yang tak bisa ia singkirkan.
Saat nyonya ketiga datang seperti biasa, ia bertanya heran, “Orang-orang yang berjaga di depan halaman itu, ada apa?”
Nyonya ketiga berpikir dalam hati, penjagaan seperti tahanan saja. Meski A Yu sangat menghargai anak dalam kandungan Song Luan, bukankah ini berlebihan? Apakah ada yang ingin mencelakainya? Kenapa sampai sewaspada ini?
Song Luan tersenyum tipis dengan nada sarkastik, “Aku juga kurang tahu. Katanya, orang-orang itu belum terbiasa tinggal di ibu kota, jadi lebih aman kalau dijaga banyak orang.”
Nyonya ketiga tak tahu apa yang terjadi di aula, dan Tuan Ketiga Zhao sendiri sedang menjalani kehidupan yang rumit. Ia pun hanya mengangguk. “Begitu ya, kukira ada sesuatu yang terjadi.”
Ia tak berlama-lama. Setelah melihat wajah Song Luan masih tampak cerah, ia merasa lega dan berpamitan. “Aku akan ke rumah nyonya tua untuk menyapa. Sekarang kau sudah tak perlu menyapa tiap bulan, karena sedang mengandung.”
Song Luan hanya menjawab pendek.
Tak lama setelah nyonya ketiga pergi, Nenek Lin datang bersama saudara lelaki Song Luan.
Zhi Geer dibalut seperti bakpao, langsung membuka jubahnya begitu masuk rumah, menepuk-nepuk salju tipis yang menempel. Wajahnya putih dan lembut. Ia berjalan ke arah Song Luan, matanya yang gelap menatapnya tanpa berkedip. “Ibu.”
Song Luan mengusap kepalanya. “Ayo, kenalkan adikmu.”
“Hmm.” Ia bersandar hati-hati. Ia tahu ibunya tak bisa menggendongnya karena sedang mengandung, jadi ia tak berani melompat ke pelukan.
Ia menatap Song Luan dan bertanya, “Berapa lama lagi adik akan keluar?”
Song Luan terdiam sejenak, lalu matanya melengkung sambil tersenyum, “Kenapa yakin adikmu laki-laki? Kalau ternyata perempuan, kamu tak suka?”
Setelah berpikir sebentar, ia menjawab, “Aku tetap suka.”
Padahal dalam hati, ia lebih suka adik laki-laki. Anak lelaki lebih tenang, tak seperti sepupu perempuannya yang cerewet dan menyebalkan.
Song Luan menatap wajah adiknya lama-lama. Ia tak tahu harus berkata apa. Setelah lama diam, ia mendekap adiknya dan mencium pipinya. “Kamu akan selalu jadi bayi kesayangan ibu.”
Anak itu tampak gelisah dan memeluk lehernya erat.
Dua hari berlalu dengan cepat. Song Luan tak tidur nyenyak, tidurnya dangkal dan mudah terbangun. Banyak adegan kejam berkelebat dalam pikirannya.
Salju di atap perlahan mencair, dan angin dingin berhembus tajam.
Saat Zhao Nanyu pergi pagi itu, Song Luan terbangun. Ia perlahan duduk di tempat tidur, rambutnya terurai, wajahnya pucat. Ia memandangi punggung pria itu dan bertanya, “Kapan kamu pulang hari ini?”
“Sore nanti.”
Ia takut saat pulang nanti, wanita itu sudah menenggak pil penggugur kandungan.
Song Luan menunduk, matanya memerah. Ia berkata pelan, “Baik, aku tunggu kamu pulang.”
Zhao Nanyu menoleh, mencondongkan tubuh dan mencium lembut alisnya. Tatapannya penuh rasa sayang. “Hmm.”
Setelah ia pergi, Song Luan tak bisa tidur lagi. Ia turun dari tempat tidur, membuka lemari, mengeluarkan buntalan yang disembunyikan di sudut paling dalam, dan menarik laci terkunci yang berisi buku cerai.
Keinginannya untuk meninggalkan Zhao Nanyu belum pernah sekuat ini. Penjaga di depan halaman hanyalah permulaan. Zhao Nanyu akan semakin mengendalikan hidupnya.
Alur cerita dalam novel terus berjalan. Zhao Nanyu adalah tokoh utama dan pusat dunia. Keangkuhannya, sifat keras kepala dan dinginnya, tak akan pernah berubah.
Nenek Lin mungkin sudah diberi tahu Zhao Nanyu, karena ia tak pernah lagi menjahit baju, sepatu, atau kaus kaki untuk bayi. Saat makan siang, ia melihat Song Luan makan dua mangkuk nasi, hatinya sedikit tenang. “Nyonya mulai bisa berpikir jernih sekarang.”
Beberapa hari terakhir, Song Luan hampir tak makan, tubuhnya semakin kurus.
Song Luan tersenyum tipis, “Hari ini nafsu makanku baik.”
Hanya jika kenyang, ia bisa punya tenaga untuk memanjat dinding.
Setelah makan siang, Song Luan menyembunyikan buku cerainya di lengan baju. Ia berjalan santai di halaman, lalu mendekati pintu halaman depan. Saat menatap penjaga, ia berkata datar, “Aku ke ruang kerja. Kalau mau ikut, ikut saja.”
“Baik.”
Song Luan kesal pada pria dingin seperti es batu itu.
Untung saja ia memang tak berniat melarikan diri terang-terangan. Ia hanya ingin meletakkan surat cerainya di ruang kerja.
Setelah melewati jalan setapak dan satu gerbang, ia tiba di halaman depan. Ia bisa melihat ruang kerja Zhao Nanyu di sudut. Biasanya ruang kerja dijaga ketat, tak sembarang orang bisa masuk.
Saat penjaga melihatnya, ia kaget lalu memberi hormat, “Nyonya.”
Song Luan jarang ke sana. Ia tanpa ekspresi dan berkata, “Aku cari buku.”
Sikapnya yang angkuh membuat siapa pun enggan membantah. Apalagi ia sedang mengandung, para penjaga tak berani menghalangi.
Song Luan masuk ke ruang kerja, menutup pintu rapat-rapat, lalu mengeluarkan surat cerai dan buku dari lengan bajunya dan meletakkannya di atas meja.
Ia melihat sekeliling ruang kerja. Dindingnya dipenuhi lukisan, dan semuanya adalah dirinya. Gambarannya begitu hidup, menunjukkan keterampilan pelukis yang luar biasa.
Song Luan kembali ke kamarnya dengan wajah tenang, seolah tak terjadi apa-apa. Hari mulai gelap, Zhao Nanyu pasti segera pulang.
Rumah dijaga ketat, satu-satunya celah aman hanyalah tembok belakang yang dulu pernah ia panjat.
Song Luan mengenakan pakaian ringan dan membawa buntalan beratnya ke tembok belakang. Aneh sekali, di sana ada tangga.
Ia tak punya waktu untuk berpikir. Ia naik ke tembok, lalu menurunkan tangga ke sisi luar dan dengan gesit memanjat keluar.
Semua berjalan terlalu lancar. Song Luan merasa tak tenang, hatinya makin berat.
Zhao Nanyu masih dalam perjalanan pulang saat seorang pengawal melapor, “Nyonya telah memanjat tembok belakang. Kami mengikutinya diam-diam, tak akan kehilangannya.”
Zhao Nanyu menutup mata, seolah sudah menduga semuanya.
“Lindungi dia.”
“Oh ya, nyonya sempat masuk ke ruang kerja Anda.”
“Baik, lanjutkan.”
“Siap.”
Kereta berjalan perlahan di jalan utama. Zhao Nanyu membuka mata, tampak emosi bergolak di balik tatapannya. Ia memerintah dingin, “Cepatkan.”
Kusir langsung mencambuk kuda lebih keras.
Begitu tiba, Zhao Nanyu langsung menuju ruang kerjanya. Hidungnya mencium aroma lembut. Ia berjalan cepat ke meja, mengambil surat cerai berwarna merah dengan tulisan hitam—menusuk matanya.
Kertas itu berkerut di tangannya. Ia membaca tiap kata, wajahnya memucat, hawa gelap menyelimuti wajahnya. Ia menahan amarah dan keinginan untuk menghancurkan segalanya.
Di samping surat cerai itu ada liontin giok yang pernah ia kalungkan ke leher Song Luan.
Tangannya gemetar saat menyimpannya kembali ke dalam laci. Ia tersenyum dingin, lalu membuka pintu dan bertanya dengan suara serak, “Di mana dia?”
Berkat daya ingatnya, Song Luan masih ingat tempat tinggal Huai Jin. Ia tak berani berjalan cepat karena membawa anak. Langit makin gelap, Zhao Nanyu mungkin sudah pulang, dan mungkin sudah membaca surat cerai itu.
Gang kecil itu sepi. Ia melompat-lompat kecil karena gugup. Baru mendekati ujung, sekelompok orang muncul dari balik bayangan.
Zhao Nanyu mengenakan pakaian hitam, wajah tampannya setengah tersembunyi dalam kegelapan. Ia duduk di atas kuda, alisnya bagai diselimuti embun salju.
Kaki Song Luan lemas, ia jatuh terduduk.
Zhao Nanyu turun dari kuda dan berjalan perlahan mendekat. Ia berjongkok, mengangkat dagunya, menatap matanya. “Kau mau ke mana?”
Bahkan jika melarikan diri, kenapa ke rumah lama?
Song Luan langsung menangis tanpa suara, tubuhnya terguncang.
Zhao Nanyu tak terlalu peduli pada air matanya. Ia mengangkat tubuh Song Luan dan menepuk punggungnya. “Kita bicara di rumah.”
Saat ia mengangkat Song Luan, semua perhiasan emas dan perak dalam buntalannya jatuh. Zhao Nanyu memungut sebatang emas dan melihat cap di atasnya.
“Lihat ini? Dicetak oleh perbendaharaan kerajaan. Tak ada yang berani menerimanya.”
Ia menghela napas seolah prihatin. “Kalau kau kabur seperti ini, bisa apa?”
Tanpa uang, tanpa teman.
Sejak awal, semua jalan belakangnya sudah ia putuskan.
Song Luan pucat dan gemetar. “Kau... kau...”
Zhao Nanyu mencium bibirnya kasar, lalu membawanya pulang.
Song Luan diletakkan di kamar. Ia meringkuk, wajah tertutup lutut, tubuh menggigil.
Zhao Nanyu masuk, tubuh tingginya menghalangi cahaya. Song Luan mengangkat wajahnya yang sembab, memegang lengan bajunya, berkata dengan suara gemetar, “Bisakah kau pikirkan cara lain? Aku tak sanggup, sungguh tak bisa.”
Ia tak sanggup membunuh anaknya sendiri.
Zhao Nanyu merasa seperti dipukul keras. “Kau ingat pernah keracunan dulu?”
“Iya.”
“Racun itu tak jelas. Walaupun kau dan anakmu selamat, dia mungkin cacat atau tak hidup lama.”
Song Luan terdiam. Kuku-kukunya mencengkeram telapak tangan hingga berdarah.
Jadi, sesusah apa pun ia berjuang, semua tetap sia-sia.
Zhao Nanyu memeluknya dan memberinya obat. Song Luan meminum semuanya. Rasa pahit mengalir ke perutnya.
Tak lama, wajahnya pucat, bibirnya tak berdarah, perutnya sakit luar biasa.
Roknya berlumuran darah. Aroma amis menyebar di kamar.
Air mata mengalir deras. Zhao Nanyu memeluknya erat. Song Luan berkata, “Sakit sekali... Zhao Nanyu...”
Ia menyeka air matanya dan berbisik, “Aku di sini, aku di sini.”
Darah terus mengalir. Zhao Nanyu menggigil melihatnya.
Song Luan setengah sadar, pikirannya kabur. Ia menatap Zhao Nanyu. “Kau tak bisa menahanku. Aku tetap akan pergi.”
“Kau lihat surat cerai yang kutinggalkan?” Ia tertawa pelan. “Dan... soal aku bilang suka padamu, aku bohong.”
Song Luan telah terlalu lama menahan. Sakit di perutnya membuatnya merasa sekarat.
Ia tumpahkan semua isi hati. “Aku tak suka padamu. Semua orang lebih baik darimu.”
Huai Jin dan Pangeran Kecil jauh lebih baik.
Tak peduli sekeras apa ia melawan, takdir cerita tetap berjalan. Hanya hati Zhao Nanyu yang berubah.
“Aku tak takut padamu. Ayahku pejabat tinggi, kakakku sayang padaku. Saat aku siap, aku akan tinggalkanmu.” Suaranya lemah, “Aku akan bersama pria lain!”
Ia melihat ekspresi Zhao Nanyu yang hancur.
Rasa sakitnya mulai reda. Ia berkeringat dan tertidur di pelukan Zhao Nanyu dengan wajah sepucat mayat.
Darahnya berhenti. Zhao Nanyu memandikannya, mengganti pakaiannya, dan memastikan ia masih bernapas.
Napasnya tersendat, dadanya sesak. Setiap helaan napas terasa seperti luka tersayat.
Di bawah cahaya temaram, wajah Song Luan tampak begitu indah. Zhao Nanyu terpaku menatapnya. Ia teringat isi surat cerai dan siapa yang hendak Song Luan temui. Kata-kata wanita itu menghantam hatinya.
Matanya gelap. Tangannya yang dingin menggenggam pergelangan kaki Song Luan.
Dengan suara pelan, disertai bunyi klik, ia berbisik di telinganya:
“Baik. Mulai sekarang, kau milikku.”
— 🎐Read on onlytodaytales.blogspot.com🎐—
Bab 62
Song Luan sadar namun tetap terbaring di tempat tidur selama tiga atau empat hari. Seseorang memberinya minum setiap hari. Saat ia masih setengah sadar, ia tetap mengingat suara rendah dan serak di telinganya.
Saat membuka matanya, itu sudah hari kedua Tahun Baru Imlek. Salju tebal menutupi jendela, pintu dan jendela tertutup rapat. Song Luan duduk di ranjang, wajahnya pucat seperti kertas, dan jari-jarinya yang ramping mencengkeram seprai. Bulu matanya bergetar sedikit, lalu ia mengangkat kelopak matanya untuk melihat sekeliling—tak ada siapa pun di ruangan.
Tak ada ketidaknyamanan lain selain tubuh yang lemas.
Ia menggerakkan betisnya dan terdengar suara gemerincing. Song Luan mengangkat selimut dan melihat rantai perak di pergelangan kakinya. Ia terlihat kaget, lalu tertawa pelan.
Lihat, semua dugaan dan kekhawatirannya terbukti benar.
Sang pria adalah orang sakit jiwa.
Dengan suara berderit, pintu terbuka. Seorang pria dengan jubah hitam masuk, dan angin yang menyelinap dari pintu mengusir sebagian hangat ruangan.
Mata Song Luan yang kosong tiba-tiba menjadi jernih. Ia menyeret rantai di pergelangan kakinya. Wajahnya jelek dan nadanya keras, “Lepaskan.”
Zhao Nanyu duduk diam di sampingnya, membelai wajahnya dengan lembut, tersenyum pucat dan lemah, “Akhirnya kamu bangun.”
Matanya juga sayu, bibirnya pucat, seolah dua hari saat Song Luan tak sadarkan diri benar-benar berat baginya.
Anak itu juga darah daging Zhao Nanyu. Ia sungguh menanti kehadirannya. Racun itu berasal dari dirinya sendiri, dan anak itu pun meninggal di tangan sendiri. Hatinya bukan batu—bagaimana mungkin tidak terasa sakit? Seperti ada duri menancap di jantung, dan jika dicabut malah makin sakit.
Sambil memegang semangkuk bubur putih, Zhao Nanyu melanjutkan, “Makanlah dulu sesuatu.”
Meski Song Luan tidak punya tenaga, dia mendongak dengan keras kepala dan berkata, “Lepaskan.”
Zhao Nanyu pura-pura tak mendengar, dan Song Luan pun menunduk dan menggigit pergelangan tangannya dengan keras. Giginya tajam menembus kulit dan dalam ke daging. Darah keluar, barulah dia melepaskannya.
Zhao Nanyu tampaknya tak merasakan sakit, tak mengernyit sedikit pun.
Song Luan lelah. Ia seolah mengerti mengapa Zhao Nanyu bertindak seperti orang yang kehilangan akal. Sebenarnya, menjelang akhir kehamilannya, ia memang sering mengigau karena sakit, dan hanya samar-samar mengingat apa yang ia ucapkan.
Ia tersenyum lemah, menatap Zhao Nanyu dengan tenang. Tak ada kebencian di matanya. “Hari itu aku cuma mengigau. Lepaskan rantainya. Aku tidak akan kabur.”
Song Luan menarik napas dalam-dalam dan berkata pelan, “Aku seperti ini sekarang, apa yang kau inginkan?”
Ucapannya seperti pedang tajam yang langsung menusuk jantung Zhao Nanyu.
Song Luan terus mengingatkan Zhao Nanyu bahwa tubuhnya yang sakit dan lemah ini semua karena dia.
Song Luan pun akhirnya paham, bahwa kabur diam-diam itu sia-sia. Ia tidak akan kabur.
Bukankah dia masih punya keluarga?
Warna di wajah Zhao Nanyu perlahan memudar, matanya tertunduk, tanpa sepatah kata ia mengambil kunci yang disimpan di tubuhnya, dan membuka rantai di pergelangan kaki Song Luan.
Song Luan tidak menatapnya. Ia kembali berbaring, membelakangi dia, “Aku tidak mau makan.”
Zhao Nanyu mengira Song Luan akan bangun sambil menangis, menjerit, dan memarahinya, tapi ia tak menyangka Song Luan justru sangat tenang, seolah tak terjadi apa-apa. Tak ada sedikit pun kebencian di matanya.
Ia sama sekali tidak memiliki emosi terhadapnya.
Zhao Nanyu tersenyum pahit, “Kamu harus makan sedikit, jangan sampai merusak tubuhmu.”
Song Luan membalik badan, menatap matanya langsung, dan tersenyum seperti sedang menggoda, “Kamu keluar dulu, nanti aku makan.”
Zhao Nanyu menurut dengan patuh, “Baiklah.”
Begitu dia keluar, Mammy Lin masuk membawa makan siang, dan dengan hati-hati menunggu hingga Song Luan makan dua mangkuk bubur, lalu membereskan meja.
