Wife Can't Escape – Bab 91-100 (Extra)

Bab 91

Kata pertama Er Bao adalah “Kakak.”
Xiao Zhao sangat menyayangi adik laki-lakinya, jadi secara alami ia sering berada di sisinya.
Kedua bersaudara itu sering bersama. Er Bao berbaring sementara Xiao Zhao duduk di sampingnya, memandangi adiknya dengan serius.

Anak berusia satu tahun itu sudah lama bisa merangkak. Er Bao kembali menjadi anak yang aktif dan lincah. Ia suka menyelinap saat orang lengah dan bahkan bisa terjatuh dari tempat tidur.

Xiao Zhao memegangi kaki kecil adiknya yang gemuk, lalu dengan tenang dan lembut menariknya. Ia menatap adiknya serius dan berkata kata demi kata, “Kamu tidak boleh turun. Nanti jatuh.”

Ketika Er Bao mendengar kakaknya bicara, dia bertepuk tangan.

Xiao Zhao mengira adiknya tidak mengerti, jadi ia menambahkan, “Kalau jatuh, itu sakit.”
Namun Er Bao tetap tersenyum.

Xiao Zhao mengernyit, seolah-olah sedang menghadapi masalah besar. Ia merasa adiknya terlalu bodoh.
Setelah menghela napas, ia berpikir bahwa kalau suatu saat nanti terjadi apa-apa, dia saja yang akan menolongnya.

Er Bao tampak tidak betah berbaring di tempat tidur empuk itu. Ia memonyongkan bokong gemuknya dan menendang-nendang dengan kaki pendeknya yang putih. Ketika kakaknya lengah, ia berusaha turun.
Er Bao berusaha sekuat tenaga merayap ke ujung ranjang tapi langsung ditangkap oleh kakaknya.

Xiao Zhao mencubit pipi gembil adiknya dan berkata, “Kenapa bandel banget sih?”

Begitu mata Er Bao memerah, ia membuka mulut seolah akan menangis.
Jari-jari Xiao Zhao masih digenggam Er Bao. Dengan nada sedikit putus asa, ia berkata, “Kamu mau aku temani main? Tapi aku nggak bisa lama-lama. Aku masih punya PR.”

Ayah mereka akan memeriksa PR-nya setiap malam. Ia tak bisa bersikap santai hanya karena adiknya.
Apa sih yang bisa dimengerti anak umur satu tahun? Er Bao cuma ingin main di lantai. Kalau kakaknya tidak menuruti kemauannya, ia akan menangis.

Song Luan masuk ke kamar sambil membawa bubur nasi. Melihat kedua anaknya dengan mata bulat besar dan kecil begitu, ia merasa geli.
Dengan suara lembut, ia bertanya, “Kenapa ini?”

Xiao Zhao menarik jarinya dari genggaman adiknya. Dengan nada datar yang sedikit meniru gaya ayahnya, ia menjawab, “Adik mau main di lantai.”

“...…”
Untuk pertama kalinya, ia merasa ibunya agak kurang bisa diandalkan. Ia berkata, “Lantainya kotor.”

Song Luan tertawa. “Kamu nggak usah khawatir. Selimut lantainya baru ibu cuci kemarin.”

Xiao Zhao menundukkan matanya, agak enggan. Saat Song Luan merasa sudah cukup menggoda anak sulungnya, ia tertawa dan mengusap pipi anak itu dengan jari hangatnya.
“Ibu cuma bercanda.”

Telinga Xiao Zhao memerah dan kulit yang disentuh ibunya terasa panas, tapi ia tetap menjelaskan dengan serius, “Aku nggak mau adik turun. Lantainya benar-benar kotor.”

“Iya, iya, ibu tahu.”

Song Luan lalu mengangkat Er Bao dan mulai menyuapinya bubur nasi.
Namun si kecil itu tak bisa diam dan terus mengoceh saat disuapi.

Sendok di tangan Song Luan hampir direbut oleh tangan kecil Er Bao. Walaupun ia berhasil menghindar, bubur di sendok malah tumpah ke bajunya.

Song Luan menunjuk hidung Er Bao dan berkata, “Nakal sekali.”

Xiao Zhao yang berdiri di sampingnya segera mengambil sapu tangan dan mengelap lengan baju ibunya. Ia juga tak lupa menegur adiknya, “Nggak boleh.”

Er Bao tidak mengerti.
Karena tidak mengerti, ia merasa bisa berbuat sesuka hati.

Jadi saat disuapi lagi, tangan gelisahnya kembali bergerak dan menyenggol sendok.

Xiao Zhao tampak kesal dan menatap adiknya dengan wajah cemberut. “Aku sudah bilang, jangan.”

Song Luan mengingatkan dengan pelan, “Adikmu itu… belum mengerti.”

Xiao Zhao tetap menatap Er Bao dengan keras kepala. Ia memegang tangan adiknya tanpa terlalu kuat. “Dia mengerti.”

Menurut Xiao Zhao, adiknya bisa mengerti.

Er Bao melihat wajah kakaknya agak galak, jadi ia mempout bibirnya dan menangis keras.
Namun Xiao Zhao tidak berusaha menenangkannya, malah berkata dengan nada galak, “Jangan nangis.”

Mata hitam Xiao Zhao menatap lurus ke arah Er Bao.
Er Bao ketakutan. Tangisannya langsung tertahan dan ditelan kembali.

Song Luan merasa keduanya sangat lucu. Ia tersenyum dan kembali menyuapi Er Bao.

Anak itu sebelumnya selalu menolak disuapi karena masih ingin menyusu dan belum mau makan bubur.
Setelah cukup lama, akhirnya semangkuk kecil bubur itu habis juga.

Ia lalu meletakkan Er Bao di atas selimut lantai agar ia bisa merangkak.

Xiao Zhao tampak ingin mengatakan sesuatu. “Ibu…”

Song Luan tahu apa yang ingin dia katakan. Ia mengusap wajah putranya dan bergurau, “Kamu tahu kan, adikmu masih kecil. Dia hanya bisa merangkak di lantai.”

Xiao Zhao mempout mulutnya dan tidak bicara lagi.

Er Bao merangkak dengan senang di lantai. Saat ia jatuh, ia tak menangis dan langsung membetulkan posisi tubuhnya, lalu merayap maju lagi.

Melihat betapa senangnya Er Bao bermain, Xiao Zhao merasa pusing. Ia tak mengerti… dirinya cerdas, ayahnya juga cerdas, kenapa adiknya begitu bodoh?

Ia pikir, mungkin karena adiknya lebih mirip ibu mereka, jadi sifatnya polos.

Ketika Er Bao merangkak ke kaki kakaknya, tangan kecilnya tiba-tiba memeluk pergelangan kaki sang kakak sambil menatap ke atas dengan wajah tembem.

Sejujurnya, Xiao Zhao sangat menjaga kebersihan. Saat melihat tangan adiknya yang menyentuh karpet, ada rasa jijik singkat dalam matanya — walau hanya sekejap.

Ia perlahan menarik kaki dari genggaman adiknya. Tangan Er Bao kotor dan tak bisa dibiarkan begitu saja.

Dengan tekad, Er Bao kembali merayap dan memeluk pergelangan kaki kakaknya.
Xiao Zhao berkata, “Lepaskan.”

Namun adiknya tidak mau mendengar. Ia bahkan menggigiti pergelangan tangannya seperti mainan.

Suasana hati Xiao Zhao memburuk. Ia mundur beberapa langkah karena tak bisa melepaskan diri dari genggaman itu.

Ia lalu menoleh ke arah ibunya dan berkata, “Ibu, adikku kotor banget.”

Song Luan menyipitkan mata. “Nggak usah takut.”

Xiao Zhao tetap tidak terima. “Bolehkah aku bawa adik cuci tangan?”

Baru saja Song Luan hendak menjawab, Zhao Nanyu membuka tirai manik-manik dan masuk. Ia melihat anaknya duduk di atas karpet dan bertanya, “Kenapa dia duduk di lantai?”

Song Luan menjawab serius, “Anak kecil harus bebas berekspresi agar bisa jadi pintar.”

Zhao Nanyu mengangkat alis. “Begitu ya?”

“Iya.”

Begitu melihat kaki Zhao Nanyu, Er Bao langsung melepaskan tangan kakaknya dan memeluk kaki ayahnya.
Zhao Nanyu menggerakkan kakinya, tapi tidak menendangnya.

“Ada apa?” tanyanya sambil mengangkat si kecil. Er Bao tidak menangis, bahkan membiarkan dirinya digendong dengan patuh. Ia aktif, matanya jeli, dan tangannya bergerak-gerak di udara.

Plak.
Tangan kecil Er Bao menepuk bibir ayahnya.

Zhao Nanyu tak sabar. Ia mengangkat tangan Er Bao.
Xiao Zhao tampak ragu, ingin mengatakan bahwa tangan adiknya tadi menyentuh lantai. Ia khawatir kalau memberitahu, adiknya akan dimarahi.

Saat akan bicara, tenggorokannya menahan.
Ada sesuatu yang membuatnya enggan mengatakan hal itu.

Namun Er Bao ketagihan bermain dengan tangan di wajah ayahnya, bahkan mencoba memasukkannya ke mulut.

Zhao Nanyu menepuk ringan punggung anak itu. “Ayo, yang manis ya.”
Setelah ditepuk, Er Bao jadi menurut.

Xiao Zhao mengira adiknya akan nakal lagi, jadi ia berbisik, “Ayah, biar aku bawa adik cuci tangan. Tadi dia main di lantai, tangannya kotor.”

Wajah Zhao Nanyu langsung masam.
Bukankah tangan itu tadi menyentuh wajahnya??

Xiao Zhao sudah terbiasa menggendong adiknya. Ia mencuci tangan Er Bao dengan air hangat lalu menyeka jarinya satu per satu dengan sapu tangan.

Dengan puas, Xiao Zhao berkata sambil tersenyum, “Sekarang kamu nggak kotor lagi! Bahkan harum.”
Er Bao memeluk leher kakaknya dan mengoceh dalam suku kata yang tak dimengerti.

Zhao Nanyu, dengan ekspresi kesal, mengusap wajahnya beberapa kali dengan sapu tangan di bagian yang tadi disentuh putranya, tapi tetap merasa belum bersih.

Song Luan menyerahkan kain basah padanya. “Nggak kotor-kotor amat, kok.”

Zhao Nanyu menegang, mengatupkan rahang dan berkata tegas, “Anak bandel.”
Dengan ekspresi menderita, ia berkata, “Kamu yang bersihin. Kalau nggak bersih, wajahku bisa rusak.”

“……”
“Nanti jelek, loh.”
“……”
“Kamu tega?”
“……”

Dia benar-benar hebat.

Song Luan mengambil kain dan mengelap wajahnya lagi. Ia menghela napas, “Udah nyaman belum?”

Zhao Nanyu menarik tangan istrinya agar duduk di pangkuannya. Wajah mereka nyaris menempel.
Ia menatapnya. Bulu mata Song Luan yang panjang melengkung seperti kipas kecil yang berkibar, kulitnya pucat, pipinya merah muda, dan telinganya pun kemerahan.

Jari panjang Zhao Nanyu mengusap lehernya. Saat hendak berbicara, Xiao Zhao datang sambil menggendong Er Bao.

Song Luan buru-buru turun dari pangkuan suaminya. Wajahnya memerah. Ia tidak suka anak-anaknya melihat hal seperti itu.

Er Bao mengulurkan tangan seolah minta digendong.

Zhao Nanyu duduk di kursi. Meski wajahnya terlihat tenang, namun pupil matanya menunjukkan rasa tidak sabar.

Er Bao tak putus asa dan terus mengulurkan tangan tembamnya di udara. “Yah yah.”

Ketika tubuh Zhao Nanyu mencondong ke depan, tangan Er Bao langsung mencengkeram rambut ayahnya dengan cekatan, seolah menemukan mainan seru, dan menariknya dengan kuat.

“Aduh!”
Sakit.
Sakit banget.

Zhao Nanyu menarik napas dan hampir saja menendang anaknya keluar.



— 🎐Read on onlytodaytales.blogspot.com🎐—


Bab 92


Meskipun ayah Zhao Nanyu tidak terlalu menyukai putranya, ia justru sangat baik kepada kedua cucunya.

Er Bao sangat menggemaskan. Ia menjadi kesayangan para orang tua. Wajahnya bulat dan montok, seperti bisa memunculkan air jika dicubit. Siapa pun yang melihatnya, pasti tak tahan untuk mencubit pipinya.

Beberapa tahun kemudian, entah sejak kapan, Zhao Sanye mulai bisa menerima kenyataan dan menerima takdirnya. Ia tak lagi seketus dulu terhadap Zhao Nanyu, meski sulit untuk dikatakan seberapa besar ia benar-benar menyukai anaknya sendiri.

Sesekali, Zhao Sanye akan membawa Er Bao pulang ke rumah keluarga Zhao untuk dikenalkan kepada para orang tua dan kerabat, agar sang anak bisa mengenali nenek dan kakeknya di masa depan.

Tentu saja, Song Luan merasa enggan anaknya dibawa pulang, tapi ia tak bisa mengungkapkannya secara langsung. Lagi pula, permintaan itu tidak berlebihan.

Er Bao menginap satu malam di sana.

Zhao Nanyu sebenarnya berharap ayahnya membawa Er Bao pergi. Anak itu hanya tahu makan dan tidur. Sebagai bayi berusia satu tahun, ia belum tahu apa-apa dan mulai pandai bersiasat. Ia selalu ingin menempel pada ibunya.

Di malam hari, ia akan ribut agar bisa tidur bersama sang ibu.

Saat pulang sekolah dan tidak menemukan adiknya, Xiao Zhao bertanya dengan heran, “Ibu, di mana adik?”

Saat itu, Song Luan sedang merapikan bonsai di jendela. Ia melihat anak sulungnya lalu menyipitkan mata dan menjawab, “Adikmu dibawa kakeknya untuk bermain.”

Song Luan menambahkan, “Kalau kamu di rumah, pasti kakek juga akan mengajakmu bersama Er Bao.”

Xiao Zhao duduk diam di kursi. Setelah beberapa saat, ia berkata dengan suara pelan, “Aku tidak mau ikut pulang ke sana.”

Song Luan bertanya, “Kamu tidak suka kakek?”

Ia menggeleng, “Bukan.”

Yang ia tidak suka adalah anak-anak dari bibi keduanya. Mereka terlalu ribut, tidak seramah dan selucu Er Bao.

Song Luan mengelus pipi putranya. “Kalau kamu tidak mau ikut, tidak ada yang akan memaksa. Tidak apa-apa.”

Setelah Xiao Zhao menyelesaikan pekerjaan rumahnya, pikirannya masih melayang. Ia tak tahan untuk bertanya, “Ibu, kapan adik pulang?”

“Besok dia pulang.”

“Oh.” Ekspresinya terlihat sedikit kecewa.

Agar ia kembali ceria, Song Luan memeluk dan mendudukkannya di pangkuannya. Ia menciumi wajah sang anak berkali-kali. “Kamu cuma sayang adik, nggak sayang ibu, ya?”

