Shocking! The Broke Campus Heartthrob Is My Child’s Father – Bab 11-20

Bab 11
Hari ini Jiang Ruo Qiao ada jadwal pemotretan.

Toko hanfu milik nyonya pemilik sudah punya reputasi bagus di kalangan industri. Fokus pada desain orisinal dengan kualitas bahan dan pengerjaan yang tak tertandingi. Karena itu, harganya tentu lebih mahal, dan penjualannya memang tidak terlalu meledak, tetapi selama beberapa tahun terakhir, basis pelanggannya selalu stabil. Dulu Jiang Ruo Qiao juga tertarik karena alasan ini—kalau nyonya pemilik itu tipe orang yang hanya mengejar keuntungan cepat, dia pasti tidak akan setuju.

Hubungan antar manusia saling timbal balik, harga yang ditawarkan nyonya pemilik memang tinggi, maka Jiang Ruo Qiao pun semakin serius dalam pekerjaannya.

Setiap kali pemotretan, kondisinya selalu yang terbaik.

Sebenarnya pekerjaan ini, dibandingkan dengan menjadi guru les privat, uangnya datang lebih cepat. Terutama sekarang, pekerjaannya sudah cukup stabil. Di antara para teman sekelasnya yang masih sering minta uang dari orang tua, dia sudah termasuk punya sedikit tabungan. Tapi dia juga sangat sadar, pekerjaan ini tidak bisa ia tekuni terlalu lama. Sekarang semua perhatian dan eksposur yang bisa dia dapat sudah terkumpul, jadi dia juga harus mulai memikirkan masa depannya.

Kontraknya dengan nyonya pemilik akan habis di akhir tahun.

Dia juga tidak berniat memperpanjangnya.

Seakan tahu apa yang sedang ia pikirkan, saat istirahat di tengah pemotretan, nyonya pemilik sengaja datang untuk mengajaknya ngobrol.

“Tim desain sudah mulai mengerjakan koleksi musim dingin,” kata nyonya pemilik sambil tersenyum. “Begitu salju pertama turun di Beijing, tempat-tempat seperti taman akan penuh orang. Aku sudah pesan tempat lebih awal, kamu paling terkenal karena pemotretan waktu salju tahun lalu, masih ingat?”

Tentu saja Jiang Ruo Qiao ingat.

Salju pertama tahun lalu, dia juga ikut rombongan ke lokasi syuting.

Langit dan bumi tertutup putih, dia mengenakan mantel merah, saat itu sedang tertangkap kamera oleh fotografer. Dia sedang menengadah menatap salju yang turun, salju jatuh di bulu matanya dan mencair menjadi tetesan bening.

Sebenarnya dia bukan penggemar hanfu sejati.

Sebelum bekerja di sini, dia benar-benar tidak paham soal ini. Beberapa kali saat jalan-jalan di taman melihat orang berpakaian tradisional, dia mengira itu hanfu.

Sampai sekarang pun, dia belum benar-benar tenggelam di dunia hanfu.

“Ya, aku ingat.” Jiang Ruo Qiao ikut tertawa. “Waktu itu hampir mati kedinginan.”

Nyonya pemilik berkata seperti tidak sengaja, “Kamu pasti tahu, aku tidak hanya punya satu toko ini, masih ada beberapa toko fisik yang harus aku urus. Kadang-kadang aku merasa tenaga dan waktu tidak cukup. Ruo Qiao, aku rasa kamu sangat berbakat. Toh kamu juga akan lanjut kuliah pascasarjana dan belum masuk dunia kerja. Bagaimana kalau pertimbangkan untuk menjadi rekan bisnis? Itu tidak akan mengganggu kuliahmu.”

Jiang Ruo Qiao tahu nyonya pemilik benar-benar ingin menahannya, bukan semata karena keuntungan. Dia merasa nyonya pemilik benar-benar merasa cocok dengannya.

Bagaimanapun, dia hanyalah seorang mahasiswa yang belum lulus.

Jiang Ruo Qiao menunduk berpikir sejenak, lalu tersenyum dan menggeleng pelan.

Nyonya pemilik tampak kecewa, tapi seperti sudah menduga sebelumnya.

Tawaran yang diberikan nyonya pemilik memang sangat menggiurkan, tapi Jiang Ruo Qiao benar-benar tidak ingin terikat dengan toko ini. Sekarang hubungan mereka baik karena belum ada konflik kepentingan. Tapi kalau sudah jadi mitra bisnis, semua harus profesional. Bila suatu saat visi mereka tidak sejalan, bisa banyak konflik, dan dia tidak yakin bisa menang dari nyonya pemilik.

Kelihatannya ini peluang besar—asal dia mau, bisa langsung jadi pemilik kedua. Tapi sebenarnya, ruang untuk berkembang sangat kecil. Pemilik kedua tetap bukan pengambil keputusan utama. Lebih baik dia lulus lalu kerja di perusahaan besar, setidaknya bisa kumpulkan banyak pengalaman kerja. Di sini, apa yang bisa dia pelajari?

Kalau suatu saat nyonya pemilik kehilangan minat dan menutup toko ini, bukankah dia tidak punya tempat mengadu? Tapi yang paling penting, dia tahu betul bahwa ini bukan jalan hidup yang ingin dia tempuh.

“Aku ingin tetap bekerja di bidang yang sesuai dengan jurusanku,” alasan yang ia berikan cukup masuk akal. “Kalau tidak, rasanya semua tahun-tahun belajar ini jadi sia-sia.”

Sudah beberapa kali nyonya pemilik mencoba membujuknya.

Sikap Jiang Ruo Qiao juga sudah sangat jelas.

Kalau begitu, lebih baik berpisah dengan baik.

Nyonya pemilik juga orang yang blak-blakan, “Baiklah, tapi kita tetap harus tetap jaga komunikasi. Jangan sampai putus kontak. Kamu di Beijing nggak punya keluarga, anggap saja aku kakakmu. Kalau butuh bantuan, jangan sungkan sama kakak, tahu nggak?”

Jiang Ruo Qiao merasa sangat beruntung, dan tentu juga bangga karena instingnya tajam.

Saat pertama kali melihat nyonya pemilik, dia langsung merasa bahwa ini orang yang lapang dada.

Setelah menyelesaikan pemotretan, hari sudah menjelang senja.

Saat ia kembali ke apartemen, ia sudah capek bukan main. Bahkan belum sempat membersihkan riasan, dia sudah rebah di sofa. Saat itu, ponselnya berdering—panggilan dari Lu Siyuan.

Begitu disambungkan, suara jernih Lu Siyuan langsung terdengar, “Xiao Qiao Xiao Qiao~”

Jiang Ruo Qiao tersenyum, “Siyuan Siyuan~”

“Kamu udah selesai kerja belum?” tanya Lu Siyuan.

“Baru saja,” kata Jiang Ruo Qiao sambil menatap ke luar jendela. Hari musim panas memang siang lebih panjang, sudah jam tujuh malam tapi belum gelap. Ia bertanya santai, “Kamu udah makan?”

“Lu Yicheng lagi masak,” jawab Lu Siyuan.

Jiang Ruo Qiao agak terkejut.

Menurutnya, anak seusia mereka biasanya cuma pesan makanan lewat aplikasi.

Tapi setelah dipikir, itu kan Lu Yicheng—ya, masuk akal.

“Kenapa kamu langsung sebut namanya?”

Lu Siyuan menjawab, “Aku putuskan mulai sekarang hanya akan panggil dia ‘Papa’ di depan cewek cantik.”

“Hah?”

Lu Siyuan yang baru lima tahun tapi punya naluri bertahan hidup tinggi langsung menambahkan, “Tentu saja, tidak ada yang lebih cantik dari Mama.”

Jiang Ruo Qiao tertawa, “Tidak perlu sampai segitunya. ‘Cewek cantik’ itu maksudnya siapa?”

“Tadi sore Papa ajak aku ke supermarket belanja, terus ada dua cewek yang minta nomor WeChat Papa,” Lu Siyuan tanpa sungkan “membocorkan” ayahnya. “Ah, juga bukan cewek, menurutku Mama lebih muda dari mereka.”

Dulu Lu Siyuan juga pernah memanggil orang lain dengan sebutan “tante”.

Tapi “tante-tante” itu tidak senang. Lalu Mama bilang, sebagian perempuan lebih suka dipanggil “kakak”.

“Begitu ya,” kata Jiang Ruo Qiao.

Lu Siyuan balik bertanya, “Kamu nggak penasaran?”

Penasaran apakah Papa-nya berani memberikan WeChat.

Jiang Ruo Qiao menjawab malas, “Nggak perlu penasaran, pasti dia nggak kasih.”

Lu Siyuan: “Wow~”

Lu Yicheng itu idola di kampus. Cari aja di forum, banyak banget postingan tentang dia. Alasan kenapa dia lebih populer dari Jiang Yan adalah karena dia “menjaga diri”… walaupun kata itu agak berlebihan, tapi setelah banyak bukti, memang benar dia tipe cowok yang tidak tertarik pacaran, tidak punya waktu juga. Siapa pun cewek cantik dari jurusan mana pun yang mencoba mendekat, selalu ditolak halus.

Kalau dia bisa kasih WeChat ke cewek asing di supermarket, dia bukan Lu Yicheng lagi namanya.

“Lu Yicheng udah selesai masak~” Lu Siyuan bertanya, “Xiao Qiao, kamu makan malam apa?”

Sejak menerima panggilan itu, Lu Siyuan semakin terbiasa memanggilnya begitu.

Jiang Ruo Qiao juga merasakan kalau Lu Siyuan ini anak kecil yang cukup dewasa. Dia dan Lu Yicheng memang seperti ayah dan anak. Keduanya lebih dewasa dibanding teman seumuran.

Karena itu mereka bisa ngobrol senyaman ini.

Lu Siyuan bisa mengikuti ritmenya, dan dia juga tidak perlu memperlakukan Lu Siyuan seperti anak kecil.

“Aku tadi makan sedikit nasi kotak, nggak ada nafsu makan.” Jiang Ruo Qiao berpikir, lalu ingat harus memberi contoh baik pada anak kecil, “Tapi, nanti aku akan makan buah.”

“Aku lihat dulu ya,” Lu Siyuan meloncat dari sofa, berlari ke meja makan, “Ada telur orak-arik tomat dan sayap ayam!”

Jiang Ruo Qiao: “Bagus, ada lauk dan sayur, kamu makan banyak ya.”

“Iya! Besok aku boleh telepon kamu lagi nggak?”

“Boleh.”

“Yay!”

Kebahagiaan anak kecil memang sesederhana itu.

Meski dia juga sedih karena Mama belum mencium pipinya atau membacakan dongeng, tapi Mama tetap Mamanya—itu sudah cukup.

Cium-cium pasti akan datang!

Dongeng juga akan menyusul, jangan buru-buru!

Setelah makan, Lu Yicheng mulai menyiapkan materi pelajaran untuk besok.

TV di rumah sinyalnya jelek, jadi Lu Yicheng kasih ponsel ke Lu Siyuan. Tapi dengan syarat, “Hari ini karena kamu sangat baik, boleh main 20 menit. Tapi cuma 20 menit.”

Inilah yang membuat Lu Siyuan merasa Papa muda ini sangat menyenangkan.

Papa bahkan mengizinkannya main HP, meski waktunya dibatasi…

Lu Yicheng memang belum punya pengalaman jadi ayah. Dia bukan versi masa depan dari dirinya yang sudah lima tahun jadi Papa.

Untuk mendidik anak, dia masih belajar sambil jalan.

Lu Siyuan melihat-lihat ponsel. Walau belum bisa baca banyak huruf, dia cukup lihai main HP. Dia melihat ikon sebuah game, langsung klik masuk. Akun sudah login otomatis. Begitu masuk, muncul notifikasi ada yang ajak main tim. Tanpa pikir panjang, dia tekan tombol ‘terima’.

Setelah suara bising sesaat, muncul suara laki-laki malas: “Aneh, Lu selalu jarang online.”

Lu Yicheng yang sedang menyiapkan pelajaran langsung menoleh tajam.

Dia meletakkan pena, duduk di samping Lu Siyuan, dan melihat bahwa ternyata putranya sedang main game.

Untung belum buka mic. Lu Yicheng langsung menegur, “Kamu nggak boleh main game.”

Lu Siyuan dengan mata bulat tak bersalah menjawab, “Aku asal pencet.”

Tentu saja bohong.

Lu Yicheng jarang main game. Itu pun karena dipaksa teman sekamar. Kalau sempat dan bising terus, dia baru main.

Saat dia hendak cepat-cepat selesai dan keluar, tiba-tiba terdengar suara perempuan lembut: “Halo semua, aku dibawa masuk sama Kakak Jiang Yan. Nggak begitu bisa main, jangan benci aku ya.”

Lu Yicheng langsung terdiam.

Dua teman sekamarnya juga langsung heboh—

“Hah? Cewek??”

“Gue denger bener nggak sih? Jiang Yan bawa cewek main bareng??”

Jiang Yan tetap dengan nada malas: “Ya, adik perempuan.”

Lu Siyuan melihat ayahnya diam saja, heran dan menarik-narik bajunya.

Lu Yicheng baru sadar, menatap serius layar ponsel dan kirim pesan:
【Aku cuma main satu ronde. Cepat, aku ada urusan.】

Cewek yang dibawa Jiang Yan—Lin Kexing—nggak banyak ngomong.

Hampir sepanjang permainan diam. Menjelang akhir, dia bertanya, “Kakak Jiang Yan, tante-tante mau pergi makan seafood, kamu ikut nggak?”

Jiang Yan menjawab, “Nggak, kalian aja. Aku di kamar, males gerak.”

“Oh, kamu mau dibawain sesuatu nggak?”

“Gak usah.”

Lu Yicheng dan dua temannya diam saja.

Setelah permainan selesai dan Lin Kexing keluar dari game, salah satu temannya baru bersuara, “Gila, Jiang Yan kamu nekat juga, bawa cewek. Dari nada suaranya, kalian lagi di pulau ya?”

Jiang Yan: “Iya, adik beneran kok.”

“Ah, bohong! Nggak pernah denger kamu punya adik. Paling-paling sepupu atau saudara jauh?”

“Bukan, pokoknya adik aja.”

“Jiang Yan, lu bener-bener nekat. Nggak takut Jiang Ruo Qiao marah?”

Jiang Yan tertawa sambil mengumpat ringan: “Dasar, itu adik beneran, bantuin naikin peringkat, masih kecil juga.”





— 🎐Read only on blog/wattpad: onlytodaytales🎐—


Bab 12

Sebenarnya, selain Jiang Yan, dua teman sekamar lainnya juga punya hubungan yang agak rumit dengan Lu Yicheng.

Keduanya pernah mengingatkan Jiang Yan dengan nada bercanda, sayangnya Jiang Yan sama sekali tak menganggap serius. Dari hatinya yang paling dalam, ia hanya menganggap Lin Kexing sebagai adik perempuan. Lagi pula, dia hanya bermain satu ronde game bersama Lin Kexing untuk naik peringkat, bukan hal yang sering dilakukan, ini pun baru pertama kali.

Hubungan keempat orang itu cukup baik, tapi “cukup baik” bukan berarti mau terlalu mencampuri urusan pribadi masing-masing.

Cukup sampai di situ saja.

Setelah Lu Yicheng keluar dari game, dia membuka aplikasi “Erge Duoduo” lalu menyerahkannya pada Lu Siyan.

Lu Siyan melihat sekilas: “……”

Yah, boleh juga.

Dia sangat pandai menyanyi dan suka mendengarkan lagu, adalah “dewa lagu” di taman kanak-kanak.

Ayah dan anak itu tidak membahas lagi soal game. Lu Yicheng kembali ke meja belajarnya dan melanjutkan mengerjakan tugas, ujung penanya sempat berhenti di atas kertas sejenak, lalu kembali menunduk tanpa terganggu dan membaca buku.

Keesokan siangnya, setelah pulang dari rumah seorang siswa, Lu Yicheng dengan cepat memberi makan Lu Siyan, lalu langsung mengantarnya ke apartemen tempat Jiang Ruoqiao tinggal.

Sebelum berangkat, Lu Siyan sudah memenuhi tasnya dengan barang-barang.

Biasanya siang hari, Lu Yicheng cukup sibuk. Rumah siswa pertama tidak terlalu jauh dari rumahnya, naik bus hanya tiga sampai empat halte. Tapi rumah siswa di siang hari itu cukup jauh, hanya perjalanan dengan kereta bawah tanah saja sudah memakan waktu lebih dari satu jam, ditambah satu jam pelajaran, semuanya hampir tiga jam.

Pagi hari Lu Siyan masih bisa ditinggal di rumah.

Tapi siang hari jadi agak sulit.

Jiang Ruoqiao sangat memahaminya, jadi mereka sudah sepakat bahwa selama dia ada waktu, Lu Siyan akan bersamanya selama beberapa jam itu.

Rumah Lu Siyan juga cukup jauh dari apartemen itu.

Apartemen yang berada di bawah nama sang bos wanita itu adalah jenis apartemen komersial, setiap lantai ada sekitar dua puluh unit, lalu lalang orang cukup ramai dan beragam, ada yang menjalankan bisnis, ada yang mengubahnya jadi homestay. Meskipun ramai, justru keramaian ini membawa keuntungan, tidak akan terlalu menarik perhatian. Jiang Ruoqiao pun memberikan nomor pintu kepada Lu Yicheng. Sumpah demi langit, ini murni karena dia mempercayai karakter Lu Yicheng.

Saat ayah dan anak itu sampai, Jiang Ruoqiao juga baru saja pulang kerja.

Bahkan belum sempat ganti baju, masih mengenakan hanfu.

