Shocking! The Broke Campus Heartthrob Is My Child’s Father – Bab 51-60
Bab 51
Suasananya terasa agak canggung, bahkan tegang.
Jika dijelaskan lebih spesifik, seperti dalam drama kostum klasik—dua pria saling menatap tajam, seolah siap berduel, tetapi tak satu pun yang mengambil langkah pertama. Mereka menahan diri, atau lebih tepatnya, menunggu.
Jiang Ruoqiao: “……”
Hari ini bisa dicatat dalam sejarah hidupnya.
Dia pernah membayangkan hari seperti ini akan datang, tapi tak pernah mengira akan datang secepat ini.
Dia menoleh ke arah Lu Yicheng.
Lu Yicheng juga menoleh ke arahnya.
Dalam pandangan Jiang Yan, mereka berdua sedang saling bertatapan. Napasnya jadi berat, matanya tak lepas dari Jiang Ruoqiao. Kalau bukan karena melihatnya sendiri, dia tidak akan percaya bahwa suatu hari dia akan melihat sahabatnya sendiri bersama wanita yang dia sukai. Atau lebih tepatnya, meski benar-benar akan ada hari seperti itu, seharusnya yang bersama Jiang Ruoqiao adalah Du Yu, atau Wang Jianfeng, tapi bukan Lu Yicheng!
Lu Yicheng tahu, mulai sekarang, ini hanya urusan dia dan Jiang Yan.
Dengan suara yang rendah dan tenang, dia berkata pada Jiang Ruoqiao, “Bukankah kamu bilang besok masih banyak yang harus dikerjakan? Kamu naik dulu saja.”
Maksudnya: biarkan sisanya dia yang urus.
Jiang Ruoqiao berpikir, masuk akal juga. Kalau mereka bertiga terus saling hadap-hadapan begini, malah makin rumit dan klise. Karena Lu Yicheng sudah mengambil alih, dia pun tak ingin merusak suasana, lalu mengangguk dan berkata, “Baiklah.”
Tanpa disadari, percakapan yang terdengar biasa ini, bagi Jiang Yan justru terasa menusuk hati!
Dia bahkan tak menyangka bahwa tanpa sepengetahuannya, di luar pengawasannya, hubungan kedua orang ini sudah sedekat itu!
Jiang Ruoqiao pun melanjutkan langkah menuju asrama, dan akan melewati Jiang Yan.
Tepat saat itu, Jiang Yan meraih pergelangan tangannya.
Hanya sekejap, namun di mata Lu Yicheng yang awalnya tenang, muncul gelombang emosi. Dia hendak maju, tapi akhirnya tetap menahan diri.
Ada hal-hal yang harus diselesaikan antara dia dan Jiang Yan.
Dan ada hal-hal, yang hanya bisa diselesaikan antara dia dan Jiang Yan...
Jiang Ruoqiao berusaha melepaskan diri pelan-pelan, dan Jiang Yan pun langsung melepaskannya seolah tangannya tersengat.
Secara objektif, dalam hubungan mereka, selain soal adik perempuannya yang kontroversial, Jiang Yan sebenarnya sangat baik. Dia pacar yang layak, bahkan luar biasa. Dia tak pernah memaksa, dan kalau Jiang Ruoqiao menolak melakukan sesuatu, dia tak akan mendesak. Seperti saat permainan truth or dare, dia menolak, dan Jiang Yan hanya memendam kecewa dalam hati—tidak sekalipun memaksanya karena status sebagai pacar.
Kalau dia menolak, dia akan melepas.
Dengan suara serak dan senyum pahit, Jiang Yan berkata, “Aku hanya ingin memberimu hadiah ulang tahun. Ruoqiao, selamat ulang tahun.”
Jiang Ruoqiao bukan orang berhati batu. Dia dan Jiang Yan pernah punya masa-masa manis bersama.
Orang lain mungkin akan merasa berat atau sedih. Tapi dia adalah Jiang Ruoqiao—bahkan emosinya sendiri bisa dia pandang dari luar, apalagi emosi orang lain.
Jiang Yan baginya adalah...