Anak itu sudah lama tidak dipeluk ibunya. Kupingnya memerah dan wajahnya mulai panas. “Bukan begitu. Aku sayang kalian berdua.”

Song Luan senang menggoda putranya yang selalu serius. “Kupikir kamu sudah tidak sayang ibu lagi.”

Xiao Zhao menggeleng kuat-kuat dan mempoutkan bibir mungilnya. Kepalanya bersandar lembut di bahu ibunya.


---

Tanpa Er Bao, malam terasa lebih tenang.

Rambut Song Luan masih setengah kering. Ia duduk di tepi ranjang, sambil malas-malasan melihat lukisan di tangannya untuk mengisi waktu.

Setelah mandi, Zhao Nanyu keluar dari kamar mandi. Kulitnya putih, rambutnya yang gelap jatuh malas di punggung, matanya sedikit terangkat, memperlihatkan aura dingin dan agung.

Song Luan mengalihkan pandangannya dan kembali menatap lukisan.

Zhao Nanyu mendekatinya, mengangkat tangan dan mengambil lukisan itu. Ia terkekeh, “Er Bao nggak ada, kamar jadi jauh lebih tenang.”

Song Luan mengangguk, ia tidak salah. Er Bao sering rewel dan ngoceh di malam hari, selalu membuat mereka terbangun.

Beberapa bulan terakhir, mereka selalu terbangun di tengah malam karena tangis Er Bao.

Jika ibunya tak datang, ia akan terus menangis.

Song Luan meregangkan tubuhnya, “Aku tidak tahu apakah dia bisa tidur nyenyak malam ini.”

Zhao Nanyu melepas pakaiannya dan naik ke ranjang. Ia tertawa, “Dia pasti bisa. Biarkan dia sedikit menderita.”

Dulu, Xiao Zhao tidak tidur dengan orang tuanya selama beberapa hari setelah lahir. Ia tidur sekamar dengan ayahnya hingga usia dua tahun, dan setelah umur tiga, ia sudah tidur sendiri.

Xiao Zhao sangat penurut, sedangkan adiknya lebih bandel.

Song Luan mendengus, “Kenapa kamu mempermasalahkan hal kecil begini pada anak?”

Zhao Nanyu menyipitkan mata, ekspresinya kesal, “Kenapa semua yang enak-enak malah jatuh ke tangan dia?”

Menangis seharian. Kerjanya cuma menangis.

Kalau tidak ada ayahnya, ia bisa diam. Tapi kalau melihat ayahnya datang, air matanya langsung keluar seolah kehilangan seluruh uang di dunia.

Pembantu selalu mengetuk pintu beberapa kali, bilang kalau Er Bao menangis lagi dan mencari ibunya.

Zhao Nanyu keluar kamar dengan wajah gelap. Begitu mendengar tangisan bayi, tenggorokannya langsung tercekat.

Mau tak mau, ia menggendong Er Bao ke kamar mereka.

Begitu melihat ibunya, Er Bao langsung berhenti menangis. Song Luan menggendongnya dan menenangkan sampai tidur.

Ini bukan sekali dua kali terjadi.

Tak heran jika Zhao Nanyu kesal.

“Sudahlah, jangan bahas soal anak.” ucap Zhao Nanyu sambil membuka ikat pinggang Song Luan dan melemparnya entah ke mana.

Song Luan mengecilkan tubuhnya, matanya penuh kekhawatiran. Ia masih memikirkan Er Bao. “Bagaimana kalau dia merepotkan orang-orang di sana?”

Zhao Nanyu entah sejak kapan sudah membuka bajunya. Ia menatap wajah istrinya, jakunnya bergerak, matanya dalam. Ia menggigit leher Song Luan perlahan sambil berkata, “Tenang saja. Dia anak yang pintar.”

Zhao Nanyu melanjutkan, “Lagi pula, dia punya saudara di sana.”

Song Luan tahu siapa yang ia maksud—anak Zhao Wenyan yang baru lahir beberapa bulan lalu, juga seorang laki-laki. Anak itu tidak banyak bicara dan hanya menatap dengan mata polos.

Baru dua kali bertemu, tapi Er Bao sudah mau berbagi mainan dengannya. Terlihat bahwa ia menyukai adik sepupunya itu.

Ketika seorang pria terlalu lama ditahan, sekali lepas, jadi tak terkendali.

Song Luan tidak tahu apa yang dikatakan suaminya malam itu. Ia kelelahan karena Zhao Nanyu terlalu bersemangat, bahkan jika ingin tidur pun tidak bisa.

Zhao Nanyu tidak hanya lebih agresif di ranjang, tapi juga lebih vulgar dalam kata-kata. Ia berbisik hal-hal tak senonoh di telinganya berulang kali.

Keesokan paginya, tentu saja Song Luan bangun kesiangan. Punggungnya sakit, kulitnya sensitif, dan di pundaknya muncul banyak bekas biru keunguan.

Song Luan perlahan bangkit dari tempat tidur. Tapi pria yang bekerja keras tadi malam terlihat segar bugar. Song Luan merasa ini tidak adil.

Kebetulan hari itu Xiao Zhao libur sekolah. Ia membawa PR-nya ke hadapan ayahnya, berdiri dengan kepala menunduk.

Zhao Nanyu membalik halaman demi halaman. Setelah membaca semuanya, ia berkata, “Bagus.”

Xiao Zhao tidak sombong. Meski mendapat pujian dari ayahnya, wajahnya tetap tegas, tubuh kecilnya tegak lurus.

Song Luan merasa Zhao Nanyu terlalu keras pada anak sulung mereka. Ia tak tega, lalu menggandeng tangan anaknya dengan lembut dan bertanya, “Kamu mau makan apa?”

Hari itu ia punya waktu luang, pas untuk masak.

Xiao Zhao melihat dulu ekspresi ayahnya, baru berani menjawab pelan, “Ibu, aku mau makan kue beras ketan buatanmu.”

Song Luan tersenyum, “Oke, ibu buatkan untuk makan siang nanti.”

Masakan Song Luan memang enak, dan Xiao Zhao bukan anak yang pilih-pilih. Selama ibunya yang masak, pasti ia makan sampai habis.

Zhao Nanyu duduk di bawah sinar matahari, matanya menyipit santai. “Luan Bao, aku mau makan pangsit.”

Song Luan menoleh dan berkata dengan ramah, “Kalau kamu mau makan, buat sendiri aja.” Lalu menambahkan, “Atau, suruh orang dapur yang buatkan.”

Meski Song Luan sempat memarahi Zhao Nanyu, akhirnya ia tetap memasakkan semangkuk pangsit untuknya.

Xiao Zhao menghabiskan kue ketannya tanpa sisa.

Karena takut anaknya kekenyangan, Song Luan menyuruhnya jalan-jalan dua putaran di dalam rumah.

Siang harinya, saat matahari sedang hangat, Zhao Nanyu bersandar santai di ranjang empuk, memegang buku di tangan, tapi belum membuka halamannya.

Song Luan dan Xiao Zhao duduk berhadapan, bermain catur Go.

Wajah Song Luan terlihat bingung. Ia menggenggam pion putih cukup lama sebelum akhirnya menaruhnya di papan.

Bibir bawahnya sampai terluka karena terlalu sering digigit.

Hati Zhao Nanyu tergerak. Ia bangkit malas-malasan, berdiri di belakang istrinya, lalu memegang tangan kecilnya untuk meletakkan bidak, “Harusnya di sini.”

Song Luan awalnya tersenyum, lalu berhenti. Ia mendorong tubuh Zhao Nanyu dengan sikunya. “Seorang pria sejati tidak boleh bicara saat orang main catur.”

Zhao Nanyu mengangkat alis. “Aku kan pria munafik.”

Song Luan tersedak. Ia ucapkan itu dengan percaya diri pula!

Xiao Zhao menatap ibunya dan menghela napas. Keahlian catur ibunya memang belum berkembang. Ia bisa menang dengan mudah.

Berbeda dengan tiap kali melawan ayahnya, ia tak pernah menang.

Xiao Zhao diam-diam sengaja memberikan beberapa pion. Tapi kalau ibunya tetap kalah, ia pasti sedih.

Ia berkata, “Ibu, mataku agak perih. Boleh kita lanjutkan nanti?”

Song Luan langsung menjawab, “Tidak, kita harus selesaikan permainan ini.”

Xiao Zhao diam-diam melirik ayahnya.

Zhao Nanyu menaruh tangan di bahu Song Luan dan berkata pelan, “Permainan bisa disimpan. Bisa lanjut besok.”

Besok, kemungkinan besar Song Luan sudah lupa.

Namun, Song Luan seolah tak mendengar. Ia sudah tenggelam dalam pikirannya sendiri.

Tatapannya menembus papan catur. Ia bergumam, “Aku bisa menang lawan Zhao Nanyu. Kenapa lawan anak sendiri malah kalah?”

Ini tidak masuk akal.

Ia tiba-tiba sadar dan menatap marah pada pria yang terlihat polos. “Kamu sengaja kalah, ya?”

Zhao Nanyu berbohong tanpa berkedip, “Tidak.”



— 🎐Read on onlytodaytales.blogspot.com🎐—

Bab 93

Keluarga Zhao mengantar Er Bao pulang pada malam berikutnya.

Nyonya ketiga Zhao turun dari kereta sambil menggendong Er Bao. Anak itu bersandar di bahunya, matanya merah dan terlihat seperti baru saja banyak menangis.

Er Bao sudah bisa mengenali orang. Begitu melihat ibunya, ia langsung menjadi aktif. Ia memanggil dan merentangkan kedua tangannya kecil ke arah ibunya, meminta untuk digendong.
Song Luan segera menyambut dan menggendongnya. Er Bao pun berhenti memanggil.

Nyonya ketiga Zhao tertawa, “Anak ini menangis semalaman. Awalnya kami berencana meminta Tuan Ketiga Zhao untuk menyuruh seseorang mengantarkan Er Bao pulang, tapi Tuan Ketiga tidak setuju. Untungnya, Er Bao akhirnya tertidur.”

Song Luan mencubit pipi anaknya, “Terlalu berisik.”
Nyonya ketiga Zhao memandangi Er Bao dengan penuh kasih, lalu tersenyum, “Siang hari dia tidak terlalu rewel. Saya sangat senang bermain dengan Er Bao. Nyonya tua dan Tuan tua juga sangat menyukainya. Mereka bilang dia tampak cerdas.”

Setelah beberapa saat, ia melanjutkan, “Tuan Ketiga Zhao juga menanyakan tentang si kecil Zhao.”
Sejak pensiun dari urusan pemerintahan, Tuan Ketiga menjadi lebih santai dan lebih tertarik pada anak-anak.

Song Luan menjawab, “Si kecil Zhao sebenarnya bisa ikut bersama Er Bao, tapi dia harus sekolah. Dia baru bisa ikut nanti saat liburan.”
Song Luan tidak ingin memaksa si kecil Zhao jika dia tidak mau.

“Pasti ramai di rumah.”
“Iya.”

Nyonya ketiga Zhao makan malam terlebih dahulu sebelum pulang.
Zhao Nanyu kini tidak membenci ibu tirinya, tapi juga tidak terlalu dekat dengannya.

Er Bao tampaknya takut berpisah dari ibunya. Sepanjang malam ia memegangi kerah ibunya dan tidak mau melepaskannya. Setiap kali ada yang mendekat ingin menggendongnya, Er Bao menggelengkan kepalanya dengan keras.

Si kecil Zhao ingin memeluk adiknya, tapi setelah ditolak, ia menunduk dan makan dengan diam.

Song Luan bertanya, “Kenapa?”
“Adikku tidak suka aku lagi,” katanya pelan, penuh kesedihan.

Dulu adiknya suka dipeluk olehnya, tapi malam ini tidak mau sama sekali.
Song Luan mendengar kata-kata polos itu dan tertawa kecil.

Suara si kecil Zhao sangat pelan. Jika tidak didengarkan dengan saksama, tidak akan terdengar. “Aku tidak mau membiarkannya pergi lagi.”
Dia merasa sudah tidak dekat dengan adiknya.

Song Luan menenangkannya, “Besok adikmu akan mau bermain lagi bersamamu.”
“Tapi besok aku harus sekolah,” jawabnya sedih.

Setelah pulang sekolah, ia harus mengerjakan PR, jadi tidak sempat bermain.
Song Luan mengusap wajahnya, “Nggak apa-apa.”
Si kecil Zhao menatap ibunya dan adiknya, “Nggak masalah. Aku bisa menemani adikku setelah PR selesai.”

“Nanti kalau adikmu sudah lebih besar, kalian bisa tidur bersama.”
Akan bagus jika dua bersaudara itu dekat.
Di masa depan, jika Er Bao nakal, si kecil Zhao bisa mendisiplinkannya.

Malamnya, Zhao Nanyu melihat anaknya tidur di posisinya. Ia mengangkat alis dan bertanya, “Kenapa dia ada di tempat tidurku?”
Song Luan datang membawa selimut lain dan berkata, “Er Bao tidur bersama kita malam ini.”

Zhao Nanyu menolak, “Tidak bisa.”
Song Luan berpikir sejenak, lalu berkata, “Oke. Aku tidur bersama Er Bao, kamu tidur sendiri.”

Zhao Nanyu mencolek perut anaknya dan berkata, “Lupakan. Biar dia tidur di sini malam ini. Jangan dimanjakan.”
Padahal Er Bao baru berusia setahun lebih, tapi Zhao Nanyu bisa berkata seperti itu.


---

Saat salju pertama turun, jalanan pasar di Daliang sangat ramai. Para pengrajin berjualan di sepanjang jalan.
Zhao Nanyu tak ingin Song Luan terlalu dekat dengan anak-anak, jadi ia mengajaknya jalan-jalan dan menitipkan anak pada Nenek Lin.

Song Luan mengenakan mantel merah muda. Kulitnya tampak putih pucat. Rambutnya dihiasi ornamen bunga, dan setiap langkah yang ia ambil membuat ornamen itu bergoyang.
Ia tampak seperti gadis yang belum menikah.

Zhao Nanyu mengenakan pakaian gelap dan menggenggam tangannya erat-erat, seolah takut kehilangannya.
Song Luan memegang payung kertas minyak di tangannya.

Zhao Nanyu mengambil payung itu dan berkata, “Sini.”
Ia membukanya dan menempatkannya di atas kepala Song Luan.

Setelah berjalan sebentar, Song Luan merasa ada yang memperhatikan mereka. Ia malu dan penakut, lalu menarik pakaian Zhao Nanyu dengan pelan.
Zhao Nanyu menoleh dan bertanya, “Kenapa?”

Song Luan berbisik di telinganya, “Tutup payungnya.”
“Kamu nggak mau payungnya?”
“Nggak.”
Hanya mereka berdua yang memakai payung di jalan itu, membuat mereka terlihat mencolok.

Zhao Nanyu tertawa, “Oke.”

Song Luan terpikat dengan berbagai benda di pasar. Ia tak merasa lelah saat berjalan menyusuri lapak.
Tiba-tiba, Song Luan melihat seseorang di kejauhan. Ia menyikut Zhao Nanyu dan bertanya, “Itu Komandan Gu, ya?”
Dengan pedang panjang di pinggang dan wajah yang dingin, Song Luan bisa merasakan aura dingin darinya.