Itu adalah hanfu musim panas berwarna ungu muda, model quju (rok tinggi sampai dada), bagian roknya dihiasi bordir yang sangat halus, berbahan lembut karena musim panas.

Kulit Jiang Ruoqiao sangat putih, tak berlebihan jika dikatakan seputih salju.

Wajah dan temperamentnya sangat cocok dengan hanfu, itulah salah satu alasan kenapa sang bos wanita tidak rela menggantikannya.

Saat ini pun, bos wanita itu belum menemukan orang lain yang lebih cocok daripada Jiang Ruoqiao di kehidupan nyata.

Dia masih muda, seperti bunga yang sedang mekar, tatapannya jernih, membawa aura akademis, dan yang lebih langka lagi, dia punya latar belakang tari, setiap gerak tubuhnya ringan dan anggun secara alami.

Ayah dan anak yang belum pernah melihat penampilannya seperti itu terdiam.

Lu Yicheng masih lebih tenang, hanya menatap wajahnya beberapa detik, lalu menunduk, saat menatap lagi, ekspresinya sudah netral.

Lu Siyan, sebagai fans nomor satu Jiang Ruoqiao, langsung mengelilinginya dua putaran, berseru takjub, “Ini keren banget! Bajunya cantik banget! Kenapa dulu kamu nggak pernah pakai ini?!”

Yang dimaksud Lu Siyan dengan “dulu”, bagi Jiang Ruoqiao sebenarnya adalah “masa depan”.

Memang benar, bahkan dirinya di masa depan pun tidak terus berkecimpung di bidang ini.

“Ini pekerjaanku,” Jiang Ruoqiao tidak mau menjelaskan terlalu banyak, dia terlalu lelah, malas-malas menoleh pada Lu Siyan, “Masuk aja.”

Hari ini Lu Yicheng mengenakan baju putih dan celana hitam, membawa tas ransel hitam.

“Aku pergi dulu.”

“Hmm.”

Jiang Ruoqiao menatap punggungnya sampai ia melangkah menjauh, baru kemudian menutup pintu.

Lu Siyan memang dididik dengan sangat baik, saat ini hanya berdiri kikuk di keset pintu masuk, tidak berani berlarian atau melihat-lihat.

“Tidak ada sandal untukmu,” Jiang Ruoqiao terdiam sejenak, “Langsung nyeker aja ya.”

Lu Siyan menunduk membuka sepatunya.

Barulah saat itu Jiang Ruoqiao memperhatikan tas kecilnya yang menggembung.

Dia mengangkatnya dan merasa berat, “Kamu bawa apa aja sih, berat banget.”

Lu Siyan seperti sedang menunjukkan harta karun, cepat-cepat membuka ranselnya, mengeluarkan satu per satu dengan tangan mungilnya——

Satu buah jeruk!

Satu buah apel!

Dua botol Yakult!

Dua butir telur asin!

Dan satu kotak Pocky rasa tiramisu.

Jiang Ruoqiao tertawa, “Kamu piknik, ya?”

Lu Siyan membetulkannya, “Ini buat kamu.”

“?”

Lu Siyan menunjuk makanan-makanan itu, “Ini semua kamu suka!”

Jiang Ruoqiao berpikir sejenak, memang benar… Dia mengambil kotak Pocky itu, “Yang lain oke lah, tapi yang ini aku nggak suka.”

Mata Lu Siyan langsung membelalak, merasa hidupnya tertipu, “Nggak mungkin!!”

“Aku memang nggak terlalu suka cemilan manis,” bahkan bubble tea pun jarang diminum.

Yakult mungkin… pengecualian, kali ya?

Lu Siyan: “Tapi kalau kamu nggak suka, kenapa dulu rebutan terus sama aku?!”

Dia pikir mamanya suka banget.

Jiang Ruoqiao mengelus dagunya, “Lidah orang tuh bisa berubah seiring waktu.”

Atau bisa jadi, di masa depan, dia berpura-pura suka biar anaknya nggak kebanyakan makan snack?

Lu Siyan: “……”

Setiap kali makan Pocky, mamanya selalu ambil setengahnya!

Hatinya terluka.

Jiang Ruoqiao: “Meski aku nggak suka, tapi ini kamu yang kasih, nanti aku makan setengah, gimana?”

Lumayan merasa terhormat, kan, anak kecil?

Lu Siyan memeluk kotak Pocky itu, “Enggak! Aku mau habisin semuanya!”

Tak satu batang pun tersisa.

Jiang Ruoqiao: “……Oke deh, kamu makan. Main sendiri ya, aku mau hapus make up dan mandi.”

Setelah menyalakan TV untuk Lu Siyan, Jiang Ruoqiao pergi ke kamar mandi dan baru keluar hampir satu jam kemudian, sudah bersih dan segar. Dia hanya mengenakan kaos longgar model dress, belum sempat bertanya Lu Siyan nonton apa, ponselnya berbunyi—video call dari WeChat.

Panggilan dari Jiang Yan.

Mereka memang video call setiap hari. Jiang Ruoqiao ragu sejenak, lalu bangkit dan berjalan ke ruang makan untuk menjawab.

Ini unit Loft, masuk langsung ke dapur dan ruang makan, kamar tidur ada di lantai atas.

Tidak ada sekat antara ruang makan dan ruang tamu.

Begitu tersambung, terlihat Jiang Yan sedang duduk di balkon vila menikmati angin laut.

“Udah selesai kerja?”

Kemarin Jiang Ruoqiao bilang padanya bahwa dia sudah lebih dulu kembali ke Beijing, tapi bukan untuk liburan, melainkan untuk syuting.

Jiang Yan sempat mau beli tiket buat pulang lebih awal ke Beijing, tapi setelah tahu dia kerja, niat itu pun dibatalkan.

Saat pacaran, kepribadian mereka sangat cocok. Siapa pun yang sedang sibuk kerja atau belajar, yang satu lagi takkan mengganggu.

“Iya.”

Jiang Yan berkata, “Ibu dan yang lain energinya luar biasa, habis makan langsung keluar buat belanja.”

“Jadi kamu sendirian di rumah?”

Jiang Ruoqiao memang sangat merindukan Jiang Yan.

Kali ini Jiang Yan ke Sanya, tinggal di vila milik keluarganya sendiri.

Dia tidak bilang, Jiang Ruoqiao yang menebaknya. Beberapa hari lalu dia tanya, sekarang kan bukan musim ramai turis di Sanya, sewa vila mestinya nggak mahal, dan Jiang Yan jawab tidak tahu, vilanya bukan sewa.

Saat mereka mengobrol, ada bibi rumah tangga yang datang dan berkata, “Tuan muda, tetangga sebelah ngajak makan. Katanya beli vila ini bareng waktu itu, sudah dua tiga tahun, baru kali ini ketemu pemiliknya datang liburan, jadi mau silaturahmi.”

Jiang Ruoqiao hanya mendengar sepenggal ini. Jiang Yan menyuruh bibi itu pergi dan lanjut ngobrol dengannya.

Tentu saja mereka tidak membahas soal vila sewaan lagi.

“Iya.” Jiang Ruoqiao asyik sendiri, tak sadar bahwa Jiang Yan sempat ragu cukup lama sebelum menjawab.

Sebenarnya dia tidak sendirian di rumah. Ada Lin Kexing juga.

Tapi menurutnya tak perlu diceritakan.

Kalau nanti harus menjelaskan hubungannya dengan Lin Kexing, dia akan terpaksa bicara soal keluarganya juga.

Dan dia belum mau membicarakan itu sekarang.

“Kok kayaknya kamu kurusan?” Jiang Ruoqiao tampak memperhatikan layar dengan seksama, lalu berkata.

Jiang Yan menyentuh wajahnya, “Masa sih? Nggak sadar. Tapi kamu tahu kan, aku memang nggak terlalu suka seafood.”

“Jadi bingung harus bilang kamu susah makan atau gampang ngikut. Nasi goreng telur sama kacang tanah aja udah lahap banget, tapi disuruh makan BBQ aja kayak disiksa.”

Jiang Yan tertawa keras, cepat-cepat minta ampun, “Aku emang nggak suka makanan ribet begitu.”

Antara laki-laki dan perempuan memang begitu, meskipun cuma ngobrol soal yang sepele, tetap terasa menyenangkan.

Perpisahan dengan Jiang Yan kali ini, Jiang Ruoqiao merasa sangat berat.

Tapi seberat apapun, tetap harus berpisah.

Tentu, kalau bisa berpisah dengan elegan, bahkan lebih baik lagi kalau bisa berdiri di posisi moral yang tinggi. Mantan pacar tetaplah koneksi tersembunyi—mungkin seumur hidup tak pernah dibutuhkan, tapi juga tak boleh diabaikan. Dengan latar belakang keluarga Jiang Yan, siapa tahu suatu hari nanti dia benar-benar membutuhkannya?

Berpisah dengan cara buruk jelas bukan gayanya.

Setelah mengobrol tentang berbagai hal, mereka mengakhiri video call yang berlangsung dua puluh menit.

Jiang Ruoqiao kembali dan baru sadar Lu Siyan entah sejak kapan mengecilkan volume TV.

Dia tidak menghindari menerima telepon dari Jiang Yan di depan Lu Siyan.

Anak kecil tetap harus belajar menerima kenyataan, ibunya kelak akan punya pacar lain juga.

Lu Siyan sepertinya juga tidak keberatan, atau mungkin dia tidak mengaitkan apa pun, karena topik pembicaraan Jiang Ruoqiao dan Jiang Yan sangat biasa.

“Nonton apa?” tanya Jiang Ruoqiao.

Lu Siyan tiba-tiba menepuk pahanya, “Aku inget! Suara orang tadi aku pernah dengar!”

Jiang Ruoqiao baru tersadar, “Oh, dia itu teman baik ayahmu.”

Pernah dengar itu wajar, cowok-cowok di kamar asrama memang akrab.

Eh.

Kenapa rasanya agak aneh penjelasan itu.

“Benar!” kata Lu Siyan, “Dia yang kemarin main game bareng ayah, yang bilang bantu adiknya naik rank!”

Jiang Ruoqiao: “……?”

Masalah ini serius sekali.

Dia segera duduk, menatap Lu Siyan dengan wajah serius dan bertanya, “Om yang mana? Siyan, kemarin terjadi apa?”

Melihat ekspresinya serius, Lu Siyan jadi agak takut juga.

“Kemarin aku mainin HP ayah, nggak sengaja buka game, terus ayah main bareng mereka, ada beberapa om yang ngomong, juga ada satu kakak cewek.”

Jiang Ruoqiao: “Kakak cewek? Itu dibawa sama om yang tadi video call dengan mama?”

“Kayaknya sih!” Lu Siyan menggeleng, “Aku juga kurang jelas, tapi dia bilang itu adiknya.”

Jiang Ruoqiao memasang ekspresi berpikir.

Setahunya, Jiang Yan nggak pernah bilang dia punya adik perempuan.

Sebenarnya, apa yang sedang terjadi?



— 🎐Read only on blog/wattpad: onlytodaytales🎐—


Bab 13
Pertengahan Agustus, cuaca masih sangat terik.

Sekarang bukan hanya Jiang Ruoqiao yang enggan keluar rumah, bahkan Lu Siyan, anak kecil yang biasanya penuh energi, juga tak mau meninggalkan kamar ber-AC.

Dengan bahagia ia menghela napas, “Di sini lebih sejuk daripada rumah Ayah!”

Jiang Ruoqiao belum pernah masuk ke rumah Lu Yicheng, hanya pernah berada di lantai bawah, itu pun rumah tua yang sudah cukup berumur.

“Rumah Lu Yicheng nggak ada AC-nya?” tanya Jiang Ruoqiao.

“Ada.” Lu Siyan mendesah seperti orang dewasa, “Tapi nggak sedingin di sini.”

Jiang Ruoqiao pun tak tahu harus berkata apa. Bagaimanapun, Lu Yicheng sudah sangat bertanggung jawab. Ia patut bersyukur karena yang dihadapinya adalah Lu Yicheng. Andai orang lain, apakah di usia dua puluh bisa seandil Lu Yicheng? Dalam kekacauan seperti ini, Lu Yicheng masih bisa mengatur semuanya, memberi anak ini tempat berteduh, tidak kedinginan dan tidak kelaparan. Kalau anak ini ikut dengannya, mungkin dia sendiri pun tak akan sebaik itu.

Lu Siyan punya kebiasaan tidur siang. Belum sampai pukul satu, ia sudah mengantuk. Sepasang mata besarnya mulai kehilangan cahaya, kepalanya mengangguk-angguk seperti anak ayam mematuk beras. Jiang Ruoqiao merasa anak ini sangat lucu. Setelah membaringkannya di sofa, ia naik ke atas untuk mengambil selimut tipis. Saat kembali ke bawah, anak itu sudah tertidur meringkuk.

Ia menyelimuti anak itu, berjongkok di samping, memandangi dengan saksama.

Saat ini, ia belum bisa dibilang punya perasaan khusus terhadapnya, tapi terhadap anak ini, rasanya berbeda dibanding dengan anak-anak lain.

Sedikit suka, tapi lebih banyak rasa takut.

Takut anak ini akan membawa begitu banyak masalah dalam hidupnya.

Namun yang aneh, rasa suka itu justru makin bertambah sedikit demi sedikit, sedangkan rasa takut tetap sama, tak bertambah dan tak berkurang.

Mungkin suatu hari nanti, rasa suka itu akan mengalahkan rasa takut.

Lu Siyan benar-benar tampan.

Ia membayangkan, masa bayi anak ini pasti juga sangat menggemaskan. Jiang Ruoqiao mendekat, melihat bahwa bulu mata anak ini panjang dan lentik, bisa jadi model iklan bulu mata. Wajahnya begitu proporsional, nyaris tak ada celah untuk dikritik. Rambutnya bergelombang alami seperti dia, kelopak matanya juga mirip, bahkan lesung pipi di sudut mulut pun sama.

Bagian mana yang mirip Lu Yicheng?

Mungkin hidung dan mulutnya saja.

Setelah menatap beberapa menit, kantuk pun datang menyergap Jiang Ruoqiao. Ia langsung naik ke atas dan masuk kamar untuk tidur. Desain apartemen tipe loteng seperti ini memang membuat kamar di atas tak tertutup sepenuhnya. Dari tempat tidur pun bisa melihat ke ruang tamu di bawah.

Kalau Lu Siyan bangun, pasti akan mencarinya.

Ibu dan anak itu, satu di atas dan satu di bawah, tidur dengan nyaman.

Musim panas memang saatnya menikmati AC.

Sebelum tidur, Jiang Ruoqiao selalu membiasakan diri menyetel ponselnya ke mode senyap. Ia tak mau ada yang mengganggu istirahatnya. Siapa pun itu.

Lu Yicheng keluar dari rumah siswa tempat dia mengajar pukul 14:45.

Orang tua siswa memaksa memberinya semangka besar. Konon semangka itu ditanam sendiri oleh kakek nenek anak tersebut, dan ini adalah yang paling manis. Lu Yicheng tak kuasa menolak, lalu membawa semangka itu masuk ke stasiun metro. Semangka itu sangat berat, mungkin lebih dari sepuluh kilo. Untung apartemen tempat Jiang Ruoqiao tinggal dekat dengan stasiun.

Lewat pukul tiga, matahari masih memanggang bumi.

Hampir tak ada pejalan kaki. Lu Yicheng berjalan cepat membawa semangka dan masuk ke gedung apartemen. Saat berada di dalam lift, ia baru sadar: datang begitu saja untuk menjemput anak, apakah ini pantas?

Bagaimana kalau mereka masih tidur?

Hari ini ia mengantar Lu Siyan ke tempat Jiang Ruoqiao karena dia mengirim pesan agar langsung datang.

Tapi setelah itu, tak ada konfirmasi boleh langsung naik atau tidak.

Karena hati-hati, Lu Yicheng setelah keluar lift tak langsung ke pintu apartemennya. Ia lebih dulu mengirim pesan: [Sudah bangun belum? Aku langsung naik jemput Siyan atau kamu antar ke bawah?]

Ia menunggu sepuluh menit, tak juga ada balasan.

Mungkin mereka masih tidur.

Haruskah ia membangunkan mereka? Atau lupakan saja.

Lu Yicheng berpikir sebentar, lalu membawa semangka menuju tangga darurat dan duduk di sana. Memang panas, tapi kalau hati tenang, badan pun ikut dingin. Ia mengeluarkan ponsel dan mulai menghafal kosa kata.

Sepanjang hidupnya, Lu Yicheng tidak pernah menyia-nyiakan satu menit pun.

Ia tahu dirinya bukan orang jenius.

Ia juga sadar, kondisi hidupnya tak semanis orang lain, jadi dia harus lebih giat dari siapa pun — dalam belajar dan dalam hidup.

Menjelang pukul empat, Jiang Ruoqiao lebih dulu bangun.

Setelah beberapa saat benar-benar sadar, ia meraih ponsel dari bawah bantal, masih mengantuk saat menyalakan layar, dan melihat pesan dari Lu Yicheng.

Ia langsung membalas: [Kamu udah sampai? Di mana?]

Lu Yicheng langsung membalas: [Di luar apartemen.]

Sebenarnya ia ingin bilang bahwa ia di depan pintu atau di tangga darurat.

Tapi setelah berpikir, takut Jiang Ruoqiao merasa terganggu. Sampai sekarang, ia masih tak tahu bagaimana bersikap terhadap Jiang Ruoqiao. Dulu saat ia masih jadi pacar Jiang Yan, mereka juga sering makan bersama. Waktu itu, diam saja tak masalah.

Sekarang?