Bahaya. Ketidakpastian.
Perasaan Jiang Yan yang belum benar-benar padam justru jadi masalah. Kalau saja setelah putus dia bisa melupakannya dan memperlakukannya seperti orang asing, mungkin dia masih akan merasa sedikit berterima kasih, karena dilupakan dan dilepaskan berarti dia bisa benar-benar keluar dari bayang-bayang plot cerita.
Hadiah dari Jiang Yan? Dia tidak bisa menerimanya.
Tanpa melihat pun pada bungkus mewah itu, dia berkata dengan tenang, “Jiang Yan, ini tidak pantas.”
Setelah berkata begitu, dia melangkah cepat masuk ke gedung asrama.
Tinggallah Jiang Yan yang tampak hampa, kehilangan arah. Sementara Lu Yicheng berdiri di sampingnya dengan tenang, seolah hanya sebagai pengamat, meski kenyataannya dia juga terlibat langsung.
Setelah Jiang Ruoqiao masuk, Jiang Yan seakan berubah menjadi orang lain—seorang pria yang masuk mode “siaga tempur”, seperti pejantan yang wilayahnya terancam.
Saat menoleh ke Lu Yicheng, sikapnya sudah tak lagi bersahabat. Yang ada hanyalah dingin dan amarah.
“Lu Yicheng…” katanya dengan suara penuh geram, hampir seperti menggertakkan gigi.
Lu Yicheng tetap tenang, seolah tak merasakan bahaya sama sekali.
Waktu sudah malam, di bawah gedung asrama perempuan sudah tak banyak orang. Tapi bisa saja ada yang mendengar percakapan mereka.
Dengan satu tangan di saku, Lu Yicheng berkata datar, tak lagi sehangat biasanya, “Kalau mau bicara, kita pindah ke tempat lain.”
Jiang Yan mengepalkan rahangnya dengan kuat.
Lu Yicheng tak menunggunya, langsung berbalik dan berjalan. Mau tak mau, Jiang Yan mengikuti dengan mata gelap.
Mereka pergi ke lahan kosong milik kampus yang belum dikembangkan—jauh dari gedung belajar dan asrama, bahkan siang hari pun jarang orang lewat, apalagi malam.
Begitu sampai, Jiang Yan langsung melempar pukulan.
Tapi Lu Yicheng cepat menghindar. Meski harus menghindar, gerakannya tetap elegan, tidak tampak canggung sama sekali. Mereka kembali saling berhadapan. Jiang Yan sangat ingin menghajarnya, tapi dia tahu, belum waktunya. Kalau dia bertindak gegabah sekarang, dia hanya akan tampak kekanak-kanakan. Dengan susah payah, dia menahan amarahnya.
Dengan suara tajam dia bertanya, “Lu Yicheng, apa maksudmu? Apa maksudmu sebenarnya?!”
Lu Yicheng tetap tenang, menatap sahabatnya yang sekarang penuh amarah. Setelah beberapa detik diam, dia akhirnya berkata pelan, “Seperti yang kau lihat.”
Meski sudah menyiapkan diri, Jiang Yan tetap tak bisa menerimanya. Dengan ekspresi tidak percaya, dia berkata, “Kita ini sahabat, tahu!”
Mereka sudah berteman dua tahun, dan Jiang Yan mengira persahabatan mereka akan bertahan seumur hidup. Tapi sahabatnya justru menaruh hati pada pacarnya sendiri? Tak masuk akal. Hatinya terasa seperti terbakar.
Lu Yicheng tetap diam.
Tapi melihat ekspresi Jiang Yan—seperti orang yang dikhianati oleh sahabat dan kekasih sekaligus—dia akhirnya berkata, “Aku tidak pernah melakukan hal yang mengkhianati persahabatan kita.”
Mungkin bahkan dia sendiri terkejut dengan perasaannya.
Tapi dia yakin satu hal: dia tak pernah melewati batas.
“Apa?!” Jiang Yan membentak, “Kau bilang tidak? Jadi sekarang ini apa?!”
Lu Yicheng menjawab tenang, “Kalian sudah putus.”