Song Luan mengenakan mantel dan turun dari tempat tidur. Api arang membuat ruangan tetap hangat. Song Luan ingin membuka jendela untuk menghirup udara segar, tapi Mammy Lin menghentikannya, “Nyonya, udara dingin bisa memperparah sakit.”
Ia mengangguk. Tubuh ini miliknya sendiri—orang lain tidak bisa merasakan sakitnya, tapi ia tidak boleh menyiksanya.
Zhao Nanyu tahu bahwa Song Luan tidak ingin melihatnya, tapi ia tetap datang ke kamar tiga kali sehari untuk makan bersama. Setelah beberapa hari, warna darah mulai kembali di wajah Song Luan. Ia berkata, “Besok Festival Lampion. Nanti malam jalanan akan sangat meriah. Kamu pasti suka.”
Song Luan hanya menjawab dengan hambar, “Oh.”
Saat ia bangun, ia menemukan potongan giok milik Zhao Nanyu tergantung utuh di lehernya. Song Luan tidak memedulikannya. Tak ada orang lain yang bisa meletakkannya kecuali Zhao Nanyu.
Ia dipeluk dari belakang. Tangan Zhao Nanyu melingkari pinggangnya. Ia menyandarkan dagunya di pundaknya. “Kamu tidak suka?”
Tubuh Song Luan kaku. Matanya kosong, “Aku cuma sedang berpikir. Kamu bilang, kalau dia masih hidup, anak kita itu laki-laki atau perempuan?”
Ia dan Zhao Nanyu tampan dan cantik. Kalau perempuan, pasti sangat imut. Kalau laki-laki, pasti secerdas kakaknya.
Zhao Nanyu tercekat, tak bisa bicara. Setelah beberapa saat, ia hendak membuka mulut, tapi Song Luan memotong, “Sudahlah, jangan dibicarakan lagi.”
Semua sudah berakhir.
...
Keguguran Song Luan tak bisa disembunyikan dari penghuni rumah.
Saat Madam San mendengar kabarnya, ia hampir pingsan. Waktu itu ia baru saja berkunjung dan melihat Song Luan dan ibunya tampak sehat—mengapa tiba-tiba anak itu menghilang? A Yu juga terlihat sangat menjaga. Seharusnya tidak seperti ini.
Ia ingin berkunjung, tapi A Yu menolaknya hanya dengan beberapa kata.
Melihatnya, Madam San tak tahan lagi. Selama lebih dari satu dekade, ia belum pernah melihat A Yu seperti ini. Ia menepuk pundaknya dan mencoba menghibur, “Kamu masih muda. Masih bisa punya anak lagi nanti. Jangan terlalu bersedih.”
Zhao Nanyu tersenyum tipis, nyaris seperti bukan senyum.
Tidak akan ada lagi seumur hidup ini.
“Tunggu Aluan sembuh, semoga ibu bisa bicara dengannya,” kata Zhao Nanyu pelan.
Madam San merasa anak tirinya ini kasihan sekali, dan mengangguk, “Tenang saja.”
“Terima kasih, Ibu.”
Tahun ini, Song Luan sangat pendiam.
Di hari ketiga Tahun Baru, Nyonya Tua memintanya datang makan malam bersama. Song Luan berdandan cantik, menyamarkan wajahnya yang pucat dengan riasan.
Dibanding hari-hari sebelumnya, tubuhnya lebih kurus, semua pakaiannya tampak kebesaran.
Entah karena kasihan, Nyonya Tua tampak lebih lembut kali ini, tidak berkata hal aneh-aneh.
Semua istri keluarga Zhao hadir. Ibu pertama dan kedua sangat akrab. Song Luan hanya menunduk meminum sup ayam, tidak berniat ikut pembicaraan, tapi mereka terus saja menyindir.
Ibu kedua berpura-pura bertanya, “Kesehatan Aluan baik-baik saja? Keguguran itu bukan hal sepele. Kalau tidak dijaga, nanti bisa jatuh sakit selamanya.”
Song Luan meletakkan sendok, tersenyum getir, “Aku baik-baik saja, maaf mengecewakanmu.”
Wajah ibu kedua berubah dan menegur, “Apa maksudmu, Tante juga peduli padamu.”
Peduli? Song Luan hanya ingin tertawa.
Bahkan Nyonya Tua tidak ikut campur, ibu kedua ini hanya suka menguping.
“Itu sangat merepotkanmu,” balasnya datar.
Nyonya Tua memotong dingin, “Sudah, makan saja.”
Setelah makan, ibu kedua belum selesai. Suaranya nyaring, seolah bercerita kepada semua orang, “Keponakanku sudah punya tiga anak, padahal usianya lebih muda dari A Yu. Salah satu selirnya juga sedang hamil. Untung istrinya baik, sabar, dan sangat bijak.” Saat ia menghela napas, ia menoleh pada Song Luan. “Menikah harusnya dengan wanita bijak. Wanita pencemburu dan temperamen buruk itu susah diatur.”
Nyonya Tua melirik dan menyindir, “Setahuku, A Yu tidak punya selir, ya?”
“Iya, betul.”
Dengan watak Song Luan yang seperti setan, siapa yang berani mencarikan selir untuk A Yu?
Siapa di dunia ini yang tidak punya selir? Jika selir itu baik, bahkan bisa diarak dengan tandu.
Nyonya Tua sebenarnya tak ingin ikut campur urusan Zhao Nanyu. Mau menerima selir atau tidak, itu bukan urusan keluarga besar. Tapi melihat putra sulungnya kembali ke ibu kota, dan Song Luan yang dulu pernah menggoda putranya, ia khawatir kalau watak lamanya kembali, lalu mencoba menarik hati putranya lagi.
Dengan kecantikannya, bukan tidak mungkin anak sulungnya terpengaruh. Jadi istri pertama ingin Nyonya Tua memberi Zhao Nanyu selir, agar Song Luan sibuk dan tak sempat menggoda yang lain.
Tapi sebenarnya, Song Luan tak berharap Zhao Nanyu punya selir. Siapa juga yang tahan dengan pria seperti dia? Kalau pun ada, biar saja merasakan ‘berkah’ itu.
Ia tersenyum, “Bukan karena aku pencemburu. Aku lemah, sering tidak bisa melayani suami dengan baik. Aku juga ingin ada dua gadis yang bisa membantu.”
Semua terdiam. Nyonya Tua batuk dua kali, “Sudah, tak perlu kamu pikirkan.”
Song Luan paham, Nyonya Tua memang sudah ada rencana.
Sebelum pulang, Nyonya Tua menyuruh pelayan membawa sekotak ginseng. Song Luan menerimanya, mengucapkan terima kasih, lalu pergi.
Zhao Nanyu pulang larut malam. Song Luan belum tidur. Ia duduk di tempat tidur sambil menopang dagu, menceritakan kejadian hari itu seperti sedang bercanda, “Tuan Zhao sungguh beruntung. Nenek sepertinya mau mencarikan dua gadis yang baik untukmu?”
Zhao Nanyu seperti tak mendengarnya. Ia memakaikan kaus kaki Luo dan menarik selimut, “Jangan sampai kedinginan.”
Song Luan menendang selimut dan tersenyum, “Kamu tidak tergoda oleh kecantikan mereka?”
Zhao Nanyu menatap wajahnya, berusaha mencari rasa cemburu atau tak rela—tapi tidak ada. Matanya jernih seperti air pegas. Seolah hanya sedang menyampaikan informasi.
“Itu bukan urusanku.”
Song Luan mencibir, “Kamu ini sungguh tak punya hati.”
Zhao Nanyu mengepalkan tangan, wajahnya pucat. Ia tak tahan berkata, “Kamu memang tak peduli.”
Song Luan berkedip dan berkata manis, “Peduli.”
Penipu.
Aktingnya buruk sekali. Bahkan mungkin ia tak berusaha berpura-pura.
Mata Zhao Nanyu meredup. Ketidaktulusan Song Luan menusuk hatinya. Ada rasa darah di tenggorokan, suaranya serak sekali. “Sudah, tidur.”
Song Luan memunggunginya. Lampu kertas di atas tempat tidur menyala redup. Ia berkata, “Besok malam kita jalan-jalan, ya, di Festival Lampion.”
Jantung Zhao Nanyu berdebar. Ia mematikan lampu dan menjawab, “Baik.”
“Ajak kakakku juga.”
Ia hanya ingin melihat Song Heqing. Sekarang nasib kakaknya sama seperti dirinya, entah kapan bisa keluar rumah. Zhao Nanyu pasti tahu rasanya dikurung dengan rantai. Ia tak ingin merasakannya lagi.
Dia kan suka kata-kata manis? Maka katakan saja.
Seribu kali, sepuluh ribu kali—kalau dia suka, maka biarlah. Meski semua bohong, dan aktingnya buruk, ia yakin Zhao Nanyu tahu itu dusta. Tapi kalau dia mau berpura-pura, ia juga tak keberatan.
Masih ada sepuluh hari menuju Festival Lampion. Song Luan tak berminat melakukan apapun. Ia tidur lebih banyak daripada terjaga.
Sehari sebelum Festival Lampion, ia menatap perhiasan emas dan perak di lemari, teringat ucapan Zhao Nanyu hari itu. Ia juga teringat ekspresi wajahnya waktu itu.
Ia dengan hati-hati membuang semua hadiah dari gudang pribadi Zhao Nanyu. Setelah dipilah, hanya sedikit yang tersisa. Punggungnya dingin. Ia merasa takut.
Saat Zhao Nanyu pulang, ia tidak berkata apa-apa. Song Luan berdiri di dekat jendela dengan pakaian tipis, mengeringkan rambut. Ia diselimuti oleh jubah besar olehnya, “Angin dingin, hati-hati masuk angin.”
Song Luan dalam pelukannya, berkata datar, “Aku tidak dingin.”
“Aku yang takut kamu dingin.”
Song Luan diam.
Ia membelikannya camilan kesukaan, tapi Song Luan tak menyentuhnya. Ia hanya melirik, lalu menyuruh orang membuangnya.
Zhao Nanyu memandangi camilan yang dibuang, wajahnya tegang dan hening.
Malam harinya, Song Luan tidak bisa tidur. Zhao Nanyu memeluknya, mencium bibirnya, lalu bersenandung dengan nada pelan.
Suara rendah dan serak itu, bersama nada indahnya, membuat Song Luan tertidur. Ia menutup mata dalam pelukannya, dan perlahan-lahan terlelap.
Lagu itu sering dinyanyikan ibu Zhao Nanyu saat menidurkannya dulu.
Zhao Nanyu menunduk menatap orang di pelukannya, lalu memeluknya lebih erat.
— 🎐Read on onlytodaytales.blogspot.com🎐—
Bab 63
Penampilan tidur Song Luan masih tampak seperti anak kecil. Ketika ia bangun keesokan harinya, ia mendapati dirinya sedang dipeluk erat. Zhao Nanyu tampaknya masih belum bangun. Song Luan perlahan menarik kaki dan tubuhnya, berusaha keluar dari pelukannya dengan hati-hati.
Song Luan menatap pria di depannya. Di bawah matanya terlihat lingkaran hitam pekat, seolah-olah ia sudah lama tidak tidur. Ia mengulurkan jarinya, membelai alisnya, dan jemari ramping itu kemudian jatuh di bibir tipisnya.
Bulu matanya panjang dan melengkung, hidung, mata, dan mulutnya tampak sangat halus. Wajahnya pucat seperti orang sakit. Baju tidurnya berwarna putih sedikit terbuka di bagian dada, memperlihatkan tulang selangka yang menonjol.
Langit di luar jendela masih gelap, hanya terlihat secercah cahaya dari kejauhan.
Song Luan baru saja hendak menarik tangannya kembali, saat pria itu tiba-tiba membuka mata dan menggenggam jarinya. Mata yang semula redup perlahan menjadi jernih, suara berat dan magnetiknya terdengar di telinganya, "Kenapa bangun sepagi ini? Mimpi buruk?"
Song Luan menarik jarinya, lalu menggeleng. "Tidak."
Zhao Nanyu bangkit. Meski ruangan agak gelap, ia tidak menyalakan lampu. Setelah berganti pakaian, ia berbalik dan berkata padanya, "Masih pagi, kamu tidur lagi saja."
Pandangan Song Luan tidak pernah lepas darinya. Dia memang tampak jauh lebih kurus. Pakaian itu tampak longgar di tubuhnya. Ia memandang punggung Zhao Nanyu dan tiba-tiba bertanya, “Kamu mau pergi ke atas?”
“Tidak,” Zhao Nanyu menjelaskan pelan, “Aku akan keluar bekerja. Akan segera kembali.”
Song Luan mengangguk pelan dan bangkit dari tempat tidur. Ia menjilat bibirnya lalu berkata, “Aku lapar. Mau sarapan dulu, baru tidur lagi.”
Zhao Nanyu memegangi bahunya. “Baik, akan aku perintahkan orang untuk menyiapkan sarapan.”
Song Luan menundukkan wajahnya. Rambut hitam panjang menutupi setengah wajahnya, tak terlihat ekspresinya.
Setelah ia selesai berpakaian dan membasuh diri, langit mulai tampak cerah.
Zhao Nanyu menuangkan semangkuk bubur millet untuknya dan mendorongnya ke depan Song Luan. “Coba rasanya.”
Song Luan menyeruput satu sendok dan hampir saja memuntahkannya. Keningnya langsung berkerut, tapi ia tetap berusaha tersenyum. “Enak.”
Padahal rasanya sangat asin, bahkan agak gosong.
Mata Zhao Nanyu menjadi suram, lalu mengambil bubur itu dari tangannya. “Kalau begitu jangan dimakan.”
Nenek Lin yang berdiri di samping tak tahan untuk tidak batuk dua kali, tapi karena sang tuan ada di sana, ia tak bisa mengatakan apapun. Tuan muda pergi ke dapur pagi ini, entah karena dorongan hati. Ini pertama kalinya ia memasak bubur, jadi wajar kalau rasanya tidak enak.
Song Luan tentu tidak tahu bahwa bubur itu dimasak sendiri oleh Zhao Nanyu.
Selama beberapa hari ini, nafsu makan Zhao Nanyu memang buruk. Song Luan melihat ia hanya makan sedikit sebelum meletakkan sumpit. Awalnya Song Luan ingin pura-pura tak melihat, tapi hatinya terlalu lembut. Ia berkata pelan, “Makanlah yang banyak.”
Tubuhnya yang semakin kurus membuat hati terasa perih.
Mendengar itu, Zhao Nanyu pun menambahkan semangkuk nasi lagi dan menghabiskannya.
Kemudian, sang nenek tua mengirim dua pelayan muda ke rumah mereka. Kedua gadis yang cantik itu masih sangat muda, sekitar lima belas atau enam belas tahun.
Dikatakan bahwa status mereka sebagai pelayan sebenarnya adalah kedok saja.
Sang nenek tahu betul sifat cucunya. Zhao Nanyu memang tampak tenang dan sopan, tapi sesungguhnya tidak mudah diatur. Jika diberi selir secara langsung, dia pasti menolak. Jadi nenek berencana mendekatinya melalui Song Luan, dengan alasan bahwa kedua pelayan itu dikirim untuk membantu Song Luan. Jika nantinya Zhao Nanyu melihat pelayan cantik di sekitar istrinya, bisa saja ia tergoda.
Nama dua pelayan itu adalah Chunyu dan Donghui. Mereka memang dipersiapkan sejak kecil sebagai pelayan utama di keluarga Zhao.
Pelayan yang pandai dan patuh memang disenangi oleh para tetua. Ketegasan Song Luan dalam menghadapi orang tua justru membuatnya dibenci.
Song Luan duduk menopang dagu dan memandangi Chunyu serta Donghui dengan tenang, membuat keduanya merasa tidak nyaman.
Mereka sudah mendengar reputasi Song Luan saat masih bekerja di kediaman nenek. Mereka sering melihat Song Luan bertengkar hebat dengan sang nenek, jadi meski tuan muda setampan bulan di langit, mereka tetap takut untuk mendekatinya. Takut dimarahi sampai setengah mati.
Namun, selama enam bulan terakhir, mereka melihat bahwa temperamen Song Luan sudah jauh lebih lembut, maka mereka pun berani berada di sisinya.
Siapa yang tak tergoda dengan pria muda setampan Zhao Nanyu? Jika bisa bersama tuan muda, apa artinya mempertaruhkan sedikit harga diri?
Song Luan batuk dua kali, lalu berkata dingin, “Mulai sekarang kalian harus mematuhi aturanku jika memilih untuk melayaniku.”
Keduanya langsung mengangguk. “Ya, nyonya.”
Song Luan tidak ingin berbasa-basi lebih jauh. Ia mengibaskan tangannya. “Baiklah, kalian boleh pergi.”
Setelah keduanya keluar, Nenek Lin mendekat dan dengan ramah mengingatkan, “Nyonya, sebaiknya tetap berhati-hati. Saya rasa niat mereka tidak bersih.”
Meskipun mereka tidak secantik Song Luan, mereka tetap jauh lebih menawan dibandingkan perempuan biasa.
Niat sang nenek sangat jelas. Meski katanya ingin Zhao Nanyu segera memiliki keturunan, tapi Nenek Lin tahu, itu hanyalah alasan untuk menyingkirkan Song Luan secara perlahan.
Ia menggelengkan kepala. Hal-hal yang tak disadari orang lain sudah ia pahami. Tuan muda sangat menyayangi Song Luan. Saat Song Luan tak sadarkan diri, ia tak beranjak dari sisi tempat tidur.
Song Luan hanya tersenyum, “Aku tahu.” Lalu ia menoleh pada Nenek Lin dan bertanya dengan penasaran, “Apakah Zhao Nanyu benar-benar semenarik itu?”
Kenapa semua gadis muda begitu tergila-gila padanya? Bahkan Song Yu rela mati demi dia.
Nenek Lin ragu-ragu, tak tahu harus menjawab apa.
“Kalau tuan muda tidak menikah dengan Anda, pasti sudah jadi rebutan banyak gadis. Banyak bangsawan datang hanya karena tampangnya, tak peduli asal-usulnya.”
Song Luan tidak terlalu setuju. Menurutnya, Zhao Nanyu punya sifat buruk juga — cemburuan dan mudah marah. Tapi jika dipikir-pikir, ia memang sangat baik padanya, meski karakternya sangat obsesif.
“Kalau dipikir-pikir, memang belum pernah kulihat pria yang lebih tampan darinya,” ucap Song Luan dalam hati. Wajahnya seperti dipahat, begitu halus dan berkelas.