Ada seorang anak. Mereka tak mungkin tidak bicara, tak mungkin tidak berurusan.

Tapi masalahnya, selain anak itu, mereka tidak punya hubungan lain. Bahkan anak itu pun bukan hasil dari hubungan mereka sekarang. Jiang Ruoqiao masih pacarnya Jiang Yan, sedangkan dia adalah teman, teman sekamar, sekaligus sahabat Jiang Yan.

Ini soal yang terlalu rumit.

Begitu rumit sampai Lu Yicheng pun tak tahu bagaimana cara menyelesaikannya.

Ia hanya bisa berhati-hati.

Kalau Jiang Ruoqiao tidak mempersilakan dia naik, berarti dia memang tak seharusnya naik. Kalaupun sudah naik, tetap tak boleh masuk rumah. Duduk di tangga darurat seperti ini saja — kalau Jiang Ruoqiao tahu — mungkin akan dianggap aneh?

Sayangnya, sementara Lu Yicheng berpikir macam-macam dan otaknya seperti ikut debat akademik, Jiang Ruoqiao hanya punya satu permintaan: [Pas banget, di luar apartemen ada toko. Tolong beliin satu pak obat nyamuk listrik, ya. Makasih.]

Lu Yicheng: “……”

Ia membalas: [Oke.]

Ia pun bingung.

Semangka ini benar-benar berat. Kalau ditinggal di sini, apakah akan ada yang mengambilnya?

Akhirnya, ia pun membawa semangka turun lagi, keluar di bawah matahari yang masih menyengat. Ia berjalan cepat ke toko, membeli obat nyamuk listrik, lalu kembali membawa beban berat itu ke gedung apartemen.

Dari bawah, ia mengirim pesan: [Aku naik, atau kamu turun?]

Jiang Ruoqiao merasa sangat kesal.

Terlalu kesal.

Kenapa orang ini ribet sekali?

Baru siang tadi naik ke atas, masa sudah lupa nomor apartemen?

Jiang Ruoqiao: [Naik.]

Dia memang ingin bicara sesuatu dengannya.

Lu Yicheng pun masuk ke lift, menekan lantai, sampai di depan pintu, dan mengetuk.

Jiang Ruoqiao membukakan pintu. Lu Siyan baru saja bangun tidur, masih ada sisa ngambek, duduk di sofa sambil makan dan melamun.

Perhatian Jiang Ruoqiao langsung tertuju pada semangka besar itu. “Itu?”

Lu Yicheng menjelaskan, “Dari orang tua siswa.”

Ia menambahkan, “Manis banget. Kamu suka semangka nggak? Biar aku bagi separuh.”

Jiang Ruoqiao menggeleng, “Makasih, tapi aku nggak makan.”

Lu Yicheng tak memaksa. Ia juga tak menjulurkan kepala melihat ke dalam rumah — itu bentuk sopan santun. Jiang Ruoqiao bersandar di kusen pintu, menyilangkan tangan, “Kamu nggak buru-buru, kan?”

“Enggak.”

“Masuklah, aku mau nanya sesuatu.”

Lu Yicheng: “……”

Ia berpikir sebentar, “Aku di depan sini aja.”

Jiang Ruoqiao: “……Oke.”

Kebetulan juga, tak banyak orang lalu lalang. Ia melirik ke arahnya, melihat dahi Lu Yicheng sudah berkeringat, lalu membuka pintu lebar-lebar, membuat udara dingin langsung mengalir keluar dan menyentuh tubuh Lu Yicheng. Ia tampak menghela napas lega, meski sangat halus.

Musim panas memang hidup karena AC.

“Ada apa?” tanyanya.

Jiang Ruoqiao cukup perhatian. “Tunggu sebentar.” Ia berbalik masuk, memberi tahu Lu Siyan sesuatu, lalu membuka kulkas dan mengambil sebotol air mineral dingin. Ia kembali ke depan pintu dan menyerahkan botol yang masih berkabut itu, “Minum. Di kulkas cuma ada air mineral.”

Lu Yicheng ragu sejenak, lalu menerimanya. “Makasih.”

Meski terlihat kurus, tubuhnya sebenarnya cukup berisi dan kuat. Ia membuka tutup botol dengan mudah.

“Tadi Siyan bilang, kamu main game kemarin.”

Air yang belum sempat ditelan membuat Lu Yicheng tersedak dan terbatuk sampai mukanya merah.

Melihat reaksinya, Jiang Ruoqiao sudah tahu pasti, “Kelihatan banget ada yang disembunyiin.”

Lu Yicheng akhirnya bisa tenang, buru-buru menutup botol, tak jadi minum lagi.

“Kemarin kamu main game bareng Jiang Yan, ya?” tanya Jiang Ruoqiao. “Jadi, memang bener dia bawa cewek?”

Andai tahu ini yang akan ditanyakan, Lu Yicheng lebih baik tak naik ke atas.

Sekarang, sudah terlanjur.

Ia terdiam beberapa detik, lalu menjawab jujur, “Iya.”

Jiang Ruoqiao tetap tenang, “Dia bilang itu adik?”

“Iya.”

Jiang Ruoqiao tertawa, “Aku belum pernah dengar dia punya adik. Lu Yicheng, bilang aja terus terang. Kalau aku nggak tahu, ya sudahlah. Tapi sekarang aku tahu, kamu nggak perlu nutupin buat dia.”

Lu Yicheng berkata, “Itu bukan bagianku untuk memberitahu.”

“Dia yang harus bilang? Emangnya dia bakal bilang?” Jiang Ruoqiao pun memainkan kartu truf-nya. “Aku tahu kalian cowok-cowok saling membela, siapa berbuat apa, pasti ditutupi. Tapi hubungan kita apa? Kamu rela lihat aku,” ia menahan emosi, “ibu dari Lu Siyan, dibohongi terus? Dia selingkuh dan aku harus jadi orang terakhir yang tahu?”

Lu Yicheng: “……”

Setelah bicara, Jiang Ruoqiao pun menyesal.

Kenapa harus menyebut hubungan itu? Dia justru berharap Lu Yicheng bisa melupakan fakta bahwa dia adalah calon istri masa depan — seumur hidup pun tak apa.

“Bukan selingkuh,” jelas Lu Yicheng. “Jiang Yan bukan orang seperti itu. Katanya itu adik.”

“Adik sepupu?”

Lu Yicheng diam.

“Adik sepupu jauh?”

Masih tak menjawab.

Jiang Ruoqiao tak tahu harus berkata apa, “Bukan adik kandung, bukan sepupu, bukan kerabat, berarti dia juga kayak cowok-cowok lain yang suka ngaku-ngaku punya adik?”

Kalau Lu Yicheng cuma teman Jiang Yan, tentu Jiang Ruoqiao tak akan bicara sejauh ini.

Tapi sekarang Lu Yicheng... bukan sekadar teman dan teman sekamar Jiang Yan.

Dari sudut pandang tertentu, mereka berdua ini seperti naik ke perahu yang sama, jadi tak perlu lagi menutupi perasaan sebenarnya.

Jiang Ruoqiao tersenyum sinis, “Cowok-cowok memang suka banget, ya, ngaku-ngaku punya adik?”

Lu Yicheng menatapnya, “……”

Tak perlu menyudutkan semua pria juga, sebenarnya.

Namun dia tetap diam. Atau bisa dibilang, tak membela diri.

Karena saat ini, yang membuat Jiang Ruoqiao marah adalah Jiang Yan.

Apa pun yang ia katakan, tidak penting.




— 🎐Read only on blog/wattpad: onlytodaytales🎐—


Bab 14

Jiang Ruo Qiao juga tahu bahwa ucapannya barusan tidak terlalu tepat.

Bagaimanapun juga, Lu Yicheng juga seorang pria.

Topik itu lebih baik diabaikan saja. Ia kembali bertanya, “Kamu masih ingat ID game perempuan itu, kan?”

Meskipun bentuknya pertanyaan, nadanya penuh keyakinan. Ingatan Lu Yicheng memang luar biasa. Dia lebih dari sekali mendengar Jiang Yan memuji Lu Yicheng—katanya Lu Yicheng adalah orang yang paling rajin dan giat di jurusan mereka, dan ingatannya pun luar biasa...

Lu Yicheng terdiam beberapa detik, lalu mengangguk pelan.

Apa yang terjadi tadi malam tidak mungkin ia lupakan, apalagi menyangkut hal yang cukup sensitif.

“Namanya siapa?”

Lu Yicheng balik bertanya, “Kamu mau apa?”

Jiang Ruo Qiao menjawab, “Enggak mau ngapa-ngapain, cuma pengin tahu aja.”

Mereka saling menatap. Lu Yicheng menggenggam botol air mineral. Setelah beberapa saat, dia baru berkata pelan, “Namanya 'Bintang, bukan Bulan’.”

Jiang Ruo Qiao: “...?”

“Aku cuma bilang sekali. Enggak akan aku ulang.”

Jiang Ruo Qiao sudah mengingatnya. Kebetulan, ingatannya juga terkenal sangat baik.

Melihat sikap Lu Yicheng yang seperti ini, pasti masih ada sesuatu yang belum ia katakan. “Masih ada yang lain?”

Lu Yicheng: “Nggak ada.”

Sudut bibir Jiang Ruo Qiao terangkat sedikit, “Kamu bener-bener nggak jago bohong.”

Mudah sekali terbaca oleh orang lain.

Tapi, orang seperti ini, kalau benar-benar mau berbohong, mungkin seluruh dunia pun tidak akan bisa mengetahuinya.

“Sudahlah, aku nggak akan maksa kamu.” Jiang Ruo Qiao melepaskannya. Dia tahu Lu Yicheng juga berada dalam posisi sulit—bagaimanapun juga, si ‘brengsek’ yang mengaku-aku adik itu adalah sahabat baik Lu Yicheng. Dia mau cerita sejauh ini, mungkin karena melihat Jiang Ruo Qiao sebagai ibunya Lu Siyan.

Harus diakui, saat mendengar kalimat “sudahlah”, Lu Yicheng merasa sedikit lega—seperti mendapat pengampunan.

Tentu saja, ia juga merasa aneh.

Di mulut siapa pun, Jiang Ruo Qiao selalu digambarkan sebagai wanita pengertian, lembut, dan penuh empati. Bahkan Jiang Yan sendiri sudah beberapa kali mengatakan hal itu.

Tapi setelah dua hari ini berinteraksi langsung, Lu Yicheng merasa, kata-kata itu terasa agak janggal jika disematkan pada dirinya.

Jiang Ruo Qiao membalikkan badan, lalu berseru ke dalam, “Lu Siyan, boleh keluar sekarang.”

Anak kecil Lu Siyan muncul di depan pintu sambil menggendong ransel yang sudah kempes, cepat sekali tanpa menunda sedetik pun.

“Ayo pulang.” Kata Jiang Ruo Qiao, “Sampai jumpa besok.”

Lu Siyan melambaikan tangan, “Bye~”

Jiang Ruo Qiao menatap alat pengusir nyamuk di tangannya, lalu bertanya, “Lu Yicheng, alat ini berapa harganya? Aku transfer ke kamu.”

Lu Yicheng sebenarnya ingin menjawab, cuma beberapa puluh yuan, nggak usah dibayar, tapi mengingat hubungan mereka, dia merasa lebih baik dihitung saja, jadi dia mengeluarkan nota dari sakunya dan menyerahkannya, “Mau pakai tunai atau WeChat?”

Jiang Ruo Qiao: “Kasih aku kode QR-nya.”

Dalam hal ini, Lu Yicheng cukup oke.

Meskipun agak lamban, tapi dia bukan tipe yang sok basa-basi. Kalau cowok lain, pasti sudah bilang “nggak usah dibayar, anggap aja traktiran,” tapi Jiang Ruo Qiao paling tidak suka begitu. Dia bukan pacarnya, juga bukan gebetan. Masa cuma alat puluhan yuan harus ditraktir? Emangnya dia semiskin itu? Nanti malah bisa-bisa ada yang bilang, “Aku udah traktir kamu, berarti kamu harus setuju makan malam atau ngedate sama aku...”

Lu Yicheng mengeluarkan ponselnya, mengoperasikan sebentar, lalu menunjukkan kode QR-nya padanya.

Jiang Ruo Qiao memindai dan mentransfer.

Saat itu, Lu Siyan baru sadar bahwa ayahnya membawa semangka besar, langsung tercengang, “Semangka ini besar banget!”

“Ya, dikasih orang tua murid.” Jawab Lu Yicheng sambil menunduk melihat ponsel untuk mengecek transaksi masuk.

Lu Siyan langsung menyarankan, “Kalau begitu kasih separuh ke Xiao Qiao! Mama suka banget makan semangka!”

Jiang Ruo Qiao: “...”

“Aku nggak suka.”

“Setiap kali beli semangka di rumah, Papa pasti kasih Mama bagian yang paling manis dan di tengah. Mama jelas-jelas suka banget makan semangka~” kata Lu Siyan.

Lu Yicheng: “...”

Aneh rasanya.

Seolah ada dua versi dirinya. Yang satu adalah dia yang sekarang, satu lagi versi yang disebut-sebut oleh anak itu.

Sebenarnya, si anak juga jarang membicarakan masa depan. Lu Yicheng tidak pernah menyelidiki. Sedangkan Jiang Ruo Qiao juga tak tertarik mengetahui kehidupan pernikahan mereka di masa depan. Maka ketika tiba-tiba Lu Siyan mengungkit hal-hal itu di depan mereka, suasana jadi canggung.

Karena hubungan mereka masih sangat asing, dan juga... cukup rumit.

“Kami pergi dulu.” Lu Yicheng menggandeng tangan Lu Siyan dan berpamitan pada Jiang Ruo Qiao.

Jiang Ruo Qiao: “Iya, iya!”

Cepat pergi saja!

Melihat ayah dan anak masuk ke lift, Jiang Ruo Qiao buru-buru menutup pintu.

Di sisi lain, setelah keluar dari gedung apartemen, Lu Yicheng membawa Lu Siyan ke bawah pohon, lalu dengan ekspresi serius bertanya, “Apa yang terjadi hari ini, kamu sengaja biar dia tahu?”

Kecil-kecil, sudah punya banyak akal.

Benarkah ini anak kandungnya?

Lu Siyan juga menjawab dengan serius, “Kemarin aku dengar semua pembicaraan kalian di game!”

Orang dewasa selalu merasa anak-anak tidak mengerti apa-apa.

Tapi anak-anak juga manusia.

Tidak ada makhluk lain di dunia ini yang bisa merasakan emosi yang tulus sekuat anak-anak.

Apalagi, di masa depan, Lu Siyan memang sudah dicap sebagai anak ber-IQ tinggi.

“Kemarin orang itu bilang dia adikmu, dua om lain langsung kelihatan aneh!” kata Lu Siyan. “Termasuk Papa juga, waktu itu wajahmu berubah. Itu pasti bukan hal yang baik, aku tahu.”

Kenapa bukan hal baik, dia tidak tahu. Tapi perasaannya mengatakan, ini bukan hal yang baik.

“Jadi kamu sengaja cerita ke mamamu hari ini?”

Lu Siyan anak yang jujur, “Awalnya aku udah lupa, tapi Mama lagi video call, dan aku dengar suara Om itu.”

“Terus kenapa kamu bilang ke dia? Kamu tahu hubungan mereka itu apa?”

Lu Siyan menutup telinganya dengan tangan kecilnya, “Aku nggak mau dengar, aku nggak mau tahu.”

Ekspresi senyum Lu Yicheng sekilas muncul, lalu dia jongkok, dengan serius berkata, “Siyan, ini tidak benar. Cara kamu seperti itu salah. Aku harap kamu bisa jadi anak yang jujur dan punya integritas. Kebiasaan mengadu diam-diam itu tidak baik.”

“Apa yang salah?” Lu Siyan mengernyit. “Itu Mama-ku! Orang lain bohongin dia, aku tahu, masa aku nggak bilang?”

Lu Yicheng langsung terdiam.

Karena dia sadar, anak ini benar-benar punya pendirian sendiri.

Orang dewasa bilang dia salah, bilang perbuatannya tak layak, tapi dia membela diri dengan argumen yang tak bisa dibantah.

“Orang lain boleh bohongin dia, aku nggak boleh.” kata Lu Siyan. “Dia itu Mamaku. Mamaku.”

Maksud Lu Siyan sangat jelas.

Jiang Ruo Qiao adalah orang yang paling ia sayangi. Kalau dia tidak tahu orang lain bohong, ya sudah. Tapi kalau dia tahu dan tetap diam, bagaimana bisa dia mengaku dirinya sebagai anak kesayangan Mama?

Lu Yicheng menatapnya, “Jadi, kamu tahu hubungan mereka itu apa?”

Lu Siyan tidak menjawab.

“Siyan, anggap saja masalah ini sudah lewat.” kata Lu Yicheng. “Tapi untuk hal-hal lain, jangan lakukan hal yang sama. Benar atau tidaknya perbuatanmu itu tergantung dari niatmu. Kalau kamu ingin melindungi Mama agar tidak disakiti, maka aku minta maaf, aku salah sangka. Tapi kalau kamu memang sengaja ingin merusak hubungan mereka... maka aku tidak setuju. Kenapa? Karena kamu tidak tahu keseluruhan ceritanya.”

Lu Siyan mengangkat empat jari, “Sebanyak ini karena aku nggak mau orang lain bohongin Mama.”

Lalu mengangkat kelingking, “Cuma segini yang karena aku nggak mau mereka bareng!”