Justru itu yang membuat Jiang Yan makin gila.
Dia benar-benar tidak menyangka akan mengalami hal seperti ini. Ini benar-benar menyebalkan!
Dengan emosi yang meledak, dia membentak, “Sudah putus pun tetap tidak boleh!”
Lu Yicheng menatapnya dingin, “Itu bukan keputusanmu.”
Mereka benar-benar jadi dua kutub yang berbeda.
Di jurusan mereka, keduanya adalah sosok menonjol. Ganteng, berprestasi, hanya saja kepribadian mereka berbeda. Lu Yicheng dikenal sebagai tipe "pria baik", populer di kalangan kakak dan adik kelas. Sedangkan Jiang Yan—atlet basket, cuek tapi tajam, susah didekati. Justru karena itulah, saat dia jadi pacar yang setia, banyak orang terkejut.
Tapi saat ini, Lu Yicheng tetap tenang, sementara Jiang Yan meledak-ledak. Anehnya, Lu Yicheng tetap bisa mengendalikan suasana.
Jiang Yan pun menyadari itu.
Dia mencoba menenangkan diri, lalu bertanya, “Sejak kapan ini terjadi?” Semakin dipikirkan, semakin tak nyaman. Dia menahan emosi, tapi tetap keluar kata-kata menyakitkan, “Jangan-jangan saat aku belum putus pun kalian sudah—”
Lu Yicheng memotong dengan suara keras, “Cukup!”
Jiang Yan memandangnya dengan dingin.
“Perhatikan ucapanmu,” kata Lu Yicheng. “Jangan hina aku, juga jangan hina dia. Kalian putus karena kamu yang tak tahu batas, karena kamu yang salah. Tidak ada hubungannya dengan orang lain.”
Jiang Yan menarik napas dalam.
Meski marah, dia tahu Lu Yicheng bicara jujur.
Dan dia sendiri tidak pernah menyangkal kesalahannya.
Lalu dia bertanya, “Satu hal terakhir. Kau suka dia, kan?”
Saat bertanya, Jiang Yan masih menyimpan secercah harapan—semoga jawabannya tidak, atau hanya kebetulan berjalan bersama, bukan karena suka.
Tapi Lu Yicheng terdiam.
Bukan karena tak mau jawab, tapi karena tak tahu jawabannya. Bahkan dia sendiri belum yakin. Sebagai orang logis, dia butuh alasan—kenapa dia suka Jiang Ruoqiao? Apa alasannya?
Kalau tak suka, kenapa begitu peduli?
Jadi, dia tidak tahu.
Dan kalau tak tahu, lebih baik diam.
Namun bagi Jiang Yan, diam berarti mengiyakan.
Jiang Yan menutup matanya, mengepalkan tinju, tapi kini sudah tak bisa apa-apa. Amarah paling menyakitkan sudah lewat—yang tersisa hanya rasa kalah dan kecewa. Dia hanya bisa menertawakan dirinya sendiri. Begitu gagal jadi manusia—kehilangan orang yang dicintai, lalu dikhianati oleh sahabat.
Apakah dia seburuk itu?
Jiang Yan tiba-tiba teringat sesuatu: botol semprot yang dilihatnya di rumah Lu Yicheng hari itu. Itu yang paling mengganggu pikirannya. Dia ingin memastikan.
“Pertanyaan terakhir,” katanya letih. “Semprotan yang kulihat di rumahmu waktu itu… itu milik dia, kan?”
Lu Yicheng pun bingung menjawab.
Kalau dia bilang ya, saat itu Jiang Yan masih pacar Jiang Ruoqiao. Jawaban itu akan menimbulkan kesalahpahaman seolah dia sudah ke rumahnya.
Kalau jawab jujur, malah akan menyeret Si Yan ke dalamnya.
Dan dia punya prinsip: kalau pun harus memberitahukan soal Si Yan, itu harus dengan persetujuan mereka berdua.
Jiang Ruoqiao tak ada di sini, jadi dia tidak boleh mengungkapkan hal itu begitu saja.
Akhirnya, Lu Yicheng hanya menjawab, “Itu milik ibunya Si Yan.”