Di Beijing, sudah turun salju selama lebih dari setengah bulan. Song Luan belum sempat bertemu adiknya sejak keguguran. Setelah tubuhnya sedikit membaik, anak itu diizinkan untuk menemuinya.
Tahun baru telah lewat. Kini adiknya sudah berumur lima tahun.
Selama Song Luan dalam masa pemulihan, adiknya dirawat oleh istri ketiga. Anak itu terpaksa mengenakan jaket merah yang tidak disukainya.
Melihat adiknya dalam balutan pakaian merah, Song Luan tak tahan untuk tidak tertawa dan mencubit pipinya. “Zhi Zhi benar-benar tampak bersinar.”
Di dunia ini, hanya dia dan Zhao Nanyu yang bisa menyentuh wajah Zhi Zhi. Orang lain tak akan berani.
Zhi Zhi tahu kakaknya sudah tiada. Ayah berkata agar tidak membicarakan itu di depan ibu. Jadi ia diam saja. Ia mengulurkan telapak tangan, menunjukkan bunga kamelia merah muda. “Ibu, ini untukmu.”
Song Luan mengambil bunga itu dengan senang. “Wah, cantik sekali. Ibu sangat suka.”
Zhi Zhi tersipu dan tersenyum kecil. “Nanti akan kupetikkan lagi.”
Song Luan membelai kepalanya, merasa tersentuh sekaligus geli. “Tidak perlu dipetik lagi. Kalau dipetik, bunga tidak bisa hidup lama. Satu saja sudah cukup.”
“Baik.” Zhi Zhi memang sangat penurut. Apa pun yang ibunya katakan, ia menurut.
Hari itu, Zhi Zhi tiba-tiba lebih banyak bicara. Ia duduk manis dalam pelukan ibunya dan bercerita, “Saat tahun baru, aku bertemu paman.”
Mereka mengunjungi keluarga Song saat tahun baru dan tinggal selama tiga-empat hari.
Dulu Zhi Zhi tidak suka ke rumah keluarga Song. Tak ada yang peduli padanya. Tapi karena ibunya tidak bisa datang, ia merasa paman dan nenek jadi lebih sayang padanya.
“Benarkah? Seru tidak di sana?” tanya Song Luan.
Zhi Zhi mengangguk. “Uh-huh.”
Anak-anak di sana lebih ramah dan mau bermain dengannya. Meski ia lebih suka menyendiri, ia tetap senang.
Song Luan sedikit menyesal tidak bisa pulang ke rumah orang tuanya saat tahun baru. Pasti Ibu sangat merindukannya, dan kemungkinan besar makin membenci Zhao Nanyu.
Memang, Ibu sudah tak menyukai Zhao Nanyu sejak awal. Kali ini setelah keguguran, pasti makin membencinya.
Tapi Song Luan tahu, Zhao Nanyu pun merasa bersalah. Ia tidak melakukannya dengan sengaja. Maka jika ia terus menyalahkan, rasanya tidak adil.
Namun, rasa takut terhadap rasa sakit itu tetap membekas. Sakit fisik bisa ditahan, tapi sakit hati jauh lebih menyiksa.
Ia sudah berusaha keras untuk tidak menyalahkannya.
Zhi Zhi melihat ibunya terdiam. Ia menarik ujung baju ibunya, lalu mengeluarkan sebuah angpao merah-putih dari sakunya dan meletakkannya di tangan Song Luan. “Ibu, ini angpao dari paman dan nenek.”
“Rawat baik-baik ya,” kata Song Luan.
“Untuk Ibu,” sahut Zhi Zhi.
Song Luan hampir menangis. Ia memang suka uang, tapi malu menerima angpao anak kecil. “Ini untukmu. Ibu belum kasih angpao ke kamu! Nanti ibu kasih yang besar, ya?”
Tapi Zhi Zhi merasa emas dan perak tidak penting. Asal ibunya suka, semuanya ingin ia berikan.
Ia menggeleng. “Tak mau. Paman dan nenek sudah kasih banyak.”
Zhi Zhi dengan keras kepala menyerahkan semua uang tahun barunya pada ibunya. Song Luan akhirnya menyerah dan meletakkannya di laci kecil, lalu berkata sambil tersenyum, “Nanti uang ini buat modal nikah kamu!”
Meski tak tahu cukup atau tidak.
Zhi Zhi tidak mengerti maksud "menikah", tapi ia mengangguk polos. “Baik.”
Song Luan gemas dan mencubit kepalanya. Anak ini, kadang bisa begitu polos.
Meskipun Zhi Zhi tidak mau menerima angpao darinya, Song Luan tetap ingin menyiapkannya. Masa ibu tak menyiapkan apa-apa untuk anak di hari tahun baru?
Ia memanggil Nenek Lin dan bertanya, “Apa Zhi Zhi ada barang yang sangat ia sukai?”
Nenek Lin yang sudah merawatnya sejak lahir tahu betul kebiasaannya. “Sepertinya tidak ada yang terlalu menonjol. Tapi dia suka baca buku.”
Song Luan merasa sedikit malu. Ia bahkan tidak tahu kesukaan anaknya sendiri. Dulu, Zhi Zhi memang jarang bicara. Tapi sekarang ia mulai terbuka.
Ia berpikir keras. “Kalau kuberi papan catur, kira-kira dia suka?”
Nenek Lin menjawab jujur. “Asal dari Anda, pasti dia suka.”
Song Luan mengerutkan kening. “Tidak. Aku pikir lagi.”
Setelah berpikir lama, ia baru tahu bahwa setelah tahun baru, Zhi Zhi akan mulai sekolah. Meski keterampilan menjahitnya buruk, ia merasa cukup mampu untuk menjahit tas kecil.
Ia pun segera meminta alat jahit. Ia menjahit dari siang sampai sore, akhirnya berhasil membuat sebuah tas sekolah mungil yang cukup layak.
Malam harinya, Zhao Nanyu mengirim kabar bahwa ia akan pulang terlambat.
Song Luan tidak menunggunya dan makan malam bersama Zhi Zhi. Tak lama kemudian, Nenek Lin membawakan obatnya. Ia mengawasinya hingga Song Luan meneguknya habis.
Song Luan sudah terbiasa dengan rasa pahit obat. Tapi Zhi Zhi melihatnya dengan mata merah, tampak tidak rela.
Ia terkejut. “Kenapa, sayang?”
Zhi Zhi menyeka matanya. “Tidak apa-apa, Ibu.”
Ia hanya teringat kejadian hari itu. Lantai penuh darah, bau obat dan darah menyatu dalam kepalanya.
Song Luan tahu anaknya bersedih karenanya. Ia tersentuh. Ia pun mengeluarkan tas kecil buatan tangannya dan angpao merah. “Ini hadiah Ibu! Suka?”
Zhi Zhi menggenggam tas itu. Ukurannya pas untuk buku sekolah. Bentuknya juga unik. Ia mengangguk kuat. “Suka.”
Song Luan melihat senyum anaknya, dan hatinya ikut hangat.
Anak manis, engkau adalah penyejuk hati Ibu!
Setelah Song Luan meninabobokan Zhi Zhi, Zhao Nanyu belum juga pulang. Nenek Lin bertanya apakah ia akan menunggu.
Ia menggeleng. “Tidak perlu.”
Setelah semua pergi, Song Luan memadamkan lentera dan menutup mata. Tapi ia tidak bisa tidur. Entah sudah berapa lama, ia mendengar suara dari pintu.
Zhao Nanyu masuk dengan hawa dingin. Seseorang dari luar membawakannya air hangat. Terdengar suara pelan dari seorang gadis, “Tuan, biarkan hamba bantu Anda mandi dan berganti pakaian.”
Itu suara Dong Hui.
Song Luan duduk tegak, alisnya langsung berkerut. Kedua perempuan murahan itu bergerak cepat! Baru sehari, sudah menggoda Zhao Nanyu.
Wajah Zhao Nanyu seputih salju, suaranya dingin seperti es ribuan tahun, “Pergi.”
Dong Hui masih enggan menyerah. Kesempatan ini terlalu bagus. Biasanya tuan muda tidak pernah mengusir dengan suara setinggi itu.
Dengan mata merah dan sikap menggoda, ia berkata, “Biarkan hamba bantu Anda.”
Wajah Zhao Nanyu menggelap. “Nenek Lin! Usir dia. Jika ada yang tidak taat, langsung hukum mati!”
Nenek Lin terkejut. Tidak menyangka Zhao Nanyu langsung ingin membunuh.
Dong Hui langsung berlutut, ketakutan. “Tuan, ampun!”
Zhao Nanyu melambaikan tangan. “Seret dia keluar. Biarkan hidupnya.”
Meskipun tidak dibunuh, nasibnya sudah tamat.
Song Luan yang mendengar semua itu, semakin tak bisa tidur. Ia memakai sepatu, berniat melihat lelucon.
Zhao Nanyu sudah berada dalam bak mandi di balik sekat, pakaiannya tergantung. Song Luan mencium bau darah samar.
Langkahnya pelan. Lalu terdengar suara pria itu, “Keluar.”
Song Luan menaikkan alis. “Oh, kalau begitu aku pergi.”
Zhao Nanyu tak menyangka itu Song Luan. Ia kira istrinya sudah tidur. Tadi Nenek Lin bilang ia sudah tidur lebih dulu.
Jujur, ia merasa kecewa.
Zhao Nanyu terdiam sejenak, lalu menjelaskan dengan nada canggung, “Aku tidak tahu itu kamu.”
Bagaimana mungkin ia tega mengusirnya?
Song Luan berbalik hendak pergi, tapi tangannya langsung ditarik dan ia terjatuh ke dalam bak mandi. Air hangat membasahi pipinya. Ia menyeka wajah dan terkejut melihat luka besar di dada Zhao Nanyu.
Song Luan membuka mulut. “Kamu... tidak apa-apa?”
Zhao Nanyu menekan lukanya sendiri dengan telapak tangan. “Sedikit sakit.”
Tentu saja sakit! Luka sebesar itu!
Song Luan ingin keluar dari bak, tapi Zhao Nanyu menariknya kembali dan memeluknya erat. Ia bersandar dengan lelah dan bertanya pelan, “Kenapa belum tidur? Menungguku?”
Kamu terbangun.
Setelah diam sebentar, Zhao Nanyu mengusap punggungnya dan berkata, “Aku tidak bisa tidur.”
Belakangan ini ia tak bisa tidur. Dalam mimpinya, semuanya dipenuhi darah. Ia bahkan tak bisa bersuara karena kesakitan.
Song Luan tidak berkata apa-apa. Ia tidak melawan, membiarkannya memeluknya erat.
— 🎐Read on onlytodaytales.blogspot.com🎐—
Bab 64
Pakaian Song Luan yang basah kuyup menempel di tubuhnya. Kedua tangannya dipaksa menekan luka Zhao Nanyu, dan telapak tangannya kini berlumuran darah. Ia bangkit dari bak mandi, mengelap tangannya dengan kerudung yang sudah ternoda darah, lalu menunduk dan mencium telapak tangannya. Masih tercium bau darah.
Baru saja ia mengganti pakaian bersih, Zhao Nanyu muncul dari depan lemari dengan dada telanjang. Ia mengambil obat penghenti darah, menaburkan bubuk obat ke luka ***, lalu mengisap napas menahan sakit. Song Luan pura-pura tak mendengar desahannya. Ia buru-buru mengeringkan rambutnya, lalu naik ke tempat tidur.
Song Luan tidak tahu dari mana asal luka Zhao Nanyu. Dia jelas seorang sarjana elegan yang seharusnya tidak perlu mengangkat pedang atau senjata.
Ia tidak berniat bertanya. Ia memang tak begitu tertarik pada Zhao Nanyu.
Sebagian besar wajah Song Luan tersembunyi di bawah selimut. Matanya membulat, dan meski sudah memejamkan mata, ia tetap tidak bisa tidur.
Zhao Nanyu telah membalut lukanya dan berbaring menyamping. Aroma manis yang lembut memenuhi hidungnya. Ia memeluk pinggang Song Luan dan menarik tubuh perempuan itu ke dalam pelukannya, bersenandung pelan.
Song Luan tak tahu dari mana ia belajar nada senandung itu, tapi nadanya benar-benar merdu dan menenangkan.
Zhao Nanyu tertidur, namun terbangun tengah malam karena mimpi yang keluar dari mulut Song Luan.
Dalam tidur, Song Luan menggenggam erat ujung pakaiannya. Tubuh mungilnya meringkuk, masuk ke pelukannya, air mata menggantung di sudut matanya, lalu terisak dalam kebingungan, "Sakit... aku sangat sakit."
Seluruh tubuh terasa dingin dan mati rasa, bahkan organ dalamnya seperti tidak bisa bernapas.
Perut bagian bawahnya terasa seperti diremas oleh tangan tak terlihat, membuatnya tidak bisa berdiri tegak.
Mimpinya dipenuhi warna merah gelap. Seluruh dunia seakan tertutup darah.
Zhao Nanyu mendengarnya dan wajahnya langsung pucat. Ia tak bisa berkata-kata, hanya bisa memeluknya erat dan berbisik lirih, "Jangan takut, jangan takut... tidak akan sakit kalau kamu tidak takut."
Song Luan jelas tidak ingat apa yang dikatakannya semalam. Ia menguap, lalu bangun dari tempat tidur.
Cahaya pagi begitu terang, matahari musim dingin menyilaukan.
Song Luan baru menyadari bahwa dua pelayan cantik yang dikirim Nyonya Tua kemarin telah hilang. Ia bertanya santai pada Nenek Lin, "Di mana mereka?"
Nenek Lin menjawab, "Dong Hui tidak tahu diri. Tadi malam ia menabrak Tuan Muda dan sudah dihukum. Sedangkan yang satu lagi, dikembalikan ke Nyonya Tua oleh Tuan Muda."
Dong Hui dipukul hingga kulit dan dagingnya mengelupas sebelum diusir keluar rumah. Tuan Muda bahkan menyuruh orang menutup mulutnya agar tidak bisa menjerit. Pukulan itu membuat dagingnya hancur, sangat mengerikan.
Semua itu seperti peringatan bagi orang-orang yang berniat macam-macam.
Tadi malam, Tuan Muda menyuruh orang membersihkan darah dari lantai agar istrinya tidak ketakutan.
Tapi semua itu tak diberitahu pada Song Luan.
Song Luan tetap tenang. Nada bicaranya justru terdengar iba, "Padahal dua gadis itu cantik."
Ia hanya belum sempat memilih waktu yang tepat.
"Tidak secantik Nyonya," puji Nenek Lin.
Song Luan menatap wajahnya di cermin. Wajah ini persis seperti dirinya di zaman modern. Meski tetap cantik memesona, tapi tak lagi memancarkan vitalitas. Ada rasa lelah dan murung terselip di alisnya.
Ia menyentuh pipinya dengan melamun. Apakah ia masih punya kesempatan untuk kembali?
Saat Ge'er datang, Song Luan sudah berpakaian rapi dan keluar dari kamar. Sejak Zhao Nanyu pulang semalam, Ge'er belum bertemu ayahnya. Wajahnya murung.
Ia naik ke pangkuan Song Luan, mendongak dan bertanya, "Ibu, ayah ke mana?"
Song Luan agak canggung, "Ibu juga tidak tahu."
Ge'er menunduk, "Aku sudah lama tidak lihat Ayah."
Beberapa hari sebelum Tahun Baru Imlek, dia tinggal di rumah kakeknya. Setelah dikirim pulang, ayahnya sibuk merawat ibunya yang tak sadarkan diri dan tak sempat bertemu dengannya.
Mendengar keluhannya, Song Luan tak tahu harus berkata apa.
"Mungkin malam ini dia akan pulang," ia mencoba menenangkan, "Kamu pasti ketemu nanti."
Melihat Ge’er masih kecewa, Song Luan sengaja menggoda, "Ternyata Ge’er cuma suka Ayah, tidak suka Ibu ya?"
Ge'er memerah, buru-buru menyangkal, "Bukan… bukan begitu."
Ia mendongak, mengecup pipi ibunya, lalu berbisik, "Aku paling suka Ibu."
Saat Festival Lampion, Permaisuri—yang sebetulnya tak ada hubungan dekat dengannya—mengundangnya datang ke istana, juga meminta membawa anak.
Zhao Nanyu menatap kasim utusan istana sambil mengernyit, memeluk bahu Song Luan, "Jangan khawatir, hanya bicara saja."
Song Luan memang tak punya kesan baik terhadap istana. Ia masih trauma dengan racun yang pernah diberikan Song Yu, meski sampai sekarang tak tahu motifnya.
Ia bertanya ragu, "Permaisuri memanggilku? Aku tak pernah bertemu dia."
Meski waktu itu Permaisuri tidak dilengserkan, keluarga asalnya habis-habisan dibabat. Kekuatannya habis. Satu-satunya harapan hanyalah Pangeran Keenam, putranya.
Pangeran Keenam cukup dekat dengan Zhao Nanyu, mungkin Permaisuri ingin merebut hati mereka.
"Tak usah pikir macam-macam. Dia tak berani berbuat apa-apa padamu."
"Syukurlah."
Ge'er tertidur di pangkuan Zhao Nanyu. Di kereta, Song Luan bosan dan membuka tirai. Ia lupa Zhao Nanyu masih terluka. Angin menerpa masuk, membuatnya batuk sambil menutup leher.
Song Luan canggung bertanya, "Lukamu masih sakit?"
Zhao Nanyu berpaling, "Tidak apa-apa, jangan khawatir."
Tapi batuknya tak kunjung reda. Song Luan mendengarnya merasa tak enak, dan diam-diam menutup jendela.
Sesampainya di dalam istana, Song Luan baru tahu kalau Permaisuri tak hanya mengundang mereka. Ia juga melihat He Run dan Song Heqing.
Masih pagi dan jamuan belum dimulai.
Song Heqing muncul dari sudut, menatap adik perempuannya, lalu melirik Ge’er yang digendong Zhao Nanyu, dan berkata, "Aku ingin bicara sebentar dengan A Luan."
Zhao Nanyu mengangguk dan langsung mundur, "Baik."
Song Heqing menatap tubuh kurus adiknya dan merasa sangat sedih. Ia mengelus rambutnya, lalu mengumpat pelan, "Zhao Nanyu, bajingan itu, membuatmu hidup sengsara. Lihat dirimu sekarang kurus kering!"