Zhao Nanyu melihat ke arah yang ditunjuk. Sekilas saja ia sudah tahu, “Ya, itu dia.”

Song Luan berniat pura-pura tidak melihat, dan Zhao Nanyu juga ingin pergi diam-diam. Tapi Komandan Gu sepertinya menyadari mereka. Ia berbalik, matanya berbinar. Tak lama kemudian, gadis cantik yang bersamanya pergi sambil menangis.

Gu Yan ragu sejenak, lalu melangkah mendekat. “Tuan Zhao.”
Melihat Song Luan di sebelahnya, ia tidak tahu harus memanggil apa.

Gu Yan mendengar bahwa Song Luan tak suka dipanggil Nyonya Zhao. Saat ayahnya masih berpengaruh, orang-orang menyebutnya Nona Ketiga Song secara pribadi. Sekarang keluarga Song sudah tiada, Gu Yan tidak tahu apakah ia akan marah jika disebut Nyonya Zhao.
Tapi lalu ia berpikir, apa hubungan Song Luan dengannya?

Gu Yan akhirnya berkata dengan ekspresi datar, “Nyonya Zhao.”

Song Luan merasa dirinya sangat penasaran. Ia tersenyum untuk pertama kalinya pada Gu Yan, “Komandan Gu, siapa gadis tadi?”

Gu Yan mengerutkan kening, belum sempat menjawab, Zhao Nanyu sudah menjawab lebih dulu, “Itu tunangan Komandan Gu.”

Waktu terakhir kali Song Luan melihat Gu Yan, dia belum punya pasangan. Saat itu, Zhao Nanyu bahkan mengejeknya karena hampir berusia 30 tahun tapi belum menikah.
Tak disangka, komandan yang kaku itu sudah menyelesaikan tahapan hidupnya dalam beberapa bulan.

“Selamat ya, Komandan Gu.”
Tapi tampaknya Gu Yan tidak terlalu senang dengan pernikahannya. Ia tampak dingin pada gadis cantik itu, hingga membuat mereka menangis.

Wajah Gu Yan tetap datar. “Terima kasih, Nyonya Zhao.”
Zhao Nanyu menggenggam jari istrinya dan berkata, “Komandan Gu, jangan lupa undang kami kalau tanggalnya sudah ditetapkan.”

Punggung Gu Yan tegang, wajahnya tak terlihat jelas. Ia menjawab dingin, “Tentu.”
“Aku masih ada urusan. Permisi.”

Song Luan menatap punggung Gu Yan dan berkata, “Sebenarnya, Komandan Gu juga tipe pria idaman banyak perempuan.”
Dia tinggi dan gagah.

Zhao Nanyu bergumam, “Oh, begitu?”
“Hiss,” jari-jarinya dicubit. Sakit sedikit.
“Lepaskan tanganku, sakit.”

Zhao Nanyu mengendurkan cengkeramannya, tapi tak melepaskan. Ia malah melanjutkan, “Gu Yan itu galak. Gadis-gadis muda takut padanya. Pantas saja tak ada yang mau menikahinya selama bertahun-tahun.”

Itu semua omong kosong.
Meski Gu Yan sedikit dingin, banyak gadis yang ingin menikah dengannya karena latar belakang dan kedudukannya.

Song Luan berpikir, “Mungkin. Aku kasihan pada tunangannya. Sepertinya Gu Yan tidak menyukainya.”

Gu Yan bukan tipe yang pandai mencintai perempuan. Ia pendiam dan kaku.

Zhao Nanyu penasaran, “Kok kamu tahu?”
Song Luan mengedipkan mata, “Perlu ditanya? Aku bisa lihat apakah seseorang menyukai orang lain atau tidak.”
Perasaan cinta itu tak bisa disembunyikan.

Zhao Nanyu terdiam sejenak, lalu tersenyum cerah. Matanya menatap lurus ke arahnya dan berkata dengan suara berat, “Kamu lihat apa di mataku?”

Yang ada hanya dia.
Song Luan tak kuasa menahan tatapan penuh cinta itu. Wajahnya mulai memerah. Ia gugup dan menghindari pandangan itu. “A-Aku nggak lihat apa-apa.”
“Aku buta! Iya, aku buta!”

Zhao Nanyu menariknya ke pelukannya. Salju putih jatuh di tubuhnya. Ia menyentuh tubuh istrinya, menyingkirkan salju, dan berbisik nyaris menggigit telinganya, “Kamu ada di mataku.”
Kamu bukan hanya ada di mataku, tapi juga di hatiku.

Wajah Song Luan memerah, “Aku… aku juga tuli.”
Apa pun yang dia ucapkan… aku nggak dengar.

Zhao Nanyu jarang mengatakan hal seperti ini. Meski manis, rasanya juga memalukan.

Untungnya, Zhao Nanyu tak berniat lanjut, “Ayo, bukannya kamu mau makan kastanye Xuji? Nanti kehabisan.”

Song Luan terpaku mengikuti suaminya. Ia menatap pria di depannya. Wajahnya sempurna, dan semua tentangnya adalah favorit Song Luan.
Mungkin… dirinya memang ada di matanya.

Song Luan mengikuti Zhao Nanyu seperti ekor kecil. Tubuhnya melindungi Song Luan dari lebih dari separuh salju yang turun.
“Aku juga mau makan kue mawar.”
“Kita beli sekalian.”

Song Luan menjilat bibirnya, “Beli banyak ya. Si kecil Zhao suka.”
“Dia nggak boleh makan banyak. Nanti giginya sakit.”
Song Luan menggumam pelan, “Kapan aku bisa makan semua sendiri…”
“Iya, hanya kamu yang boleh makan,” jawab Zhao Nanyu.

Zhao Nanyu memang pelit. Ia bahkan tak mau membiarkan anaknya menikmati makanan itu.



— 🎐Read on onlytodaytales.blogspot.com🎐—

Bab 94

Ketika Er Bao berusia tiga tahun, dia sudah menjadi anak yang sangat nakal. Mulutnya manis seperti madu, tidak seperti kakak laki-lakinya. Ia selalu tampak manis dan menggemaskan saat bertemu orang. Para orang tua sangat menyukainya. Selain itu, Er Bao gemuk dan berkulit putih. Ia terlihat sangat lucu saat tertawa. Orang-orang tidak bisa menahan diri untuk tidak menyukainya.

Song Luan juga sangat menyayangi Er Bao. Anak itu sangat lengket padanya. Jika Song Luan tidak menenangkannya di malam hari, Er Bao tidak bisa tidur nyenyak.

Zhao Nanyu sudah terbiasa dengan kebiasaan buruk putranya. Tangisan Er Bao mungkin berguna untuk orang lain, tapi tidak ada pengaruhnya di depan sang ayah yang dingin dan tanpa belas kasihan.

Ketika Er Bao tidak melihat ibunya, ia akan menangis. Saat itu, Zhao Nanyu hanya akan duduk dan menontonnya menangis.

Setelah menangis dan meronta cukup lama namun tak juga melihat ibunya datang, Er Bao pun berhenti. Ia langsung menghentikan tangisannya, tak meneteskan air mata sedikit pun, lalu naik ke ranjang dengan bokong mungilnya. Ia melepas pakaiannya, menyelimuti diri, membelakangi ayahnya, dan mendengus kesal.

Zhao Nanyu mendekat dan mencubit telinganya tanpa belas kasihan, sambil tersenyum, "Kenapa berhenti menangis? Drama baru setengah jalan kok sudah selesai?"

Er Bao ditarik dari kerah bajunya, lehernya jadi tak nyaman. Ia mencoba menendang dengan kaki pendeknya, tapi kakinya terlalu pendek untuk menyakiti ayahnya. Ia sangat marah dan menatap tajam, "Aku mau bilang ke ibu, wuwuwu..."

Song Luan sudah lebih dulu tidur malam itu. Kalau tidak, Zhao Nanyu tidak akan berani memperlakukan anaknya begitu terang-terangan.

Zhao Nanyu tertawa, "Silakan, coba lihat apakah ibumu bisa dengar?"

Er Bao sangat susah dibujuk kalau sudah marah. Ia menatap ayahnya dengan mata hitam putihnya yang bulat. "Tolong! Ini pembunuhan!"

"Ibu, tolong aku!"

Begitu Zhao Nanyu melepaskannya, si bocah gendut langsung tergeletak di ranjang. Zhao Nanyu malas-malasan menonton aksi putranya. "Biarpun sampai suaramu habis, tak ada yang akan datang menyelamatkanmu."

Er Bao meringkuk di balik selimut, hanya setengah wajahnya yang terlihat. "Aku pasti bukan anakmu. Kau tidak mencintaiku sama sekali."

Zhao Nanyu entah sedang berpikir apa. Ia melirik sang anak dan berkata, "Memang bukan aku yang melahirkanmu. Kau keluar dari perut ibumu."

Er Bao berkata, "Kalau begitu, pergilah. Kembalikan ayahku yang sayang dan bisa memaklumi aku."

Zhao Nanyu merapikan selimutnya dengan hati-hati sambil tersenyum, "Tidurlah lebih awal. Dan lupakan mimpi ingin tidur dengan ibumu lagi. Tidak akan terjadi."

Er Bao bergumam, "Tidak mungkin."

Zhao Nanyu mendengarnya, tapi tidak peduli.


---

Selain Song Luan, mungkin hanya Zhao kecil (Little Zhao) yang paling menyayangi Er Bao.

Ia tak hanya mengajarinya membaca dan menulis, tapi juga selalu membawakan kue sepulang sekolah. Tapi, Er Bao yang baru berusia tiga tahun tampaknya tidak terlalu suka bermain dengan kakaknya.

Zhao kecil merasa sedikit sedih karena adiknya enggan dekat dengannya. Tapi emosinya selalu ia tahan dan tidak diperlihatkan.

Setelah pulang sekolah, ia melihat adiknya sedang berusaha keras memanjat tunggul pohon di halaman. Wajah putihnya sudah terkena kotoran.

Ia berjalan mendekat dan mengangkat Er Bao dari pohon itu. Ia menepuk-nepuk debu dari tubuh adiknya dan berkata dengan lembut, "Kenapa kamu bisa sekotor ini?"

Er Bao bergerak dalam pelukannya, "Turunkan aku, Kak."

Zhao kecil menepuk kepala adiknya dan berkata, "Ayo cuci muka kamu yang kotor itu."

Er Bao tahu bahwa kakaknya suka kebersihan, jadi ia menurut, "Oke."

Begitu masuk rumah, Zhao kecil memerintahkan pelayan untuk mengambil air. Setelah wajah Er Bao dibersihkan, ia tampak puas.

"Kamu kelihatan lebih bagus sekarang."

"Kakak, turunkan aku."

Zhao kecil mengerucutkan bibirnya dan melepaskan Er Bao. Sebelum sempat bicara lagi, adiknya sudah lari dengan kaki pendeknya ke halaman lagi.

Saat Song Luan masuk ke kamar, Zhao kecil sedang mengerjakan PR. Ia tampak lesu, menundukkan kepala, tidak berkata apa-apa.

Song Luan mendekat dan bertanya, "Zhao kecil, kenapa langitnya tampak sedih hari ini? Apakah kamu dimarahi suamimu?"

Ia jarang melihat anaknya menunjukkan emosi.

Zhao kecil meletakkan penanya dan menatap ibunya. Ada nada ketidakadilan di suaranya, "Aku merasa adikku tidak terlalu menyukaiku."

Adiknya menolak dipeluk dan tidak ingin bermain dengannya.

"Mana mungkin Er Bao tidak suka kamu? Dia hanya sedang suka main-main saja." Melihat anaknya murung, Song Luan mencoba menghiburnya, "Kamu lima tahun lebih tua darinya. Kamu harus sekolah setiap hari, dan tidak ada teman bermain di rumah."

Zhao kecil terdiam lama. "Jadi bukan karena dia tidak suka aku?"

Song Luan tahu bahwa anaknya cukup sensitif. Jika tidak dijelaskan dengan baik, perasaan itu akan terus membebani pikirannya.

"Tentu saja bukan. Dia takut tidur sendirian di malam hari. Kalau kamu menemaninya, dia tidak akan takut."

Zhao kecil terharu dan perasaannya sedikit lebih baik. "Aku akan membacakan cerita untuknya malam ini."

Dulu, ayahnya sering membacakan cerita untuknya.

Mungkin besok Er Bao akan mau dipeluk lagi olehnya.

Saat ibu dan anak sedang berbicara, Er Bao tiba-tiba dibawa masuk ke dalam ruangan oleh Zhao Nanyu, digendong dari lehernya.

Tangan anak itu penuh lumpur. Ia sangat kesal karena dilempar masuk ke dalam rumah. Wajahnya penuh kemarahan, "Ibu, Ayah membully aku lagi!"

Song Luan terkejut, "Kenapa tanganmu bisa sekotor ini?"

Er Bao cepat-cepat memutar otaknya. Matanya yang hitam bergerak cepat, ia menyembunyikan tangannya di belakang. "Ada sarang semut di bawah pohon besar. Aku tidak tahan untuk tidak menggali. Aku nggak sengaja..."

Begitu selesai bicara, ia langsung menatap ayahnya dengan marah dan pura-pura menangis, "Ayah mau mencekikku. Benar, dia mau mencekikku."

Tuan muda Zhao ini memang ahli mengarang cerita. Ia berani bicara bohong di depan ayahnya sendiri. Er Bao ingin memeluk kaki ibunya.

Namun, ia justru mundur dua langkah dan memberikan saran yang ia kira sangat bagus, "Ibu, kita buang saja Ayah. Dia jahat sekali."

Alis Zhao Nanyu langsung berkedut. Ia tersenyum dingin dan berkata dengan nada mengancam, "Kalau berani, coba kamu ulangi lagi."

Er Bao menengadahkan wajahnya tanpa rasa takut, "Aku dan Ibu tidak mau kamu lagi."

Tangan kecilnya yang putih menunjuk ke arah pintu, "Kamu pergi sendiri, jangan tunggu kami yang usir."

Song Luan dan Zhao kecil tak bisa menahan diri untuk menatapnya.

Zhao Nanyu mencibir, "Sepertinya aku memang harus memukulmu."

Er Bao langsung sembunyi di belakang ibunya karena ayahnya memang cukup menyeramkan.

Zhao kecil maju beberapa langkah, mencubit pergelangan tangan adiknya dan berbisik, "Ayo cuci tanganmu."

Saat itu, Er Bao sangat menurut dan mengikuti kakaknya dari belakang. Ia tidak berani berkata macam-macam lagi. Ia takut benar-benar dipukul ayahnya.

Zhao Nanyu menghela napas pelan, "Kalau saja anakku perempuan."

Song Luan pura-pura tidak mengerti dan menunduk, "Yah, anak laki-laki maupun perempuan sama-sama baik."

Beberapa tahun terakhir, Zhao Nanyu sudah beberapa kali mengatakan hal itu. Adik laki-lakinya, Zhao Wenyan, punya anak perempuan tahun lalu. Sejak itu, Zhao Nanyu tak berhenti memikirkan punya anak perempuan sendiri.