Jiang Yan yang tegang sejak tadi akhirnya bisa bernapas lega.
Untung bukan. Untung mereka belum sejauh itu.
Tak ada lagi yang perlu dibicarakan.
Di bawah sinar bulan, Jiang Yan tak lagi tampak getir, melainkan dingin dan tegas. Dia berbalik, dan berkata dengan suara berat:
“Mulai sekarang, kita bukan teman lagi.”
Setelah itu, dia pergi dengan langkah lebar.
Lu Yicheng menatap ke atas, ke arah bulan purnama yang dingin.
"Sejak lama pun sebenarnya memang sudah bukan lagi," pikirnya.
— 🎐Read only on blog/wattpad: onlytodaytales🎐—
Bab 52
Lu Yicheng kembali ke rumah dengan diam sepanjang jalan.
Lu Siyan sedang duduk di sofa membaca buku bergambar. Anak kecil ini sangat suka membaca. Mungkin karena di masa depan, ia dibesarkan oleh Lu Yicheng dan Jiang Ruoqiao yang menanamkan kebiasaan membaca padanya. Saat melihat Lu Yicheng pulang, Lu Siyan pun segera meletakkan bukunya dan berlari menghampirinya. Sambil mengusap matanya, ia ragu-ragu, “Papa sama Mama diam-diam keluar makan enak ya?”
“Dulu juga begitu,” gumam Lu Siyan, “kalau enggak, kenapa pulangnya malam banget?”
Lu Yicheng ingin tertawa, tapi tubuhnya terlalu lelah hingga tak bisa membentuk ekspresi seperti tertawa. “Enggak kok, cuma ada sedikit urusan yang bikin terlambat.”
“Oh.” kata Lu Siyan. “Aku udah ngantuk banget. Papa belum pulang, aku enggak berani mandi sendiri.”
Papa dan Mama pernah bilang, kalau orang dewasa enggak ada di rumah, anak-anak enggak boleh mandi sendirian. Itu tidak aman.
Lu Yicheng menunduk memandangnya. “Oke, kamu sikat gigi dan cuci muka dulu, ya.”
“Baik~” Lu Siyan melonjak-lonjak ke kamar mandi. Dia sangat suka sikat giginya sendiri, juga suka pasta gigi rasa anggur. Setiap kali sikat gigi, dia selalu senang.
Melihat Lu Siyan masuk kamar mandi, barulah Lu Yicheng teringat harus mengabari Jiang Ruoqiao. Dia merogoh saku celana, mengeluarkan ponselnya, dan setelah berpikir sejenak, mengirim pesan: [Aku sudah sampai rumah.]
Di asrama, Jiang Ruoqiao juga baru keluar dari kamar mandi.
Sambil duduk di meja belajar dan mengeringkan rambut, dia melihat pesan itu.
Setelah berpikir sebentar, dia hanya membalas: [Hmm.], lalu tidak melanjutkan.
Dia tidak bertanya apa yang dibicarakan Lu Yicheng dan Jiang Yan.
Bukan karena tidak peduli, tapi bahkan pakai jempol pun bisa ditebak topiknya: kemungkinan besar sudah saling buka kartu dan konflik terbuka.
Sigh.
Setiap kali hidup terasa mulai tenang, pasti muncul satu-dua hal yang bikin nyesek. Rasanya sungguh tidak enak.
Hal ini terjadi juga bukan kejutan. Ia sudah menduganya sejak lama, hanya tidak menyangka akan datang secepat ini.
Dia dan Lu Yicheng punya seorang anak. Anak itu sangat lengket padanya. Baik dari sisi emosi maupun tanggung jawab, sebagai orang tua, mereka tidak mungkin benar-benar menjauh. Bagaimanapun juga pasti akan terus ada interaksi. Tapi sekarang kejadian itu datang lebih cepat, dia tak tahu opini publik akan ke arah mana.
Dia meletakkan ponsel dan menoleh ke arah ketiga teman sekamarnya.
Ada yang sedang pakai masker wajah, ada yang sedang nonton mukbang.