Mata Song Luan memerah. Dengan suara rendah ia berkata, "Kak, aku ingin pergi dari sini."
Song Heqing menyentuh rambutnya. Dulu, jika hanya melihat posisi keluarga mereka, menggulingkan Zhao Nanyu yang cuma pejabat kecil bukan hal sulit. Tapi sekarang situasinya berubah. Zhao Nanyu bukan orang sembarangan. Ayah mereka bahkan hampir masuk penjara beberapa waktu lalu jika bukan karena Zhao Nanyu turun tangan.
Kaisar sedang sakit parah. Putra Mahkota perlahan mengambil alih kekuasaan.
Semua pangeran telah ditekan. Kaisar pun tak lagi menghalangi. Tinggal tunggu pengumuman resmi.
Zhao Nanyu pun ikut naik perahu kekuasaan, membunuh banyak orang dengan cara keji.
Hari Song Luan keguguran, Bibi Lin mendatangi rumah Zhao dengan marah, mengumpat Zhao Nanyu habis-habisan dan memaksa membawa pulang Song Luan.
Song Heqing juga ikut, dan tidak menghentikan Bibi Lin. Adiknya sudah sangat menderita, keluarga harus membelanya.
Zhao Nanyu membiarkan dirinya dihina, tapi tak membiarkan Song Luan dibawa pergi.
Saat Bibi Lin selesai mengamuk, ia menatap dingin dan suaranya serak penuh ancaman. Ia mengisyaratkan bahwa masa depan keluarga Song dan nyawa mereka ada di tangannya. Artinya, Song Luan takkan pernah bisa pergi darinya.
Bahkan ia berkata sambil tersenyum, "Kalau Song Luan kabur, kalian tetap harus mengembalikannya padaku."
Song Heqing tak pernah melihat Zhao Nanyu segila itu.
Kini, di hadapan adik perempuan kesayangannya, Song Heqing hanya bisa diam dan merasa bersalah.
Setelah lama terdiam, ia bertanya, "Kamu masih tidak suka dia?"
Sudah bertahun-tahun menikah, dan anak mereka sudah lima tahun.
Masih tidak suka Zhao Nanyu?
Song Luan merenung sebentar, lalu mengangguk dan menjawab, "Dulu, aku suka."
Ya, dulu ia sempat suka.
Zhao Nanyu tampan dan tak memperlakukannya dengan buruk. Ia bersedia mengalah dalam banyak hal. Dulu, ia memang sempat tergerak.
Tapi kemudian ia menambahkan pelan, "Tapi sekarang tidak lagi."
Menyukainya hanya membawa rasa sakit.
Perkataan yang ringan itu tidak hanya didengar Song Heqing, tapi juga Zhao Nanyu yang berdiri bersandar di dinding.
Wajahnya kosong, tanpa ekspresi.
Song Luan sadar ada yang aneh. Ia tersenyum, "Kak, tidak apa-apa, aku cuma mengeluh padamu."
Song Heqing makin sedih, "Kamu tidak perlu setegar ini."
Adiknya seharusnya dimanja, bukan disakiti.
Kalau bukan karena keadaan, ia pasti sudah menghajar Zhao Nanyu habis-habisan.
Song Luan tersenyum, "Aku kan memang tidak mengerti!"
Percakapan mereka belum usai saat jam makan tiba. Zhao Nanyu akhirnya keluar dari balik bayangan, batuk dua kali, "Anak kita sebentar lagi bangun."
Song Heqing enggan melihat muka Zhao Nanyu si iblis berhati buas. "Aku pamit dulu, istrimu pasti mencarimu."
Zhao Nanyu tiba-tiba berkata, "Ayahmu sudah diturunkan pangkatnya."
Kelopak mata Song Luan bergetar, tapi ia pura-pura tidak dengar. Ia menunjuk pemuda tampan tak jauh dari sana, "Anak muda itu tampan juga."
Zhao Nanyu ikut melirik, wajahnya datar. Ia tersenyum tipis dan berkata, "Kakakmu juga ikut terseret."
"Oh ya? Aku tidak tahu dia anak siapa. Nanti akan kutanya."
Zhao Nanyu tetap tenang, "Meski kamu tak mengatakannya, kamu masih menyimpan dendam padaku. Kamu takut padaku. Tak apa, kamu boleh menyiksaku sepuasnya, tapi jangan harap bisa hidup bebas. Bahkan kalau aku mati pun, kamu tetap tak akan lepas dariku."
Song Luan diam lama, lalu menatapnya dengan dingin. "Kamu mengancamku dengan keluargaku?"
Zhao Nanyu mengangguk, "Benar."
Biarlah disebut kejam dan tak tahu malu. Ia harus mencabut seluruh sayapnya agar bisa merasa tenang.
Song Luan marah hingga pipinya menggembung.
Lelaki ini benar-benar tak tahu malu.
Ia ingin membunuhnya. Benar-benar ingin.
Zhao Nanyu kembali tersenyum tipis, "Yang tadi kamu tunjuk itu namanya Shen, dan dia sudah punya tunangan."
Song Luan membalas, ingin menyentilnya, "Tak masalah, aku suka pria yang suka selingkuh. Hehe."
Zhao Nanyu mengernyit, "Nakalnya."
Ia mencengkeram pergelangan tangannya, menariknya masuk ke kamar kosong, lalu mengunci pintunya.
Zhao Nanyu menekan tubuhnya ke pintu. Tatapannya dingin, dan sangat menakutkan. Tangannya menyentuh pipinya tanpa suara.
Song Luan langsung menyerah, "Aku mana mungkin selingkuh."
"Kamu galak sekali sama aku!"
— 🎐Read on onlytodaytales.blogspot.com🎐—
Bab 65
Song Luan masih dibawa pergi oleh Zhao Nanyu. Garis bawah dari “raja cemburu” memang tak bisa diganggu. Bibirnya digigit, dan lipstik yang menempel di sana habis dimakan oleh Zhao Nanyu.
Setelah makan siang, sang permaisuri sengaja menahan semua kerabat perempuan untuk berbincang, sementara anak laki-laki tetap dibawa oleh Zhao Nanyu.
Ia mengikuti para gadis bangsawan masuk ke dalam istana. Permaisuri dan suasana istana tampak agung dan mewah, dengan senyum ringan di bibirnya.
Permaisuri tersenyum dan berkata, “Sini, beri para nyonya tempat duduk.”
Song Luan duduk di posisi kedua di sebelah kanan sang permaisuri, tanpa mendengarkan hal-hal dari luar. Ekspresinya seperti berkata, “Aku hanya datang untuk minum teh.”
Tatapan ibu suri jatuh padanya tanpa meleset, dan ia bertanya, “Nona Song, kenapa tidak melihat anakmu sendirian?”
“Anaknya nakal dan sedang ngambek. Ayahnya sedang menenangkannya sekarang,” jawab Song Luan dengan ekspresi tenang. “Saya harap ibu suri tidak menyalahkan.”
Permaisuri tersenyum tipis dan berkata ringan, “Tentu saja tidak akan menyalahkan, tapi aku sering mendengar ibumu bilang bahwa anakmu sangat lucu, jadi aku ingin melihatnya.”
“Ibu” yang disebut oleh permaisuri tentu saja bukan Bibi Lin, melainkan istri sah ayahnya.
“Istana ini mendengar kau sempat sakit parah. Sekarang sudah baikan?”
Song Luan menjawab, “Sudah agak membaik.”
Permaisuri mengangguk dan tersenyum, “Baguslah.”
Namun tujuan permaisuri sebenarnya tidak murni. Target awalnya bukan Song Luan, melainkan ingin tahu tentang anak laki-lakinya. Beberapa hari ini ia sungguh sedih, kehilangan kasih sayang kaisar, dan keluarganya ikut terkena dampaknya. Anak tirinya bukanlah pilihan yang baik, dan Zhao Nanyu, sebagai tangan kanan anak tirinya, menuliskan “pembasmian” dengan sangat menyeluruh. Keluarganya benar-benar terluka parah, seperti dicabut hingga ke akar.
Ia masih bisa menoleransi semua itu. Sekalipun sang pangeran nantinya naik takhta, ia tetap akan menjadi ibu suri yang mulia. Tapi Zhao Nanyu bahkan tak rela melepaskan putranya.
Yang Mulia Pangeran Kesepuluh, yang baru berusia lima belas tahun, baru saja memiliki anak yang dikandung susah payah selama sepuluh bulan. Namun dalam perjalanan ke Jingzhou, ia diserang dan hampir mati karena luka parah.
Permaisuri tidak rela. Ia menggertakkan gigi karena benci, namun untungnya sang pangeran masih selamat. Kalau tidak, ia sudah akan menuntut nyawa anak Zhao Nanyu sebagai ganti.
Song Luan, dalam pandangan permaisuri, tak ada nilainya dibanding anak laki-laki. Ia ingat pernikahan antara Zhao Nanyu dan Song Luan bukanlah pilihan mereka sendiri, dan tiga putri keluarga Song pun terkenal tidak tahu diri, bukan hal yang baru. Bahkan jika sekarang Song Luan dipuja-puji, belum tentu bisa mendapatkan hati Zhao Nanyu.
Permaisuri juga merasa sedikit simpati terhadap Song Luan. Tidak mudah menjadi istri yang tidak dipedulikan oleh suami. Awalnya, tubuh Song Luan rapuh seperti benih sakit yang tak bisa hidup tanpa obat.
Namun, permaisuri juga mengagumi Song Luan. Ia tampaknya bahagia setelah menikah. Ia pernah mendengar gosip romantis tentangnya. Sayangnya, keadaan keluarga Song sekarang sudah jatuh, dan Zhao Nanyu pasti akan mulai menghitung dosa-dosa lama.
Permaisuri mendadak penasaran. Istri yang telah “memasang banyak topi hijau” untuk suaminya itu, entah bagaimana nasibnya nanti di tangan Zhao Nanyu?
“Istana ini ingat kamu masih punya beberapa adik perempuan yang belum menikah, kan?”
Song Luan terdiam sejenak. “Betul.”
Tapi ia bingung maksud dari pertanyaan tentang keluarganya ini.
Permaisuri menghela napas dan menyesap teh, “Yang Mulia hanya menikahi istri resmi, belum ada selir di sisinya. Aku berpikir untuk mencarikan selir baginya. Adikmu cukup baik.”
Hal pertama yang terlintas di kepala Song Luan adalah A Yun, gadis berwajah bulat.
Ia masih ragu menjawab, dan permaisuri sudah berkata lagi, “Istana ini hanya menyebut secara acak, tentu saja hal seperti ini tetap harus dibicarakan dengan ibumu.”
“Kau benar.”
Saat mereka sedang berbicara, seorang kasim kecil masuk tergesa-gesa dan membisikkan sesuatu ke telinga permaisuri. Wajah sang permaisuri berubah sedikit, tapi ia masih mempertahankan ketenangan. “Ada urusan penting. Kalian lanjutkan saja.”
Song Luan bangkit dan memberi salam.
Melihat ekspresi permaisuri, apa yang terjadi di istana?
Apa yang bisa terjadi?
Yang Mulia akhir-akhir ini sedang dalam suasana hati yang baik. Saat melihat si kecil Zhi menggantung di leher Zhao Nanyu, ia jarang tertawa dan mencubit wajah si kecil. “Wah, sudah berbulan-bulan tidak melihatmu.”
Si kecil berpaling, tidak mau tertawa.
Yang Mulia merasa geli melihat betapa ia tak peduli. Ia langsung menggendong si kecil dari pelukan Zhao Nanyu. “Kenapa? Tidak suka paman? Paman mau gendong kamu, ya.”
Wajah kecil si Zhi hampir menuliskan lima kata besar: “Saya sangat tidak senang.” Ia langsung mengulurkan tangan pada Zhao Nanyu, melambai, “Ayah, gendong.”
Zhao Nanyu tersenyum kecil dan menggendongnya kembali. Yang Mulia tak bisa menahan tawa. “Anak ini memang seperti kamu, wajah manis tapi kepribadian dingin. Padahal aku kasih banyak hadiah saat Tahun Baru. Gendong sebentar pun tak mau.”
Si kecil langsung menyembunyikan wajah di bahu ayahnya, seperti kura-kura kecil menarik kepala ke dalam tempurung.
Zhao Nanyu menepuk lembut punggung anaknya. “Namanya juga anak-anak.”
Yang Mulia mengangkat alis. “Baiklah.” Setelah diam sejenak, ia berkata, “Suatu hari nanti aku bawa dia ke istanaku, pasti dia suka.”
Zhao Nanyu tahu siapa “ekor kecil” yang disebut Yang Mulia—A Yun. Gadis naif yang tidak tahu dunia.
Setelah Yang Mulia Enam menikah, tampaknya sang pengantin tidak bisa merebut hatinya, dan entah seberapa besar peran gadis bernama A Yun di hatinya.
Zhao Nanyu menjawab datar, “Anakku bukan untuk mainanmu.”
Yang Mulia menatap dengan senyum, “Tuan Zhao, jangan pelit begitu.”
Zhao Nanyu mundur dua langkah, “Kalau kau suka, buat sendiri saja.”
Senyum Yang Mulia langsung menghilang. Ia memutar tasbih di pergelangan tangannya berulang kali. Ia memang pernah punya anak, tapi tak bisa mempertahankannya.
Ia menatap langit jauh, seperti mengingat kembali musim dingin tahun lalu. Saat itu A Yun selalu muntah setiap kali makan, dan sudah beberapa bulan tidak datang bulan. Tapi ia yang lebih dulu curiga.
Setelah memanggil tabib, ternyata A Yun hamil.
Saat itu A Yun memegang lengannya dengan wajah cerah berbinar. “Benarkah aku punya bayi?”
Sebagai ayah, tentu ia bahagia.
Tapi ia tidak bisa mempertahankan anak itu—status tak jelas, masa depan buram.
Yang Mulia Enam tidak ingin mengingat itu lagi. Ia mengalihkan pandangan dan berkata dengan senyum, “Ngomong-ngomong, bagaimana kabar anak kesayangan ibuku sekarang?”
Zhao Nanyu menjawab ringan, “Tidak mati, tapi tidak akan menjadi ancaman lagi.”
Orang yang hampir lumpuh itu, tak mungkin lagi merebut takhta.
Yang Mulia menghela napas pura-pura menyesal, “Adik itu juga orang berbakat. Dulu waktu kecil, ia menjatuhkan sup panas ke mangkukku tanpa berkedip.”
Di kota kekaisaran ini, siapa pun penuh darah. Mereka hanya mencemooh jika seseorang terlalu lemah untuk membunuh.
Zhao Nanyu menyelesaikan semuanya sendiri.
Yang Mulia tertawa tak jelas. “Kalau ibuku tahu, bisa gila dia.”
Itu adalah anak kesayangannya sejak kecil.
Zhao Nanyu berkata tenang, “Aku sudah menutup kabar. Permaisuri seharusnya tidak tahu apa-apa.”
Paling hanya tahu sesuatu terjadi di perjalanan ke Jingzhou, tapi tidak tahu ia belum mati.
“Kabar baik seperti ini, tentu harus aku sampaikan sendiri,” ujar Yang Mulia Enam dengan senyum. “Ngomong-ngomong, apa yang ingin kau lakukan dengan keluarga Song? Dulu kau bilang mau habisi semuanya.”
Semua dibunuh? Kedengarannya tidak bagus. Entah apakah dia masih berpikiran sama.
Zhao Nanyu mengernyit, tampak sedang berpikir serius. Ia tidak menjawab lama. Yang Mulia mulai tak sabar.
“Kalau kau bunuh semua, aku juga tak bisa bilang apa-apa, tapi kesannya aku kejam. Padahal kan kita sudah sepakat waktu itu.”
“Jangan ganggu mereka,” jawab Zhao Nanyu akhirnya.
Jawaban ini di luar dugaan. Sangat murah hati. Bisa melupakan dendam masa lalu? Hebat juga, pantas jadi sepupuku.
Hubungan antara Yang Mulia Enam dan Zhao Nanyu hanya diketahui oleh Kaisar lama.
Ibunya adalah saudara perempuan dari ibu Zhao Nanyu. Kedua saudari itu bernasib buruk, dan sama-sama cantik sehingga mudah dijadikan target.
Kaisar mungkin pernah mencintai ibunya, tapi cinta itu membawa bencana. Ibunya meninggal tragis, dan ia hanya selamat dengan susah payah.
Selama bertahun-tahun, sang ayah hampir tidak menganggapnya anak. Tapi memang, nama dalam surat wasiat itu adalah dirinya. Lucu kalau dipikir.
“Yang Mulia.” Seorang pengikut datang.
“Ada apa?”
“Kaisar memanggil ke Istana Wenhua.”
Yang Mulia berpikir bahwa sang ayah akan tidur selamanya. Tapi ternyata bangun. Banyak hal memang harus diselesaikan.
Zhao Nanyu mengernyit, “Pergilah, jangan lunak hati.”
Yang Mulia mengangkat sudut bibir, “Aku tidak akan.”
---
Setelah peristiwa itu, Song Luan semakin takut pada Zhao Nanyu.
Keduanya diam sejenak, tidak saling mengganggu. Tiba-tiba, Song Luan berjalan mendekat, dan saat gugup, dia suka memanggilnya dengan nama lengkap, "Zhao Nanyu." Dia meremas jemarinya, lalu berkata, "Boleh aku tanya sesuatu?"
Zhao Nanyu sudah lama tidak mendengar kata-katanya, "Katakan."
"Aku ingin pulang ke keluargaku."
Sosok utama pria itu kini tengah membangun karier besar. Jika tokoh utama wanita berada di sisinya, mestinya sekarang mereka sedang menjalani hidup bahagia dan manis setelah berjuta kata.
Zhao Nanyu menunduk, tidak menjawab ucapannya.
Song Luan juga bingung, lalu mengambil kuas di tangannya. "Kau bilang setuju atau tidak?"
Zhao Nanyu menatap ke atas, dan Song Luan merasa bersalah menatap matanya.
"Kalau kau tidak janji, aku akan pergi," kata Song Luan.
Zhao Nanyu tertawa sinis dan membalas dengan tiga kata ringan, "Kau bermimpi."
Song Luan tahu dia bukan tipe yang pandai berbicara manis. Kali ini dia memang balik ke rumah ibunya, dan tidak berniat kembali dalam waktu dekat.