Zhao Nanyu berkata, "Tidak apa-apa. Kita ikuti takdir saja, tidak perlu dipaksakan."

Song Luan cukup bodoh untuk mempercayai kata-katanya. Namun, dalam hatinya, ia juga ingin punya anak perempuan. Saat terakhir kali menggendong putri Ruan Sheng, hatinya luluh. Gadis kecil itu menguap dengan lucu dan wangi sekali.

Ketika Er Bao melihat ibunya menggendong si adik perempuan, ia langsung marah. Hati anak itu sekecil hati ayahnya, membedakan jelas antara keluarga dan orang luar.

Malam harinya, suami istri itu berbaring di ranjang sambil mengobrol. Zhao Nanyu memeluk pundaknya dan perlahan berkata, "Putrinya Ah Yan sudah mulai memanggil orang beberapa hari lalu."

Song Luan sudah mulai mengantuk, matanya setengah tertutup. Ia memaksa dirinya tetap sadar dan berkata, "Aku ingat anak itu sangat cantik dan senyumnya manis."

Zhao Nanyu menatap kulit istrinya yang lembut dan halus, lalu tangannya mulai bergerak turun sambil berkata, "Ya."

Song Luan berkata, "Kalau aku ada waktu, aku mau menjenguknya dan memberinya satu set perhiasan yang dulu diberikan ibuku. Meskipun dia masih kecil dan belum tahu soal cantik atau tidak, kalau anak itu adalah putriku, aku akan mendandaninya cantik setiap hari."

Zhao Nanyu diam-diam sudah membuka ikat pinggang gaunnya. Tangannya memeluk pinggangnya, tampaknya tidak lagi fokus mendengar. "Ya, terserah kamu saja."

Suasana menjadi sedikit ambigu.

Song Luan tak bisa melanjutkan, telinganya sudah memerah. "Aku... aku ngantuk."

Zhao Nanyu tidak memaksa. "Kalau begitu, tidurlah."

Mereka pun tidur bersama.

Tengah malam, Song Luan memeluk pinggang suaminya dan secara alami masuk ke pelukannya sambil tetap tertidur.

Zhao Nanyu bangun saat fajar. Ia segera turun dari ranjang, membuka jendela, dan melihat ke luar. Salju masih turun. Ia tidak tahu kapan salju itu akan berhenti.

Halaman sudah tertutup putih karena salju.

Zhao Nanyu teringat betapa gembiranya istrinya setiap kali melihat salju. Seperti anak kecil, ia akan berlari membuat manusia salju bersama Zhao kecil.

Setelah beberapa saat, ia menutup jendela.

Ketika pelayan mendengar suara, ia masuk membawa air untuk melayani. Zhao Nanyu melambaikan tangan dan merendahkan suaranya, "Keluar saja, tak perlu menunggu kami."

Ia kembali ke ranjang, menatap wanita yang sedang tidur, lalu memeluknya erat tanpa suara. Entah sang istri bisa mendengarnya atau tidak, ia berbisik pelan di telinganya sambil tersenyum, "Nanti aku ajak kamu buat manusia salju, ya."

Song Luan bergerak sedikit. Ia hampir saja bangun. Tapi ternyata, ia hanya mengubah posisi agar lebih nyaman. Ia bergumam dua kata sebelum kembali tidur.

Zhao Nanyu melanjutkan dengan suara rendah, "Kalau kamu bangun nanti dan lihat saljunya masih turun, kamu pasti senang sekali."

Ia sendiri juga sangat bahagia.


— 🎐Read on onlytodaytales.blogspot.com🎐—

Bab 95


Putri kecil dan pangeran dari Barat Daya telah saling mengenal sejak kecil. Setiap tahun, ketika Raja Barat Daya mengirim utusan ke ibu kota untuk memberikan upeti, pangeran kecil itu akan ikut serta. Sejak kecil, ia sudah tampan. Ketika berusia lima atau enam tahun, ia bertemu sang putri. Saat usianya tujuh atau delapan tahun, ia mulai mengunjungi ibu kota seorang diri.

Putri kecil memiliki watak yang manja karena sejak kecil dibesarkan dalam lindungan sang Kaisar. Pertemuan pertama antara dia dan pangeran Barat Daya tidak berjalan dengan baik. Kucing putih kecil pemberian kakak pangerannya tiba-tiba menghilang.

Putri kecil sangat menyukai kucing itu. Jika tidak dimarahi permaisuri, dia akan tidur bersama si kucing setiap hari. Orang-orang di istana sudah mencari ke mana-mana, tapi tidak menemukannya.

Waktu itu musim dingin. Cuacanya sangat dingin, sehingga sang putri khawatir kucing itu akan mati kedinginan, atau lebih buruk lagi, dibunuh oleh pelayan istana yang ceroboh. Ia menyelinap keluar dari istana dan pergi ke taman kerajaan untuk mencari si kucing. Ia tidak menemukan kucing itu, namun malah melihat seorang anak laki-laki berwajah tampan dengan bibir merah dan kulit putih, berdiri di taman mengenakan jubah putih murni seperti peri di tengah salju.

Putri kecil menatapnya dan bertanya, “Siapa kamu? Kenapa aku belum pernah melihatmu di istana sebelumnya?”

Anak itu tampak enggan menanggapi. Putri kecil menduga ia tidak tahu siapa dirinya, karena jika tahu, tentu dia tidak akan berani bersikap seperti itu.

Ia pun marah, “Kenapa kamu tidak bicara?!”

Anak itu tetap diam, bibirnya sedikit mengerucut seolah malas merespon. Bahkan setelah mendengar suaranya, ia malah membalikkan badan.

Putri kecil makin kesal. Tak pernah ada yang berani memperlakukannya seperti ini.

“Kamu tahu siapa aku?! Aku ini—”

Anak itu bahkan tidak mendengarkannya. Ia berjalan pergi tanpa menoleh.

Putri kecil tidak tahu apa yang ia pikirkan, tapi ia tahu ia tidak ingin melihat anak itu pergi. Ia mengangkat roknya dan berlari. Jalan yang tertutup salju membuatnya terpeleset dan jatuh. Tangannya secara refleks memeluk kaki anak itu.

Anak laki-laki itu berhenti, menunduk menatapnya tanpa bicara, lalu menarik kakinya tanpa kata-kata.

Putri kecil merasa anak itu mengejeknya. Apakah dia sedang menertawakannya?

Ia bangkit dengan usaha sendiri, menepuk-nepuk salju di bajunya, lalu berkata, “Kamu keterlaluan.” Ia lalu menarik lengan anak itu dan berkata marah, “Berhenti! Mau ke mana kamu?! Kamu menertawakan putri ini, ya?!”

“Putri?” Anak itu tampak terkejut, tapi ekspresinya tetap datar.

Putri kecil mengangkat dagunya, “Ya! Aku ini orang yang tidak bisa diperlakukan semena-mena. Kalau kamu berani menentangku, besok aku akan suruh pangeran membereskanmu!”

Ia hanya mengarang saja untuk menakuti anak itu.

“Apa? Kamu takut, ya?” tanya sang putri. “Bilang siapa kamu, nanti aku minta kakakku melepaskanmu.”

Anak itu tetap diam. Meski sudah tahu bahwa gadis itu seorang putri, ekspresinya tidak berubah.

Biasanya orang-orang berlomba menyenangkan hati putri kecil ini. Tapi kali ini, ia bahkan tidak berhasil mengetahui nama anak itu meski sudah merendahkan dirinya.

Sebelum pergi, anak itu menunjuk ke hiasan rambut di kepala sang putri, dan berkata pelan, “Peniti rambutmu miring.”

Putri kecil langsung merah padam dan panik. Ia tidak menyangka akan mempermalukan dirinya di depan orang yang tidak dikenalnya.

Orang-orang istana akhirnya menemukan dirinya. Begitu melihatnya selamat, mereka langsung berlutut ketakutan, “Putri, Anda ke mana saja?”

“Aku hanya berjalan-jalan.”

Wajah pelayan tua pucat pasi. Syukurlah sang putri kembali dengan selamat. Kalau terjadi apa-apa, mereka semua pasti akan kehilangan kepala.

“Kucing Anda sudah ditemukan, tapi waktu Tuan Li menemukannya…”

“Ada apa dengan kucingku?” tanya sang putri.

Pelayan tua menggigit bibir dan berkata, “Ia membeku hingga mati di balik batu.”

Meski kucing itu belum lama bersamanya, sang putri tetap merasa sedih. Matanya memerah. “Aku ingin melihatnya.”

“Pangeran sudah memerintahkan agar kucing itu dikuburkan,” jawab pelayan.

Sang putri makin sedih. Ia menghapus air matanya dan berlari mencari kakaknya.

Sang kakak lebih tua beberapa tahun darinya. Ia adalah seorang pemuda tinggi dengan postur tegap dan wajah tampan. Melihat adiknya menangis, ia bertanya lembut, “Ada apa?”

“Kucingku mati,” isaknya.

Sang pangeran mengelus kepala adiknya dan berkata lembut, “Jangan menangis. Besok kakak akan berikan yang lebih lucu.”

Tapi sang putri menggeleng, “Aku tidak mau lagi.”

Ia menarik lengan kakaknya, mengusap air mata dengan baju kakaknya, lalu bertanya, “Hari ini aku lihat anak laki-laki seusia denganku di taman kerajaan. Dia sangat tampan, tapi tidak mau memberitahuku namanya. Kakak tahu siapa dia?”

Pangeran merenung sebentar. “Anak laki-laki?”

Putri kecil mengangguk, “Iya. Dia lebih tinggi dariku, kulitnya putih sekali sampai berkilau. Tapi dia cuek dan tidak mau bicara.”

Sang pangeran mengingat-ingat, dan ia pun tahu siapa yang dimaksud. Hari itu, Ratu Barat Daya membawa putranya ke istana. Ia pernah melihat pangeran kecil itu beberapa kali. Meski masih muda, anak itu sangat tenang dan pendiam.

“Aku tahu,” katanya.

Putri kecil terkejut. “Siapa dia?”

“Anak bungsu Raja Barat Daya. Besok dia akan pulang.”

Putri kecil pernah mendengar tentang Raja Barat Daya yang menjaga perbatasan dan jarang kembali ke ibu kota. Ternyata anak sombong yang ia lihat adalah putra raja tersebut. Pantas saja ia mengabaikannya.


---

Keesokan harinya, Kaisar dan Permaisuri sendiri mengantar Ratu Barat Daya sampai gerbang kota. Pangeran kecil berdiri tegak di samping ibunya, tanpa ekspresi.

Permaisuri menggandeng putri kecil ke arahnya dan tersenyum, “Apa dua anak ini sudah bertemu? Beberapa tahun lagi, Ah Yu akan kembali ke ibu kota. Kali ini ia datang dan pergi terburu-buru, belum sempat diperkenalkan.”

Putri kecil tampak malu. Hari ini, permaisuri mendandaninya dengan sangat cantik. Perhiasannya berkilauan.

Pangeran Barat Daya melihat ke arahnya dan berkata, “Kami sudah bertemu.”

Permaisuri terkejut. “Oh ya? Kapan kalian bertemu?”

“Dia jatuh dan menubruk kakiku.”

Ucapannya pendek dan to the point, tanpa tambahan apapun.

Putri kecil langsung merah padam karena malu. Ia ingin tersenyum padanya, tapi dengan kejadian ini, ia malah ngambek.

Ia mengadu ke ibunya sambil menangis, “Aku jatuh tapi dia tidak menolongku…”

Ratu Barat Daya tersenyum canggung, mengelus kepala putranya dan berbisik, “Jangan seperti itu lagi.”

Putra bungsu ini memang wataknya seperti itu. Bahkan kepada sepupu sendiri pun ia tidak akan membantu jika terjatuh, apalagi kepada putri kecil yang baru pertama kali ditemuinya.

Pangeran hanya mengangguk kecil.

Permaisuri tertawa, “Anak-anak, mana bisa saling marah. Tidak apa-apa.”

Kereta sudah menunggu. Putri kecil melihat anak laki-laki itu menaiki kudanya dengan anggun. Ia sempat menoleh ke arahnya, dengan tatapan dingin.

Putri kecil cepat bereaksi—ia membalas dengan tatapan tajam dan wajah cemberut.

“Dasar kekanak-kanakan.”


---

Beberapa tahun kemudian, sang putri tak lagi anak kecil. Ia tumbuh menjadi gadis cantik. Kesukaannya sekarang adalah menyelinap keluar istana memakai baju kakaknya.

Karena bajunya terlalu besar, ia sering ketahuan penjaga. Belakangan ia jadi pintar—bukan membawa bajunya, tapi mencuri lambang kepangeranan kakaknya. Dengan lambang itu, ia bisa keluar istana.

Di usia 14 tahun, sang putri sangat menawan. Senyumannya manis, matanya bersinar bening seperti air.

Pertunangannya dengan pangeran Barat Daya telah diumumkan secara terbuka. Seluruh ibu kota tahu bahwa sang pangeran akan datang dari perbatasan untuk menikahinya.

Putri kecil yang menjadi kesayangan Kaisar ini diperkirakan akan menikah dengan upacara besar-besaran.

Namun sang putri, yang akan segera menjadi pengantin, malah tampak murung.

Kakaknya bertanya, “Kenapa akhir-akhir ini kamu murung terus? Siapa yang berani membuat marah putri kerajaan kita?”

Ia menunduk dan menendang kerikil kecil. “Ayah dan Ibu jahat. Mereka tidak tanya pendapatku, langsung menjodohkanku dengan orang yang belum pernah aku lihat.”

Ia takut kalau suaminya ternyata jelek atau gendut.

Sang pangeran tertawa. Ingatannya lebih baik dari adiknya. “Kamu sudah pernah lihat dia.”

Putri kecil melotot. “Kapan?”

“Kamu lupa? Anak laki-laki yang cuek itu.”

Barulah sang putri ingat bahwa dulu pernah bertemu orang itu.

Di ibu kota, banyak yang memanjakannya—paman, sepupu, ayah, semuanya memujanya.

Ia ingat samar-samar bahwa anak itu memang tampan.

“Oh.” Ujung telinganya memerah. “Aku ingat sekarang.”

Dia memang cantik, anggun, dan penuh wibawa sejak kecil.

Pangeran juga merasa berat melepas adiknya. “Dia sudah tiba di ibu kota beberapa hari lalu, tinggal di penginapan kerajaan. Aku sudah menemuinya, dia tampak baik-baik saja.”

Putri kecil mengusap jarinya, “Tapi dia tidak suka aku.”

Jika ingatannya benar, orang itu bahkan tidak mau bicara padanya.

Menyebalkan.

Pangeran tertawa. “Ah Luan itu imut banget. Siapa yang bisa tidak suka kamu?”

Nantinya, sang pangeran akan tinggal di ibu kota setelah menikah. Dia tidak akan membiarkan adiknya disakiti.

Selama ini, kekuatan militer Raja Barat Daya makin besar dan enggan menyerahkannya. Pernikahan ini disusun sebagai solusi politik untuk mencegah bencana.

Putri kecil yang mudah tersanjung langsung tersenyum cerah.