“Ehem.” Jiang Ruoqiao batuk-batuk pura-pura untuk menarik perhatian mereka. “Ladies, tolong hentikan dulu aktivitas kalian. Aku ada hal mau konsultasi.”
Yun Jia meletakkan ponselnya, menjulurkan kepala dari ranjang, “Ada apa?”
Luo Wen dan Gao Jingjing juga menghentikan kegiatan mereka.
Jiang Ruoqiao agak bingung.
Gimana ya cara ngomongnya... Nanya hal kayak gitu... kayaknya enggak pantas. Tapi dia benar-benar ingin tahu soal opini publik. Dari tiga cewek paling doyan gosip ini, mungkin dia bisa dapat masukan paling jujur.
Siapa ya yang bisa dijadikan contoh?
Lu Yicheng jelas enggak bisa dipakai.
Du Yu? Jiang Ruoqiao melirik Yun Jia — ah, itu enggak mungkin. Yun Jia ada perasaan ke Du Yu.
Tiga pasang mata menatapnya tajam. Tak ada pilihan lain, dia pun memilih Wang Jianfeng si figuran buat jadi "tumbal". “Misalnya ya, aku kan udah putus sama Jiang Yan. Kalau habis itu kalian lihat aku sering bareng Wang Jianfeng, kalian bakal mikir apa?”
Yun Jia: “Waduh!!”
Luo Wen juga kaget, “Jangan-jangan beneran nih, Sis??”
Gao Jingjing malah tenang: “Apa? Wang Jianfeng??”
Jiang Ruoqiao: “……” Kenapa rasanya dia salah pilih orang buat dijadikan contoh?
Yun Jia dengan ekspresi “aku sudah curiga dari awal”: “Aku udah duga kalian mungkin ada hubungan! Wang Jianfeng tuh ya,” dia mengusap dagu, “wajahnya lumayan, kalian juga sama-sama di badan mahasiswa, jadi sering berinteraksi, dan dia jelas naksir kamu. Waktu di kebun wisata itu, pas potong semangka, dia ngasih bagian paling manis ke kamu. Dari situ aku udah curiga.”
Jiang Ruoqiao: “???”
Dia menggeleng keras, “Enggak, kamu salah paham! Aku tuh duduk paling dekat, dia cuma asal kasih, aku bahkan enggak tahu itu bagian paling manis!”
Yun Jia: “Kenapa dia duduk paling dekat sama kamu, hayo?”
Jiang Ruoqiao merasa hidupnya penuh ilusi. “Itu cuma kebetulan dong!”
Sekarang dia paham arti kata fitnah tanpa dasar.
“Cukup cukup.” kata Jiang Ruoqiao. “Jangan melebar. Aku cuma buat skenario contoh, mau tahu pendapat kalian sebagai orang luar.”
“Kalau gitu…” Luo Wen mengingat-ingat Wang Jianfeng, “menurutku dia biasa aja sih. Enggak ganteng tapi juga enggak jelek. Dengar-dengar nilai akademiknya bagus, orangnya juga oke. Waktu itu di kebun wisata, charger-nya Jingjing rusak, dia yang minjemin, padahal dia sendiri lagi ngecas. Dia langsung cabut chargernya buat pinjemin. Orangnya baik sih.”
Radar Jiang Ruoqiao langsung menyala. “Hah? Jingjing, kamu sama Wang Jianfeng??”
Gao Jingjing juga tak tahan, “Itu cuma spontan! Dan aku balikin setelah dua jam.”
Yun Jia tak sabar lagi, “Siapa yang bikin obrolan ini melebar sih?! Masih mau bahas topiknya enggak?!”
Jiang Ruoqiao langsung ngaku, “Mau, mau!”
Gao Jingjing angkat tangan, “Karena insiden barusan yang bikin aku terjebak, aku pilih menghindar dari diskusi soal Wang Jianfeng. Izin diterima gak?”
Tiga lainnya: “……”
Yun Jia lanjut, “Sebenernya Wang Jianfeng juga gak buruk. Tapi ya, dibanding Jiang Yan, masih agak kurang. Eh, aku bilang duluan, aku bukan bela Jiang Yan ya, aku juga sebel sama cowok model begitu. Cuma dari perspektif luar aja, Wang Jianfeng, kecuali soal kepribadian, mungkin kalah dari Jiang Yan.”