Tidak ada perubahan besar dalam plot, dan tanggal beracun asli juga dekat, musim semi ini. Setelah diracun, tubuh harus disiksa selama dua tahun sebelum meninggal.
Tidak ada yang bisa dipercaya dari mulut pria itu.
Berdasarkan watak balas dendam Zhao Nanyu, Song Luan merasa setelah dia melewati ini, dia masih diracuni.
Ah, cinta dan kebencian itu begitu dekat. Begitulah.
— 🎐Read on onlytodaytales.blogspot.com🎐—
Bab 66
Song Luan duduk tegak di samping tempat tidur, sementara Zhao Nanyu mengabaikannya dan berlatih menulis dengan percaya diri.
Song Luan bahkan tak bisa berdebat dengannya; Zhao Nanyu bisa membungkam ucapannya hanya dengan tiga kata. Selama Song Luan tidak menyentuh titik kelemahannya, pria itu tidak akan marah—sebaliknya, dia akan memandangnya seperti orang bodoh.
Beberapa hari yang lalu, Zhao Nanyu merawatnya dengan alasan bahwa situasi di ibu kota belum pasti. Sekarang keadaan telah stabil, dan dia telah mendapatkan kekuasaan yang diinginkannya. Haruskah dia membiarkan Song Luan pergi? Tapi jumlah orang yang mengawasi mereka dalam diam tidak berkurang.
Song Luan melepas sepatu dan kaus kakinya, lalu masuk ke dalam selimut. Setelah tidur sebentar, dia merasa terlalu panas dan mengulurkan kakinya ke luar selimut.
Zhao Nanyu tahu bahwa dia tidak bisa tidur. Dia pun berhenti menulis dan membaca, lalu berjalan ke ranjang dan membuka pakaiannya. Song Luan masih kesal sendiri dan berpikir dalam hati: kenapa dia malah tertarik pada pria mesum seperti ini?
Dia berbalik, menghadap Zhao Nanyu, dan menatapnya penuh harap. Belum sempat bicara, Zhao Nanyu sudah lebih dulu berkata, "Besok siang aku akan antar kamu pulang, lalu malamnya aku kembali."
Ucapan Song Luan pun tertelan kembali. Dia menurunkan suaranya, tersenyum manis, dan berkata, “Kenapa cepat sekali? Dua hari saja belum cukup. Aku tidak mau pulang.”
Zhao Nanyu merangkul pundaknya dan menarik kepalanya ke dadanya. Ia menutup mata dan tersenyum tipis. “Kalau begitu, jangan pulang.”
Song Luan menelan ludah dan tersenyum, “Kamu kan laki-laki, bersikaplah lebih besar hati sedikit.”
Zhao Nanyu tertawa, “Kalau begitu, aku izinkan kamu lihat aku di pagi hari. Bukankah itu sudah lebih dari setengah hari? Cukup besar hati, kan?”
“Aku kesal. Bicara dengan kamu tuh nggak ada gunanya.”
Perdebatan pun sia-sia.
Aneh sekali, Zhao Nanyu selalu bisa menebak apa yang ia pikirkan. Saat Song Luan berusaha keluar dari pelukannya, Zhao Nanyu menariknya kembali masuk ke dalam selimut.
Malam itu, Song Luan bermimpi tentang seorang wanita yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Wanita itu memakai pakaian merah mencolok yang tampak familiar. Ada bunga di alisnya, riasannya anggun dan rumit.
Ia berdiri di atas menara, rambutnya terangkat tertiup angin, wajahnya penuh kesedihan. Bukan hanya sedih, tapi juga penuh keputusasaan.
Senyumnya yang putus asa seakan menunjukkan bahwa ia sudah tak lagi terikat dengan dunia ini.
Tangannya terikat di belakang, dan para prajurit bersenjata mengepungnya, pedang mereka terarah langsung padanya. Seolah-olah ia akan dihukum ribuan pedang jika bergerak sedikit saja.
Dengan suara “zhu”, sebuah anak panah melesat melewati telinga Song Luan dan menancap tepat ke jantung wanita di atas menara. Orang yang memanah itu sangat ahli—panahnya langsung menusuk jantung.
Song Luan tak tahu apakah itu mimpi atau bukan. Ia bisa hampir mendengar suara kain yang robek ditembus panah.
Rasa sakit di dadanya seolah nyata. Dalam kondisi antara sadar dan tidak, ia melihat Taois kecil yang pernah ia temui sebelumnya. Taois itu mendekat ke telinganya tanpa ekspresi, dan berkata dengan ringan, “Kamu lihat, kan? Itu juga kamu.”
Song Luan memegangi dadanya yang sakit, punggungnya terasa nyeri hingga ia tak bisa berdiri tegak.
Ia dibangunkan oleh Zhao Nanyu. Saat terbangun, wajahnya pucat dan tubuhnya penuh keringat. Zhao Nanyu menatapnya dengan khawatir dan bertanya, “Kenapa kamu menangis?” Ia menghela napas pelan dan menyeka air matanya. “Kalau kamu benar-benar ingin tinggal lebih lama dengan ibumu, tidak masalah.”
Rasa sakit seperti ditusuk panah dalam mimpi memang menghilang, tapi dadanya masih terasa sesak dan berat.
Tiba-tiba Song Luan memeluk pinggang Zhao Nanyu dan berkata penuh ketakutan, “Dada aku sakit.”
Siapa Taois itu? Dia sepertinya tahu lebih banyak dari dirinya. Kenapa mimpi itu terasa begitu nyata? Kenapa wanita di menara itu begitu familiar?
Wajah Zhao Nanyu langsung berubah, darah di bibirnya menghilang. Ia berkata, “Aku akan panggil Zhao Chao untuk periksa kamu.”
Tapi kali ini, ia tidak memanggil tabib biasa.
Wajah Zhao Nanyu seputih kertas. Ia masih ingat gejala racun "azure" bahkan dengan mata tertutup. Awalnya hanya nyeri ringan, lalu meningkat, dan perlahan racun itu akan menggerogoti organ dalam, menyebabkan kematian yang menyakitkan dan lambat.
Song Luan menatapnya dan berkata, “Bisa nggak orang lain saja? Kakakmu itu kayak benci banget sama aku.”
“Dia nggak berani.”
“Ya udah.”
Zhao Nanyu hendak bangkit untuk berpakaian, tapi Song Luan merasa tak nyaman dan memeluknya erat. “Jangan pergi, temani aku dulu.”
Pelukannya membuatnya merasa tenang.
Zhao Nanyu mengangguk dan berkata, “Baik.” Ia menyisir rambut Song Luan dengan lembut, “Mau tidur sebentar lagi? Tenang, aku nggak akan pergi.”
“Aku cuma mau peluk kamu, nggak mau tidur.” Ia melingkarkan tangan dan kakinya pada tubuh Zhao Nanyu, dan menempel erat. “Kamu nyaman banget.”
Hangat dan wangi.
Zhao Nanyu mulai tergoda oleh pelukannya, dan matanya meredup. “Jangan gerak-gerak.”
Pria yang sudah dua bulan tidak “menyentuh” wanita mana bisa tahan?
Bisa-bisa membunuh dia setengah mati.
Zhao Chao mengalami banyak kegagalan perjodohan. Ibunya sudah tidak sanggup, ayah ibunya cemas, tapi dia sendiri santai saja.
Saat kakaknya mengundangnya tinggal di Huai Shui, Zhao Chao senang—setidaknya bisa menghindar dari omelan sang ibu.
Tapi saat tiba, ia mendapati kakaknya muram dan tegang. Ia bercanda, “Kakak marah pagi-pagi begini?”
Zhao Nanyu menjawab tegas, “Aku nggak niat bercanda. Cepat periksa denyut nadi istri kakakmu.”
Zhao Chao mendadak serius. “Ada apa?”
Zhao Nanyu menarik napas dalam, suaranya serak. “Aku tanya kamu, kamu yakin dosis racunnya waktu itu tidak cukup untuk membunuh?”
Sebenarnya, ia sudah menghentikan racunnya sejak awal musim panas lalu.
Sebelum jatuh cinta, Zhao Nanyu sangat ingin Song Luan mati. Tapi saat Song Luan berubah, ia pikir wanita itu hanya pura-pura. Jadi ia tetap memberikan racun.
Saat niat membunuh itu benar-benar hilang, musim semi sudah lewat.
Zhao Chao terdiam. “Guru aku aneh. Biasanya cuma buat racun, nggak ada penawarnya. Tapi terakhir aku cek, nggak kelihatan ada gejala keracunan.”
Mungkin waktunya belum tiba, atau dosisnya terlalu kecil. Zhao Chao pun tidak tahu pasti.
Zhao Nanyu berkata dingin, “Cek dia sekarang.”
Apapun yang terjadi, ia tak akan membiarkan Song Luan mati. Ia tersenyum getir. Ia tidak bisa membiarkannya mati di tangan sendiri.
Song Luan keluar dari kamar. Pakaian putihnya tertiup angin, siluet rampingnya tampak menawan di bawah sinar matahari. Wajahnya seputih salju dan begitu cantik.
Zhao Chao sempat terdiam, lalu cepat-cepat mengalihkan pandangan dan memberi salam, “Er sao.”
Song Luan tersenyum, “Adik ipar ketiga.”
Untungnya, Zhao Chao tidak menatapnya dengan tatapan hina kali ini.
Song Luan membuka pembicaraan, “Aku dengar dari ibu kamu sering dijodohkan akhir-akhir ini. Ada yang cocok?”
Zhao Chao mengerutkan kening. “Itu bukan urusan Er Sao.”
Song Luan hanya ingin mencairkan suasana. Tapi sepertinya malah menyinggung.
“Itu salahku,” katanya pelan.
Zhao Chao bertanya, “Aku dengar kamu nggak enak badan?”
Song Luan berkata, “Masalah lama saja.”
Zhao Nanyu tahu istrinya tidak suka diperiksa oleh Zhao Chao, tapi ini masalah serius. Ia memegang tangan Song Luan dan berkata, “Biar adikku periksa nadimu.”
Song Luan tidak mau main-main dengan kondisi tubuhnya. Ia pun duduk dan mengulurkan tangan.
Ia sudah mulai menebak: rasa sakit dan pingsan kemarin hanya awal.
Segala kejadian yang berkaitan langsung dengan pemilik tubuh asli tidak bisa diubah. Bahkan tanggal keracunan pun tidak berubah.
Mungkin hari itu adalah hari ini.
Zhao Chao berkata, “Maaf ya,” lalu menempelkan jarinya di pergelangan tangan Song Luan dan memeriksa nadinya.
Beberapa saat kemudian, wajahnya mulai berubah. Ia menatap Song Luan dengan pandangan aneh, lalu berkata, “Er sao…”
Zhao Chao menemukan bahwa jantung Song Luan sudah rusak parah.
Padahal sebelumnya tidak ada tanda-tanda keracunan.
“Aku kenapa? Aku baik-baik saja kok. Pinggang nggak sakit, kaki juga nggak. Aku bisa makan, minum, lompat juga masih bisa!”
Kenapa Zhao Chao menatapnya seakan ia sudah sekarat? Menyebalkan!
Song Luan paling benci ditatap seperti orang yang sudah setengah masuk kubur.
Zhao Chao tidak tahu harus bicara apa. Ia hanya diam.
Zhao Nanyu akhirnya berkata, “Gimana dia? Jawab yang jujur.”
“Keadaannya… tidak baik.”
Zhao Chao tidak ingin bicara banyak di depan Song Luan. Ia memang pernah ingin wanita itu mati, tapi sekarang, ia tidak tega. Lalu bagaimana dengan kakaknya?
Membunuh wanita yang dicintainya sendiri? Siapa pun tidak akan tahan.
Song Luan menatap Zhao Nanyu. Tubuhnya yang kurus tampak ringkih seperti bisa diterbangkan angin. Apakah dia benar-benar khawatir padanya?
Song Luan memeluk lengan Zhao Nanyu dan berkata riang, “Aku baik-baik saja kok. Ini cuma penyakit lama. Kamu terlalu panik. Eh, aku masih pengen liat... Puh…”
Belum selesai bicara, darah keluar dari mulut Song Luan. Darah itu menetes ke baju Zhao Nanyu.
Sungguh sial.
Cerita asli datang membalasnya! Tak ada yang terlewat!
[Cahaya matahari menyilaukan. Angin awal musim semi dingin menyapu pipinya, menggoyangkan cabang magnolia. Kelopak bunga ikut menari tertiup angin. Song Luan memegangi batang pohon dan memuntahkan darah.]
Melihat bunga magnolia yang baru mekar di halaman, Song Luan yakin: dirinya keracunan. Ia memutar pandangan ke wajah Zhao Nanyu, ingin berkata:
“Jangan bersedih. Simpan tenagamu… untuk saat aku benar-benar mati nanti.”
— 🎐Read on onlytodaytales.blogspot.com🎐—
Bab 67
Song Luan benar-benar tidak merasakan banyak hal. Bahkan saat ia memuntahkan darah, hatinya justru merasa lega, akhirnya tidak perlu lagi terus merasa takut.
Zhao Nanyu memang telah diracuni, dan nasib yang tak bisa ia hindari datang tepat waktu. Saat ia benar-benar menghadapi saat ini, ia justru merasa acuh tak acuh.
Namun, keinginan Song Luan untuk bertahan hidup sangat kuat. Ia tidak ingin mati. Di usia berapa pun, ia tidak ingin mati. Hidup ini sangat indah. Masih banyak hal yang ingin ia lakukan. Ia bahkan belum pernah menjalin hubungan yang baik—ia sungguh tak rela mati begitu saja.
Ia bersandar di tubuh Zhao Nanyu, bahkan masih sempat tersenyum lemah padanya. "Sepertinya aku tidak bisa pulang ke rumah orangtuaku hari ini."
Ia sulit bernapas, dadanya sesak, dan perasaan aneh yang selama ini hanya ia baca dalam buku, kini benar-benar ia rasakan dengan nyata.
Tangan dan kakinya dingin, tak punya banyak tenaga. Sudut matanya basah, dan tangan mungilnya menggenggam lengan baju Zhao Nanyu sambil menggoyangkannya dengan suara semakin kecil, “Aku tidak ingin mati.”
Benar-benar tidak rela.
Kenapa harus dia? Hanya karena membaca sebuah novel, ia tiba-tiba terjebak di dalamnya, dan bahkan mendapat peran dengan naskah paling buruk di cerita itu! Meski ia mencoba berubah, semua tetap salah, hanya karena ia datang terlambat ke cerita ini.
Song Luan mulai berpikir, mungkinkah dulu ia memberikan ulasan buruk untuk novel "Menteri Berkuasa" dan mencela cerita itu dengan pedas, hingga kini mendapat karma?
Padahal selama ini ia selalu berusaha keras. Song Luan merasa semakin sedih, padahal ia tidak melakukan kesalahan apa pun.
Pikiran itu membuatnya menangis. Air mata hangat menetes membasahi pipinya, sudut matanya memerah.
Zhao Nanyu mengira ia sedang menangis, lalu memeluknya, menarik napas dalam, dan berbisik, “Kamu tidak akan mati, jangan bicara sembarangan.”
Dengan sangat hati-hati, ia mengusap darah dari sudut bibir Song Luan menggunakan lengan bajunya.
Song Luan digendong masuk ke dalam rumah olehnya. Ia tahu bahwa Zhao Nanyu juga sangat sedih. Matanya penuh dengan urat merah, wajahnya benar-benar pucat.
Pria yang selama ini selalu tenang dan penuh perhitungan kini benar-benar panik.
Setelah muntah darah, Song Luan merasa dadanya sedikit lebih lega, tetapi tentu saja, tenaganya habis. Kelopak mata atas dan bawahnya beradu, kantuk pun menyerangnya.
Zhao Chao segera memeriksa denyut nadinya, dan tanpa perlu menunggu perintah kakaknya, ia berkata, “Aku akan membuatkan obat.”
Tentu saja ia tidak punya penawar racun, jadi hanya bisa meresepkan obat penenang.
Song Luan baru muntah darah. Setelahnya akan muncul rasa sakit, dan racun akan perlahan-lahan menyebar ke organ dalamnya, menggerogoti paru-parunya.
Prosesnya akan berlangsung bertahun-tahun.
Song Luan langsung tertidur begitu dibaringkan di ranjang. Saat tertidur, ia tidak memikirkan apa-apa.
Ia merasa Zhao Nanyu selalu ada di sampingnya. Pria itu yang biasanya selalu tenang, kini benar-benar kehilangan arah.
Guru Zhao Chao sudah mencari selama lebih dari setahun, tetapi belum juga menemukan siapa pun.
Setiap kali mereka menemukan petunjuk, tidak lama kemudian jejaknya menghilang lagi.
Langit semakin gelap. Song Luan tidur selama sehari penuh. Gerakan dadanya mulai tenang, napasnya mulai melambat.
Zhao Nanyu menggenggam tangannya dan duduk di samping ranjang seharian. Tak ada cahaya di ruangan itu. Wajahnya yang biasanya tajam tertutup kegelapan, sulit dilihat ekspresinya.
Zhao Nanyu sebelumnya sudah memberinya obat, dan Song Luan saat itu sangat patuh, menelan semuanya.
Setelah waktu yang cukup lama, Song Luan akhirnya membuka matanya. Ia berkedip, perlahan duduk di ranjang, dan mengeluh pelan, “Gelap sekali.”
“Aku nyalakan lampunya.” Suara serak Zhao Nanyu tiba-tiba mengejutkannya.
Cahaya lilin menyala, tidak terlalu terang. Tapi kini Song Luan bisa melihat wajahnya dengan jelas.
Di bawah cahaya yang hangat, wajah Zhao Nanyu yang putih dan halus tampak jelas. Pakaian di tubuhnya belum ia ganti, masih berlumuran darah Song Luan. Song Luan menelan ludah dan bertanya, “Kenapa belum ganti baju?”
Zhao Nanyu sangat suka kebersihan! Bahkan punya obsesi. Biasanya setiap pagi harus ganti pakaian bersih.
“Lupa.”
“Kalau begitu kamu harus mandi dan ganti baju. Aku sudah sadar, aku baik-baik saja.” Song Luan mencoba bicara dengan nada biasa.
Zhao Nanyu mengangguk, “Baik.”
Saat mendengar suara air, perasaan Song Luan campur aduk, aroma obat di ruangan itu sangat kuat. Ia membuka selimut dan turun dari tempat tidur, mengenakan sepatu, lalu berjalan keluar. Seperti yang ia duga, ruangan itu berantakan.