“Bagus. Kalau begitu, aku minta maaf. Maaf.” Lu Yicheng mengusap kepalanya. “Tapi kamu juga tahu, kamu sebenarnya tidak seharusnya ada di sini. Di waktu ini, aku dan dia tidak ada hubungan apa-apa. Bahkan kalau pakai skenario masa depanmu, aku dan dia baru punya kamu enam atau tujuh tahun lagi. Sekarang kami masing-masing punya kehidupan sendiri. Kedatanganmu lebih awal bukan berarti kami harus bersama. Kamu juga tidak boleh menganggap semua orang yang dekat dengan Mamamu itu salah. Mengerti?”

“Kami akan menjaga kamu baik-baik, tapi kami tidak akan mengubah jalan hidup kami hanya karena kamu datang. Siapa pun yang bersama Mamamu, dia tetap Mamamu. Hubungan kalian tidak akan berubah. Jadi kamu tidak perlu khawatir.”

Lu Siyan tampak mengerti tapi juga tidak sepenuhnya paham.

Meski lebih cerdas dari anak seusianya, dia tetaplah anak-anak. Dia punya prinsip sendiri, dan juga punya perasaan kecil dalam hatinya. Tapi dia tahu, apa yang dikatakan ayahnya itu benar.

“Oh.” Dia menjawab pelan.

Mereka berdua terus berjalan. Saat sampai di gerbang, Lu Siyan tiba-tiba berkata, “Tapi ke depannya aku tetap nggak akan bantu siapa pun bohongin Mama, termasuk Papa!”

Lu Yicheng tertawa, “Oke oke, aku ngerti.”

“Tapi kalau orang itu benar-benar mau bohongin dan menyakiti Mama, gimana dong?” tanya Lu Siyan.

Lu Yicheng: “Kamu sendiri kan yang bilang, kamu nggak akan bantu siapa pun bohongin dia.”

“Tapi...” Lu Siyan menggaruk kepalanya, “Kalau Papa gimana?”

Lu Yicheng hanya tersenyum, tidak menjawab.

Saat itu kebetulan ada pemuda lewat di dekat mereka, sambil main game di ponsel. Lu Siyan langsung seperti menyadari sesuatu, pikirannya seperti menemukan sesuatu di tempat sampah ingatan!

Papa muda ini sangat sibuk, sibuk mengajar, sibuk masak untuknya. Beberapa hari ini tak pernah main game. Tapi tadi pagi dan siang ini, bahkan waktu masak pun masih main game!

Padahal Papa nggak suka dan nggak sempat main game, kan?

Lu Siyan tiba-tiba sadar: Ternyata Papa juga sangat peduli soal ini! Dia tahu! Masalah Mama, Papa selalu yang paling peduli~




— 🎐Read only on blog/wattpad: onlytodaytales🎐—


Bab 15

Setelah Lu Yicheng dan Lu Siyan pergi, Jiang Ruoqiao langsung mulai sibuk.

Dia cukup mengenal Jiang Yan. Jika bukan adik kandung, bukan sepupu dekat, maka pasti orang yang sangat akrab dalam hidupnya. Kalau tidak, dengan kepribadiannya, tak mungkin diajak bermain game berkelompok bersama teman-temannya, apalagi dikenalkan sebagai “adik perempuan”. Karena sangat dekat, maka di era digital ini, orang itu pasti meninggalkan jejak di media sosial Jiang Yan.

Ada pepatah yang tepat: jika benar-benar ingin menyelidiki, setiap perempuan bisa jadi Sherlock Holmes.

Jiang Ruoqiao memang tidak terlalu peduli soal "perselingkuhan". Karena kalau sampai itu terjadi, hasilnya hanya satu: putus.

Sama halnya, pria yang "selingkuh" juga tidak pantas diberi keistimewaan untuk putus secara bermartabat.

Yang ingin dia pastikan sekarang hanyalah: apa sebenarnya hubungan Jiang Yan dengan "adik perempuan" itu. Barulah dia bisa menentukan langkah selanjutnya.

Adalah bintang, bukan bulan.

Dia tidak bermain game, juga tak perlu repot-repot mengunduh game demi mencari orang itu.

Interaksi di WeChat Moments Jiang Yan yang bukan teman tidak bisa dia lihat.

Jadi dia beralih ke Weibo.

Weibo Jiang Yan seperti akun zombie.

Jumlah pengikutnya sedikit, dia sendiri juga jarang memposting. Biasanya hanya me-retweet postingan Jiang Ruoqiao, tidak aktif sama sekali.

Namun Jiang Ruoqiao sangat sabar. Dia menggulirkan Weibo itu sampai paling bawah, tidak melewatkan satu pun komentar maupun retweet, dan akhirnya, dia menemukan jejak yang mencurigakan dari "suka" di sebuah postingan dua tahun lalu.

Dari akun bernama “Bintang Beneran”.

Meskipun sekarang Weibo belum punya fitur kunjungan akun, tapi Jiang Ruoqiao selalu berhati-hati. Dia langsung beralih ke akun kecilnya, baru masuk ke akun gadis itu.

“Bintang Beneran” adalah seorang mahasiswi muda.

Jumlah pengikutnya tak banyak, tapi dia sangat suka berbagi kehidupan sehari-hari.

Jiang Ruoqiao menelusuri seluruh isi akun Weibo-nya dan mendapatkan tiga informasi penting—

Pertama, gadis ini sangat kaya, kemungkinan besar anak orang berada.

Kedua, beberapa postingannya menggunakan lokasi dari "Mingmen Huafu", yang kebetulan adalah kompleks vila tempat tinggal Jiang Yan. Betapa kebetulannya.

Ketiga, gadis ini sedang berada di pulau!

Beberapa hari terakhir dia sering memposting dengan lokasi yang menunjukkan kawasan tertentu di pulau itu.

Apa mungkin kebetulan sebanyak ini?

Yang paling mencurigakan, saat mereka makan ayam kelapa beberapa hari lalu, gadis ini memotret meja makan, dan ada satu tangan masuk dalam bingkai. Jiang Ruoqiao langsung mengenali itu tangan Jiang Yan.

Lalu pada akhir tahun lalu, gadis itu memposting foto kembang api, dalam salah satu dari sembilan fotonya, terlihat siluet punggung seseorang.

Itu juga Jiang Yan.

Sepertinya gadis ini adalah “adik perempuan” yang dibawa Jiang Yan ke dalam game.

Jika hari ini masih ada yang belum dikatakan Lu Yicheng, maka pasti soal "adik perempuan" itu juga berada di pulau ini.

Jiang Ruoqiao bahkan tidak melewatkan komentar dan retweet Weibo gadis itu.

Butuh waktu hampir dua jam sampai dia mengetahui nama gadis itu: Kexing, baru saja genap delapan belas tahun, tadinya hendak kuliah ke luar negeri, tapi keluarga tak mengizinkan, jadi kali ini dia tetap kuliah di dalam negeri, dan mendapatkan surat penerimaan dari salah satu universitas di Beijing.

Perasaan gadis itu sangat peka. Beberapa postingan malam hari mengandung nada sedih dan manis sekaligus. Jiang Ruoqiao bisa langsung melihat bahwa gadis ini menyukai seseorang diam-diam. Mungkin ini hanya intuisi wanita, tapi ia yakin bahwa orang yang disukai Kexing adalah Jiang Yan.

Perasaan remaja memang selalu puitis, apalagi cinta diam-diam yang tak berbalas. Bahkan Jiang Ruoqiao pun tak bisa menahan rasa haru: sangat menyentuh.

Sangat cocok.

Latar belakang keluarga mereka seharusnya setara, toh tinggal di kompleks vila yang sama, dan sekarang liburan bersama. Pasti ini acara yang diatur para orang tua. Kalau bisa akrab, berarti orang tua mereka juga setara.

Kexing juga mengunggah selfie dan foto bersama Jiang Yan. Meski wajahnya bukan tipe kecantikan yang mencolok, tapi secara keseluruhan sangat nyaman dipandang, polos tapi anggun. Jiang Yan juga tampan, jika mereka berdiri bersama, tentu sangat cocok: pria tinggi tampan, gadis mungil manis.

Jiang Ruoqiao bilang tidak sedih, itu bohong.

Tapi rasa sedih itu sangat kecil.

Apa gunanya bersedih?

Apa bisa diuangkan? Selain membuat dirinya tampak lemah dan menyedihkan, ada manfaat lainnya?

Jiang Ruoqiao sudah pernah pacaran dua tiga kali. Perasaannya pada Jiang Yan juga sama seperti dua mantan sebelumnya. Dia memang benar-benar menyukai mereka. Kalau tidak ada rasa suka dan hanya mempertimbangkan kondisi, maka hubungan itu tentu hambar. Sekarang dia tidak berpikir sejauh menikah. Saat masih muda tentu harus menikmati indahnya cinta. Tapi kalau bilang dia sangat mencintai mereka, tentu itu berlebihan.

Sahabatnya pernah bilang, kalau benar-benar mencintai seseorang, putus tak mungkin terjadi dengan tenang.

Setiap cinta yang mendalam, ketika berakhir, pasti menyakitkan. Mungkin ada yang pada awalnya tampak tenang, tampak lega, tapi seiring waktu, kenangan itu akan muncul ke permukaan.

Tapi Jiang Ruoqiao? Dia tidak merasakan hal itu.

Pasangan yang benar-benar pernah saling mencintai, saat berpisah, sebagian besar akan mengambil keputusan untuk tak saling berhubungan lagi seumur hidup.

Sahabatnya bilang, Jiang Ruoqiao sebenarnya belum pernah benar-benar mencintai siapa pun.

Jiang Ruoqiao tidak percaya. Dia pikir itu tanda kedewasaan.

Haruskah cinta itu harus penuh gejolak, sampai ketika putus, menyakitkan luar biasa, tak bisa tidur semalaman?

Mengapa harus menyiksa diri sendiri? Menurutnya, dirinya sekarang sudah cukup baik.

Di sisi lain, saat Jiang Ruoqiao sedang merencanakan bagaimana cara mengakhiri hubungan ini dengan baik—

Di pulau itu, matahari mulai tenggelam di barat. Jiang Yan menemani ibunya jalan sore. Ibu dan anak itu jarang punya waktu santai seperti ini. Pemandangan pulau sangat indah. Saat ini, cahaya jingga menyelimuti seluruh daratan. Mereka berjalan di jalan kecil berbatu, samar-samar terdengar suara ombak memukul karang. Bayangan pohon kelapa, air laut yang jernih, pasir yang putih—sangat menenangkan.

Ibu Jiang Yan sudah berusia lebih dari empat puluh, rambut panjangnya disanggul rapi, mengenakan gaun panjang warna hijau kebiruan. Waktu memang meninggalkan jejak di wajahnya, tapi dia tetap tenang dan anggun.

Saat mereka sampai di suatu tempat, ibu Jiang Yan berhenti, menunjuk ke arah resor di kejauhan, matanya penuh kerinduan. “Bertahun-tahun lalu, ayahmu membawaku ke sini untuk bersantai. Dia bilang, ingin membangun sebuah resor di tanah itu.”

Wajah Jiang Yan langsung berubah tenang.

Dia bahkan tidak melihat ke arah sana.

Selama bertahun-tahun ini, dia sudah merasakan pahit manis dunia. Usia sepuluh tahun adalah titik balik dalam hidupnya. Sebelum usia sepuluh, dia adalah putra tunggal dari pengusaha Jiang Wenyuan, yang membangun kerajaannya sendiri, sukses dalam bisnis, bahagia dalam keluarga, punya anak laki-laki yang pintar. Sayangnya, dunia bisnis cepat sekali berubah. Jiang Wenyuan tak punya pondasi yang kuat, latar belakang keluarga juga kalah dibanding yang lain. Saat terjadi perubahan besar, dia tidak berdaya, hanya bisa menyaksikan kerajaannya runtuh.

Jiang Wenyuan meninggal dalam kecelakaan. Setelah kepergiannya, perusahaan Jiang runtuh, dan kemudian dinyatakan bangkrut.

Setelah usia sepuluh, Jiang Yan kehilangan rumah, dan juga ayah yang sangat dia kagumi.

Selama ini, Jiang Yan tak ingin mengenang masa lalu, juga tak ingin mendengar ibunya bercerita tentang kejayaan sang ayah.

Mereka harus menerima kenyataan.

Ibu Jiang Yan menghela napas, “Beberapa tahun belakangan ini, aku jarang memimpikan dia lagi. Sekarang kamu sudah kuliah, sudah dewasa, urusanmu juga bukan lagi tanggung jawabku. Tapi, A Yan, jangan lupakan ayahmu. Dia sangat menyayangimu. Jangan salahkan dia. Dia juga tak bisa memilih. Jika bisa, aku yakin dia paling ingin melihatmu tumbuh dewasa.”

“Jangan dibahas lagi.” Jiang Yan memotong, “Bu, aku tahu Ibu tidak bahagia. Gimana kalau Ibu berhenti kerja saja?”

Setelah keluarga Jiang bangkrut, ibunya tidak langsung jatuh. Dia masih punya anak. Saat itu, seorang teman lamanya kekurangan asisten, lalu menelpon dan menawarinya posisi itu. Mereka adalah teman semasa sekolah. Saat sekolah dulu, ibu Jiang Yan selalu yang paling cemerlang. Sekarang dia harus menjadi asisten temannya yang dulu kalah darinya. Tentu saja dia sempat ragu, tapi akhirnya dia setuju. Karena dia tak ingin keluar dari lingkaran sosial ini. Menjadi asisten Nyonya Lin membuatnya tetap berada dalam lingkungan atas, mendapat akses ke informasi yang tak bisa didapatkan orang biasa. Selain itu, gajinya juga tinggi. Dia bisa memberi anaknya kehidupan yang lebih baik.

Nyonya Lin membiarkannya tinggal di vila Lin. Di vila itu dia punya kamar sendiri, dan anaknya juga bisa tinggal di sana.

Dia tidak ingin anaknya keluar dari lingkaran ini.

Dia tidak ingin anaknya jadi orang biasa di tengah kerumunan.

Maka dia membiarkan anaknya menyatu dengan keluarga Lin, melihat bagaimana pewaris keluarga Lin bersikap, berbicara, dan bersosialisasi. Setiap bulan, dia tak menggunakan satu sen pun dari gajinya untuk dirinya sendiri. Dia belikan anaknya pakaian bermerek yang elegan, tiap kali keluar untuk belanja bersama Nyonya Lin, dia selalu membawa anaknya, agar tahu seperti apa gaya hidup orang kaya.

Dia sangat butuh pekerjaan ini. Karena hanya dengan ini, putranya masih bisa berpura-pura sebagai anak konglomerat, di mata orang luar.

Namun, pikirannya ini tidak akan dia beri tahu anaknya.

Bagi anaknya, bagi orang luar, dia hanyalah seorang ibu yang sepenuh hati mencintai anaknya.

“Berhenti kerja?” Ibu Jiang Yan tersenyum dan menggeleng, “Aku sudah sepuluh tahun di keluarga Lin, sudah terbiasa. Lagi pula, kalau berhenti kerja, kita tinggal di mana? A Yan, tenang saja, Ibu tidak akan jadi bebanmu. Ibu akan menabung sebanyak mungkin untuk mendukungmu saat kamu membangun rumah tangga nanti.”

Jiang Yan tidak tahu harus berkata apa.

Tapi ucapan ibunya memang ada benarnya. Bagaimanapun, dia sudah terbiasa hidup di keluarga Lin. Kalau harus pindah dan menyewa rumah, belum tentu ibunya bisa menyesuaikan diri.

Ibu Jiang Yan ingin membicarakan soal Lin Kexing, tapi saat sampai di bibir, dia urungkan kembali.

Belum saatnya.

Dia berharap putranya bisa seperti ayahnya dahulu—bangkit kembali dan meraih kejayaan.

Dia paling tahu, putranya sangat berbakat, punya kemampuan, punya kepintaran. Jika dia adalah sebilah pedang, maka sekarang dia adalah pedang yang belum diasah.

Yang dia butuhkan hanyalah batu asahan.


— 🎐Read only on blog/wattpad: onlytodaytales🎐—

Bab 16

Tentang Jiang Yan yang sedang berpacaran, Lin Kexing tahu, Ibu Jiang juga tahu.

Jiang Yan tidak pernah menyembunyikannya. Setelah resmi menjalin hubungan dengan Jiang Ruoqiao, ia langsung memberi tahu ibunya. Ia sangat serius dengan hubungan ini—mungkin orang luar takkan percaya—bahkan ia sudah memikirkan masa depan setelah lulus. Jiang Ruoqiao adalah perempuan pertama yang ia sukai, maka dengan mudah ia memikirkan tentang pernikahan, anak-anak, dan hidup bersama seumur hidup.

“Sudahlah, jangan bicarakan ini lagi.” Ibu Jiang berkata lembut. “Kamu dan pacarmu bagaimana? Tidak bertengkar, kan?”

Sikapnya sama seperti ibu-ibu pada umumnya.

Terbuka dan hangat.

Mengingat Jiang Ruoqiao, wajah Jiang Yan terlihat sedikit tersenyum. Kedua tangannya masuk ke saku celana, seolah santai, tapi kelembutan di matanya begitu nyata. “Kami baik-baik saja. Dia sangat baik padaku, dan kami juga baik-baik saja.”

Mereka bertemu pertama kali di perpustakaan.

Ia keluar, dan Jiang Ruoqiao masuk.

Saat itu sedang hujan, ia berdiri di depan pintu perpustakaan, melihat Jiang Ruoqiao datang dari balik tirai hujan sambil memegang payung transparan.

Dibilang cinta pada pandangan pertama mungkin terlalu berlebihan, tapi saat itu memang muncul ketertarikan. Saat ia melipat payung, air hujan tak sengaja terciprat ke tubuh Jiang Yan. Dia menoleh, tersenyum minta maaf.