Jiang Ruoqiao mulai berpikir.
Bener juga, orangnya salah, jadi input-nya juga gak akurat.
Teman-temannya semua termasuk "tim penilai berdasarkan tampang", jadi tak bisa kasih jawaban dari hati.
Akhirnya dia menggigit bibir, ya udah, mereka juga bakal tahu nanti. Langsung aja deh. “Kalau... misalnya yang bareng aku itu Lu Yicheng?”
“??”
“!!!!”
Tiga cewek lainnya, termasuk Gao Jingjing yang biasanya paling kalem, sekarang juga gak bisa tenang.
“Apaaa kamu bilang?? LU YICHENG??!!”
“GILA AKU LANGSUNG MELEK NIH!”
“Bentar, LU YICHENG itu intinya dong, kamu dari tadi muter-muter kenapa gak langsung to the point! Buruan ngaku, jujur lebih baik, jangan bandel!”
Jiang Ruoqiao gak nyangka reaksi mereka sebesar ini.
Dia benar-benar bengong. “...Oke deh, aku jujur. Ke depannya aku bakal sering ketemu Lu Yicheng karena suatu alasan yang belum bisa aku bilang sekarang. Kadang dia yang cari aku, kadang aku yang cari dia. Kalian sebagai outsider, bakal mikir aku ini...”
Dia terdiam, tidak lanjutkan kalimatnya.
Yun Jia coba nebak maksudnya: “Kamu takut kami mikir kamu main dua hati? Astaga, kamu salah paham soal kami para cewek tukang gosip. Kami tuh cuma peduli: dramanya ada gak? Konfliknya parah gak? Main dua hati? Apaan tuh, yang penting seru! Cewek cantik dikejar banyak cowok tuh biasa! Emang gak boleh milih-milih dulu?!”
Dua lainnya langsung jawab: “Tentu boleh!! Wajib malah!!”
Jiang Ruoqiao: “……”
Yah, dia terharu juga sih. Apapun yang terjadi, paling enggak tiga cewek ini pasti dukung dia.
“Tapi…”
“Gak ada tapi-tapian!” kata Yun Jia. “Dan ini bukan main dua hati. Siapa tahu justru dua cowok saling rebutan kamu, jadi musuhan. Astaga, aku demen banget drama ginian! Sekarang susah nemu drama semacam ini, aku udah kekurangan asupan! Aku udah gak sabar liat dramanya langsung!”
Jiang Ruoqiao merasa... ternyata dia salah paham terhadap mentalitas para penikmat drama.
Moralitas? Enggak berlaku.
Yang penting: ada konflik? Ada drama? Seru gak?
Bahkan Luo Wen dan Gao Jingjing pun wajahnya udah semangat 45, penuh antusias “drama please lebih banyak!”.
Jiang Ruoqiao: “……”
Ternyata dia sendiri yang terlalu moralistis! Dia sudah kebanyakan terpengaruh sama Lu Yicheng!
“Kalau yang dimaksud Lu Yicheng, aku punya banyak komentar!” kata Luo Wen bersemangat. “Tadi aku bilang Wang Jianfeng gak bisa saingi Jiang Yan. Nah, Lu Yicheng tuh menang telak di semua aspek! LU YICHENG, men!! Cowok paling ganteng di kampus, juara kelas, anak dewa akademik di jurusan mereka!”
Tapi kemudian, Gao Jingjing tiba-tiba tanya, “Ngomong-ngomong, Lu Yicheng gak punya adik cewek semacam teman masa kecil gitu kan??”
Wajar sih mereka jadi parno.
Soalnya... trauma berat sama kata "adik perempuan".
Kalau dengar aja bisa langsung sesak dada.
Jiang Ruoqiao langsung menjawab tegas: “Enggak ada.”
Eh, tunggu... Harusnya... enggak ada, kan??
Jujur aja, dia juga PTSD sama yang namanya adik perempuan.