Vas di rak pecah beberapa kali, meja berantakan, seolah tak ada yang berani masuk membersihkannya.
Zhao Nanyu keluar setelah berganti pakaian dan tak melihat Song Luan. Ia menoleh dan keluar ruangan, menatap punggung gadis itu yang tampak kurus, rahangnya mengeras, dan matanya dalam.
Punggungnya tampak rapuh, seolah bisa menghilang kapan saja.
“Kenapa kamu keluar dari tempat tidur?” tanyanya.
Song Luan tersenyum, “Aku bukan terbuat dari kaca.” Ia berkata dengan nada ringan: “Hanya muntah darah, tinggal obati saja.”
Mentalnya benar-benar luar biasa! Sangat kuat!
Zhao Nanyu menggenggam tangan dinginnya dan menyentuhnya pelan, “Ayo masuk.”
Song Luan berdiri di tempat, mencium aroma lembut di tubuhnya, lalu menunjuk ke pecahan di lantai dan bertanya, “Kamu marah ya tadi siang?”
Ia ingat vas di rak itu sangat mahal. Saat ia dulu kabur, sempat terpikir untuk membawanya juga. Tapi akhirnya tidak jadi karena terlalu besar.
Sekarang malah dihancurkan Zhao Nanyu, ia merasa sayang. Itu semua uang, pikirnya.
Zhao Nanyu menjawab, mengiyakan.
Bukan hanya marah, tapi marah besar. Para pelayan sampai ketakutan dan tak berani masuk ke ruangan itu untuk membersihkan pecahannya.
Zhao Chao bilang, tidak ada jalan lain selain menunggu.
Song Luan menghela napas dan berkata menyesal: “Sayang sekali aku tidak lihat kamu marah.”
Biasanya dia selalu tenang, tampak santai dan terkendali, seolah tak ada yang bisa mengusiknya. Bahkan jika ia marah, ia akan diam-diam mencari cara balas dendam.
Sudut bibir Zhao Nanyu sedikit terangkat, tapi ia tak bisa benar-benar tersenyum.
Song Luan menoleh dan menatap wajahnya.
Ia memang tampan. Sempurna tanpa cela, seperti batu giok putih.
“A Yu.”
Sudah lama ia tidak memanggilnya begitu.
Zhao Nanyu dengan lembut mengelus rambut lembutnya dan bertanya, “Ya?”
“Lain kali jangan hancurkan barang mahal-mahal lagi.” ucapnya pelan, agak menyesal.
Zhao Nanyu sedikit terdiam, tak menyangka hal itu yang akan ia katakan.
“Baik.”
Song Luan sudah tidur seharian, jadi ia belum mengantuk. Ia berguling-guling di tempat tidur dengan selimut.
Zhao Nanyu merasa lucu melihatnya membungkus diri seperti kepompong, dan menarik tubuhnya keluar. “Minum obat.”
“Zhao Chao yang buat obatnya?”
“Ya.”
“Gurunya dukun ya!?”
“Benar.”
Baiklah, minum obat. Ia patuh minum obat.
Kalau begitu, murid dukun juga dukun!
Tanpa perlu dibujuk, Song Luan memegang mangkuk dan meneguk obatnya sampai habis, seolah sedang minum air biasa.
Tapi obat buatan Zhao Chao memang sangat pahit. Ekspresi wajahnya mengerut semua, nyaris menangis. Obat ini jauh lebih pahit dari semua obat yang pernah ia minum.
Memang, dukun itu beda.
“Eh, kamu menemaniku seharian, bukankah kamu sibuk? Cepat pergi saja! Jangan khawatirkan aku. Aku baik-baik saja.”
Song Luan tidak bertanya lebih jauh. Ia bisa menebak bahwa setelah dirinya datang, racun dalam tubuh Zhao Nanyu pun ikut aktif.
Sepertinya ia tahu segalanya.
Ia merasa kasihan pada dirinya sendiri, dan juga pada Zhao Nanyu.
Pria itu mencintainya, tapi justru akan membunuhnya.
Nasib benar-benar mempermainkan mereka.
Song Luan masih ingat dengan jelas bagaimana tokoh asli cerita ini meninggal. Ujung pisau menancap ke jantungnya, dan yang memegang gagangnya adalah Zhao Nanyu.
Astaga, membayangkannya saja sudah sakit.
Mungkin di kehidupan sebelumnya ia pernah menggali makam nenek moyang tokoh pria ini dan mencambuk jenazahnya, jadi sekarang dihukum seperti ini.
Terlalu tragis.
Kalau nanti ada yang menangis di depannya, ia akan cetak kisah ini dan tempelkan ke wajahnya.
Zhao Nanyu tetap diam, dan tatapan matanya yang dalam membuat bulu kuduk Song Luan berdiri.
“Istirahatlah dulu.”
“Tapi aku belum ngantuk.”
“Tetap harus istirahat,” katanya tegas.
Song Luan kesal dan memukul dadanya pelan, “Kalau begitu kenapa kamu tidak istirahat juga!”
Zhao Nanyu tersenyum tipis, “Kamu suruh aku kerja.”
Song Luan menatapnya, “Hmm, aku berubah pikiran. Kamu tidak boleh pergi.”
“Baik.”
Ia bodoh dan tidak menyadari segalanya, tapi Zhao Nanyu tetap memeluknya.
Song Luan mendengus dan membalikkan badan, memperlihatkan punggungnya padanya.
Terakhir kali Song Luan membujuk dan merengek agar bisa kembali ke rumah ibunya, Zhao Nanyu memandangnya seperti menatap orang sekarat, dan terus menjaganya tanpa lepas.
Sebagian besar waktu, Zhao Nanyu menemaninya sendiri.
Ia mungkin tidak berkata apa pun, tapi hanya memegang pergelangan tangannya pun sudah cukup.
Dan kondisi Song Luan tidak banyak membaik. Ia sering batuk dan mengeluarkan darah. Ia tidak berani memperlihatkan sapu tangan berdarah itu pada Zhao Nanyu. Tatapan mata pria itu terlalu menyeramkan, seperti penuh teror.
Tokoh pria ini sangat gelap hatinya, dan Song Luan benar-benar takut ia akan langsung berubah total di tempat.
Namun seiring semakin seringnya ia batuk darah, semakin sulit menyembunyikannya.
Untungnya, obat dari Zhao Chao mulai bekerja, dan intensitas batuk berdarahnya mulai menurun.
Namun ia masih sulit bernapas. Saat hari sedang cerah, dan Zhao Nanyu tak ada di rumah, ia keluar dan menerbangkan layang-layang di halaman.
Setelah berputar dua kali, ia kelelahan dan kehabisan napas.
Layang-layangnya terbang terlalu tinggi, lalu benangnya putus, dan layang-layang harimau yang ia gambar sendiri jatuh di luar tembok.
Song Luan refleks ingin memanjat tembok untuk mengambil layang-layang yang tersangkut di pohon, tapi baru mengangkat kakinya, ia langsung menurunkannya lagi.
Zhao Nanyu pasti akan mematahkan kakinya kalau tahu.
Pria itu semakin menyeramkan. Kadang malam-malam saat tenggorokannya kering dan ia ingin bangun minum, begitu membuka mata ia melihat tatapan mata Zhao Nanyu yang menatap lurus padanya.
Tatapan itu gelap dan dalam, penuh emosi ekstrem yang tak bisa dijelaskan, menatap langsung padanya.
Song Luan merinding dan jantungnya berdebar.
Kekuasaan Zhao Nanyu semakin menjadi-jadi, tidak membiarkannya terkena angin, tidak membiarkannya melakukan apa pun sendiri, memperlakukannya seperti boneka yang mudah pecah.
Song Luan memerintah pengawal, “Tolong ambilkan layang-layangku.”
“Baik.”
Baru saja ia ingin mengambil sapu tangan untuk mengelap keringat, tiba-tiba ada tangan yang muncul di depannya, jari-jari panjang dan rapi, dengan sapu tangan putih yang disodorkan padanya. Pria itu menghela napas, “Kamu ini…”
Tolonglah pria malang yang akan mati ini.
Song Luan benar-benar ingin mengatakan kalimat itu, tapi melihat betapa gelisahnya Zhao Nanyu akhir-akhir ini, ia hanya menelannya kembali.
Akhir-akhir ini, ia memang tak selincah biasanya.
Semua tampaknya mulai kembali ke alur cerita asli.
Sejujurnya, Song Luan tidak ingin mati di tangan Zhao Nanyu. Kalau pada akhirnya tak ada jalan keluar, ia akan diam-diam menghindar, dan biarkan dia menghadapi kematian dari kejauhan.
Pria itu berhati kaca, mudah pecah.
Kalau patah hati, bisa berubah jadi iblis.
Bagaimana kalau dia menangis sambil memeluk mayatnya dan tidak mau melepaskannya?
Song Luan bahkan tidak bisa membayangkan pria itu menangis. Ia tiba-tiba tertawa.
Zhao Nanyu mengangkat dagunya dengan dua jari dan bertanya, “Kamu sedang senang?”
— 🎐Read on onlytodaytales.blogspot.com🎐—
Bab 68:
Wajah Song Luan tampak lembut, ia bisa saja mencubit air yang baru muncul, lalu batuk dua kali. Ia berbisik, “Aku tidak apa-apa.”
Musim semi, meskipun cuacanya bagus, masih agak dingin. Zhao Nanyu menyelimutinya dengan jubah, menciumnya di dahi, dan menghela napas, “Di luar dingin, lebih baik tetap di dalam rumah.”
Tubuhnya memang agak bermasalah.
Song Luan meringkuk dalam pelukannya, “Aku merasa pengap jika terus-terusan di dalam. Dan tubuhku sudah jauh membaik dalam dua hari ini. Keluar sebentar untuk hirup udara tidak masalah.”
Dia merasa dirinya hampir tumbuh jamur karena tidak pernah keluar.
Zhao Nanyu tidak memarahinya secara langsung, tapi kemudian menghukum para pelayan yang menjaganya. Suaranya dingin, “Bukankah aku sudah bilang? Jangan biarkan dia keluar tanpa izin dariku.”
Namun jika Song Luan memang ingin melakukan sesuatu di rumah ini, tidak ada yang benar-benar berani menghentikannya. Nona muda yang manja ini bisa saja marah dan menunjukkan taringnya.
Zhao Nanyu mengusap alisnya dan memanggil pengawalnya, memerintahkan dengan dingin, “Cari dua pelayan perempuan yang patuh untuk melayaninya.”
Yang dimaksud ‘patuh’ tentu bukan pada Song Luan, tapi yang tunduk pada Zhao Nanyu.
“Baik. Akan segera saya laksanakan.”
Song Luan sudah tertidur. Setelah kembali ke kamarnya, awalnya ia ingin membaca buku, tapi belum sempat membuka sampulnya, ia sudah mengantuk berat hanya dengan melihat huruf-huruf padat di halaman pertama.
Zhao Nanyu melihat wajahnya yang tertelungkup di buku, lalu mengambilkan selimut dan menyelimutinya. Ia pelan-pelan menarik buku dari tangannya. Pipi Song Luan memerah karena panas, dan bibir merahnya bergerak sedikit. Ia sepertinya tidak nyaman saat tidur, hingga menggeliat dan mengubah posisi.
Zhao Nanyu khawatir dia kedinginan dan menggendongnya. Gerakannya membangunkan Song Luan. Bulu matanya yang panjang bergerak, ia membuka matanya perlahan, sedikit bingung. Ia mengucek matanya dan menguap, lalu bertanya, “Aku baru tidur ya?”
“Iya.” Zhao Nanyu bertanya, “Masih ngantuk? Mau lanjut tidur?”
Song Luan melirik ke luar, masih gelap, dan menggeleng, “Tidak.”
Pikirannya perlahan menjadi jernih. Ia melingkarkan tangannya di leher Zhao Nanyu dan berkata, “Buku itu terlalu membosankan, bikin ngantuk.”
“Besok aku belikan cerita rakyat untukmu.”
Zhao Nanyu tahu Song Luan bukan tipe yang bisa diam terlalu lama. Akhir-akhir ini ia memang sibuk, jadi tidak sempat menemaninya.
Malam harinya, Song Luan tiba-tiba demam tinggi, bahkan mengigau tengah malam. Tubuh yang sempat membaik kembali melemah. Berat badannya turun drastis, tubuhnya yang memang tidak gemuk jadi terlihat sangat lemah. Zhao Nanyu merasa ia bisa mematahkannya hanya dengan satu tangan.
Saat itu, Zhao Zhao tidak di rumah. Zhao Nanyu segera memanggil tabib dan memberinya obat penurun demam. Setelah diminum, suhu tubuh Song Luan baru turun tengah malam.
Setelah kejadian itu, fajar pun menyingsing.
Kesadaran Song Luan sangat lemah. Ia tidak menyadari apa pun di sekitarnya. Ia bahkan tidak membuka matanya. Ia hanya merasa tidurnya tidak nyenyak, terus gelisah dan merintih pelan. Ia sendiri pun tak ingat apa-apa.
Keesokan paginya, ia merasa lebih baik. Ia berpikir mungkin keringat semalam diseka oleh Zhao Nanyu.
Ia duduk perlahan, dan melihat Zhao Nanyu berdiri di depan jendela, tampak kurus dan murung.
Mungkin karena sadar dilihat, Zhao Nanyu menoleh dan melihatnya bangun. Bayangan gelap di matanya perlahan menghilang. “Sudah bangun?”
Otak Song Luan masih agak kosong, “Hmm.”
Ia ingin menjelaskan kalau dirinya tidak selemah itu, tapi merasa tidak ada gunanya—karena bahkan ia sendiri tidak percaya ucapan itu.
Song Luan menghela napas. Ia tahu, Zhao Nanyu pasti akan lebih protektif lagi terhadapnya.
Ia tidak menyangka daya tahan tubuhnya sedemikian buruk. Hanya karena angin sepoi, ia bisa sakit parah. Ini mengerikan.
Ia baru mulai mengerti mengapa pemilik tubuh ini dahulu memilih menyerah pada hidup. Saat semua organ tubuh mulai rusak perlahan, rasa sakit dari dalam terasa jelas dan menyiksa—lebih buruk daripada lumpuh.
Hawa dingin menjalar dari belakang lehernya. Song Luan merasa ngeri memikirkan masa depan.
Jari-jarinya gemetar, Zhao Nanyu menggenggam tangannya dan bertanya, “Dingin?”
“Tidak.” Suaranya serak.
Zhao Nanyu bertanya lagi, “Lapar?”
“Lapar. Aku mau makan pangsit.”
“Baik.”
Tak lama kemudian, semangkuk pangsit panas disajikan. Song Luan memang lapar, tapi setelah makan beberapa butir, perutnya sudah terasa penuh.
Ia menolak lanjut makan.
“Makanlah lagi. Itu terlalu sedikit.” Kalau terus begini, ia akan tinggal kulit dan tulang.
“Aku benar-benar tidak bisa.”
Bahkan Song Luan yang manja pun tidak berhasil menghindar. Zhao Nanyu memegang dagunya dan memaksanya membuka mulut. “Aku tidak akan paksa kamu habiskan satu mangkuk ini.”
Song Luan akhirnya dipaksa makan beberapa butir lagi. Ia cemberut, menghindari sendok, menatapnya dengan sedih, dan berkata, “Aku tidak sanggup lagi. Kalau dipaksa, aku bakal muntah.”
Zhao Nanyu menghela napas dan akhirnya menyerah.
Song Luan merasa rumah itu bau pangsit. Ia ingin membuka jendela, tapi Zhao Nanyu menahannya sambil tertawa kesal. “Berani-beraninya kau mau buka jendela? Belum cukup kamu demam?”
Song Luan menggeleng, menatapnya polos dan berkata, “Baunya terlalu menyengat, jadi aku cuma mau buka sedikit biar angin masuk.”
Zhao Nanyu menyelimutinya rapat-rapat, lalu berjalan ke jendela dan membuka sedikit celah kecil agar angin bisa masuk sedikit saja.
Song Luan masih demam ringan.
Ia menduga sebelum cuaca benar-benar hangat, Zhao Nanyu takkan membiarkannya keluar kamar.
Pelayan-pelayan yang dulu menemaninya kini diganti oleh gadis-gadis tangguh yang kelihatannya jago bela diri. Ia curiga mereka adalah pengawal dalam wujud pelayan.
Song Luan rindu pelayan lamanya yang lembut dan penurut. Yang sekarang malah tegas dan tidak bisa dibujuk. Tidak ada kebebasan! Tidak ada hak! Huhuhu.
Tapi Song Luan berusaha menghibur diri, berpikir bahwa semua ini demi kebaikannya. Jadi, apa boleh buat? Bertahan saja.
Setelah Tahun Baru Imlek, anaknya resmi masuk sekolah privat. Anak kecil seperti dia tentu tidak harus menginap, dan bisa pulang setiap hari. Tapi Zhao Nanyu sangat tegas, selalu memeriksa PR-nya setiap hari.
Song Luan hanya bisa melihat putranya lima atau enam kali sebulan. Setelah tahun baru, si kecil tampak lebih tinggi dan gagah.
Namun sifat anak itu belum berubah banyak. Ia tetap tidak suka bicara dengan orang asing dan jarang tersenyum.
Ia hanya tersenyum saat melihat ibunya.
Karena sebelumnya Song Luan demam, ia takut menulari anaknya, jadi tidak memperbolehkannya datang.
Beberapa hari belakangan, demam sudah benar-benar reda dan ia tidak batuk lagi, jadi anak itu datang menjenguk.
Zhao Wenyan juga datang. Remaja yang biasanya sombong ini terlihat lebih kalem, dan tatapannya tidak lagi sekejam dulu, meskipun ucapannya masih tajam.
Song Luan senang sekali. Ia merasa sudah lama tak bertemu orang luar. Bahkan sekarang kalau ada orang datang untuk berdebat dengannya, ia pun senang!
Ia mengedip pada Zhao Wenyan dan mencoba bicara dengan nada orang tua, “Ayan, aku dengar dari ibumu kalau urusan pertunanganmu sudah selesai?” Ia tersenyum sambil menutup mulut. “Selamat ya.”
Nyonya ketiga memang pernah datang mengabarkan hal ini, dan terlihat sangat senang dengan calon menantunya.