Pertemuan kedua juga di kampus, saat ia sedang memindai sepeda bersama.

Ketiga, di luar kampus. Mereka naik kereta bawah tanah yang sama.

Tak perlu sampai pertemuan keempat, Jiang Yan sudah mengikuti dia keluar dari stasiun, berjalan ke arah Universitas A, dan memberanikan diri menyapanya.

Sayangnya, Jiang Ruoqiao tampaknya tak mengingat dua pertemuan sebelumnya.

Ia mengejar cukup lama, dan masih ingat jelas wajah Jiang Ruoqiao saat tersipu malu mengangguk menerima perasaannya.

Ibu Jiang melihat senyum di wajah anaknya dan diam-diam merasa khawatir, meski wajahnya tetap tenang. Ia pernah menyelidiki, gadis itu bukan orang lokal dan kondisi keluarganya tampaknya juga tidak terlalu baik. Namun ibu yang cerdas harus tahu kapan harus “melepaskan”. Makin dilarang, anaknya justru makin memberontak. Sejak dulu, banyak kisah cinta yang terasa dalam justru karena ditentang orang tua. Ketika merasa seluruh dunia menentang, sepasang kekasih bisa semakin erat.

“Kalau begitu, Ibu tenang.” Ibu Jiang menasihati lembut, “Kamu laki-laki, biasanya harus lebih mengalah. Kalau bertengkar, kamu yang mengalah. Mengalah takkan merugikan. Bersikaplah baik pada perempuan.”

Jiang Yan tersenyum. “Tenang saja.”

Dalam hatinya tetap merasa senang. Jika ibunya sehangat ini, maka kelak Ruoqiao pasti akan akrab dengan ibunya.

“Oh iya, Kexing juga akan masuk kuliah sebentar lagi.” Ibu Jiang berkata seolah tanpa sengaja. “Dia anaknya polos, nggak banyak akal, bahkan saya saja khawatir dia tak bisa mengurus hubungan dengan teman sekamarnya. Dia ngotot mau tinggal di asrama, padahal urusan sosial itu tidak mudah. Ayan, kamu sudah mengenalnya sejak kecil. Buat Ibu, dia seperti anak sendiri. Kedua kakaknya beda ibu dan jarang komunikasi. Ibunya juga sibuk. Kalau kamu sempat, tolong sesekali tengok Kexing di kampus. Kalau dia ada masalah, dia mungkin akan cerita padamu.”

Jiang Yan berpikir sejenak dan mengangguk.

Bagaimanapun, mereka pernah dibantu keluarga Lin, dan hubungan antara ibunya dan Kexing memang sangat baik.

Setelah ibu dan anak itu jalan-jalan keluar sebentar, mereka pun pulang. Jiang Yan masih ada urusan, jadi langsung naik ke atas. Ibu Jiang teringat sesuatu dan pergi ke dapur menyiapkan jus buah untuk Lin Kexing. Saat masih sibuk, Nyonya Lin dan Lin Kexing datang.

“Tadi saya lihat kamu dan Ayan baru pulang. Ayan ke mana?” tanya Nyonya Lin.

“Katanya ada urusan,” jawab Ibu Jiang. “Belakangan dia memang sibuk, bahkan ambil beberapa kerja paruh waktu.”

Nyonya Lin tersenyum. “Bagus kalau begitu. Anak muda memang harus sibuk.”

“Benar sekali.” Ibu Jiang menatap Lin Kexing dengan penuh kasih sayang. “Kexing, saya lihat kamu belakangan ini jarang makan sayur. Kurang selera ya? Saya buatkan jus buah, nanti kamu habiskan ya.”

Lin Kexing memandang buah dan sayur di meja, lalu melihat Ibu Jiang yang sibuk, merasa sangat terharu.

Bibi begitu baik padanya, bahkan lebih baik dari ibunya sendiri.

Hal-hal kecil yang tak diperhatikan orang lain, selalu diperhatikan oleh bibi. Ia selalu peduli, tak pernah mengabaikan.

“Kamu memang sangat perhatian,” puji Nyonya Lin. “Selama ini, benar-benar berkat bantuanmu.”

Ibu Jiang tertawa kecil. “Jangan begitu, itu sudah seharusnya. Oh ya, Bu Lin, sekarang anak perempuan suka merek perhiasan apa ya? Saya tidak begitu tahu soal itu.”

Keluarga Lin adalah keluarga besar di industri perhiasan. Nyonya Lin yang lama mendampingi suaminya tentu sangat tahu.

Setelah menyebut beberapa merek, Nyonya Lin penasaran. “Kenapa tanya begitu, mau beli buat siapa?”

Ibu Jiang tersenyum senang. “Iya, Ayan kan sudah punya pacar. Saya pikir, nanti kalau dia bawa pacarnya pulang, saya sudah siapin hadiah. Biar nggak salah langkah.”

Nyonya Lin menghela napas. “Anak-anak sudah besar ya, Ayan pun sudah pacaran. Menurut saya kamu nggak perlu terlalu tegang. Orang bilang calon menantu gugup ketemu ibu mertua, tapi sebetulnya yang gugup malah ibunya.”

Ibu Jiang menjawab, “Nggak bisa bilang begitu juga. Perempuan itu di rumahnya juga anak kesayangan. Kalau memang berjodoh, saya juga akan sayang dia seperti anak sendiri. Saya cuma takut dia nggak sreg sama keluarga kami. Ayah Ayan sudah tiada, kami juga tak punya rumah sendiri. Kalau dipikir, memang bikin khawatir…”

Menyebut pacar Jiang Yan, Ibu Jiang memang ada maksud pribadi.

Ia tak ingin Nyonya Lin curiga. Bagaimanapun, usia Ayan dan Kexing hanya terpaut dua tahun. Ia takut Nyonya Lin akan mulai waspada terhadap Ayan. Fakta bahwa Ayan punya pacar, punya sisi baik dan buruk. Tapi setidaknya untuk sekarang, Nyonya Lin tidak akan berpikir ke arah lain.

Lin Kexing awalnya senang, tapi sekarang ia tertunduk, tanpa sadar menggenggam tangannya erat-erat.

Ia memaksakan senyum. “Mama, Bibi, aku sudah janjian sama Peipei untuk ngobrol. Aku naik dulu ya, nggak ganggu kalian ngobrol.”

Nyonya Lin tertawa. “Iya, sana.”

Setelah itu, ia terus ngobrol dengan Ibu Jiang soal urusan ibu mertua.

Meskipun belum pernah jadi ibu mertua, tapi ia tetap tertarik dengan topik ini.

Ibu Jiang terlihat serius mendengarkan, tapi sesekali sudut matanya melirik ke arah Lin Kexing yang berbalik dan naik ke atas.

Beberapa hari ini Jiang Ruoqiao juga sedang banyak urusan. Setelah tahu siapa “adik perempuan” itu, ia tak punya tenaga untuk memikirkan soal Jiang Yan.

Besok hasil tes DNA akan keluar. Meskipun ia sudah menyiapkan mental, dan berusaha menerima kenyataan bahwa Lu Siyuan adalah anaknya, tapi menjelang datangnya hasil, ia tetap merasa gugup.

Ia sendiri tak tahu, apakah dirinya berharap hasilnya benar, atau tidak.

Pikir-pikir, besok harus bicara baik-baik dengan Lu Yicheng, tak peduli bagaimana hasilnya nanti.

Yang paling mendesak saat ini, sekarang sudah pertengahan Agustus. Kalau sudah masuk kuliah, mereka berdua takkan punya waktu untuk urus anak. Anak tak mungkin terus dikurung di rumah, dia harus sekolah. Tapi soal KTP bagaimana? Kalau urusan itu beres, masih harus mikirin TK... Baru dipikirkan saja sudah bikin pusing. Baik Jiang Yan maupun Sun Yan, harus rela antre menunggu dia selesaikan urusan ini dulu.

Memikirkan itu, Jiang Ruoqiao mengirim pesan ke Lu Yicheng:
[Besok hasil keluar, kita bicara baik-baik ya.]

Awalnya besok memang akan bertemu, tapi waktunya terlalu singkat. Jadi lebih baik janjian dulu.

Sekitar sepuluh menit kemudian, Lu Yicheng membalas:
[Boleh, tapi aku baru bisa setelah jam setengah empat sore.]

Jiang Ruoqiao: [Oke, besok cari tempat tenang buat ngobrol.]

Lu Yicheng: [Baik.]

Lu Yicheng tahu apa yang ingin dibicarakan Jiang Ruoqiao.

Ia sudah menyiapkan segalanya. Untuk urusan anak, ia ingin menyelesaikan sebagian besar masalahnya, dan membiarkan sebagian kecil diputuskan oleh Jiang Ruoqiao. Intinya, ia ingin menenangkan hati Jiang Ruoqiao. Dalam proses tumbuh kembang anak, kedua orang tua tak boleh absen. Ia bersedia menanggung sebagian besar beban dan kerepotan, asalkan Jiang Ruoqiao mau hadir di setiap momen penting anaknya.

Tetap prinsip yang sama: menakut-nakuti Jiang Ruoqiao tak akan membawa hasil apa pun.

Ia hanya ingin Jiang Ruoqiao tetap di sisi Siyuan, menjadi seorang ibu.

Ia akan menjadikan Jiang Ruoqiao ibu paling ringan bebannya, asalkan dia tetap hadir.

Lu Yicheng bukan orang yang terlalu baik sampai tak punya sifat, juga bukan orang suci. Ia sejak kecil sudah mengalami pahitnya menjadi yatim piatu. Ketika hidup memberinya ujian, reaksi pertamanya bukan lari, tapi menyelesaikannya. Karena jika bukan dia, tak ada orang lain yang akan menyelesaikannya. Tak ada yang bisa membantunya berdiri di depan.

……

Setelah mencuci muka dan sikat gigi, Jiang Ruoqiao pun bersiap tidur.

Saat banyak siswa menggunakan liburan untuk begadang, Jiang Ruoqiao tetap tidur awal dan bangun pagi.

Hanya saja malam ini kurang menyenangkan. Entah karena terlalu banyak pikiran, ia malah bermimpi.

Dalam mimpinya, ia seolah menjadi penonton dari sebuah novel.

Novel itu bercerita tentang kisah cinta yang berawal dari cinta diam-diam.

Tokoh pria mengalami kehancuran keluarga, lalu hidup bersama ibunya di rumah tokoh wanita. Saat masih belasan tahun, tokoh wanita sudah menyukai tokoh pria. Tapi karena pemalu, ia tak pernah berani menunjukkan perasaannya. Ia hanya bisa memendam rasa. Tokoh pria sangat hebat, berhasil masuk Universitas A, memulai hidup baru. Tokoh wanita tetap setia menemaninya, namun tahun itu, tokoh pria jatuh cinta. Ia menyukai tokoh wanita lain.

Tokoh wanita yang baik hati itu meski hatinya perih, tetap diam-diam mendoakan kebahagiaan mereka.

Belakangan, tokoh pria membawa kekasihnya bertemu sang ibu. Sang kekasih marah dan langsung putus. Ternyata dia tak benar-benar mencintai sang pria. Ia salah sangka mengira pria itu anak orang kaya, dan tak bisa menerima kenyataan. Pria itu memohon-mohon, tapi perempuan itu tak menoleh lagi.

Setelah patah hati, tokoh pria berubah.

Ia jadi murung dan ambisius, melakukan segala cara untuk mengejar kesuksesan. Untungnya, di tengah jalan, si wanita yang lembut tetap mendampinginya, menghangatkan dan menyembuhkannya. Kalau tidak, mungkin ia akan tersesat.

……

Akhirnya, tokoh pria meraih kesuksesan dan cinta. Sedangkan si wanita penuh tipu daya yang dulu mencampakkannya, berakhir tragis.

Yang sangat tidak menguntungkan adalah, si perempuan licik itu adalah Jiang Ruoqiao sendiri. :)




— 🎐Read only on blog/wattpad: onlytodaytales🎐—


Bab 17

Aneh sekali, benar-benar aneh—bagaimana bisa Jiang Ruo Qiao ternyata bukan tokoh utama dalam novel itu?

Penulisnya pasti buta!

Sebenarnya, mimpi yang tidak masuk akal pun pernah dialami Jiang Ruo Qiao. Saat kecil, dia pernah bermimpi menjadi peri, bermimpi memiliki kekuatan mengubah segala sesuatu menjadi emas, bahkan bunga tujuh warna dalam dongeng pun pernah ia miliki. Sekarang cuma bermimpi sudah membaca sebuah novel—itu hal kecil. Tapi yang membuatnya tidak nyaman adalah kenyataan bahwa dirinya hanyalah karakter pendukung yang akan disingkirkan. Bahkan fakta bahwa pacarnya adalah pemeran utama pria dalam cerita dan bersama perempuan lain pun jadi terasa tidak terlalu penting.

Setelah berbaring sebentar di tempat tidur, Jiang Ruo Qiao bangkit dan mencuci muka.

Saat menggosok gigi, ia kembali teringat pada mimpi itu—rasanya memang aneh.

Karena mimpi biasanya justru akan menjadi semakin kabur setelah seseorang bangun. Apalagi mimpinya yang terdahulu selalu terputus-putus, tidak nyambung antara satu bagian dan bagian lain, hampir tidak pernah ada mimpi seperti hari ini—semakin lama, isinya justru semakin jelas… jelas hingga terasa sangat nyata, seolah itu benar-benar terjadi dalam hidupnya.

Gila.

Setelah mencuci muka, Jiang Ruo Qiao duduk di sofa, sama sekali tidak berselera untuk sarapan.

Mungkin ia harus melakukan sesuatu.

Ia pun mengambil kertas dan pena dari tasnya, lalu mulai mencatat satu per satu alur cerita yang bisa ia ingat dari novel tersebut. Semakin banyak yang ia ingat, perasaan tak tenang di dalam hatinya semakin menguat.

Cerita-ceritanya terlalu nyata!

Misalnya, penjelasan tentang latar belakang keluarga Jiang Yan dalam buku itu.

Dan juga, hubungan masa lalu antara tokoh utama pria dan wanita.

Nama tokoh utama wanita adalah Lin Kexing, yang sudah diam-diam menyukai tokoh utama pria selama bertahun-tahun. Reaksi pertama Jiang Ruo Qiao adalah, bukankah itu si “Xingxing” itu? Semua detailnya cocok, bikin merinding kalau dipikir-pikir.

Dalam novel itu, semasa kecil Jiang Yan mengalami perubahan besar dalam hidupnya. Ibunya membawanya ke rumah keluarga Lin untuk bekerja. Ibu Jiang adalah sahabat lama nyonya Lin. Karena nyonya Lin baik hati, ia pun memutuskan membantu ibu dan anak itu. Akhirnya, selama lebih dari sepuluh tahun, mereka hidup di bawah satu atap, meskipun status mereka berbeda—yang satu adalah putri kandung keluarga Lin, dan yang satu lagi adalah anak dari asisten pribadi nyonya rumah.

Sejak kecil, tokoh utama wanita sudah menyukai pria itu. Namun pria itu tidak pernah punya perasaan romantis terhadapnya. Berkat didikan ibunya yang lembut dan penuh kasih, Jiang Yan hanya menganggap Lin Kexing sebagai adik perempuan. Ia memang memperhatikannya, tapi hanya sebatas itu.

Pria itu lebih tua dua tahun lebih darinya. Karena perbedaan usia dan status, setelah pria itu masuk universitas dan mulai tinggal di asrama, mereka semakin jarang bertemu. Sampai kemudian pria itu jatuh cinta pada gadis lain. Lin Kexing pun mulai menjalani masa-masa penuh derita. Di satu sisi, ia sadar betul bahwa Jiang Yan tidak mencintainya. Ia juga berusaha untuk merelakan dan memberi restu. Tapi di sisi lain, rasa cinta itu sudah tertanam terlalu dalam—ia tidak bisa benar-benar melepaskan.

Dalam cerita ini, sudah tentu tokoh utama pria dan wanita akan bersama pada akhirnya. Maka penulis pun menciptakan karakter pacar pertama pria itu sebagai wanita materialistis dan penuh kepalsuan.

Sudah jadi hukum dalam dunia novel: tokoh wanita pendamping hampir tidak pernah berakhir bahagia :)

Terutama jika pria itu pernah benar-benar mencintai wanita pendamping itu.

Kalau si pria tidak punya perasaan terhadap tokoh pendamping, maka kadang-kadang tokoh itu masih bisa diselamatkan oleh si penulis dan diberi akhir bahagia setelah berubah menjadi pribadi yang lebih baik…

Tapi masalahnya, dalam novel Petang yang Memanjakanmu Sampai ke Pernikahan, Jiang Yan benar-benar pernah mencintai tokoh pendamping.

Novel ini memang tidak terlalu panjang. Jiang Ruo Qiao mencatat semua yang ia ingat dengan gaya tulis yang hanya bisa dipahami dirinya sendiri. Entah cerita ini nyata atau tidak, mencatatnya tidak akan merugikan apa-apa. Toh, biasanya setelah beberapa hari, isi novel akan memudar dari ingatan, dan nama tokoh pun bisa saja sudah lupa.

Yang membuat Jiang Ruo Qiao merinding adalah: dalam novel itu ada satu adegan yang persis seperti mimpinya terdahulu.

Dalam mimpinya, ia menjadi pengamat ketika melihat Jiang Yan dan seorang wanita dikelilingi oleh banyak orang.

Setelah acara pesta, ia berjalan di jalanan dengan wajah penuh luka hati, dan Jiang Yan duduk dalam mobil sambil berkata dengan dingin: “Minta padaku. Kalau kau minta, aku akan melepaskanmu.”