Ia berpikir, dirinya orang yang begitu baik. Setelah hidup bersama, suami masa depannya pasti akan mencintainya.

Wajahnya langsung berseri. “Kakak, aku mau cari dia sekarang juga!”




— 🎐Read on onlytodaytales.blogspot.com🎐—

Bab 96


Putri kecil itu berlari keluar seperti angin. Pangeran tidak bisa menghentikannya. Ia memerintahkan para pengawal untuk mengikutinya dari dekat demi menjaga keselamatannya.

Setelah keluar dari istana, sang putri baru menyadari bahwa dia tidak tahu di pos mana Pangeran dari Barat Daya tinggal. Dia begitu terburu-buru hingga lupa menanyakan hal itu pada kakaknya.

Namun, dia sudah terlanjur keluar dari istana. Jika dia kembali dengan lesu begitu saja, dia akan merasa tidak puas. Setelah berkeliling di jalanan dua kali, dia masih belum bisa menemukan keberadaannya. Dia pun mulai frustrasi.

Saat hari mulai senja, pengawal yang mengikutinya dari bayangan muncul dan memperingatkannya, “Putri, hari sudah mulai malam.”

Dia menghentakkan kakinya. “Aku tidak mau pulang sekarang. Aku hanya ingin berada di luar sedikit lebih lama!” Lalu dia menambahkan, “Kau masih di sini, jadi aku tidak akan mengalami kecelakaan.”

Dia sangat ingin bertemu pria itu hari ini, meskipun dia sendiri belum tahu pasti untuk apa.

Mungkin hanya ingin melihat apakah dia masih setampan dulu? Apakah dia masih sedingin sebelumnya?

Hari itu adalah hari biasa. Jembatan dipenuhi orang-orang, dan lentera mengambang di atas sungai.

Putri kecil itu mengenakan gaun merah terang dan wajahnya sangat memikat. Saat dia hendak menyeberangi jembatan, tiba-tiba seseorang mendorongnya dari belakang. Putri kecil itu menjerit ketakutan dan tubuhnya goyah. Akhirnya, dia terjatuh dari jembatan.

Dengan suara “plop”, dia tercebur ke sungai.

Putri kecil itu tidak bisa berenang. Tangannya berkibas-kibas di air, dia menelan beberapa teguk air. Saat itu bulan April dan air sungai sangat dingin, dinginnya menusuk kulitnya dan wajahnya langsung memucat.

Rambutnya yang basah menempel di pipinya. Para pengawal yang bersembunyi melihat ada yang tidak beres ketika dia jatuh. Saat mereka hendak menolongnya, seseorang lebih dulu melompat ke sungai.

Saat sang putri diangkat oleh seorang pria, dia nyaris mengira dirinya akan mati.

Dengan mata yang setengah terbuka, dia menggigil dan berkata, “Dingin.”

Sungguh dingin. Dia meringkuk, berusaha mencari kehangatan.

Tapi tak lama kemudian, dia masih merasa sangat dingin, giginya bergetar hebat. “Dingin… Aku akan mati kedinginan.”

Tanpa berkata apa-apa, pria itu melepaskan jubahnya dan menyelimutinya.

Putri kecil itu membuka matanya, tubuhnya gemetar, dan menatap pria di depannya dengan bodoh. Pria itu bahkan lebih tampan dari kakaknya. Bibirnya terkatup rapat, alisnya lurus bagaikan dalam lukisan, dan matanya sedingin salju.

Dia terpana.

Para pengawal akhirnya datang. Beberapa dari mereka mengenal Pangeran Barat Daya. Saat melihatnya, mereka terkejut sejenak, lalu mundur dalam diam.

Putri kecil itu berpikir sejenak sebelum mengenalinya. Matanya langsung bersinar. Saat menyadari dirinya berada dalam pelukannya, wajahnya memerah. Walaupun merasa malu, dia tetap berani memeluk pinggangnya lebih erat. Dia sama sekali tidak malu. Dia bahkan menyembunyikan wajahnya di dadanya dan berkata, “Masih dingin.”

“……”

“Bukankah kau yang memelukku duluan?”

“……”

“Wuwu, aku kedinginan sekali. Peluk aku lebih erat.”

“……”

Meskipun dia belum tahu seperti apa rasanya menyukai seseorang, dia tidak merasa terganggu dipeluk oleh Pangeran Barat Daya. Dia bahkan merasa manis di hatinya.

Semoga dia memeluknya lebih erat lagi~

Ah Yu menghela napas, tapi tetap tenang. Dia belum pernah melihat wanita seberani ini.

Bahkan di wilayah perbatasan barat daya yang masyarakatnya terbuka, belum pernah ada wanita seperti ini.

Tanpa berkata banyak, dia langsung membungkus tubuh sang putri dalam jubahnya, lalu berkata pelan, “Jangan bicara.”

“Aku akan membawamu ke penginapan.”

Putri kecil itu begitu naif hingga mengira pria itu belum mengenalinya. Saat dia hendak mengangkatnya, sang putri berkata, “Aku tidak bisa berdiri. Gendong aku.”

“……”

Mulai keterlaluan…

Walaupun sang putri sedang menggigil dan nyaris tak bisa bicara karena dingin, kakinya sebenarnya masih bisa digunakan. Dia hanya ingin digendong dan menjadikan hal itu alasan.

Melihat sang pangeran tidak menjawab, dia berpura-pura lemas di pelukannya. “Selamatkan aku sampai akhir. Aku wanita lemah, tidak punya tenaga, tak bisa berjalan, wuwuwu.”

Dia menghela napas, seakan-akan tak berdaya.

Putri kecil itu merasa dia masih sama seperti waktu kecil. Dingin dan menjaga jarak.

Dia melanjutkan aktingnya, “Sudahlah, Tuan Muda. Jangan pedulikan aku. Biarkan wanita malang ini mati di jalan. Aku baik-baik saja, sungguh.”

Akhirnya pria itu tidak tahan. “Diam.”

Dua kata itu terdengar dingin dan kejam, tapi tetap membuat sang putri senang. Dia menggendongnya dan membawanya ke sebuah penginapan.

Putri kecil itu diam-diam mengingat nama penginapan itu.

Pangeran Barat Daya memesan seember air panas dan berkata, “Aku akan mengirimkan baju ganti sebentar lagi. Setelah ganti baju, pulanglah.”

Putri kecil itu berdiri di balik sekat dan mengintip setengah badannya. Dia menatapnya dengan mata berbinar dan bertanya, “Kau mau ke mana?”

Dia mengangkat alis. “Itu tidak ada hubungannya denganmu.”

Putri kecil itu belum melihatnya selama bertahun-tahun, jadi dia enggan membiarkannya pergi.

Dia berkata dengan nada memelas, “Bisa tetap tinggal? Aku takut.”

Pangeran Barat Daya mengejeknya dalam hati, merasa bahwa sang putri seperti tidak punya akal.

Berani sekali bicara begitu pada pria asing?

“Tinggal?” tanyanya dingin.

Putri kecil itu mengangguk dan menjelaskan, “Berdiri saja di depan pintu sampai aku selesai ganti baju dan keluar. Aku tidak akan lama.”

Setelah dia keluar nanti, dia harus memastikan pria itu tidak kabur.

Wajah pria itu melunak. “Masuklah, aku akan menunggu di luar.”

Putri kecil itu tersenyum manis, “Baik.”

Pangeran Barat Daya merasa hatinya campur aduk. Sejak kecil, dia tahu bahwa dia memiliki perjanjian pernikahan dengan putri kaisar, tapi dia tidak pernah menginginkan pernikahan itu.

Kaisar dan permaisuri hidup dalam kemewahan. Bagaimana mungkin sang putri yang dimanjakan oleh mereka bisa lebih baik?

Dalam hatinya, dia bahkan meremehkan perjodohan itu.

Sebelum berangkat ke ibu kota, ayahnya sudah mengatakan bahwa mereka hanya punya satu kesempatan.

Dia datang lebih awal ke ibu kota untuk menghapus kecurigaan kaisar.

Pangeran Barat Daya juga sudah menyelidiki sang putri. Dua kata: "naif" dan "bodoh" cukup untuk menggambarkannya.

Orang seperti itu mudah dikendalikan.

Sebenarnya, alasan sang putri jatuh ke sungai tadi adalah karena Pangeran Barat Daya sengaja mendorongnya.

Itu hanyalah taktiknya untuk menjadi pahlawan yang menyelamatkan wanita cantik.

Dia berhati dingin. Cinta antara pria dan wanita tidak ada artinya baginya. Selain itu, dia tidak pernah berpikir untuk menyukai siapa pun.

Alih-alih keluar, dia duduk di dalam kamar dan menuangkan secangkir teh, menikmatinya perlahan.

Suara air di balik sekat terdengar di telinganya, bercampur dengan nyanyian gadis kecil itu.

Dia tampak sangat bahagia. Entah apa yang membuatnya bahagia.

Putri kecil itu takut dia akan kabur, jadi dia cepat-cepat mandi, mengenakan baju, lalu keluar dengan rambut basah.

Wajah kecilnya tampak lembut, putih, dan merah muda.

Dia tidak menyangka sang putri akan keluar tiba-tiba, bahkan masih bertelanjang kaki.

Putri kecil itu berkata dengan lega, “Syukurlah kau belum pergi. Oh iya, aku belum tahu namamu. Karena kau menyelamatkanku, aku akan membalas budi suatu hari nanti.”

“Ah Yu.” Dia meletakkan cangkirnya dan berdiri. “Panggil saja aku Ah Yu.”

Putri kecil itu tersipu, “Kalau begitu… panggil aku Ah Luan!”

Dia menyadari bahwa pria itu tidak suka bicara, tapi tidak masalah. Dia tidak keberatan!

Sama sekali tidak!

Ibunya juga tidak banyak bicara, tapi setiap hari ayahnya selalu mencari cara untuk menghibur ibunya.

Dia juga bisa melakukan itu. Kalau dia tidak suka bicara, maka dia yang akan memulai percakapan!

“Dari mana asalmu? Apa kau tinggal di penginapan ini?”

Alih-alih menjawab, dia berkata, “Sudah waktunya kau pulang.”

Langit sudah mulai gelap dan mendung, seperti akan turun hujan.

Seolah tidak mendengar, putri kecil itu bergerak mendekat, cerewet seperti burung pipit kecil. “Aku rasa kau tinggal di sini. Kau bukan orang ibu kota, ya? Kau masih makan kalau tinggal jauh dari sini? Oh iya, bagaimana caranya aku bisa menemukanmu lagi nanti? Ibu kota ini sangat besar. Kalau aku kehilangan penyelamatku, Bodhisattva pasti akan menghukumku.”

Pangeran Barat Daya merasa itu menyegarkan dan tidak merasa terganggu mendengar ocehannya.

Dia melirik wajah cantiknya dan bibir merah mengilapnya. Kerongkongannya terasa kering, hatinya bergetar. Tiba-tiba, suaranya serak.

Dia menjilat bibir, tidak berkata apa-apa, dan terus mendengarkan sang putri berbicara.

Meskipun tidak mendapatkan respons, sang putri tetap gigih. Begitu dia mulai bicara, seakan tidak bisa berhenti.

“Umurmu berapa? Kau tinggal di mana? Apa kau punya gadis yang kau suka? Keluargamu sudah menjodohkanmu?”

Pangeran itu berhenti, menoleh, menatapnya dari atas, dan menghela napas, “Apa kau tidak haus?”

Sudah bicara sebanyak itu, apa kau tidak haus?

Dia mengangguk. “Sedikit.”

Pangeran itu berkata, “Kalau haus, bicaralah lebih sedikit.”

Putri kecil itu menatapnya penuh harap dan berkata, “Aku mau minum.”

“Ambil sendiri.”

Dia menyembunyikan tangannya di belakang dan berkedip, “Tanganku tidak ada.”

“…..”




— 🎐Read on onlytodaytales.blogspot.com🎐—

Bab 97

Sejak sang putri kecil mengetahui penginapan tempat dia menginap, dia datang menemuinya setiap hari dengan ceria.

Pangeran dari Barat Daya tak pernah menunjukkan ketidakpuasannya akan hal ini, tetapi wajahnya tetap datar saat menghadapi sang putri. Namun, sang putri sama sekali tidak merasa aneh, dan setiap kali bertemu, dia akan memanggil namanya dengan manis.

Sikap Ah Yu terhadapnya perlahan-lahan mulai berubah tanpa disadari, dan nada bicaranya jauh lebih lembut dari sebelumnya.

Hari itu, sang putri kecil datang lagi menemuinya. Ia mengenakan pakaian pria, tetapi lengan baju dan leher bajunya tampak sedikit kebesaran, jelas bahwa pakaian itu tidak cocok untuknya. Rambut panjangnya diikat tinggi, memperlihatkan wajahnya yang bersih dan polos.

Tak ada yang tahu apakah itu disengaja atau karena dia memang tak peduli soal batasan antara pria dan wanita, karena saat bertemu, ia langsung menarik lengan bajunya, menggenggam tangannya, dan berkata,
“Kakakku bilang malam ini ada pertunjukan sabung ayam di ibu kota. Kamu suka nonton? Aku akan temani kamu.”

Pikiran sang putri sangat sederhana. Karena mereka pada akhirnya akan menikah, maka lebih baik mereka membangun hubungan sejak sekarang. Ia juga ingin melihat seperti apa calon suaminya itu.

Setelah mengamatinya selama ini, ia merasa meski pria itu dingin, hatinya sebenarnya baik. Tidak ada yang buruk darinya.

Pangeran itu melangkah mundur dua langkah dan menarik tangannya.

Sang putri kecil mengedipkan mata padanya.
“Kamu nggak mau pergi? Kamu pasti belum pernah lihat sabung ayam di tempat lain, kan!?”

Pangeran dari Barat Daya hanya tersenyum tipis. Sabung ayam? Di tempatnya tidak ada hal seperti itu.

Melihat dia masih tidak tertarik, sang putri berkata,
“Aku kasih tahu ya, ayam jantan yang kupilih sangat ganas. Aku yakin ayamku akan menang. Kamu yakin tidak mau lihat?”

Dalam hati, ia ingin sekali pria itu melihat betapa gagah ayam yang ia pilih.

Namun orang ini tampaknya tidak tertarik sama sekali. Sang putri kecil tidak menyangka akan seperti ini. Ia jadi agak kecewa dan bingung harus berbuat apa.

Ia menundukkan kepala, seperti jiwanya langsung menghilang.

Pria itu mengusap alisnya. Ia tahu dari mana datangnya kelembutan aneh dalam dirinya ini, atau mungkin ia tak ingin terlalu memikirkannya.

“Baiklah, ayo pergi.”

Wajah sang putri langsung berseri-seri dan ia tersenyum lebar,
“Ayo cepat jalan! Nanti keburu telat!”


---

Sesampainya di tempat sabung ayam, kerumunan orang sudah mengelilingi area pertarungan. Sang putri menarik lengan bajunya dan membuka jalan menuju bagian paling depan.

Ia mendekati panggung dan menemukan seorang pria kecil. Ia mengambil kandang dari tangan pria itu.

Di dalam kandang itu ada ayam jantan miliknya.