Dalam versi cerita asli, Zhao Wenyan tidak pernah menikah, karena hanya mencintai tokoh asli Song Luan. Akhirnya nasibnya pun tragis. Kini Song Luan benar-benar bahagia melihatnya punya masa depan yang baik.
Zhao Wenyan cemberut, “Terima kasih, Ersao.”
Selain mengucapkan selamat, Song Luan juga penasaran siapa calon istrinya?
“Siapa gadis beruntung itu ya?”
Zhao Wenyan mendengus, nada bicaranya sinis. “Kupikir ibuku sudah cerita semuanya. Masih perlu tanya aku?”
Song Luan tersenyum, “Kalau kamu tak mau bilang, tak apa.”
Sebenarnya ia tidak begitu penasaran. Toh nanti juga bakal tahu. Song Luan hanya tidak mengerti kenapa remaja seperti Zhao Wenyan ini begitu susah dipahami. Ia tersenyum dan menggeleng. Ia benar-benar tidak paham jalan pikiran anak muda ini.
Zhao Wenyan kesal, “Dia itu gadis bangsawan terkenal. Pokoknya jauh lebih baik darimu! Lebih pintar, lebih banyak baca buku!”
Sebagai tokoh asli yang hanya peduli penampilan, perhiasan, dan emas, tentu saja Song Luan tidak pandai baca-tulis.
Dan Song Luan yang sekarang juga kesulitan membaca huruf kuno zaman ini. Makanya setiap kali baca buku pasti tertidur. Bisa dibilang setengah buta huruf.
“Baiklah.” Song Luan tak mempermasalahkan.
Zhao Wenyan seperti kehilangan semangat, berdiri dan hendak pergi. Namun sebelum keluar, ia teringat sesuatu dan berbalik, meletakkan sebuah kotak di meja.
“Itu aku...” Ia langsung mengganti kata, “Itu titipan dari ibuku untukmu. Jangan tanya-tanya. Ini obat mahal. Makan saja. Lihat dirimu, seperti ranting kering.”
Lemah dan rapuh, seakan akan mati.
Song Luan berkata, “Terima kasih.”
“Kau... jaga dirimu baik-baik. Jangan urus urusan orang lain.” Ia menunjuk kotaknya. “Itu bunga salju dari Himalaya, jangan sia-siakan niat baik ibuku.”
“Aku akan sampaikan terima kasih pada ibu.” Zhao Nanyu pulang dari luar, dengan hawa dingin masih menempel. Tatapannya mengarah ke Zhao Wenyan, lalu ke bunga salju yang dibawa.
Ia berkata dengan makna dalam, “Ibu memang terlalu repot.”
Padahal sebenarnya itu bukan titipan ibunya, tapi dibeli dengan mahal oleh Zhao Wenyan sendiri.
— 🎐Read on onlytodaytales.blogspot.com🎐—
Bab 69
Zhao Wenyan sejak kecil hampir tidak pernah berbohong. Bahkan jika ia melakukannya, jumlahnya sangat sedikit. Kali ini, saat ia berhadapan dengan tatapan tajam kakaknya, ia merasa sedikit bersalah.
Setelah batuk dua kali, ia berkata, "Kakak kedua, aku masih ada urusan, aku pergi dulu."
Zhao Nanyu mengangguk, "Hm."
Zhao Wenyan hampir melarikan diri dari rumah itu. Ia selalu merasa bahwa niat-niat kecilnya tidak bisa disembunyikan dari kakaknya.
Zhao Wenyan sendiri tidak tahu kenapa. Ia berkata bahwa ia tidak peduli apakah dia hidup atau mati, tetapi tetap saja ia membeli sesuatu dan memberikannya padanya.
Saat Tahun Baru Imlek, ia mendengar bahwa Song Luan sedang sakit. Namun, kakak keduanya tidak mengizinkan siapa pun untuk menjenguk, dan Zhao Wenyan pun tak ingin mencampuri urusan.
Tak lama setelah selesai ujian, ia mendengar kabar tentang kakak iparnya dari ibunya di rumah.
Zhao Wenyan merasa bahwa Song Luan masih cantik meski sedang sakit. Tubuhnya yang lemah justru membuat orang merasa iba.
Ia tidak lagi menyukai kakak iparnya, hanya saja, ia merasa bahwa Song Luan tidak sebenci dulu. Zhao Wenyan baru menyadari bahwa Song Luan memiliki sisi yang lembut dan anggun. Ia tampak rapuh, seperti bunga yang mudah layu tertiup angin.
Namun, para pelayan di Huai Shui Curie terlalu tertutup. Ia bahkan tidak bisa mencari tahu penyakit apa yang diderita Song Luan hingga wajahnya menjadi sepucat itu.
Di awal musim semi, dia masih berpakaian begitu tebal, dan api arang di dalam rumah terus menyala dengan terang.
Baru saja Zhao Wenyan tinggal sebentar di dalam rumah itu, keningnya sudah berkeringat tipis. Ia tidak tahu bagaimana kakak keduanya bisa tahan dengan suhu seperti itu.
Saat Zhao Wenyan pergi, ia tidak menutup pintu. Angin menerobos masuk ke dalam rumah, dan Song Luan yang berdiri di ambang pintu langsung menggigil kedinginan.
Setelah terkena racun dan jatuh sakit, Song Luan memang semakin takut dingin.
Zhao Nanyu menutup pintu secara diam-diam untuknya. Jari-jarinya yang ramping mengangkat bunga salju di atas meja, dan ia menyeringai. “A Yan biasanya sombong, ini jarang sekali dia punya niat seperti itu.”
Song Luan menggosok tangannya. Ia tidak menyadari ironi dan nada masam dalam perkataannya. Ia mengambil bunga salju putih itu ke tangannya. “Kalau bukan karena nona ketiga mengirimkan sesuatu, dia tidak akan datang.”
Zhao Nanyu tersenyum dan dengan lembut mengetuk kepala Song Luan, “Bodoh.”
Ia percaya begitu saja pada kata-kata orang lain.
Song Luan menatap bunga salju di telapak tangannya cukup lama. Setelah puas, ia meletakkannya kembali ke dalam kotak, menjilat bibirnya, lalu menyipitkan mata dan berkata, “Aku akan merebus ini malam ini.”
Sebelumnya, ia hanya pernah melihat benda mulia seperti bunga salju ini di dalam buku. Sekarang, si topi lusuh akhirnya pernah juga menyentuh dunia luar.
Zhao Nanyu menyesap tehnya, “Bagaimana dengan Zhi Ge’er?”
“Aku menyuruhnya ke ruang tengah,” jawab Song Luan. Ia tadi sedang bicara dengan Zhao Wenyan. Anak sombong itu tidak tahu sopan santun, berani bicara semaunya. Song Luan takut dia mendengar hal yang tidak seharusnya, jadi dia menyuruhnya pergi.
Ia mendesah, “Aku akan masuk melihatnya.”
Zhi Ge’er duduk tegak di meja belajar. Wajah putih kecilnya sedikit kemerahan. Ia melepas jaket luarnya, tinggal baju dalam saja agar merasa lebih nyaman.
Karena suhu tubuh Song Luan lebih rendah dari orang biasa, ia tentu tidak merasa kepanasan. Zhao Nanyu pun sangat tahan terhadap panas, tidak pernah terlihat mengeluh atau mengelap keringat, jadi Song Luan mengira suhu ruangan itu biasa saja bagi semua orang.
Ia mengeluarkan sapu tangan dari lengan bajunya, lalu meletakkan adiknya di pangkuannya, dan dengan lembut menyeka keringat di dahinya.
“Kalau kamu panas, buka saja jendelanya. Kenapa sebodoh ini? Keringat berlebihan bisa bikin kamu sakit.”
Zhi Ge’er tersipu, “Tidak panas.”
“Kamu sudah berkeringat, masih bilang tidak panas?” Song Luan mencubit pipinya sambil tersenyum. “Bohong itu bukan sikap anak baik.”
Song Luan segera berdiri, menggendong adiknya dan berjalan ke jendela, lalu membuka jendela. Angin dingin masuk ke dalam rumah, menghilangkan hawa panas.
Wajah adiknya sudah tidak semerah tadi. Ia menarik lengan baju Song Luan. “Ibu, tutup jendelanya. Aku benar-benar tidak panas.”
Seperti kata ayah, ibu sedang tidak sehat dan tidak boleh kena angin.
Song Luan mengusap kepala adiknya dan tersenyum, “Sudah nulis berapa huruf? Biar kulihat, apakah tulisanmu sudah lebih bagus?”
Zhi Ge’er pura-pura tak mendengarnya dan berusaha turun dari pelukannya. Ibu sengaja mengganti topik dan menolak menutup jendela. Ia pun turun sendiri, lalu memanjat bangku.
Song Luan menepuk punggungnya, “Jangan ribut, biar kupeluk sebentar, ya? Kenapa kamu tidak suka ibu?”
Zhi Ge’er terdiam. Ekspresinya sedih, matanya menunduk, bulu matanya basah, dan ia memandang ibunya dengan penuh kesedihan. “Tutup jendelanya.”
Anak ini memang keras kepala, begitu juga dalam segala hal. Song Luan sudah menyadarinya sejak lama, sifat adiknya mirip Zhao Nanyu—keras kepala yang tak bisa diubah.
Setelah angin bertiup sebentar, suasana dalam ruangan sudah tidak terlalu panas.
Song Luan akhirnya menutup jendela, dan Zhi Ge’er bersandar di bahunya. Dengan suara pelan, ia berkata, “Guru memuji tulisanku kemarin.”
Ia meniru gaya tulisan ayahnya, dan untuk usianya, sudah sangat baik.
Song Luan mengambil hasil salinan tulisannya dan melihatnya. Ia menemukan tulisan itu memang bagus, jauh lebih baik dari tulisannya sendiri.
Ia memuji, “Adik ibu memang hebat.”
Anak itu tersenyum, matanya melengkung. Seolah mendapat pujian dari ibu adalah hal paling membahagiakan.
Song Luan berkata, “Tulisan bagus seperti ini, besok ibu akan suruh orang membingkainya dan menggantung di dinding, ya?”
Zhi Ge’er menjadi malu dan menunduk dalam-dalam. Wajahnya merah padam. “Jangan... tidak usah.”
Song Luan menahan tawa. Anak ini memang lucu sekali jika digoda.
Anak laki-lakinya ini memang paling menggemaskan.
Namun setelah menggendongnya lama-lama, lengan Song Luan mulai pegal. Zhao Nanyu masuk dengan mengangkat tirai. Tatapannya dingin, ia melihat Zhi Ge’er yang sedang dipeluk Song Luan dengan alis berkerut. Dengan suara rendah, ia berkata, “Turun dari ibumu.”
Song Luan meletakkannya perlahan dan melotot pada Zhao Nanyu. “Kamu kenapa marah padanya?”
Zhao Nanyu mengerutkan kening, “Dia sudah tidak kecil lagi, masa masih nempel terus sama ibunya.”
Mungkin merasa bahwa nadanya terlalu keras tadi, ia pun berjongkok dan memanggil Zhi Ge’er, “Ke sini.”
Zhi Ge’er berlari dengan sepatu bot kecilnya. Zhao Nanyu mengangkatnya, lalu berkata dengan lembut, “Kamu sudah besar, harus lebih mengerti. Jangan selalu rewel pada ibumu.”
Zhi Ge’er mendengarkan tanpa banyak bicara.
Zhao Nanyu tahu bahwa anak itu sedang kesal karena sudah lama tidak bertemu ibunya. Ia pun berdiri dan berkata, “Sudah, jangan ngambek. Ayah bantu periksa PR-mu.”
Song Luan tahu bahwa anak-anak zaman dulu memang dewasa lebih cepat. Umur tiga tahun sudah sekolah, dan belasan tahun sudah dewasa. Ia menyela, “Sudah aku uji, dan nilainya bagus.”
Zhao Nanyu mengangkat alis dan tersenyum, “Kamu yang mengujinya?”
Senyum di matanya begitu jelas.
Wajah Song Luan memerah karena digoda. Meski di dunia modern ia termasuk orang cerdas, begitu datang ke sini, ia hampir buta huruf.
Ia berkata terus terang, “Ya! Aku yang uji, kenapa?”
Zhao Nanyu menahan tawanya dengan mengepalkan tangan ke bibir, “Baiklah. Kalau begitu, tidak perlu aku uji lagi.”
Udara akhirnya menghangat setelah musim semi berlalu.
Namun, api arang di kamar Song Luan masih tetap menyala. Tak ada yang berani mematikannya. Song Luan merasa lemas karena terlalu lama di dalam, jadi ia memutuskan untuk keluar ke halaman dan berjemur.
Untuk urusan main layang-layang, itu hanya angan-angan. Zhao Nanyu pasti tidak akan setuju, dan dua pelayan di sisinya juga mengawasinya ketat.
Zhao Nanyu lebih sering di rumah akhir-akhir ini, tapi para bawahannya sering datang ke rumah Zhao untuk urusan penting, biasanya di ruang belajarnya.
Song Luan tidur siang di bawah sinar matahari dengan selimut hangat. Setelah meregangkan tubuh, ia berkata iseng, “Aku mau ke ruang belajar lihat dia.”
Dua pelayan itu ingin menghentikannya, tapi Song Luan melambaikan tangan dengan tidak sabar. “Begini saja kok, kenapa ribut? Kalau aku terus diam saja, otot-ototku bisa kaku.”
Pelayan itu berpikir-pikir. Kesehatan nyonya memang sudah membaik, wajahnya juga sudah kembali berwarna, jadi mereka tidak mencegahnya.
Song Luan merasa tidak sopan jika datang ke ruang belajar Zhao Nanyu tanpa membawa apa-apa, jadi ia membawa dua piring kue.
Zhao Nanyu tampaknya sedang menerima tamu, namun karena sudah memberi tahu sebelumnya, penjaga di luar tidak menghentikannya.
Jendela terbuka dan cahaya masuk, membuat ruang belajar terang benderang.
Zhao Nanyu berdiri di hadapan seorang pria tampan dengan garis rahang tegas dan wajah yang kaku tanpa ekspresi.
Pria itu mengenakan pakaian hitam dan membawa pedang di pinggangnya—terlihat seperti seorang perwira militer.
Ada bekas luka di alisnya, tidak terlalu dalam tapi cukup mencolok. Luka itu membuatnya tampak garang.
Pria itu menatap Song Luan dengan dingin, tatapan jijik yang sangat kentara.
Song Luan berpura-pura tidak melihatnya. Orang yang membencinya sudah tak terhitung jumlahnya, jadi kenapa peduli dengan dua orang tambahan?
Ia meletakkan kue di meja dan tersenyum, “Aku tidak tahu kamu sedang ada tamu, kalau tahu, aku tidak akan datang.”
Zhao Nanyu menggenggam tangannya, tangannya dingin sekali. Ia menariknya ke dalam pelukan dan menutupi tangannya dengan sapu tangan hangat. “Tidak apa-apa.”
“Aku tidak ingin mengganggu kalian berbicara.”
Zhao Nanyu menariknya kembali, “Jangan buru-buru,” katanya pada pria di hadapannya, “Lu Ji, minumlah teh dulu.”
Lu Ji sedikit terkejut. Bahkan sebagai perwira militer yang tidak tertarik urusan rumah tangga, ia pun pernah mendengar ulah Song Luan. Ia sangat membenci wanita yang tidak tahu aturan.
Beberapa tahun terakhir, Song Luan begitu arogan dan kasar. Jika tidak mengingat posisinya, sudah lama ia ingin menebas wanita itu.
Kenapa Tuan Zhao memperlakukan wanita seperti ini dengan sangat baik? Sungguh tidak layak.
Lu Ji menduga karena Song Luan memang cantik, tubuhnya ramping dan matanya berkilau—membuat orang merasa kasihan.
Song Luan mengenali nama Lu Ji. Ia adalah orang kepercayaan Zhao Nanyu dan kini menjadi pemimpin penjaga istana. Ia membenci wanita karena ibunya pernah meninggalkan ayahnya yang sakit dan kawin lari. Sejak kecil ia hidup sendiri dan penuh dendam, terutama pada Song Luan karena alasan ini.
Song Luan tidak ingin tinggal lebih lama dan membuat suasana makin tidak nyaman. “Lepaskan aku, aku mau pergi.”
“Kamu sudah datang, tinggal saja sebentar lagi.”
Zhao Nanyu tidak melepaskan tangannya, dan Song Luan pun terpaksa tetap tinggal. Wajahnya memerah karena ulahnya, dan itu membuatnya terlihat manis.
Lu Ji melirik ke arahnya, lalu segera mengalihkan pandangan.
Tubuhnya bagus dan wajahnya cantik. Tak heran Tuan Zhao menyukainya.
Zhao Nanyu tidak suka orang lain melihat Song Luan, dan segera menutupi wajahnya.
Kemudian ia berkata pada Lu Ji, “Kamu boleh pergi.”
“Baik.”
Song Luan mulai bosan memainkan jari-jarinya, membukanya dan menutupnya, dan merasa itu cukup menyenangkan untuk mengusir kebosanan.
Meskipun wajah Zhao Nanyu tampak dingin, Song Luan tahu suasana hatinya sedang baik.
Zhao Nanyu tersenyum, “Guru Zhao akan segera kembali ke ibu kota.”
Begitu orang itu kembali, racunnya akan bisa diobati.
Song Luan menguap dan tidak mendengar dengan jelas, “Apa? Apa yang kamu katakan?”
Zhao Nanyu mengulanginya.
Song Luan tak pernah berharap racunnya bisa disembuhkan, jadi kabar ini membuatnya terkejut.
Selamat...? Pemilik tubuh aslinya dalam buku tidak pernah sembuh dan akhirnya meninggal.
Meski merasa senang, Song Luan tetap khawatir. Karena selama ini, meski ia sudah berbuat banyak, bagian cerita yang berkaitan dengannya tidak pernah berubah.
Ia takut kali ini juga akan begitu.
Memikirkan hal itu, Song Luan memeluk Zhao Nanyu dan berbisik pada dirinya sendiri, “Aku akan baik-baik saja, kan?”
Kalau bisa hidup, siapa juga yang ingin mati?
Malamnya, Zhao Nanyu tidur memeluknya. Awalnya Song Luan enggan, tapi ternyata tidur di pelukannya sangat nyaman. Akhirnya ia pun mengalah.
Ia menggeser-geser tubuhnya mencari posisi yang paling nyaman, lalu menutup mata.