Sialan!!

Dalam novel itu, pertemuan kembali antara pria dan tokoh pendamping memang terjadi dalam pesta tersebut.

Tapi anehnya, di novel tidak ada bagian yang menuliskan percakapan dalam mobil seperti yang ia mimpikan…

Apa penulis sengaja menghapus adegan antara Jiang Yan dan tokoh pendamping?

Masuk akal juga. Kalau penulis menuliskan adegan itu, justru bisa merusak cerita. Dalam novel, saat mereka bertemu kembali, tokoh utama pria dan wanita sudah saling jatuh cinta. Tapi dalam mimpinya, Jiang Yan terlihat masih menyimpan perasaan terhadap dirinya—mereka.

Kalau si pria masih belum bisa melupakan masa lalu bersama tokoh pendamping, dia bukan tokoh utama pria yang ideal!

Namun Jiang Ruo Qiao tidak berlarut-larut memikirkan hal ini.

Apakah cerita ini nyata atau tidak, masih belum bisa dipastikan.

Lagipula, apakah Jiang Yan kaya atau bukan, apakah dia pewaris keluarga kaya atau bukan, sekarang sudah tidak penting lagi. Mereka pasti akan putus juga. Siapa yang masih peduli apakah mantan pacarnya orang kaya? Apa kalau dia kaya, dia akan membayar uang ganti rugi karena menyakiti perasaan?

Namun ia harus memastikan—apakah buku yang muncul dalam mimpinya itu benar-benar ada.

Saat tengah hari, Lu Yicheng datang mengantar Lu Siyuan. Ia memperhatikan wajah Jiang Ruo Qiao yang tampak kurang cerah. Ia ragu-ragu, lalu bertanya, “Kamu sakit?”

Kalau sedang tidak enak badan, ia sebaiknya membawa anaknya pergi saja. Meski Siyuan anak yang tenang dan penurut, orang yang sedang sakit tetap butuh istirahat penuh.

Jiang Ruo Qiao menggeleng pelan, “Nggak.”

Paling-paling cuma hati yang terasa tidak enak.

Tapi hal ini tidak bisa ia ceritakan pada Lu Yicheng.

Ini hal yang tidak bisa dibicarakan dengan siapa pun. Orang lain pun tidak akan percaya bahwa ia mendapat cerita dari dalam mimpi. Di mata semua orang yang tahu, Jiang Yan adalah pacar yang sempurna, layaknya pria dari buku pelajaran.

“Oke.”

Lu Yicheng mengelus kepala Lu Siyuan. Tatapan mereka saling bertemu, seolah bicara tanpa suara—

Jangan ganggu mamamu.

Tahu, tahu.

Lu Yicheng pun pergi. Jiang Ruo Qiao lalu mengajak Lu Siyuan masuk. Setelah melepas sepatu, si bocah mengeluarkan sandal plastik dari tasnya sendiri. Saat Jiang Ruo Qiao berbalik, ia melihat anak itu duduk manis di karpet sambil mengenakan sandal. Akhirnya, wajahnya menunjukkan sedikit senyuman. Ia mendekat dan melihat sandalnya, lalu menghela napas, “Ini pasti ayahmu yang beli, ya?”

Selera Lu Yicheng benar-benar perlu diperbaiki!

Sandal seperti ini bahkan saat kecil pun ia tidak akan mau memakainya.

Lu Siyuan juga menirukan nada bicara Jiang Ruo Qiao dan menghela napas, “Ini yang paling murah.”

Kemarin waktu Lu Yicheng mengajaknya pulang, mereka lewat pasar. Setelah membeli sayur, ia melihat seorang nenek tua menjual sandal dengan gerobak. Ia baru ingat bahwa Jiang Ruo Qiao tidak punya sandal cadangan untuk Siyuan. Maka ia pun memilihkan sandal paling murah.

Murah sih, tapi Lu Yicheng mempertimbangkan kenyamanan.

Meski tidak terlalu bagus, sandal itu cukup empuk saat dipakai.

Meski mereka tidak membicarakannya, Jiang Ruo Qiao tahu bahwa Lu Yicheng menangani hampir semua urusan. Memang benar ia menitipkan Siyuan untuk dijaga, tapi siang hari biasanya Siyuan akan tidur siang, jadi tidak perlu terlalu dijaga. Makan, mandi, tidur—semuanya diurus oleh Lu Yicheng… Tapi setelah hari ini, ia tidak tahu apa yang akan terjadi. Ia pernah bertanya ke agen. Katanya, hasil tes akan keluar sore nanti, dan versi elektronik akan dikirim lebih dulu, lalu laporan fisik akan dikirim lewat pos.

Setiap kali Siyuan datang, Jiang Ruo Qiao akan membiarkannya menonton kartun selama sepuluh menit.

“Siyuan,” panggil Jiang Ruo Qiao tiba-tiba.

Lu Siyuan menoleh ke arahnya.

Setiap melihat wajah ini, Jiang Ruo Qiao merasa sangat aneh.

Wajahnya terlalu mirip dirinya saat kecil. Ia tidak pernah hamil, tidak pernah melahirkan, jadi tidak memiliki naluri alamiah ibu dan anak. Tapi setiap kali ia mencoba menghindar, melihat wajah ini membuat perasaan menghindar itu menghilang sedikit demi sedikit.

Ia pikir, mungkinkah Lu Yicheng juga merasakan hal yang sama?

Padahal mereka masih mahasiswa sekarang.

Jiang Ruo Qiao terdiam sebentar, “Nggak ada apa-apa, cuma mau tanya, nanti setelah bangun tidur, kamu mau makan es krim nggak?”

Mata Lu Siyuan langsung bersinar, “Tentu saja mau!!”

Ini hidup yang terlalu bahagia!

Mama mengizinkan dia nonton kartun, bahkan bertanya apakah dia mau es krim! Padahal biasanya dia cuma bisa diam-diam makan kalau mama nggak lihat.

Jiang Ruo Qiao tersenyum.

Saat Lu Siyuan tertidur, ia tidak langsung naik ke atas untuk tidur siang. Ia duduk di karpet ruang tamu, memandangi wajah anak itu yang sedang tidur.

Saat itu, ponselnya bergetar.

Tanpa membuka, ia sudah tahu itu pesan dari agen.

Benar saja. Saat layar dinyalakan, beberapa pesan masuk dari kakak agen yang ramah dan profesional—

[Miss Wang①, hasil tesnya sudah keluar. Saya kirimkan ya, silakan dicek.]

[Kalau ada pertanyaan selanjutnya, bisa langsung hubungi saya.]

[Tolong kirimkan alamat Anda, nanti saya kirimkan laporan aslinya. Tenang saja, semua dijaga kerahasiaannya. Saya sudah minta mereka menghapus semua data kalian dari sistem, tidak akan ada yang bisa melacak.]

Jiang Ruo Qiao menatap Siyuan yang sedang tertidur, menarik napas dalam-dalam, lalu membuka laporan itu.

Ia sendiri tak tahu harus senang atau kecewa.

Ternyata benar—ia dan Lu Siyuan… memang ibu dan anak, tidak diragukan lagi.

Hari ini Lu Yicheng datang sedikit lebih awal dari kemarin.

Jiang Ruo Qiao juga tidak menyembunyikannya. Sebelum ia datang, ia sudah mengirim hasil tes melalui SMS.

Hasil ini bukanlah kejutan besar.

Justru, kalau hasilnya berbeda, barulah mengejutkan.

Di saat itu, saat mereka saling memandang, suasana hati terasa rumit. Tahu memang tahu, sudah menduga memang sudah menduga, tapi saat hasilnya benar-benar tertulis hitam di atas putih, itu adalah hal yang berbeda. Karena sekarang, mereka akhirnya benar-benar berada di perahu yang sama. Mereka adalah belalang di satu tali.

Hubungan mereka, mulai hari ini, tidak bisa diputuskan lagi.

Hubungan ini bahkan lebih kuat daripada hubungan Jiang Ruo Qiao dan Jiang Yan.

Ya, mereka memiliki seorang anak.

Mereka tidak pernah pacaran, tidak pernah saling menggenggam tangan, tidak pernah terjadi apa-apa—tapi mereka punya anak bersama.

Lu Yicheng tahu bahwa perasaan Jiang Ruo Qiao saat ini pasti tidak enak. Ia khawatir semua masalah ini akan membuatnya menyerah. Maka ia memecah keheningan, dan berkata, “Ayo, kita bicarakan soal urusan kartu keluarga untuk Siyuan dulu.”

Jiang Ruo Qiao langsung pusing mendengarnya.

Kartu keluarga… kartu keluarga…

Masalah paling bikin sakit kepala!

Lu Yicheng membuka resleting tas, mengeluarkan dua lembar dokumen, dan menyerahkannya padanya. “Kartu keluarga harus diurus. Jangan pernah berpikir soal kartu keluarga palsu. Itu melanggar hukum. Kalau suatu hari ada masalah, akibatnya serius. Lagipula, nanti Siyuan juga harus masuk SD, SMP, SMA, bahkan kuliah—semuanya butuh dokumen resmi. Aku sempat berpikir untuk numpang ke keluarga orang lain. Di kampung aku juga ada yang bisa. Tapi aku pikir lagi, jangan. Bukan cuma repot, tapi juga Siyuan pasti nggak rela. Dia nggak mau secara hukum jadi anak orang lain. Jadi, kita harus tanggung sendiri semuanya.”

Jiang Ruo Qiao menunduk, “Iya, aku tahu. Tapi…”

Tapi gimana caranya urus kartu keluarga?

Lu Yicheng menatap bagian atas kepalanya, sudut bibirnya tampak ada senyuman samar, lalu ia batuk kecil, “Caraku adalah: daftar sebagai anak di luar nikah. Aku sudah tanya ke dinas terkait. Kalau aku bawa hasil tes DNA ke lembaga resmi, yang membuktikan bahwa aku dan dia punya hubungan darah, dia bisa masuk ke kartu keluargaku.”

Jiang Ruo Qiao terkejut, “Maksudmu masuk ke kartu keluargamu??”

Kedengarannya mudah, tapi beban sosialnya tidak kecil.

Misalnya, dia harus menjelaskan pada semua orang: bagaimana mungkin dia, yang baru 20 tahun, sudah punya anak umur lima tahun?

Fakta sebenarnya tidak boleh ia bocorkan sedikit pun. Jadi dia harus menerima semua tuduhan.

Hanya ini saja, sudah cukup untuk membuat orang memandangnya dengan curiga.

Mengurus kartu keluarga itu bukan hal susah. Yang sulit adalah, bagaimana mengambil langkah pertama.

Jadi, saat Lu Yicheng mengambil keputusan seperti ini dan sengaja membebaskan Jiang Ruo Qiao dari semua beban, bagi Jiang Ruo Qiao, ia tampak bersinar seperti dewa.

Membuatnya tak bisa menahan diri untuk mengingat satu kata—Bodhisattva.



— 🎐Read only on blog/wattpad: onlytodaytales🎐—


Bab 18

Jiang Ruo Qiao langsung berkata, “Kenapa?”

Kenapa Lu Yicheng melakukan ini?

Dia tahu sekarang anak di luar nikah juga bisa didaftarkan ke dalam Kartu Keluarga. Tahu memang tahu, tapi dia tetap tidak bisa mengambil keputusan itu.

Karena dia terlalu paham apa artinya itu.

Lu Yicheng memandangnya, ekspresinya tenang, nada suaranya pun datar, “Ini adalah cara terbaik yang bisa kupikirkan setelah mempertimbangkan untung ruginya. Pertama, di keluargaku sudah tidak ada orang lain, aku sendirian, satu Kartu Keluarga hanya ada aku. Mengurus ini tidak perlu melibatkan keluargaku, tak perlu memberi penjelasan pada siapa pun. Aku memang punya seorang bibi, tapi dia sudah menikah dan pindah ke luar kota bertahun-tahun lalu. Saat nenekku masih hidup, dia pun hanya pulang beberapa tahun sekali. Sekarang nenekku sudah tiada, dia tak akan kembali lagi. Sedangkan kamu, pasti masih punya keluarga, kan? Kartu Keluargamu pasti tidak hanya namamu sendiri.”

Jiang Ruo Qiao mengangguk pelan.

Dia agak ragu.

Karena situasi keluarganya, bahkan pada Jiang Yan pun dia belum pernah bercerita. Tapi melihat Lu Yicheng sebaik ini, dia hanya ragu beberapa detik sebelum akhirnya mengungkapkan sedikit, “Ayahku sudah tiada. Sejak kecil aku tinggal bersama ibu di rumah kakek nenekku. Kartu Keluargaku berada di rumah nenek.”

Lu Yicheng mengangguk pelan, “Kalau Stuyan masuk ke Kartu Keluargamu, pasti akan mengganggu orang tua itu. Aku rasa, untuk saat ini kamu belum ingin mereka tahu.”

“Ya, kesehatan kakek nenekku tidak begitu baik,” kata Jiang Ruo Qiao. “Mungkin dua tahun lagi aku akan bilang, tapi bukan sekarang. Aku juga tidak mau merepotkan mereka.”

“Itu wajar, aku mengerti,” jawab Lu Yicheng. “Kalau nenekku masih hidup, mungkin aku juga tidak akan mengambil keputusan ini. Kedua, umur yang tertera di KTP-ku lebih tua satu tahun dari umur asliku.”

Jiang Ruo Qiao memandangnya.

“Dalam pandangan petugas yang mengurus Kartu Keluarga, aku ini 21 tahun. Kalau dihitung umur Stuyan…”

Sampai di sini, Lu Yicheng tidak melanjutkan. Tadi dia masih tampak begitu tenang, kini dia pun jadi agak canggung.

Kalau dihitung-hitung, di mata orang luar, dia seperti menghamili orang saat umur lima belas atau enam belas.

“Nomor KTP-mu sudah dihafal Stuyan, kamu baru saja genap 20 tahun. Kupikir, kalau sampai ada orang mengira kamu hamil saat masih belasan tahun… itu tidak baik.” Lu Yicheng berkata, “Kalau tidak kamu yang disalahpahami, ya aku. Dipikir-pikir, tampaknya lebih bisa diterima kalau aku yang disalahpahami.”

Dia mengatakannya dengan simpel, tapi Jiang Ruo Qiao mengerti maksudnya.

Ada satu kalimat yang cukup terkenal: kalau jenis kelaminnya ditukar, komentar langsung tembus puluhan ribu. Memang, kalau masuk ke Kartu Keluarga Lu Yicheng, mungkin awalnya akan ada yang ngomongin, tapi cuma sebentar, paling jadi bahan gosip, bilang Lu Yicheng muda-muda sudah jadi ayah. Tapi kalau masuk ke Kartu Keluarga Jiang Ruo Qiao… urusannya bakal lebih rumit.

Jiang Ruo Qiao terdiam sejenak, lalu menatapnya, “Kamu punya syarat?”

Atau mungkin, permintaan tertentu.

Tak bisa dipungkiri, masuk ke Kartu Keluarga Lu Yicheng memang solusi terbaik untuknya.

Pertama, dia tidak perlu tampil langsung. Dia yakin, Lu Yicheng tidak akan menyebut-nyebut dirinya ke instansi terkait. Dia dan Lu Stuyan, dalam dokumen hukum, tidak akan punya kaitan sama sekali.

Kedua, Lu Stuyan punya Kartu Keluarga, jadi masalah sekolah pun beres.

Tapi apa syarat dari Lu Yicheng?

“Tidak ada.” Lu Yicheng terdiam sejenak, lalu mengoreksi, “Kalau pun harus ada syarat atau permintaan, maka aku hanya berharap kamu bisa ikut bertanggung jawab dalam membesarkan anak ini.”

“Hanya itu?” Jiang Ruo Qiao agak tak yakin.

“Ya.”

Tak bisa dipungkiri, kesan Lu Yicheng selama ini memang orang yang bisa diandalkan.

Dari lubuk hatinya, Jiang Ruo Qiao merasa lega. Masalah yang awalnya sangat rumit, ternyata bisa sesederhana ini. Mungkin karena kejadian akhir-akhir ini begitu dramatis, dia bahkan merasa bersyukur: bersyukur bahwa ayah dari anaknya adalah Lu Yicheng.

Kalau orang lain, Jiang Ruo Qiao bahkan tak berani membayangkan. Bisa jadi mereka akan ribut dan tarik urat sampai ratusan kali…

“Terima kasih.” Jiang Ruo Qiao berterima kasih dengan tulus.

Lu Yicheng tertawa, “Sudah seharusnya.”

Ini bukan anak orang lain yang masuk ke Kartu Keluarganya, ini anaknya sendiri. Dia malah merasa aneh karena Jiang Ruo Qiao sampai berterima kasih.

“Baiklah, urusan Kartu Keluarga sudah selesai, sekarang kita masih ada beberapa hal besar yang perlu dibicarakan.” Lu Yicheng berkata, “Lihat ini,” dia mengeluarkan beberapa lembar kertas dari tasnya dan menyerahkannya padanya. “Kamu lihat-lihat kalau ada waktu. Ini daftar beberapa TK swasta dekat Universitas A yang aku cari. Besok pagi aku akan urus Kartu Keluarga, begitu selesai langsung bisa daftar sekolah. Saatnya nanti, kita harus cek langsung sekolahnya.”

Jiang Ruo Qiao: “……”

Dewa.

Benar-benar dewa.

Lu Yicheng begitu teliti, bahkan soal TK sudah dipertimbangkan, bahkan sudah disaring. Tinggal mereka survei lalu daftar.

Efisiensi kerjanya, satu kata: mantap.

“Soal biaya TK nanti, kita bagi dua, bagaimana menurutmu?”