Sambil mendorong kandang itu ke samping pria tersebut, ia berkata dengan bangga,
“Nih, lihat! Ini ayam jago milikku.”

“Ya,” jawab pria itu datar.

Tiba-tiba sang putri bertanya,
“Kamu punya uang?”

Tanpa banyak bicara, pria itu mengeluarkan kantong uang dari pinggangnya dan menyerahkannya kepadanya.
“Untuk apa?”

Putri kecil langsung mengambil kantong itu tanpa malu, lalu mengeluarkan semua perak dari sakunya sendiri,
“Untuk taruhan!”

Pangeran dari Barat Daya selalu berpikir bahwa dia gadis baik dan ceria, tetapi tidak berani. Siapa sangka dia suka sabung ayam dan bahkan berjudi? Ini sangat mengejutkannya.

“Taruhannya bagaimana?”

“Kita pertaruhkan semua uang kita pada ayamku. Kalau dia menang, uang pihak lawan jadi milik kita, dan pemilik arena juga akan memberi kompensasi!”

Penjelasannya sangat jelas. Sepertinya dia sudah pernah melakukan ini sebelumnya. Meski sang kaisar dikenal kejam dan membunuh banyak menteri bila tidak puas, dia ternyata punya anak perempuan seperti ini.

Atau mungkin, dia tidak tahu apakah ini bisa disebut sebagai "baik".

Pangeran dari Barat Daya mengangguk,
“Baiklah.”

Ia tidak yakin ayam sang putri adalah yang terbaik, tetapi ia tetap memasukkan semua uangnya.

Sang putri membuka kandangnya, dan ayam di dalamnya mengepakkan sayap lalu keluar. Namun begitu melihat lawannya yang lebih besar dan garang, semangatnya langsung padam.

“Petok petok!” Ayam itu berlari keliling arena.

Putri kecil hampir mati cemas. Semua uangnya, juga uang Ah Yu, dipertaruhkan pada ayam itu. Jika kalah, dia akan kehilangan muka. Apalagi, tadi dia sudah sesumbar di depan Ah Yu bahwa ayamnya pasti menang.

Namun, belum sampai setengah batang dupa terbakar, ayamnya sudah kalah telak.

Putri kecil sangat kesal. Bibirnya mengerucut tak senang. Dia melirik pria di sampingnya, lalu buru-buru memalingkan wajah.

Setelah beberapa saat, ia perlahan mendekat dan berkata pelan,
“Maaf… Aku sudah menghabiskan semua uangmu.”

Pangeran dari Barat Daya tampaknya tak menganggap itu serius.
“Tidak apa-apa. Aku juga memang tidak yakin ayammu akan menang dari awal.”

Ayam itu memang besar, tapi tak punya semangat bertarung.

Putri kecil terkejut,
“Kalau begitu kenapa kamu tetap pasang semua uangmu!?”

Pria itu hanya mempincingkan bibir, tak menjawab.


---

Setelah keluar dari arena, mereka berjalan-jalan sebentar. Hari sudah larut, saatnya sang putri kembali ke istana.

Pangeran dari Barat Daya untuk pertama kalinya berkata,
“Aku akan mengantarmu pulang.”

Kata “baik” sudah ada di ujung lidah sang putri, tapi langsung ditelan.

Ia sudah berbohong pada pria ini selama beberapa hari. Katanya ia tinggal di sebuah gang di ibu kota. Kalau sampai dia mengantarnya, semua akan terbongkar!

Ia tak pandai berbohong. Menghadapi tatapan pria itu yang dalam, ia tergagap,
“Tak... tak usah. Aku bisa pulang sendiri.”

Pangeran dari Barat Daya justru merasa menggoda gadis ini sangat menyenangkan. Ia tersenyum tipis,
“Ini tidak baik. Kalau terjadi sesuatu, aku akan menyesal.”

“Aku takut mengganggu waktumu.”

“Tidak masalah, aku tidak sibuk.”

“Aku suka jalan sendirian.”

“Aku akan berjalan lima langkah di belakangmu.”

Sekarang… apa yang bisa dilakukan putri kecil!?

Ia teringat bahwa ia bisa masuk ke gang kosong, lalu kembali ke istana setelah pria itu pergi.

Maka ia berkata,
“Baiklah, antar aku sampai ke mulut gang saja.”

Ah Yu hendak bicara, tetapi segera dipotong olehnya,
“Kalau kamu langsung mengantar sampai depan rumahku dan dilihat tetangga, reputasiku akan rusak. Aku harus menikah denganmu. Kalau tidak, nama keluargaku akan tercoreng seumur hidup.”

“….”

Setelah hening sejenak, Pangeran dari Barat Daya tertawa,
“Baiklah.”

Putri kecil sudah lama mengenal jalan-jalan di ibu kota. Tidak sulit baginya memilih gang kosong.

Mereka berdua berjalan perlahan di jalanan yang mulai gelap. Ujung gang tak terlihat oleh mata telanjang karena langit sudah malam.

Tiba-tiba, sang putri merasa takut. Ia berhenti dan berkata,
“Aku sampai sini. Terima kasih. Kamu boleh pulang.”

“Kamu tinggal di sini?”

Ia mengangguk cepat, takut ia tak dipercaya.
“Iya!”

“Kalau begitu masuklah dulu, baru aku akan pergi.”

Kulit kepala sang putri terasa merinding. Ia berjalan sepuluh langkah ke dalam. Setelah merasa pria itu tidak mengejarnya, ia langsung berbalik.

Namun, ia merasa ada yang memperhatikannya dari kegelapan. Semakin dipikir, ia semakin takut. Ia mempercepat langkahnya, hampir berlari.

Belum jauh, pergelangan tangannya ditarik dari belakang.

Ia disandarkan ke dinding, dan tubuhnya gemetar ketakutan.

Dalam gang yang gelap, ia tak bisa melihat wajah orang di depannya. Tapi aroma tubuh pria itu terasa sangat familiar.

Pria itu mengangkat dagunya, lalu menunduk menggigit lembut daun telinganya.

Bibirnya kemudian menyentuh bibir putri kecil.

Tubuh sang putri menegang. Suara pria itu terdengar rendah di telinganya,
“Kalau begitu, nikahilah aku.”

Sang putri menjawab dengan gemetar,
“Kamu… kamu… apa kamu jatuh cinta padaku?”

Pria itu tertawa pelan,
“Iya.”

Entah kata-katanya itu sungguh atau tidak.

Tapi sang putri begitu mudah percaya. Apa pun yang dia katakan, ia langsung percaya.

Putri kecil ragu sejenak, lalu berkata,
“Tapi aku sudah punya tunangan. Harus bagaimana?”

Pangeran dari Barat Daya menyentuh wajahnya yang halus seperti yang ia bayangkan, lalu berkata lembut,
“Baik. Aku akan membantumu.”

Eh? Tidak mungkin! Kenapa malah begini!?

Putri kecil buru-buru memeluk lehernya,
“Tidak, tidak usah! Aku bisa membatalkan pertunangan itu sendiri. Tunanganku juga orang baik, dia pasti tidak akan memaksaku.”

Kata-katanya membuat Pangeran dari Barat Daya tertawa.

Saat itu, ia tidak menyadari betapa bahagianya dirinya saat tertawa.

Awalnya, dia hanya ingin memikat sang putri, selalu berada di sisinya, agar sang putri jatuh cinta dan bisa dimanfaatkan.

Namun sekarang, ia sendiri justru jatuh ke dalam perangkap cinta yang ia ciptakan.



— 🎐Read on onlytodaytales.blogspot.com🎐—

Bab 98

Pada hari pernikahannya, si putri kecil merasa bahwa dia adalah orang paling bahagia di dunia.

Di matanya, suaminya adalah pria terbaik di dunia.

Dia mengenakan gaun pengantin yang dijahit oleh ibunya. Wajahnya dihiasi riasan yang mewah. Senyum dan matanya sangat cerah.

Ratu memandang putrinya dengan mata yang berlinang air mata, lalu menyeka air mata itu dengan selendang, berkata, “Ini dari hati ibumu… kalau suamimu berbuat salah, kau harus kembali ke istana dan tinggal bersama ibumu, bukan dengannya.”

Ketika si putri kecil melihat ibunya menangis, dia juga ingin menangis, “Tidak, dia sangat baik dan tidak akan menyakitiku.”

Meskipun dia jarang bicara, dia sangat perhatian.

Pernikahan ini adalah politik. Awalnya, sang ratu sempat bertengkar dengan sang kaisar soal ini.

Putrinya adalah permata dunia yang sangat berharga. Mengapa dia harus menikah dengan anak dari bangsa barbar di Barat Daya?!

Saat sang kaisar melihat putrinya menikah, dia merasa sedih. Tatapan penuh kasih sayangnya mengawasi putrinya dengan seksama dan berkata pelan, “Putriku tercinta, jangan takut. Dia ada di bawah pengawasan ayahmu. Kau bisa menikah dengannya dan menikmati kebahagiaan. Jika kau tidak suka, kau bisa mencari pria lain yang kau cintai di luar sana.”

Si putri kecil tidak bisa melakukan hal semacam itu. Sejak kecil dia tahu, jika menyukai seseorang, dia harus setia sepenuhnya padanya. Dia tidak bisa bersikap acuh karena itu akan menyakiti hati suaminya.

Setelah waktu yang lama, akhirnya si putri kecil diantar naik tandu merah.

Matanya tertutup tirai merah, dan dia tidak bisa membuka dengan tangannya.

Ketika tandu dibawa ke depan kediaman sang pangeran, dia tak kuasa membuka tirai dan mengintip keluar lewat jendela.

Suaminya menunggang kuda tinggi dengan postur tegak. Dia tampan. Ini pertama kalinya si putri kecil melihat pria dingin dan ringan hati ini mengenakan pakaian merah dengan sabuk bermotif gulungan awan. Penampilannya sangat memukau.

Rahangnya dingin dan tegas, bibirnya sedikit tersenyum. Matanya yang indah terlihat tajam.

Si putri kecil merasa dia pasti sangat bahagia. Lagipula, sebelum mengenal identitasnya, dia sudah bilang akan menikahinya.

Dia diam-diam berpikir, mungkin dia juga sangat menyukainya.

Baguslah, mereka saling mencintai.

Saat pria itu turun dari kuda, si putri kecil cepat-cepat menutup tirai dan melanjutkan duduk di dalam tandu.

Tak lama kemudian, pria itu mendekati tandu, mengangkat tirainya, dan mengeluarkannya.

Si putri kecil tidak melihat wajahnya, tapi dia mencium aroma harum darinya yang sangat nyaman.

Dia masih tertutup tirai merah, tapi dia dengan inisiatif mengaitkan tangan di lehernya dan menempelkan kepala kecilnya di dadanya.

Mereka bersalaman dan bersulang dengan para tamu.

Setelah itu, si putri kecil diantar ke kediaman barunya oleh rombongan besar.

Dia duduk gelisah di atas ranjang, bokongnya agak sakit. Setelah berpikir, dia sadar suaminya mungkin tidak akan kembali sebentar lagi, jadi dia mengangkat selimut dan melihat ada kacang tanah di bawahnya.

Tidak heran bokongnya sakit.

Si putri kecil tidak banyak makan sepanjang hari, sekarang perutnya lapar dan sedikit kosong.

Dia meraih beberapa kurma merah.

Dia sedang makan dengan senang ketika pintu kediaman barunya terbuka.

Wajahnya sedikit memerah.

Pria dengan bau alkohol ringan itu masuk dengan tenang dan menatapnya dengan mata menyala.

Si putri kecil juga memegang sebutir kurma merah di tangan. Apakah sekarang waktu yang tepat untuk memakannya? Dia akhirnya meletakkan kurma itu kembali ke dalam selimut dan pura-pura tidak terjadi apa-apa.

Dia bertanya, “Kenapa kau datang begitu cepat?”

Saat kakaknya menikah, sepupunya mengajaknya minum sampai larut malam baru mengantarnya pulang ke kediaman baru.

Kenapa giliran Ah Yu berbeda?

Pangeran menuang teh dan meminumnya perlahan untuk menghilangkan dahaga. Dia menjawab, “Semua tamu sudah pulang.”

Hari itu tamu-tamu sudah diberi tahu sebelumnya. Kaisar tidak akan membiarkan mereka minum, jadi mereka tidak berani melakukannya.

Sebelum masuk ibu kota, dia mendengar bagaimana kaisar dan permaisuri sangat menyayangi putri mereka. Saat itu, dia tidak menganggap serius dan mengira itu berlebihan.

Selama beberapa bulan bersamanya, dia juga sadar betapa orangtuanya memanjakan permata berharga itu.

Satu-satunya gelas anggur yang dia minum malam ini adalah dari Yang Mulia. Pangeran yang sehangat giok ini tampak sangat lembut. Sayangnya, karakternya terlalu lembut untuk menjadi kaisar.

Dia tidak cukup kejam, tidak cukup bengis, banyak hal yang tidak bisa dia lakukan. Negara akan hancur jika dia naik tahta. Dia tidak bisa menyelamatkan negeri yang sedang menurun.

Si putri kecil melepas sepatu dan kaus kaki, duduk di ranjang dengan kaki telanjang disilangkan.

Sebuah lilin merah dinyalakan di kepala ranjang. Cahaya lilin terang tapi redup.

Ada sedikit senyum di mata pangeran mahkota. Dia berkata, “Ternyata gadis-gadis membuka tirai pengantin mereka sendiri.”

Si putri kecil malu dan tersipu. Dia mengambil tirai merah di ujung kakinya dan memakainya kembali. “Sekarang sudah benar!”

“Betapa cerdasnya si putri kecil.” Dia tertawa dan bertepuk tangan, tampak sangat mendukung.

Dia marah, “Aku adalah seorang putri kerajaan, kalau kau terus membuli aku seperti ini, aku akan suruh kakakku mengurusmu.”

Dia menunjukkan gigi dan cakarnya, tapi tetap terlihat sangat lembut.

Seperti anak kucing yang pernah dia pelihara dulu.

Dengan sekali jentikan jari, pria itu jatuh.

Dia berpura-pura, “Si putri kecil sangat galak.”

“Aku takut.”

Setelah cukup menggoda, Ah Yu mandi dan berganti pakaian.

Setelah mandi, dia keluar tanpa memakai jas. Rambut hitam panjangnya terurai di punggung, mata gelapnya sedikit basah, dan senyumannya santai.

Si putri kecil tidak malu sekarang. Dia menatap dada telanjang pria itu. Setelah puas melihat, dia menggeser pantatnya memberi ruang untuknya.

Dia dengan murah hati menepuk posisi di sampingnya, “Mari sini.”

“.....”

Perasaan Ah Yu rumit. Apakah dia terlalu naif untuk mengerti? Atau dia tidak tahu? Atau mungkin dia tahu semuanya tapi menganggapnya biasa saja?

Si putri kecil belum pernah mengalami cinta antara pria dan wanita, tapi dia pernah mendengarnya dari orang lain.

Jika orang yang kau cintai juga mencintaimu, itu pasti sesuatu yang membuat orang sangat bahagia.

Dia tidak sabar menunggu!

Pangeran Barat Daya pergi tidur, saat dia mengangkat tangan, lilin padam.