Namun tak lama kemudian, Song Luan membuka matanya. Perutnya terasa nyeri, wajahnya pucat, keringat dingin mengalir di punggung, dan ekspresinya penuh rasa sakit.
Zhao Nanyu segera menyadari perubahan kecil itu dan bertanya, “Ada apa?”
Song Luan merengek, suara halus keluar dari tenggorokannya, “Aku... aku sakit, perutku sakit.”
Tapi bukan cuma perut, ia bahkan tidak tahu bagian mana yang sebenarnya sakit.
Sakitnya tidak bisa dijelaskan. Air mata mengalir dari sudut matanya. Ia mencengkeram lengan Zhao Nanyu seolah itu pereda sakit.
Telapak tangan hangat Zhao Nanyu menempel di perutnya. “Sakitnya di sini?”
Song Luan menggeleng, napasnya terengah-engah, “Bukan.”
Tangannya naik sedikit. “Di sini?”
“Bukan juga.” Matanya merah. “Aku tidak tahu di mana, pokoknya sakit banget.”
Zhao Nanyu memasang wajah datar, lalu memeluknya, dan mulai mengelus perutnya perlahan.
Setelah kira-kira satu jam, rasa sakit itu perlahan mereda. Song Luan jatuh lemas dalam pelukannya, rambutnya basah oleh keringat.
Zhao Nanyu memeluk pinggangnya erat-erat. Di matanya terlihat perasaan sakit dan bersalah yang dalam.
Mata Song Luan yang sembab bertemu dengan tatapan tajamnya. Tubuhnya menggigil. Tapi semakin ia mundur, tatapan Zhao Nanyu semakin mengerikan.
Ia mencengkeram tengkuknya, menunduk dan menggigit bibirnya, lalu bergumam, “Maafkan aku.”
Namun itu hanyalah rasa bersalah yang munafik.
Tidak cukup kuat untuk membiarkannya pergi.
— 🎐Read on onlytodaytales.blogspot.com🎐—
Bab 70
Song Luan sedang menunggu sang penyihir legendaris, dia bukan tipe orang yang pesimis, tapi kali ini dalam hatinya tak banyak harapan. Itu juga baik, jika memang akhirnya tidak ada hasil baik, dia bisa menerimanya dengan tenang.
Beberapa bulan terakhir, hubungan antara dia dan Zhao Nanyu mulai menjadi tidak jelas. Mungkin memang tidak ada yang bisa dilakukan. Selama cuaca baik, dia akan mengayun ke ruang belajar Zhao Nanyu, walaupun hanya melihat dia menulis tanpa bosan.
Hari itu Song Luan pergi mencarinya, tapi di luar tidak ada orang yang menjaga, dia berdiri jauh. Sebelum dia lewat, terdengar jeritan mengerikan dari dalam. Kesedihan yang sangat dalam, dan jeritan kasar dari tenggorokan, serak dan pecah-pecah.
Song Luan memperlambat langkah dan mendekati pintu, mengintip ke dalam melalui celah. Ada seorang pria tergeletak di lantai setengah mati dengan tubuh penuh darah, Zhao Nanyu memegang cambuk di tangannya, pakaian bulan sabitnya ternoda darah, bahkan tangannya pun penuh darah.
Kekuatan membunuh yang mengamuk, aura yang agung.
Zhao Nanyu membelakangi Song Luan, menginjak luka pria itu tanpa ampun, dan berkata dengan nada tinggi, "Kalau kamu menyerah, kamu tidak perlu menderita seperti ini."
Wajah pria itu terpelintir dan mengatupkan giginya, "Aku memang tidak tahu."
Zhao Nanyu tidak ingin membuang waktu untuk mulutnya. Orang ini sangat tertutup, bahkan tidak bisa bicara apa-apa. Dia pernah bertahun-tahun di Kuil Dali, paling ahli dalam hukuman dan tanpa keraguan memulai. Orang ini sudah lama disiksa oleh dia tapi tetap tidak menyerah.
Zhao Nanyu tanpa pikir panjang mengajak pedang dari pengikutnya, dan pedang itu menusuk tenggorokannya.
Song Luan bergidik dan menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri. Dia hendak pura-pura tidak melihat dan diam-diam pergi, tiba-tiba Zhao Nanyu menoleh, seolah menemukan seseorang.
Zhao Nanyu mengangkat tangan dan menyapu angin, pintu di depan Song Luan terbuka.
Noda darah juga tersiram di wajahnya, aura membunuh mengamuk. Zhao Nanyu hanya sedikit terkejut melihatnya tenang, menyerahkan pedang pada orang di sampingnya. Ia menyeka darah di wajahnya dan berjalan ke arahnya, menghela napas, "Kenapa tidak ada suara?"
Zhao Nanyu tidak ingin dia melihat adegan mengerikan itu, dia sudah takut padanya. Tapi kalau memang tidak masalah, Song Luan pasti akan tahu suatu saat bahwa dia bukan orang baik.
Dia juga sudah membunuh banyak orang, dan tak merasa bersalah.
Song Luan merasa mual, secara naluriah menghindari tangan yang menjulur padanya, wajahnya pucat.
Mata Zhao Nanyu meredup, dia mungkin takut.
Guru Zhao Chao baru tiba di gerbang kota, dan dengan hormat diundang oleh pengikut Zhao Nanyu.
Xu Daozi mengenakan jubah hitam dengan cambuk di tangan, wajahnya ramah dengan senyum tipis. Jika mengabaikan pakaiannya, dia terlihat seperti kakek tua yang baik hati.
Setelah lebih dari setahun berkelana di luar negeri, Xu Daozi tidak tahu apa-apa tentang ibu kota. Dia tidak pernah bertanya atau menanyakan, murid satu-satunya tidak bisa ditemukan, dan Xu Daozi tidak pernah mengungkapkan keberadaannya.
Dia kira muridnya yang gelisah ingin bertemu dan menunggu sampai masuk gerbang Kediaman Zhao, baru tahu tidak ada yang perlu ditanyakan.
Saat itu, Song Luan juga menatap kosong pada kakek berjenggot putih yang tersenyum di depannya. Zhao Nanyu dengan serius berkata pada Daozi, "Bapak, mohon bantuannya."
Xu Daozi memeriksa denyut nadi Song Luan, pupilnya sedikit membesar, ia terkejut dan berkata, "Azure?"
Rahang Zhao Nanyu menegang, wajahnya mengeras, "Iya, benar."
Xu Daozi mulai berkemas, menggeleng dan berkata, "Tidak perlu dicek."
Azure sebenarnya adalah racun/obat yang dibuatnya secara sembrono. Dia temperamental, telah membuat banyak racun selama puluhan tahun, tapi tidak ada penawarnya. Bahkan dia sendiri tidak bisa menemukan solusi.
Aroma azure dibuatnya terburu-buru. Xu Daozi sangat puas dengan bau racun itu. Racunnya sangat parah, sebanding dengan belerang, tapi berbeda dari belerang. Azure akan perlahan menggerogoti organ dalam tubuh, membuat orang mati dalam dua atau tiga tahun.
Saat organ dalam sudah berlubang, orang tentu tidak bisa bertahan hidup.
Xu Daozi memandang gadis pucat di depannya dengan iba. Gadis kecil itu masih muda, wajahnya segar dan cantik, mata bersih seperti mata air, sangat cantik.
Sayangnya, orang seperti ini malah sekarat.
Xu Daozi perlahan mengalihkan pandangannya ke Zhao Chao di sampingnya, menepuk kepalanya tanpa ampun, "Ceritakan pada Lao Tzu apa yang terjadi?"
Bagaimana racun ini bisa masuk ke tubuh gadis kecil yang tak berdaya?
Zhao Chao gemetar, "Guru, nanti kami akan jelaskan."
"Tinggal di sini." Zhao Nanyu menahannya.
Xu Daozi bukan orang sabar dan lemah. Dia lelah sepanjang jalan dan belum beristirahat. Dia terkenal kasar dan terus terang, tidak banyak muka.
Dia berkata dengan tegas, "Aku tahu yang kalian tanya, tidak perlu berkata-kata, artinya tidak ada obat. Paling lama dua atau tiga bulan."
Kalau bisa menahan gelombang rasa sakit, gadis kecil yang diracun ini bisa hidup dua atau tiga tahun, tapi dia sepertinya tidak sanggup bertahan.
Kebanyakan orang yang mendapat kutukan langit akhirnya bunuh diri atau mati. Tidak ada yang bisa tahan sakit hari demi hari. Dan rasa sakit itu akan semakin menjadi-jadi. Saat itu, bernapas pun sudah jadi siksaan.
Song Luan menerima berita itu dengan tenang, tapi tanpa sadar air matanya jatuh. Xu Daozi melihat gadis itu menangis seperti hujan bunga, lalu batuk dengan suara aneh.
Sekarang sudah terucap, tak bisa disembunyikan lagi.
Meskipun dia kejam padanya, ternyata sudah menyiapkan ini sejak awal?
Jari di lengan baju Zhao Nanyu terkepal erat hingga sendinya putih, bibir tipis bergerak.
Song Luan menghapus air matanya, sudah menyadari ini adalah takdir sang pemilik asli. Meskipun dia seorang penjelajah waktu, walau sudah tahu lebih dulu, jalannya tetap tak bisa diubah.
Tak berdaya, tidak ada harapan.
Song Luan mengakui dia takut mati, tapi jika diminta menghadapi dengan tenang, bukan hal yang mustahil. Mungkin dia akan mati di dunia ini, lalu bisa kembali.
"Aku baik-baik saja, aku baik-baik saja," kata Song Luan dengan lepas di hadapan Zhao Nanyu yang penuh belas kasih dan sakit hati, diulang-ulang.
Xu Daozi jadi lebih lembut, lalu berkata, "Jangan sedih, gadis kecil, bukan hanya dua atau tiga bulan, tapi dua tahun, kau harus merawat diri baik-baik."
Dua tahun, tepat sama seperti di kisah asli.
Hari-hari selama dua tahun itu, Song Luan sudah membaca dengan mata kepala sendiri.
Menurut kata Xu Daozi, Zhao Nanyu tidak percaya, dia masih mencari dokter di mana-mana dan memasang pengumuman hadiah. Song Luan hanya tersenyum saat tahu ini, dia tidak putus asa, juga tidak merasa Zhao Nanyu sia-sia, dan dia tidak akan menyerah sebelum mati.
Sayang sudah terlalu banyak minum obat, efeknya tidak sebagus dulu.
Penyihir Jianghu dan tabib kerajaan sudah menyerah, seperti kata Xu Daozi, tidak ada obat.
Zhao Nanyu sudah malas pura-pura ramah dan senyum, temperamennya semakin buruk.
Song Luan tahu dia sering mengomel di belakang, jarang tersenyum. Zhao Nanyu hanya tersenyum saat berdua dengannya.
Setiap hari dia membawa barang-barang kecil dari luar untuk membuatnya bahagia.
Song Luan semakin sedikit tidur. Sakit samar di tubuhnya membuat sulit tidur. Dia memeluk pinggang Zhao Nanyu dan mencium bau yang familiar dari tubuhnya, barulah merasa lebih nyaman.
Meski sudah tertidur, dia selalu bermimpi tentang Zhao Nanyu dengan kejam menembus dirinya.
Dia punya firasat gambar itu suatu hari akan jadi kenyataan. Zhao Nanyu pasti akan membunuhnya. Apa alasannya? Dia tidak tahu sekarang.
Belati itu diletakkan di ruang kerja Zhao Nanyu di pojok kanan atas meja.
Zhao Nanyu menatapnya dengan wajah suram, lalu mengundang ibunya datang untuk membuatnya bahagia.
Bibi Lin melihat putrinya yang kurus dan malang, air matanya mengalir deras, memarahi Zhao Nanyu sambil menghapus air mata, berkata keras, “Bajingan! Berani-beraninya menyiksamu seperti ini, kalau bukan karena ayahmu tidak mengizinkan, aku sudah lama membawamu pulang. Apa maumu, keluarga Song? Zhao Nanyu berani berbuat seperti ini, kalau bukan karena punya kekuasaan, dia sudah kubunuh!”
Bibi Lin mengumpat Zhao Nanyu habis-habisan. Song Luan menggenggam tangan ibunya dan berbisik pelan, "Ibu, aku lapar, apa ibu bawa makanan enak?"
“Betul, Zhao Nanyu memang bukan orang baik. Aku juga makan agak ringan belakangan, mulutku tidak doyan minyak.”
Bibi Lin berkata tidak enak badan, "Kamu sakit, makan yang ringan lebih baik untuk kesehatanmu." Dia menghela napas, menatap Song Luan dengan penuh kasih sayang. "Anakku baik sekali, kenapa harus disiksa di keluarga Zhao begini?!"
Dulu, bahkan ketika mengirim anaknya ke biara, seharusnya tidak menikahkan dengan Zhao Nanyu.
Song Luan tak tahu bagaimana membujuknya. Bibi Lin sangat mencintai anaknya sampai matanya bengkak. Mungkin kali ini sudah tidak ada air mata lagi.
Dia menghela napas pelan, merasa sedikit bersalah, "Ibu, jangan bicara hal-hal menyedihkan, aku beri tahu, kemarin Zhao Nanyu membawakanku kucing putih, tapi kucing itu sepertinya tidak menyukaiku, diam-diam kabur." Dia tersenyum pelan, "Zhao Nanyu mencari hampir sepanjang malam, memeriksa setiap sudut, tapi tidak ketemu."
Bibi Lin berkata, "Pikiranmu luas."
Kapan ada waktu dan perhatian untuk kucing? Song Luan seperti daging yang jatuh dari tubuhnya. Apa yang dia katakan sekarang cuma untuk menghentikan kekhawatiran ibunya.
Tapi Bibi Lin jadi lega, putrinya kurus dan wajahnya tidak sehat. Bau obat masih menyelimuti, seperti baru keluar dari tempat pengobatan.
Mengingat postur putrinya yang cantik dan memesona, Bibi Lin sangat sedih dan benar-benar ingin memarahi Zhao Nanyu!
Bibi Lin memarahi Zhao Nanyu dari awal sampai akhir, menyimpulkan pria itu bukan orang baik.
Dia berhenti mengumpat dengan sedih. Song Luan tersenyum diam-diam menutup mulutnya, pinggangnya sakit setiap kali tersenyum. Tidak ada cara selain menahan dan bersandar, berkata pelan, "Ibu, jangan bicara lagi."
"Baik, aku tidak akan bicara lagi."
Bibi Lin menemani sepanjang sore dan bercerita semua yang terjadi di Kediaman Song. Misalnya, lima saudara perempuannya yang baru menikah dan masuk istana. Ratu ibu memilih sendiri orang masuk istana, dan tampaknya mendapat perhatian kaisar baru.
Saudaranya, Song Heqing, menerima kamar selir, dan selir muda itu bukan orang yang bisa menghemat minyak, membuat hubungan dengan iparnya jadi rumit.
Song Luan mendengarkan dengan kepala pening, teringat nasib gadis Ayun dalam hati. Sudah lama tidak bertemu Ayun. Kaisar baru adalah kaisar dingin khas buku aslinya.
Bagus kaisar kejam ke wilayah, dan juga kejam pada wanita.
Song Luan mengupas biji melon dan bertanya, "Apa masalah saudara dan selirnya?"
Bibi Lin mengernyit, "Gadis itu anak penjahat, saudaramu menyelamatkannya dengan merawat cinta lamanya. Entah apa yang terjadi nanti?"
"Saudara ipar pasti sedih sekali."
Bayangkan kalau Zhao Nanyu adalah selir, dia pasti sedih juga, dan jadi cemburu memikirkan hal seperti itu.
"Bukan begitu! Aku beberapa kali menangis dengan saudaramu diam-diam. Aku tak berani orang tahu saudara iparmu terlalu lembut dan harus dibully diam-diam." Nada Bibi Lin berubah, "Kalau ada yang berani menghalangi, nenek sudah serang dia dengan pisau."
Tapi Bibi Lin masih hidup di zaman Song.
Song Luan tidak bisa tidak berpikir Bibi Lin bukan ibu kandung Song Heqing, dan lebih sulit mengurusi urusan kamar dia. Orang luar cuma bisa menonton.
Tidak terlalu dini. Bibi Lin tidak tinggal sampai makan malam. Dia bilang tidak mau bertemu Zhao Nanyu.
Lampu kasa memancarkan cahaya hangat, dan Song Luan masih belum cukup terang. Dia bangun, menyalakan dua lampu lagi, kamar menjadi agak terang.
Malam sulit tidur lagi.
Zhao Nanyu berbaring miring, memegang bahunya dengan satu tangan. Suaranya sangat enak didengar, dan senyumnya lembut sampai ke tulang, berusaha menghibur dengan bercanda.
Sakit punggung dan perut bawah Song Luan juga terasa. Dia menatapnya dengan mata basah, mendengarkan dengan penuh perhatian. Candaan Zhao Nanyu memang tidak lucu, tapi Song Luan serius ingin membuatnya bahagia. Dia tersenyum.
Lebih baik tertawa daripada menangis. Dadanya mulai sakit. Dia menutup dada dan menarik napas, mengeluh pelan, "Jangan bercanda, aku takut mati sebelum sempat bernapas."
Zhao Nanyu benci dengar dia ngomong soal mati, lalu cubit bahunya.
Song Luan bersandar di pelukannya, mata terpejam, tersenyum pelan, berkata, "Ibu mertua bisa datang"
Mata Zhao Nanyu tiba-tiba berubah menjadi sangat tajam, hampir menyeramkan.
Song Luan menatapnya dengan penuh ketegasan, tidak takut sama sekali.
“Aku tahu ini semua karena racun dalam tubuhku, dan aku tahu kau yang memberikannya padaku.”
Zhao Nanyu membeku sejenak, lalu menundukkan kepala, matanya merah, tapi sulit ditebak apakah itu karena air mata atau amarah.
Song Luan perlahan melepas jepit rambutnya dan meletakkannya di telapak tangan Zhao Nanyu.
“Aku memberimu kesempatan,” katanya dengan senyum tipis.
Racun itu baru mulai bekerja selama kurang dari sebulan, dan aku sudah tidak tahan lagi.
Setiap saat, bangun atau tidur, rasa sakit itu menggerogoti tubuhku.
Zhao Nanyu menatapnya dengan mata penuh amarah yang membara.
— 🎐Read on onlytodaytales.blogspot.com🎐—
***
Comments
Post a Comment