Jiang Ruo Qiao sambil membaca brosur TK, memberi gestur OK.

“Hal kedua, rumahku jauh dari Universitas A. Kalau nanti kuliah dimulai dan aku harus pulang pergi setiap hari, itu bakal membuang waktu dan sangat tidak praktis. Jadi, dua hari lalu aku sudah pasang iklan sewakan rumah. Nanti aku akan sewa apartemen dua kamar di dekat kampus. Setelah kuliah dimulai, aku akan minta izin ke dosen untuk tidak tinggal di asrama. Soal selisih harga sewanya, kamu bersedia bantu tanggung sebagian?”

Tentu saja Jiang Ruo Qiao tidak keberatan.

“Oke, mulai besok juga akan ada orang yang datang lihat rumah. Kalau aku sedang tidak di rumah, kamu keberatan bantu antar lihat rumah?”

“Tidak keberatan, asal waktuku pas saja.”

Lu Yicheng mengangguk sambil tersenyum, “Takkan mengganggu pekerjaanmu.”

“Dan hal terakhir kuserahkan padamu. Kamu yang rekrut seorang asisten rumah tangga. Karena jam pulang TK itu sore, biarkan asisten itu yang jemput Stuyan dan menyiapkan makan malam untuknya. Aku tidak ada kelas malam di tahun ketiga kuliah, jadi setelah selesai kuliah aku bisa langsung pulang. Jadi asisten itu hanya perlu bekerja dari jam empat sampai jam enam atau tujuh sore.”

“Bisa, tidak masalah.”

Lu Yicheng merapikan semua dokumen, “Untuk sementara, hanya itu.”

Setelah percakapan ini, kesan Jiang Ruo Qiao terhadap Lu Yicheng meningkat drastis. Harus ditambahkan bahwa cowok yang bersih dan rapi itu nilai tambah, apalagi ini ditambah dengan logis dan bisa diandalkan.

Dia merasa, dengan Lu Yicheng di sisinya, masalah besar pun jadi terasa ringan.

Masalah yang sudah berhari-hari membuatnya stres, akhirnya terselesaikan.

Jiang Ruo Qiao merasa nyaman melihat Lu Yicheng, suasana hatinya pun membaik, terbukti dengan: kali ini dia mengantar Lu Yicheng sampai ke depan lift.

Lu Yicheng pantas mendapat perlakuan ini! Dia pantas!!

Bukan cuma penonton seperti Lu Stuyan yang sampai melongo, bahkan Lu Yicheng sendiri agak… terkejut.

Nada bicara Jiang Ruo Qiao lebih lembut dari biasanya. Dia melambaikan tangan pada Lu Yicheng dengan senyum hangat, “Hati-hati di jalan, jaga diri.”

Lu Yicheng mendadak kaku.

Tadi masih bisa diskusi satu per satu dengan lancar, nada suaranya mantap, sesuai dengan citranya sebagai mahasiswa berprestasi.

Tapi sekarang, dia tidak tahu harus berkata apa.

Sejak tadi Jiang Ruo Qiao mengenakan sandal, lalu mengantarnya sampai ke depan lift, emosinya sudah berubah beberapa kali — heran, tak percaya, lalu akhirnya terkejut dan merasa dihargai…

“Ya.” Lu Yicheng mengangguk.

Saat pintu lift perlahan tertutup, hal terakhir yang terlihat oleh Lu Yicheng adalah wajah Jiang Ruo Qiao yang tersenyum.

Lu Yicheng masih terjebak dalam perasaan “kaget”.

Sampai akhirnya anaknya, Lu Stuyan, tak tahan lagi dan menarik ujung bajunya.

Lu Yicheng menunduk, “Ada apa?”

“Ayah, kamu tetap sama seperti dulu.”

Yang dimaksud Stuyan dengan “dulu” adalah “masa depan”.

“Maksudmu?”

Tanpa ragu Stuyan menjawab, “Meskipun Ibu galak, tapi kalau Ibu bantu Ayah pasang dasi, Ayah akan senang seharian!”

Ibu sangat jarang membantu Ayah pasang dasi.

Cuma dua kali, dan saat itu Ayah sangat senang. Bahkan malamnya belikan dia mainan Lego.

Lu Yicheng tampak ragu, “Benarkah?”

“Jadi sekarang Ayah juga sedang senang, kan?” Sebelum Lu Yicheng sempat menjawab, Stuyan sudah mengulurkan tangan mungilnya, “Kalau begitu, hari ini Ayah belikan aku mainan ya?”

Lu Yicheng: “……”

Wajahnya langsung serius.

Saat mereka meninggalkan kompleks apartemen, ekspresi Lu Yicheng sepanjang jalan tetap serius.

Stuyan tak tahan lagi, “Ayah nggak perlu segitunya, aku nggak jadi minta mainan, deh.”

Hampir lupa, Ayah sekarang belum punya uang.

Lu Yicheng tidak menanggapi.

Dia cuma merasa, dari semua cerita Stuyan tentang masa depan, gambaran tentang dirinya kok…

Kok seperti apa, ya?

Sampai mereka hampir naik bus, ada seorang wanita paruh baya lewat sambil menggandeng anjing kecil. Anjing itu sangat aktif, terus mengelilingi si wanita. Saat dia jongkok, si anjing menjilat-jilatnya.

Akhirnya Lu Yicheng sadar, dirinya di masa depan itu mirip apa.

Lu Yicheng: “?”

Tidak.

Tidak mungkin.

Anak kecil biasanya memang punya filter terhadap orang tuanya. Mungkin bagi Stuyan, semua interaksi antara ayah dan ibu tampak manis dan sempurna.

Stuyan memang suka binatang kecil. Dia menatap anjing itu lama, bahkan setelah naik bus pun masih tampak enggan berpisah.

Setelah duduk di dalam bus, Stuyan berkata pada Lu Yicheng, “Aku suka anjing itu. Dia jago menjilat!”

Dia juga ingin dijilat-jilat seperti itu, pasti seru banget!

Lu Yicheng: “……”

Ini adalah hari paling santai yang dirasakan Jiang Ruo Qiao selama seminggu terakhir.

Fisik dan mentalnya benar-benar rileks.

Semua masalah seolah tidak lagi jadi masalah.

Masalah serumit itu pun bisa terselesaikan, apalah arti mimpi melihat isi novel? Apalah artinya??

Dengan perasaan penuh hiburan, Jiang Ruo Qiao kembali membuka akun kecilnya dan masuk ke halaman profil “Shì Xīngxīng ā” di Weibo.

Jangan remehkan rasa penasaran wanita — dari Weibo “Shì Xīngxīng ā”, dia menelusuri hingga ke akun Instagram-nya. Jiang Ruo Qiao menghabiskan satu jam untuk mengumpulkan foto-foto rumah yang pernah diposting “Shì Xīngxīng ā”. Ada yang berupa tangkapan layar dari video. Dulu saat video call dengan Jiang Yan, dia juga sempat mengambil tangkapan layar. Lewat perbandingan sudut, pencahayaan, dan sebagainya, dia akhirnya bisa menyimpulkan — rumah “Shì Xīngxīng ā” dan rumah Jiang Yan adalah rumah yang sama.

“Shì Xīngxīng ā” jelas seorang gadis dari keluarga kaya. Lihat saja foto-fotonya. Untuk lebih memastikan, dia bahkan mencari dokumentasi acara amal tahun lalu dari perusahaan perhiasan Lin. Ibu Lin hadir di acara itu, dan dalam foto ada seorang gadis di sampingnya. Meski wajahnya disensor, tapi Jiang Ruo Qiao langsung mengenali: itu jelas “Shì Xīngxīng ā”, tinggi badan dan bentuk tubuhnya sama.

Jawabannya sudah jelas.

Jiang Ruo Qiao menopang dagu. Kali ini dia benar-benar kena batunya gara-gara Jiang Yan.

Ternyata dia juga bisa salah menilai orang.

Baiklah, kalau sekarang dia sudah tahu isi novel itu lewat mimpi, maka mulai sekarang, tokoh utama yang punya "halo keberuntungan" bukan hanya dua karakter utama — dia juga harus masuk daftar.



— 🎐Read only on blog/wattpad: onlytodaytales🎐—


Bab 19

Saat Jiang Ruoqiao tengah berulang kali memutar di benaknya unggahan “adalah bintang ya” yang ia bagikan di media sosial, panggilan video dari Jiang Yan kembali masuk.

Sejak mimpi tentang novel itu, rasa suka Jiang Ruoqiao pada Jiang Yan langsung anjlok drastis.

Ia bilang bahwa dirinya telah salah menilai, dan itu bukan hanya soal latar belakang keluarga Jiang Yan.

Secara logika, di usia semuda ini, ia tidak akan langsung memikirkan pernikahan saat menjalin hubungan, jadi kaya atau miskinnya Jiang Yan sebenarnya tidak terlalu jadi soal. Dengan kata lain, kalau semua hal ini tidak terjadi, meski ia tahu Jiang Yan bukan anak orang kaya, selama masih ada rasa suka, ia tidak akan buru-buru memutuskan.

Masalahnya, yang salah ia nilai adalah kepribadian Jiang Yan ini—bukan pria sejati sama sekali!!

Sifatnya yang bermasalah.

Lu Yicheng jauh lebih unggul dibanding Jiang Yan. Sebenarnya Jiang Ruoqiao tidak bermaksud membanding-bandingkan, hanya saja laki-laki terakhir yang ia banyak berinteraksi ya cuma Lu Yicheng, jadi tak bisa dielakkan kalau muncul perbandingan.

Kalau tidak menghitung perilaku bodohnya dalam novel itu…

Dalam sebuah hubungan, kalau salah satu pihak lebih memperhatikan latar belakang dan uang, apakah itu langsung berarti salah?

Baiklah, kalau memang perbedaan prinsip hidup, putus saja. Tapi apa Jiang Yan perlu bertingkah seolah hatinya hancur berkeping-keping?

Memangnya dalam hubungan ini dia tidak menikmati apa-apa?

Yang menggandeng tangannya, yang memeluknya, yang menciumnya—bukankah semuanya dia juga?

Sementara tokoh wanita pendamping dalam novel itu digambarkan seolah hanya cinta materi, padahal… apa benar dia pernah menerima uang dari tokoh utama pria? Apa tokoh utama pria pernah menghamburkan uang untuknya?

Makan bersama, kasih hadiah, itu bukan hal yang lazim dalam hubungan cinta?

Kenapa giliran tokoh utama pria, dia malah terlihat seperti yang paling dirugikan, seolah dibohongi perasaannya?

Dia tidak mendapat nilai emosional apa pun dari wanita itu?

Baiklah, semua ini bisa diabaikan. Benar-salahnya juga tak mudah dibedakan. Kalau memang tak cocok, ya sudah, pisah baik-baik itu yang paling logis. Tapi apa yang dilakukan tokoh utama pria? Terus memikirkannya, bahkan berniat balas dendam. Meskipun sang penulis berusaha memoles karakternya dan tidak menuliskan adegan balas dendam sungguhan, tetap saja orang-orang di sekitarnya menanggapinya serius, mereka sungguh-sungguh menyakiti si wanita pendamping. Apakah itu tidak ada sangkut pautnya dengan sang tokoh utama?

Pikirannya langsung naik darah!

Rasanya ingin langsung memutar lagu “Apa itu Lelaki” dan mempersembahkannya untuk Jiang Yan.

Tokoh wanita pendamping benar-benar kasihan. Tak mendapatkan apa-apa, hanya menjalin hubungan yang akhirnya kandas, tapi harus menerima nasib yang seburuk itu.

Jiang Ruoqiao: Sial, sialan banget!

Dengan perasaan seperti itu, ia menerima panggilan video dari Jiang Yan.

Di layar ponsel, wajah Jiang Yan muncul.

Jiang Ruoqiao berusaha menenangkan perasaannya, lalu tersenyum kepadanya.

Jiang Yan berkata, “Beberapa hari ini di pulau terus hujan, jadi nggak perlu temani mereka jalan-jalan.”

Jiang Ruoqiao memang benar-benar tidak berminat untuk ngobrol. Tapi karena sudah punya rencana untuk putus, dan garis besarnya sudah terbentuk. Jujur saja, dia sudah pacaran dengan tiga orang, dan bukan mau membanding-bandingkan, tapi Jiang Yan benar-benar jauh kalah dari dua mantan lainnya. Kalau bukan karena pertimbangan bahwa dia adalah tokoh utama pria, sejak lama Jiang Ruoqiao sudah menyuruh Jiang Yan enyah. Bahkan ide putus baik-baik saja sudah nggak kepikiran.

Apa dia bisa melawan tokoh utama?

Bisa saja, tapi dia juga harus mempertimbangkan siapa yang ada di belakang tokoh utama.

Di belakang Jiang Yan, siapa? Lin Kexing.

Setelah membaca seluruh novel, Jiang Ruoqiao bukannya mengagumi Jiang Yan, malah merasa dia makin aneh. Karena sekeras apa pun sang penulis memoles atau mengaburkan latar belakang sukses Jiang Yan, orang yang membaca dengan seksama pasti sadar—Jiang Yan sukses karena keluarga Lin, karena Lin Kexing.

Dia memang punya kemampuan dan strategi, tapi sekarang ini, orang-orang yang punya dua hal itu banyak sekali.

Yang membedakan Jiang Yan hanyalah: keberuntungannya luar biasa karena dicintai Lin Kexing.

Jiang Ruoqiao sampai merasa iri pada Jiang Yan.

Kenapa tidak ada satupun anak konglomerat seperti Lin Kexing yang jatuh cinta mati-matian padanya?

Bisa dibilang, selama Lin Kexing ada, cepat atau lambat Jiang Yan pasti akan naik daun.

Jiang Ruoqiao menganggap dirinya orang yang bisa menyesuaikan diri. Kalau dia sudah tahu arah cerita novel, ya dia harus hindari akhir yang tragis itu. Melawan perusahaan perhiasan Lin? Dia mundur. Dia bahkan bukan “telur” dalam pepatah “menghantam batu dengan telur”.

Mundur ya mundur.

“Sebentar lagi Qixi (Festival Valentine Tiongkok), aku mau buat konten kompilasi,” kata Jiang Ruoqiao tiba-tiba. “Fansku semua udah tahu aku pacaran, kadang ada adik-adik yang kirim DM tanya-tanya soal cinta. Aku pikir, sekalian aja deh buat konten Qixi, isinya dokumentasi semua hal tentang kita, kamu keberatan nggak?”

“Gimana mungkin,” kata Jiang Yan. Justru dia senang sekali. Dia tahu betapa populernya pacarnya. Dia bahkan ingin seluruh dunia tahu mereka pacaran. “Aku malah senang banget.”

Jiang Ruoqiao berkedip, “Aku bakal masukin juga semua bukti transfer dan hadiah dari kamu buat aku.”

Biar semua orang lihat, dalam hubungan ini, dia dapat apa saja dari Jiang Yan.

Putus sudah pasti, tapi jangan sampai ada yang menuduhnya matre dan cuma suka orang kaya.

Kalau saja dia pernah menerima hadiah mahal dari Jiang Yan, dia pun rela mengakui. Tapi sekarang dia tak dapat apa-apa. Tuduhan itu dasar apa?

Tokoh utama pria dalam novel itu sok merasa dimanfaatkan, benar-benar bikin muak.

“Gak masalah,” kata Jiang Yan sambil tersenyum.

Jiang Ruoqiao melanjutkan, “Sebenarnya niatnya juga buat menyebarkan nilai positif. Sekarang banyak pelajar yang rela melakukan hal ekstrem demi kejutan untuk pacar, aku cuma mau bilang ke mereka, kita ini juga hidup dari uang orang tua, pacaran tuh nggak perlu heboh-heboh begitu. Kalau mau kasih hadiah mahal, ya usahain sendiri.”

Jiang Yan mengangguk, “Kayaknya kamu lagi nyindir aku ya.”

Jiang Ruoqiao tertawa terbahak, “Kamu sadar juga ya? Aku lihat riwayat obrolan kita, kamu pernah bilang mau beliin aku tas kan? Tapi aku nggak suka begitu. Serius, kalau aku mau, aku bakal kerja keras buat beli sendiri. Atau nanti setelah kerja juga bisa. Menurutku, pakai uang hasil keringat orang tua buat beliin barang mewah ke pacar itu nggak baik.”

Jiang Yan membela diri, “Itu uangku sendiri.”

“Nggak bisa juga!” Jiang Ruoqiao menyahut. “Aku tahu kamu kerja keras. Uang itu susah didapat, lebih baik ditabung. Beli sesuatu buat diri sendiri, atau buat orang tua, itu jauh lebih bermakna. Dengar aku ya, nanti kalau kita sudah kaya raya, kamu nggak beliin aku tas, aku pasti marah-marah tuh.”

Jiang Yan terdiam.

Dia merasa dirinya benar-benar tak berguna.

Memberi hadiah tas untuk pacar saja harus pontang-panting cari uang.

Kata-kata Jiang Ruoqiao benar-benar masuk ke hatinya.

“Udah terlanjur beli,” katanya. “Minta orang bantu beli, murah kok.”

Jiang Ruoqiao melirik tajam, “Kamu kira aku anak kecil? Tas begituan dari jastip juga tetap mahal. Balikin aja, aku nggak mau. Dikasih pun nggak bakal aku pakai. Bukankah itu buang-buang?,” suaranya jadi lebih lembut, “Jiang Yan, aku rasa saling memberi hadiah dalam hubungan itu harusnya buat menyenangkan hati, bukan bikin beban. Kamu bisa paham, kan?”

……

Setelah dibujuk lama, Jiang Yan akhirnya membatalkan niatnya.