Si putri kecil berbaring menyamping menahan napas. Jantungnya berdegup kencang. Dia menunggu dengan gugup lama, tapi pria itu tampaknya tidak bergerak.

Oh, ya, dia pasti malu.

Tangan kecilnya merayap naik ke tubuh pria itu seperti semut dan mencapai pinggangnya.

Dengan desisan, pria itu menarik napas dalam. Telapak tangannya yang dingin menutupi punggung tangan si putri kecil, dan suara seraknya terdengar, “Kau mau apa?”

Si putri kecil menatapnya dan berkata, “Apakah kau lupa sesuatu?”

Pangeran Barat Daya tidak lupa. Dia tahu si putri lelah hari ini jadi dia tidak melakukan apa-apa. Ini langka, pangeran menunjukkan kebaikan.

Tapi apa yang dilakukan si putri sekarang jelas mengatakan bahwa dia tidak ingin dikasihani!

Si putri kecil mengedipkan mata padanya, lalu menangis, “Apa kau tidak suka aku lagi? uwuwu…”

“…..”

Dia tidak menjawab.

Si putri kecil melanjutkan, “Tidak apa-apa. Ah Luan bisa menderita ketidakadilan seperti ini. Kau tidak perlu khawatir tentang aku.”

“…..”

“Ah Luan tidak butuh pelukan dan ciumanmu. Dia bisa sendiri.”

Pria itu tertawa dan tawanya yang serak menyebar di udara yang hening.

Si putri kecil menatapnya dengan senyum manis. Saat sadar, dia benar-benar melepas rasa malu. “Ah Luan sedih. Dia masih sedikit kedinginan. Bisa kau peluk dia?”

Pangeran Barat Daya menghela napas dan memeluknya sesuai permintaan.

“Ah Luan ingin ciuman.”

Pria itu menepuk punggungnya dengan sabar, lalu memegang pergelangan tangannya dan menekannya di bawah tubuhnya.

Matanya memancarkan cahaya gelap dan berbisik, “Kau yang mulai duluan..”

Dia memberinya kesempatan, tapi karena dia terus mengganggu, dia bukan pria sejati kalau bisa tahan.

Si putri kecil tersenyum, “Aku tidak takut.”

Namun, keesokan harinya, si putri kecil menyesali kata-katanya.

Sakit, perih, dan lelah.

Dia masih merasa tidak nyaman.


---

Dalam sekejap mata, mereka sudah menikah lebih dari tiga bulan.

Keduanya sudah seperti madu dan minyak, hubungan mereka tampak sangat baik.

Posisinya di Balai Taichao agak sepi. Dia tidak punya kekuasaan nyata dan tidak punya banyak urusan. Saat senggang, dia mengajak si putri kecil jalan-jalan ke mana saja.

Musim dingin ini, salju turun lebih awal di ibu kota.

Si putri kecil sangat suka hari bersalju. Dia suka tertawa keras sambil berlari di salju dengan pakaian cerah.

Si putri kecil memanggilnya dengan suara lantang, “Ah Yu! Sini! Aku baru buat manusia salju besar. Tanganku beku!”

Pangeran Barat Daya memegang jubahnya untuknya. Setelah mendengar itu, dia tidak bisa menahan tawa dan matanya menyipit karena tertawa.

Pelayan di belakangnya menatapnya dengan cemas.

Sepertinya selama si putri kecil bicara pada suaminya, dia akan bahagia.

Dia melangkah maju dua langkah, dengan suara hangat mengingatkan, “Pangeran Barat Daya, surat dari Yang Mulia sudah tiba kemarin.”

Saat itu, dia melihat senyum di wajah Pangeran Barat Daya menjadi kaku

“Aku tahu.”

Dia menatap ke atas, melihat salju yang jatuh perlahan.

Dia tahu mungkin dia sudah mencintai si putri kecil.

Namun, di hadapan rencana besar yang sedang berjalan, perasaannya terasa sangat kecil dan tidak berarti.

Dia memejamkan mata dan berkata dengan suara dingin, “Biar ayahku tenang, aku tidak akan mengecewakannya.”

Ah Yu membuka matanya dan menatap wanita yang tersenyum riang di tengah salju.

Dia berpikir bahwa mungkin dia harus membunuhnya sendiri saat waktu kekuasaan berubah.

Si putri kecil itu masih polos dan penuh romantisme.

Pada saat itu, kematian yang bersih adalah akhir terbaik baginya.

Namun, Ah Yu tidak tahu apa sebenarnya penyebab rasa sakit yang menggerogoti hatinya.




— 🎐Read on onlytodaytales.blogspot.com🎐—


Bab 99


Mereka telah menikah lebih dari empat tahun. Kehidupan si putri kecil jauh lebih bahagia dibanding saat dia masih di istana. Orangtuanya, kakaknya, dan suaminya sangat menyayanginya.

Meski suaminya pendiam, dia sangat perhatian dan patuh padanya. Si putri kecil tidak sombong meskipun tumbuh dimanja oleh ayah dan ibunya. Dia hanya suka menggoda dengan manja.

Selama empat tahun itu, meskipun hidupnya baik, si putri kecil belum juga bisa hamil. Untungnya, suaminya tidak terburu-buru. Dia bahkan mencoba menghibur, “Tidak apa-apa. Kita tidak perlu terburu-buru punya anak.”

Si putri kecil agak sedih dan berkata, “Tapi anak perempuan kakakku sudah berumur dua tahun. Aku juga ingin punya anak perempuan.”

Dia sangat menyukai anak-anak. Istri kakaknya sudah melahirkan seorang putri yang sangat menggemaskan.

Si putri kecil merasa tidak bisa mendengar nasihat bodoh Ah Yu soal ini. Dia penuh harapan dan berkata, “Besok aku akan pergi ke kuil bersama ibuku untuk minta ramalan.”

Ah Yu terdiam sebentar lalu menjawab, “Oke.” Dia tidak lupa mengingatkan, “Besok cuacanya dingin, ingat pakai baju yang tebal.”

Si putri kecil merangkul lehernya dan mencium wajahnya, “Kamu juga harus pakai baju tebal.”

Lalu dia memandangnya penuh harap, “Bunga plum merah di istana sebentar lagi akan mekar. Bisa kamu petikkan satu untukku saat pulang besok?”

Dia membelai wajahnya dengan lembut, suara serak, “Oke.”


---

Itulah terakhir kalinya si putri kecil melihat ibunya saat pergi ke kuil minta ramalan. Dia tidak tahu suaminya sudah mulai mengerahkan tentara besar untuk memberontak.

Melihat putrinya yang polos, sang ratu merasa campur aduk. Dia tak tahu apakah membentuk anaknya jadi seperti itu adalah hal baik atau buruk.

Dia tidak terlalu suka keluarga Raja Barat Daya, tapi sebagai ibu negara, dia menyembunyikan perasaannya dengan baik, sampai putrinya pun tak bisa mendeteksinya.

“Meminta Bodhisattva untuk anak itu tak berguna. Kalau suaminya malas berusaha, kamu tak akan hamil sekalipun kamu berlutut sampai lututmu patah,” kata sang ratu terus terang di depan putrinya.

Si putri kecil tersipu dan mengambil dupa dari tangan ibunya, “Dia...dia sudah berusaha keras. Aku tak tahu masalahnya di tubuhku...atau...”

Sang ratu memotong dingin, “Sejak kecil kamu adalah anakku paling berharga di dunia ini. Kalau menurutku, masalahnya masih ada padanya.”

“Ibu, maksud ibu apa?” tanya si putri kecil setelah hening sejenak.

“Kamu tahu sendiri.”

Si putri kecil mengerucutkan bibir, “Dia tidak mungkin seperti itu.”

“Kamu memang bodoh.”

Kini kekacauan telah dimulai. Perbatasan sudah sering dilanggar, dan ada perubahan di pihak Raja Barat Daya. Namun sang ratu tak bisa memberitahu putrinya bahwa mereka sedang dalam bahaya dari dalam dan luar, dan tidak tahu sampai kapan bisa bertahan.

Dia hanya berharap putrinya masih punya waktu hidup lebih lama.

Sang ratu sudah siap mati. Meski dunia kelak diambil Raja Barat Daya, dia hanya berharap menyelamatkan nyawa putrinya.

Sebelum kembali dari kuil, sang ratu memeluk erat putrinya, mata sedikit sembab.

“Ibu, apa ibu merindukanku? Besok aku akan masuk istana dan tinggal dengan ibu sebentar.”

Sebelum menikah, si putri kecil sering tidur bersama ibunya.

Sang ratu menghapus air mata dengan saputangan, memandang dalam-dalam, “Oke.”

Si putri kecil tak bisa mendapat bunga plum merah dari suaminya, juga tak bisa tidur bersama ibunya.

Begitu terbangun, seolah langit sudah berubah.

Pangeran Barat Daya mengirim pesan dari istana — dia tak bisa kembali untuk sementara. Kediaman putri dikepung tentara, mereka melarangnya keluar, apalagi masuk istana.

Si putri kecil tidak tahu apa yang terjadi, jadi marah dan memarahi para tentara.

Dia tidak bisa tidur semalaman. Malam berikutnya, saat suaminya akhirnya dibebaskan dari istana, si putri kecil lega. Karena ayah dan ibunya membebaskannya, pemberontakan pasti tidak ada hubungannya dengannya.

Selain itu, Ah Yu bukan orang kejam. Dia baik dan lembut, memperlakukan semua orang dengan baik.

“Kamu akhirnya kembali.”

Wajahnya agak pucat, janggut mulai tumbuh, matanya yang memandangnya seakan menyimpan kesedihan yang tak terucapkan.

Dia mengangguk, “Aku kembali.”

Si putri kecil merangkul pinggangnya, “Kamu tak perlu khawatir. Semuanya akan baik-baik saja.”

Pangeran Barat Daya diam.

Pemberontak sangat kuat, berhasil menyusup ke ibu kota dalam waktu kurang dari setengah bulan.

Hari itu, Pangeran Barat Daya mengenakan jubah berwarna sabit. Sebelum pergi, dia memeluk erat, dan berkata, “Aku akan masuk istana dan membawa keluar kaisar dan ratu.”

Si putri kecil menarik lengan bajunya. Karena sangat percaya, dia berkata, “Di bawah tempat tidur kamar ibu ada jalan rahasia. Putar singa kecil di kepala tempat tidur dua kali untuk membuka jalan itu. Jalan rahasia itu keluar di padang gurun lima mil dari ibu kota.”

Dia menciumnya di sudut bibir, “Pergilah dan selamatkan orang tuaku.”

Pangeran Barat Daya berubah pucat, tangannya sedikit gemetar.

Para penjaga istana sudah dibunuh oleh pasukannya sejak lama. Kini semua penjaga di luar kediaman putri adalah tentaranya.

Pangeran Barat Daya keluar dari kediaman dan berdiri tanpa ekspresi di depan kepercayaan dekatnya. Dengan suara dingin, dia berkata, “Pergi ke pintu keluar jalan rahasia.”

“Apa yang harus aku lakukan setelah menangkap mereka?”

“Bunuh saja.”

Kepercayaannya terkejut dan terdiam sebentar sebelum segera menerima perintah, “Ya!”

Hatinya sudah menjadi batu.

Saat itu, Pangeran Barat Daya berpikir cintanya pada si putri kecil tidak dalam.

Keputusan itu dibuat tanpa ragu.

Saat tiba waktunya membunuh, dia bahkan tak berpikir dua kali.

Dia merasa si putri kecil seperti anak kucing yang pernah dia pelihara, dan dia tidak akan bersedih lama.

Bagi dia, cinta tidak ada artinya.

Ah Yu memimpin sekelompok orang ke gerbang kota. Dia sendiri yang membunuh jenderal penjaga kota dan segera membuka gerbang untuk menyambut pasukan Barat Daya masuk ibu kota.

Pasukan Barat Daya yang telah membantai banyak orang tak terbendung.

Pangeran Barat Daya tak menyangka pangeran akan turun langsung ke medan perang dengan memakai baju zirah dan memegang pedang panjang.

“Pangeran, kau tak bisa menghentikan ini.”

“Aku adalah putra mahkota dan tidak akan menyerah pada pejabat korup dan pencuri.”

Di Istana Timur ada banyak orang, dan saudara perempuannya juga di sana.

Dia tidak bisa lari dan tidak bisa mundur, bahkan jika mati pun, dia harus bertemu mereka.

Semangat membunuhnya membara.

Pangeran Barat Daya mengangkat pedangnya, ujung pedang berdarah mengarah tepat ke dada pangeran. “Bagus. Rakyatku tak perlu lagi mencari keberadaanmu.”

Pangeran jarang mengangkat pedang. Dia memang kalah dalam keahlian pedang. Setelah lebih dari sepuluh serangan, pangeran tak sanggup menahan dan terkena beberapa tusukan.

Bau darah kuat memenuhi udara.

Pangeran tersungkur setengah berlutut, mencoba menopang tubuhnya dengan pedang. Sudut mulutnya mengeluarkan darah, tiba-tiba ia berbisik, “Tolong selamatkan nyawa saudara perempuanku.”

Itu kali pertama pangeran memohon bantuan.

Sebelum mendapat balasan, kepalanya dipenggal oleh deputi jenderal di sisi Pangeran Barat Daya.

Kepala pangeran dijadikan trofi dan digantung di bendera untuk membangkitkan semangat pasukan.

“Pangeran Barat Daya! Aku menangkap dua orang lagi di luar jalan rahasia.”

Seorang wanita sangat cantik dan seorang gadis kecil gemetar di pelukannya.

Gadis kecil itu mengenal Pangeran Barat Daya. Saat melihat orang yang dikenalnya, dia berani berkata, “Paman.”

Itu adalah istri pangeran dan putrinya yang berumur dua tahun.

Dia ingat si putri kecil sangat menyukai anak itu dan bahkan ingin memberinya banyak hadiah saat Tahun Baru.

Dia mengangkat anak itu dari pelukan sang putri dan menyentuh wajahnya, “Apakah kamu takut padaku?”

“Aku tidak takut kalau melihat paman.”

“Bagus.” Dia tersenyum dan mengembalikan anak itu.

Sang putri jatuh berlutut dan menangis.

Tangisan itu perlahan menghilang sampai benar-benar henti.

Pangeran Barat Daya tak ingat berapa banyak mayat dan tulang yang telah dia tumpuk.


---

Kecuali melihat suaminya, si putri kecil tak percaya kata-kata komandan penjaga.

Dia dipaksa mengikuti komandan lewat gang belakang ke istana. Mayat di sepanjang jalan membuatnya mual dan muntah. Dia tak kuat berjalan dan jatuh ke tanah.

Tubuhnya yang rapuh menggigil hebat, matanya menatap mayat-mayat di tanah.

Itu adalah kakak ipar dan keponakan satu-satunya yang berumur dua tahun.

Si putri kecil merangkak mendekat, mengusap darah di wajah mereka dengan tangannya yang gemetar.

Dia menunduk melihat dua wajah yang dikenalnya, suara tangisannya pecah.

Suaranya serak.

Komandan menariknya bangun, “Putri, ikut aku.” Setelah jeda, dia berkata, “Semua orang ini dibunuh oleh Pangeran Barat Daya.”