Dan anehnya, dia malah merasa hubungannya dengan Jiang Ruoqiao jadi lebih dekat, karena mereka bisa bicara tentang uang.

Jiang Yan sangat terharu.

Jiang Ruoqiao sudah memikirkan semuanya. Bagaimanapun cara mereka putus, alasan utamanya tidak boleh soal uang.

Bukan karena dia menyangkal kepribadiannya, tapi kalau memang dia belum pernah melakukan hal itu, maka tak boleh ada yang melempar tuduhan sembarangan.

Kalau tidak, sungguh tak adil.

Kalau memang karena uang, kenapa sudah pacaran selama ini tapi tidak menerima apa pun?

Kalau dia dapat rumah, mobil, atau cek, bolehlah dikatakan matre. Tapi sekarang?

Yang tidak diduga Jiang Ruoqiao, adalah justru tindakannya ini membuat Jiang Yan sangat tersentuh dan merasa sangat terdorong. Terutama saat ia turun dan melihat pihak brand mengirim koleksi terbaru musim ini untuk dipilih oleh Nyonya Lin. Dan Nyonya Lin memanggil Lin Kexing, menyuruhnya memilih beberapa tas untuk diberikan ke teman-teman kuliahnya—agar mempererat hubungan.

Saat itu juga, Jiang Yan merasa sangat bersalah pada Jiang Ruoqiao.

Intinya, ini semua karena dunia yang tidak adil.

Ia dan Jiang Ruoqiao debat panjang hanya soal sebuah tas.

Tapi Nyonya Lin dan Lin Kexing bisa bebas pilih produk terbaru hanya untuk diberikan ke teman-teman.

Dulu dia pernah bilang mau kasih dunia ke Jiang Ruoqiao. Nyatanya, sekarang Jiang Ruoqiao bahkan cemas kalau dia sampai beli tas dan tak punya uang makan.

Jiang Yan tidak menunjukkan ekspresi apa pun. Lin Kexing awalnya sangat senang memilih tas, tapi begitu melihat raut wajahnya, langsung merasa tak nyaman.

Jiang Yan tak berkata apa-apa. Kecuali Lin Kexing, tak ada yang menyadari, ia pun langsung balik ke lantai atas.

Perasaan tak rela dan bersalah membuatnya tak kuasa. Ia lalu memposting status di media sosial:

“Dulu aku tidak mengerti, sekarang aku paham. Demi masa depan kita, aku akan berusaha sekuat tenaga. Membangun rumah kecil yang hangat bersamamu, punya anak lucu bersama, hanya membayangkannya saja sudah membuatku penuh semangat. Di seluruh dunia ini, aku hanya mencintaimu.”

Ia menyertakan sebuah foto.

Dalam foto itu, dua tangan saling menggenggam erat.

……

Setelah melihatnya, Jiang Ruoqiao hanya bisa merespons dalam hati: Maksud loe apaan.gif

Sebagai pemeran utama wanita dalam unggahan itu, dia tidak merasa tersentuh sedikit pun. Dalam hatinya benar-benar datar. Bahkan berpikir: kalau saja aku tidak baca novelnya, mungkin aku benar-benar akan tertipu.

Ternyata memang, omongan laki-laki—tipu daya belaka.

Ia pura-pura tidak melihat postingan itu.

Tapi dua orang lainnya yang melihat status tersebut, saat ini sedang dalam perasaan yang campur aduk.

Lin Kexing, setelah Jiang Yan naik ke atas, langsung kehilangan semangat memilih tas. Setelah berpura-pura senyum dan kembali ke kamar, ia dengan lesu membuka ponsel, melihat status Jiang Yan, langsung mengeceknya. Begitu melihat isi status itu… ia hanya bisa tersenyum pahit. Ia tak tahu apa yang membuat Jiang Yan bersikap seperti itu tadi. Mungkin dia sedang merasa kasihan dengan pacarnya, ya.

Cinta diam-diam, adalah pesta satu orang.

Satu orang jatuh cinta, satu orang patah hati—dari awal sampai akhir, tak ada yang tahu.

Di dunia ini, orang yang paling ia kagumi, bahkan cemburui, adalah Jiang Ruoqiao.

Sementara Lu Yicheng, baru sempat membuka ponsel lewat pukul sepuluh malam, setelah “monster kecil” di rumah tertidur. Saat membuka-buka timeline, jarinya yang panjang dan bersih tiba-tiba berhenti—tepat saat menyentuh foto dua tangan yang saling menggenggam.

Ia tersadar ada yang aneh dengan emosinya.

Seharusnya tidak begini.

Ia tahu dirinya tidak menyukai Jiang Ruoqiao. Pendidikan yang tertanam sejak kecil membuatnya tidak mungkin menaruh hati pada pacar temannya.

Itu sangat tidak etis.

Lu Yicheng menoleh ke arah Lu Suyan yang sedang tertidur di sebelah. Ia merasa, mungkin anak ini yang memengaruhinya.

Karena anak ini, ia tahu bahwa di masa depan, ia akan menikah dengan Jiang Ruoqiao, dan mereka akan punya anak yang sangat lucu.

Seolah ingin membuktikan sesuatu, atau menjamin sesuatu, Lu Yicheng pun memberikan “like” pada unggahan itu.



— 🎐Read only on blog/wattpad: onlytodaytales🎐—

Bab 20

Jiang Yan selalu dijuluki oleh teman-teman Jiang Ruoqiao sebagai pacar setia seperti anjing peliharaan.

Dia sangat patuh pada Jiang Ruoqiao. Ketika Jiang Ruoqiao melarangnya membeli tas, dia menuruti, tidak membangkang diam-diam. Setelah memposting di Moments, dia langsung mengetuk pintu kamar Lin Kexing.

Ekspresi Lin Kexing tampak lelah, tapi begitu melihatnya, matanya langsung bersinar cerah.

Sayangnya, Jiang Yan tidak menyadari perubahan kecil ini. Ia langsung ke inti permasalahan dan berkata dengan tegas, “Kexing, tolong sampaikan ke temanmu, aku tidak jadi ambil tas itu. Maaf sekali. Kalau dia ingin ganti rugi, aku bisa bayar.”

Lin Kexing menatapnya dengan tatapan kosong, “Kenapa tidak jadi? Kakak tidak suka warnanya?”

Jiang Yan menggeleng pelan, matanya penuh kasih, “Bukan. Dia bilang aku boros. Kalau benar-benar aku kasih tas itu ke dia, dia pasti akan ngambek.”

“Kenapa?” Lin Kexing bingung dan sedikit iri, “Kamu kerja keras cari uang, kasih hadiah ke dia, tapi dia malah marah?”

Jiang Yan tersenyum dan membetulkan, “Lihat, kamu nggak ngerti. Dia itu sayang sama aku.”

Lin Kexing terdiam.

“Dia bilang kita masih mahasiswa yang minta uang ke orang tua. Meskipun aku kasih hadiah pakai uang hasil kerja sendiri, dia tetap tidak senang.” Mata Jiang Yan penuh Jiang Ruoqiao. “Dia benar-benar orang yang luar biasa. Dia tidak peduli dengan barang-barang itu. Kexing, aku pikir-pikir, sekarang aku memang belum punya kemampuan. Buat beli tas saja harus putar sana-sini. Memang belum waktunya.”

Tak perlu memaksakan diri.

Dia masih punya masa depan, dia dan Ruoqiao masih punya masa depan.

Tidak perlu buru-buru.

Lin Kexing merasa lemas, kakinya seperti kehilangan tenaga, tapi dia pura-pura tenang, bersandar di pintu dan tersenyum kecil, “Baik, nanti aku sampaikan ke temanku.”

“Hmm, terima kasih.” Jiang Yan baru menyadari wajahnya tidak terlihat sehat, dia bertanya, “Kexing, kamu sakit ya? Wajahmu pucat.”

Lin Kexing tersenyum, “Nggak kok, mungkin karena tadi siang main di luar, kepanasan. Tidur sebentar nanti juga sembuh.”

Jiang Yan mengangguk, “Baguslah.”

Ia melihat jam tangannya, “Udah malam, aku masih ada kerjaan. Aku balik dulu.”

“Hmm, selamat malam, Kak Jiang Yan.”

Jiang Yan berbalik turun tangga.

Baru setelah bayangannya menghilang dari pandangan, Lin Kexing menutup pintu, bersandar lemas, lalu perlahan-lahan jongkok, memeluk lutut, menangis pelan.

Sakit sekali.

Saat mulai menyukai Jiang Yan, usianya masih kecil, dan tidak ada yang memberi tahu dia, bahwa menyukai orang yang tidak membalas perasaan itu bisa begitu menyakitkan.

Larut malam, Lin Kexing gelisah dan tak bisa tidur, akhirnya bangun dan turun ke lantai bawah.

Saat hendak minum, ia tak sengaja bertemu dengan Ibu Jiang.

Ibu Jiang memakai piyama. Melihat Lin Kexing belum tidur, ia mendekat dan dengan lembut mengelus rambutnya, “Kexing, kenapa belum tidur juga? Ada yang kamu pikirkan?”

Mata Lin Kexing merah, ia menundukkan kepala dan menggeleng pelan.

“Kalau nggak keberatan, boleh cerita ke tante?” Ibu Jiang menggandeng tangan Lin Kexing dan membawanya keluar vila.

Iklim di pulau sangat nyaman. Siang panas, malam sejuk dengan angin lembut.

Jam segini, semua orang sudah tidur.

Lin Kexing bersandar di bahu Ibu Jiang. Ibu Jiang selalu lembut dan ramah, sangat sabar. Setelah duduk selama lebih dari sepuluh menit, Lin Kexing tak tahan lagi dan berkata pelan, “Tante, aku punya seorang teman. Dia suka sama seseorang, sudah bertahun-tahun. Tapi orang itu sudah punya pacar. Temanku nggak tahu harus gimana. Dia ingin banget melupakan, tapi susah banget.”

Ibu Jiang menepuk tangannya dengan lembut dan berkata dengan suara tenang dan penuh pengertian, “Temanmu pasti seusiamu juga ya, baru delapan belas tahun. Masih sangat muda. Masa muda berarti kemungkinan tak terbatas. Kalau harus tanya harus gimana, dari pengalaman tante, ikuti saja suara hati. Kalau nanti sudah nggak suka, ya akan lepas juga. Tapi kalau masih suka, ya nggak usah paksa diri. Beberapa tahun kemudian, saat dia mengenang masa-masa ini, mungkin akan jadi kenangan yang sangat berharga.”

Lin Kexing terpaku, “Cuma kenangan yang berharga?”

“Waktu akan mengubah segalanya.” Ibu Jiang tertawa, “Orang yang disukai temanmu pasti juga masih muda. Banyak orang yang akhirnya menikah bukan dengan cinta pertamanya. Hidup ini seperti naik kereta. Ada orang yang cuma menemani sebentar, lalu turun di stasiun berikutnya. Mungkin saja temanmu justru yang akan menemani sampai akhir. Siapa yang tahu? Kalian masih muda, dan masa muda penuh kemungkinan.”

Mungkin karena Ibu Jiang terlalu lembut, atau mungkin kata-katanya seperti sihir, Lin Kexing merasa lebih lega.

Benar, dia dan Jiang Yan masih muda.

Dia akan tetap di sini, tidak mengganggu Jiang Yan dan pacarnya. Suatu hari, mungkin dia akan bisa melepaskan.

Namun jauh di dalam hati, ada suara kecil yang tersembunyi: Mungkin suatu hari, pacar Jiang Yan juga akan turun dari kereta itu.

Melihat Lin Kexing kembali ceria, Ibu Jiang pun tersenyum puas.

Pagi-pagi keesokan harinya, Lu Yicheng yang biasanya tidak pernah mau repot, tiba-tiba mengajak Lu Siyan keluar untuk sarapan.

Urusan pindahan harus segera dilakukan. Dia berniat membeli beberapa tas pakaian. Lu Yicheng orangnya hemat. Sarapan pun hanya semangkuk mi kuah murah. Tapi Lu Siyan, demi menjaga gengsi anak-anak crazy rich, punya standar tinggi untuk sarapan. Dia beli susu segar termahal di minimarket, lalu pesan cheong fun super lengkap: tambah daging, telur, sosis, dan udang. Saat sedang makan, dia melihat anak lain makan youtiao (cakwe), matanya langsung berbinar, menatap Lu Yicheng dengan penuh harap.

Lu Yicheng: “…”

Baiklah.

Kalau dipikir-pikir, sarapan semahal apa pun masih lebih murah daripada Lego, kan?

Beli saja!

Karena perut Lu Siyan kecil, dia tidak sanggup menghabiskan semua makanan. Sisanya masuk ke perut Lu Yicheng. Itu sarapan paling mengenyangkan yang pernah dia makan.

Lu Yicheng terbiasa membeli kebutuhan rumah tangga di pasar besar. Biasanya lebih murah daripada supermarket.

Setelah memilih-milih, dia berhasil membeli semua kebutuhannya dengan harga paling pas. Saat hendak pulang, dia melihat stan yang menjual sandal wanita.

Beberapa hari ke depan, akan ada calon penyewa rumah yang datang. Dia dan Jiang Ruoqiao sudah sepakat—kalau sempat, Ruoqiao akan membantu menyambut calon penyewa.

Jadi, secara logis maupun emosional, dia merasa perlu menyiapkan sandal untuk Ruoqiao.

Lu Yicheng menggandeng Lu Siyan, melangkah melewati beberapa orang menuju stan itu.

Dia tetap terbiasa melihat label harga terlebih dahulu, mencari pilihan dengan nilai terbaik. Harga adalah pertimbangan utama baginya.

Lu Siyan anak yang cerdas. Melihat ayahnya membandingkan dua pasang sandal dengan serius, dia langsung bertanya dengan suara jernih, “Kakak, dua sandal yang dipilih ayahku ini harganya berapa ya?”

Penjual wanita yang usianya sekitar tiga puluh langsung senang melihat anak kecil menggemaskan ini memanggilnya kakak. “Kalau orang lain beli, harganya dua puluh lima. Tapi kalau kamu yang beli, kakak kasih dua puluh saja!”

Lu Siyan: “Nggak bisa, terlalu murah!”

Penjual wanita: “?”

Lu Siyan dengan bangga berkata, “Kakak, kami mau beli sandal yang paling mahal!”

Langsung kasih yang paling bagus!

Lu Yicheng: “?”

Tidak.

Dia menghentikan Lu Siyan, “Kamu yang bayar atau aku?”

Lu Siyan mengernyit, “Tapi sandal yang kamu pilih itu jelek banget.”

Penjual wanita: “?”

Lu Siyan buru-buru tersenyum pada penjual, “Kakak, aku bukan bilang sandalnya jelek, cuma sandal itu memang nggak pantas untuk ibuku.”

Penjual mengerti, “Adik kecil, kamu benar-benar anak berbakti.”

Lu Yicheng: “Lu Siyan, aku yang bayar.”

“Aku tahu.” Lu Siyan juga serius, “Pokoknya belikan yang terbaik untuk Mama. Aku rela tidak minum susu seminggu ini, uangnya dipakai beli sandal paling bagus untuk Mama.”

Lu Yicheng: “…”

Akhirnya, Lu Yicheng tetap tidak mengalah. Dia mengabaikan protes Lu Siyan dan membeli sepasang sandal wanita warna merah muda pucat—jenis yang sekali lihat saja Lu Siyan langsung muak.

Lu Yicheng tetap mengutamakan rasio harga-manfaat.

Sandal itu dibeli seharga dua puluh lima yuan.

Harganya pas, sudah dibandingkan empuknya juga. Soal model, tidak penting bagi Lu Yicheng.

Hanya sandal, dipakai di rumah saja. Buat apa bagus-bagus?

Lu Siyan kehabisan kata-kata.

Belikan Mama yang terbaik, yang paling mahal—dulu Papa memang seperti itu.

Lu Siyan menghela napas, “Pria pelit itu nggak ada harapan, Papa.”

Lu Yicheng tidak menanggapi.

Lu Siyan masih terus mengomel, “Lagi pula Mama benci warna merah muda pucat.”

Sandal itu memang sangat norak, bahkan dia pun merasa begitu.

Lu Yicheng benar-benar tidak tahan lagi. Anak kecil ini baru lima tahun, tapi sudah bawel begini? Yang bayar siapa, dia atau anak itu?

Ia berjongkok dan bertanya, “Kamu punya sahabat?”

Lu Siyan: “Banyak banget!”

“Contohnya?”

“Gao Ziqiu sahabatku, Xie Yuze juga. Kami bertiga jago main bola.”

Lu Yicheng mengangguk, “Bagus, aku juga punya sahabat.”

Lu Siyan menatapnya.

“Pacar Mamamu sekarang itu sahabatku.” ujar Lu Yicheng.

Jadi, dia tak bisa menerima saran Lu Siyan—meski cuma soal beli sandal yang tampaknya remeh.

Entah bagaimana masa depan hubungannya dengan Jiang Ruoqiao, setidaknya untuk saat ini, mereka harus menjaga jarak yang aman.

Karena Lu Siyan, mereka tidak bisa sepenuhnya terpisah, tapi hanya sebatas itu, pikir Lu Yicheng dalam hati.

Setelah bicara, ia berdiri, membawa kantong belanja. Mungkin karena berat, tangannya mengepal, urat di punggung tangannya terlihat jelas.

Lu Siyan menatapnya, tidak mengerti.

Dia benar-benar tidak paham maksud dari perkataan Ayah barusan.


— 🎐Read only on blog/wattpad: onlytodaytales🎐—

***



Comments

Donasi

☕ Dukung via Trakteer

Popular Posts