Walau dia tak membunuh sendiri, itu perintahnya.

Bagaimana bisa dia tega membunuh anak dua tahun?! Bagaimana bisa??

Suara si putri kecil serak lama.

Saat dia diikat di dinding, dia melihat pria asing dan mengerikan itu.

Dia menatap wajah tanpa ekspresi pria itu, melihat dia mengambil busur dan panah dengan tangannya sendiri, lalu melihat panah itu diarahkan ke dadanya.

Kemudian dia menyaksikan dirinya dibunuh tanpa ragu.

Si putri kecil jelas membedakan cinta dan benci.

Saat itu datang, dia tersenyum.

Meski dia tidak dibunuh oleh pria itu, dia takkan bertahan hidup.

Sakit yang dia rasakan di hidup ini... dia berharap di kehidupan berikutnya atau selamanya, dia takkan mencintainya lagi.


---

Pasukan Barat Daya berhasil menaklukkan negara itu.

Raja Barat Daya mengumumkan kaisar yang bodoh sudah mati dan seluruh keluarga kerajaan yang boros telah tewas oleh pedang.

Raja Barat Daya mengganti nama negara menjadi Liang, dan Ah Yu diberi gelar putra mahkota.

(Catatan penerjemah: Ah Yu adalah pangeran perbatasan Barat Daya yang kemudian menjadi pangeran negara setelah Raja Barat Daya menggulingkan monarki di ibu kota.)

Setelah pembantaian di istana, Pangeran Barat Daya datang melihat jenazahnya. Meski jatuh dari ketinggian, wajahnya tetap damai, seperti sedang tidur.

Dia menyentuh wajahnya dan tertawa, “Kamu masih cantik.”

Hatinya mati rasa. Dia tak tahu apa yang salah.

Dia dengan lembut meletakkan tubuhnya, “Aku akan menguburmu. Setelah seratus tahun, aku akan dikubur bersamamu.”


---

Pada hari dia diangkat sebagai putra mahkota, bunga plum merah di istana kembali mekar.

Sepertinya dia sudah lama tidak tersenyum. Setelah berkuasa, dia tak pernah benar-benar tersenyum. Tidak ada kebahagiaan dalam hidupnya.

Orang-orang yang melayani di istana sangat peka. Tak seorang pun berani menyebut si putri kecil di depannya.

Saat dia keluar dari aula, seorang kasim dengan tergesa-gesa memujinya, “Bunga plum di taman istana baru saja mekar. Apakah Tuanku ingin melihatnya?”

Dia berkata, “Mari kita lihat.”

Bunga plum sangat indah. Dia memetik sebuah cabang dan memandangnya dalam diam cukup lama.

Dia teringat malam itu, si putri kecil memintanya mematahkan cabang dan memberikannya.

Saat dia berkedip, dua tetes air mengalir dari pipinya ke jubah hitamnya.

Pangeran Barat Daya menangis.

Kasim itu sangat terkejut, lalu menunduk pura-pura tidak melihat.

Dia memegang bunga plum dan suara seraknya berkata, “Aku tidak suka bunga plum. Buang semua bunga plum di istana.”

“Ya.”

Tak seorang pun berani melanggar perintahnya.

Kasim itu berpikir bahwa pangeran itu tidak suka banyak hal.

Dia tidak suka bunga plum, tidak suka musim dingin, dan terutama tidak suka gadis-gadis yang suka bertingkah manja.

“Mari pergi.” Tapi hanya sesaat kemudian, pangeran itu kembali normal, dan tak ada jejak kesedihan di wajahnya.

Kasim itu buru-buru kembali ke aula, tapi setelah dua langkah, pria itu tiba-tiba memuntahkan darah.



— 🎐Read on onlytodaytales.blogspot.com🎐—


Bab 100


Setelah setahun, musim dingin tiba dan salju turun dengan deras selama beberapa hari di ibu kota.

Berdiri di luar aula, kasim Liu memperhatikan kaisar yang sedang batuk dan menghela napas berat. Ia membungkuk sedikit dan membuka mulutnya. “Yang Mulia, obatnya akan menjadi dingin jika tidak diminum.”

Kaisar sering terkena demam tipus di musim dingin, tapi ia tak pernah suka meminum obat. Obat yang dibuat untuknya selalu dibuang begitu saja.

Bahkan kasim Liu, yang setia menunggu di sisi kaisar, tak mampu memahami pikiran kaisar dengan jelas.

Sebagai putra bungsu tercinta dari kaisar sebelumnya, memperoleh tahta adalah hal yang mudah. Banyak orang tahu bahwa kaisar telah menikah dengan putri dari dinasti sebelumnya selama hampir empat tahun.

Kasim Liu sangat paham tentang cerita lama itu. Kaisar telah membunuh putri dinasti sebelumnya dengan tangannya sendiri. Dia juga tidak pernah membiarkan orang menyebut nama sang putri.

Namun, hal pertama yang dilakukannya setelah naik tahta adalah memberi gelar anumerta kepada putri dari dinasti sebelumnya sebagai ratu dan memindahkan jenazahnya ke makam kekaisaran.

Jenazah sang putri telah lama hilang. Yang ada di makam kekaisaran hanyalah abunya.

Semua orang mengira kaisar berpura-pura, takut dicaci maki selama seratus tahun oleh rakyat, dan mendapat reputasi buruk karena membunuh istrinya.

Namun, kasim Liu merasa kaisar yang dingin dan tak berperasaan itu sebenarnya memiliki perasaan tulus untuk putri kecil itu.

Di tahun ketika raja barat daya baru saja naik tahta dan pangeran barat daya menjadi putra mahkota, kasim Liu pernah melihat dengan mata kepala sendiri kaisar menangis.

Namun, ia akan menyimpan rahasia itu sampai mati.

Kasim Liu masih ingat hari ketika kaisar menatap pohon plum merah dan tiba-tiba muntah darah.

Ia mencari tabib untuk memeriksa kondisi kaisar, tapi saat kembali, kaisar sudah tidak ada.

Ketika kasim itu mendekati aula sang putri, ia mendengar suara pelan, seperti isak tangis, lebih seperti tangisan penuh penyesalan dan kesedihan.

Kasim merasa seolah gila dan telinganya mulai mendengar hal-hal aneh. Bagaimana mungkin kaisar menangis? Sampai benar-benar merasa sakit?

Ia tak bisa menahan diri dan mengintip sedikit lewat celah pintu.

Ia melihat kaisar yang mulia dan dingin setengah berlutut di lantai, memegang setumpuk buku di tangan. Mata kaisar kosong, seolah jiwanya telah pergi.

Itu adalah pertama kalinya kasim Liu melihat wajah penuh kesedihan kaisar. Air mata kaisar terus mengalir. Ia tampak tak mampu berdiri tegak lalu perlahan membungkuk dan menangis.

Kasim itu ketakutan dan mundur beberapa langkah, tak berani melihat lebih jauh dan diam-diam meninggalkan aula sang putri.

Kemudian kasim Liu mengetahui bahwa buku-buku itu ditulis oleh kaisar dan sang putri ketika mereka masih suami istri.

Kasim itu sangat iba pada sang putri kecil, tapi ah, takdir paling kejam adalah kaisar.

Dia berjalan di jalan berdarah.

Dan telah membuang cintanya sendiri.

Kasim Liu tetap berada di sana sepanjang malam sampai suara batuk di aula itu perlahan mereda saat fajar.

Ia membawa air hangat ke kamar untuk menunggu kaisar mandi dan berganti pakaian. Kasim itu melirik mangkuk obat di kepala tempat tidur. Mangkuk penuh obat itu tidak tersentuh.

Kaisar tampak pucat dan lemah.

Salju di luar belum juga berhenti.

Melihat salju, kaisar berkata, “Salju turun lagi.”

Kasim Liu tersenyum, “Iya, sepanjang malam salju turun dan belum berhenti. Warna salju yang murni sangat indah.”

“Kau suka hari bersalju.”

Kasim Liu tak tahu siapa “dia” yang dimaksud kaisar, jadi pura-pura bodoh berkata, “Kau bisa membuat manusia salju di salju itu.”

“Iya.”

Kaisar kembali diam.

Dia tak hanya suka hari bersalju, tapi juga suka membuat manusia salju. Dia suka berlari tanpa alas kaki di salju sambil tertawa dan memanggil namanya.

Dia tidak akan berhenti sampai dia meninggalkan ruangan.

Hatiku mati.

Aku sudah mati setelah membunuh putri kecil itu sendiri.

Kaisar sedang dalam suasana langka untuk berjalan-jalan keluar. Sudah lama tidak ada pohon plum merah di istana dan tak ada bunga yang terlihat saat itu.

Ia berdiri di dekat kolam untuk sesaat ketika tiba-tiba mendengar suara tangisan dari balik batu taman.

Kaisar berdiri dengan tangan di belakang, mengerutkan dahi, dan berkata dingin pada kasim di belakangnya, “Pergi lihat ada apa.”

“Iya.”

Setelah kasim Liu melihat, ia melihat seorang gadis meringkuk di tanah dengan mata merah.

Mata kasim Liu tajam. Ia bisa melihat tanaman apa yang dimainkan gadis itu. Ia menghela napas, “Kau siapa? Bagaimana bisa ada di sini?”

Gadis itu berdiri, “Aku keluar dari istana permaisuri. Salju turun sangat deras hingga aku terjebak di sini. Aku harap kau bisa membantuku.”

Kasim Liu tak ingin berbasa-basi dengan gadis itu, jadi berkata, “Nona, lebih baik kau kembali.”

Kaisar benci melihat gadis yang naif dan genit.

Dan gadis di hadapannya sangat palsu.

Gadis itu tak menyerah. Ia melewati kasim Liu, keluar dari batu taman, dan melihat pria seperti angin dan bulan.

Wajahnya memerah, dan sebelum ia membuka mulut, pria di depannya berkata dingin, “Kasim Liu, usir orang ini keluar dari istana, dan cari tahu siapa yang mengirimnya.”

“Iya.”

Wajah gadis itu berubah pucat mendengar kalimat itu.

Kasim Liu bahkan tak berempati padanya. Kaisar yang bisa memperlakukan istrinya sendiri tanpa ampun tentu takkan lemah pada orang lain.


---

Kaisar sudah lama tidak kembali ke aula sang putri. Tempat itu masih dipertahankan seperti dahulu. Ia tak pernah menginjakkan kaki selama bertahun-tahun.

Ia selalu bermimpi tentang sang putri kecil. Ia bermimpi dia tersenyum bahagia sambil memanggil namanya.

Lalu ia terbangun dengan air mata.

Ia tahu takkan pernah bisa melupakannya.

Dalam empat tahun pernikahan itu, ia menjalani hidup yang sangat bahagia. Bersama sang putri, meski tidak melakukan hal istimewa, ia sangat bahagia.

Ia hancurkan semua itu dengan tangannya sendiri.

Ia bangun dari tempat tidur dan mengangkat tangan menghapus air mata di pipinya.

Ia benar-benar tak tahan. Ternyata tidak semenarik yang dibayangkan menjadi kaisar setelah mendapat tahta. Semua terasa membosankan.

Ia bahkan belum sempat memakai sepatu ketika pergi ke aula sang putri. Ia bahkan bisa mengingat tata letak interior dengan mata tertutup.

Ia tak peduli meski ada debu di tempat tidur, ia berbaring dan menutupi dirinya dengan selimut.

Ada surat di bawah selimut. Ia menarik surat itu dan melihat tulisan tangan yang sudah dikenalnya.

Tulisan tangan sang putri kecil tidak begitu bagus. Ia mengajarinya selama beberapa tahun sampai bisa memperbaiki kesalahannya.

Tulisan tangan sang putri sedikit mirip miliknya, tapi lebih indah.

Ia membuka amplop dengan gemetar. Kertas di dalamnya sudah menguning.

Setelah membaca surat itu, air matanya meluap dan ia tersedu-sedu.

Ia tertawa gila saat sinar bulan menerangi ruangan. Ia menyapu pedang di meja, bangkit dari tanah, dan maju.

Ia menggenggam gagang pedang—wajahnya yang pucat terlihat di pantulan bilah yang halus.

Pria itu berlutut dan menusukkan pedang ke hatinya. Sakitnya terasa seperti hatinya disobek.

Banyak darah mengalir dari dadanya, dan tubuhnya jatuh seketika.

Ia sendiri yang menghancurkan kebahagiaannya.

Ia membunuh orang yang paling dicintainya.

Ia tak bisa menyalahkan siapa pun.

Itu dia yang kejam.

Alangkah baiknya jika ada kehidupan selanjutnya.

Mata pria itu yang perih tak bisa lagi meneteskan air mata dan pakaiannya yang rapi sudah ternoda darah.

Pria itu perlahan menutup mata, kepala dipenuhi wajahnya yang tersenyum.

Ia ingin...

Ia ingin meraih dan menyentuhnya.

Ia benar-benar ingin.


---

Kaisar tidak mati. Meski pedang itu menguras seluruh kekuatannya, meski pedang itu menancap tepat di hatinya, ia tetap tidak mati.

Ia tidak bisa mati.


---

Ketika membuka mata, ia menemukan dirinya terbaring di kamar tidur istana kekaisaran. Ia bahkan tidak menemukan bekas luka di tubuhnya.

“Aku bagaimana bisa kembali?”

Kasim Liu berlutut dan berkata, “Yang Mulia, Anda keluar sendirian?!”

Kaisar tampak seperti kehilangan seluruh kekuatan sekaligus.

Ia tak bisa mati meski ingin.

Mulai hari itu, setiap malam kaisar bermimpi masa lalu—senyuman sang putri kecil dan kata-kata yang pernah dia ucapkan.

Dalam mimpi itu, mereka masih suami istri, peristiwa itu belum terjadi.

Tapi saat membuka mata, ia kembali ke kenyataan.

Istana dingin, orang-orang dingin.

Orang-orang percaya ia tidak mencintai istrinya.

Ya, cinta yang dalam tak bisa dilihat hanya dengan mata telanjang.

Dia sudah menjadi bagian yang tak tergantikan dalam hidupnya.

Dia satu-satunya bintang dalam dunianya yang gelap.

Ia memikirkannya setiap hari, dan setiap kali teringat, ia menyiksa dirinya sendiri.

Adapun isi surat itu?

Mungkin surat itu ditulis olehnya sejak lama. Ia berbohong padanya bahwa ia harus kembali ke barat daya untuk mengunjungi neneknya, tapi sebenarnya ia pergi ke barat daya untuk mengatur pasukan dan mempersiapkan pemberontakan.

Butuh berbulan-bulan.

Dia tidak mengeluh. Meski menulis surat, ia tidak mengirimkannya.

Putri kecil itu berkata dalam suratnya, “Ah Yu, aku merindukanmu.”

Orang tanpa hati itu tergerak sampai mati.

Kematian adalah kemewahan baginya.

Hatinya sudah berdarah.

Ketika putri kecil itu mati, dia mungkin merasakan sakit lebih dari dirinya.



— 🎐Read on onlytodaytales.blogspot.com🎐—





***




Comments

Donasi

☕ Dukung via Trakteer

Popular Posts