— 🎐Read only on blog/wattpad: onlytodaytales🎐—
Bab 53
Jiang Ruoqiao memikirkannya sejenak. Dalam masa depan yang dikatakan Lu Siyuan itu, dia menikah dengan Lu Yicheng. Jika Lu Yicheng benar-benar punya seorang “adik perempuan” yang menyebalkan, dia pasti tidak akan memilih menikahi orang seperti itu. Kapan pun itu, mungkin dia tidak akan percaya pada orang lain, tapi dia pasti akan percaya pada dirinya sendiri. Tak peduli dirinya yang mana, dia percaya.
Lagi pula, dia sudah cukup lama berinteraksi dengan Lu Yicheng.
Orang ini memang pendiam, agak kaku, dan tidak banyak bicara, tapi sepertinya tidak ada masalah dalam kepribadiannya.
Dia juga pernah bilang bahwa keluarganya nyaris tidak ada siapa-siapa lagi, dan hanya dia sendiri di dalam satu Kartu Keluarga. Kalau memang dia punya adik perempuan yang dekat dengannya, dalam waktu belakangan ini, pasti sudah terdengar kabarnya. Jangan lihat Lu Siyuan masih lima tahun, anak ini bahkan sulit dibohongi oleh orang dewasa. Jadi kalau Lu Yicheng punya sesuatu yang mencurigakan, kemungkinan besar Lu Siyuan akan jadi orang pertama yang menyadarinya. Dengan karakter Lu Siyuan, apa dia akan diam saja dan tidak memberitahunya?
Anak ini bahkan melapor padanya setiap kali Lu Yicheng pergi potong rambut!
Kalau benar-benar ada adik perempuan, atau kakak perempuan, Lu Siyuan pasti sudah bikin heboh seisi rumah.
Semakin dipikir, ekspresi Jiang Ruoqiao semakin serius, lalu alisnya kembali mengendur.
Tiga teman sekamarnya yang mengenalnya dengan baik saling berpandangan, masing-masing menyadari ada sesuatu yang tidak beres.
Tidak… tidak benar.
Ruoqiao bukan tipe orang seperti ini. Kalau dia tidak punya sedikit pun perasaan pada Lu Yicheng, apakah dia akan seserius ini?
Jelas sekali, Jiang Ruoqiao sendiri juga sadar akan masalah ini — Apa-apaan ini, ya Tuhan?!
Lu Yicheng bukan siapa-siapanya. Bukan teman dekat, bukan pacar, lalu apakah Lu Yicheng punya adik perempuan atau tidak, apa hubungannya dengan dia??
Kenapa dia begitu serius memikirkan soal ini??
Jiang Ruoqiao menggeleng-gelengkan kepalanya, bergumam, “Mau dia punya adik atau kakak perempuan, itu nggak penting!”
Yun Jia memandangnya curiga: Benarkah tidak penting?
Lalu kenapa waktu kamu menyebut “adik” atau “kakak”, ekspresimu jelas-jelas seperti "saya muak sekali"?
Jiang Ruoqiao akhirnya kembali ke akal sehatnya dan menatap ketiga teman sekamarnya. Seperti pepatah bilang, “lebih baik orang lain yang mati daripada aku yang mati”, dalam situasi ini, Jiang Ruoqiao merasa bahwa Jiang Yan yang sudah jadi mantan pacarnya adalah orang luar. Sementara Lu Yicheng, karena dia adalah ayah dari Lu Siyuan, bisa dibilang setengah bagian dari dirinya. Dilihat dari sisi manapun, yang lebih penting adalah hubungannya dengan Lu Yicheng. Jadi jangan salahkan dia kalau berat sebelah. Lagipula… sejak zaman dulu, siapa juga yang membela orang luar?
“Gadis-gadis cantik, para peri, aku ada tugas penting buat kalian,” kata Jiang Ruoqiao dengan ekspresi penuh harap.
Yun Jia ngomel sendiri, “Kenapa rasanya nggak ada yang bagus nih, boleh nolak nggak?”
Jiang Ruoqiao dengan wajah serius: “Tentu saja tidak boleh. Kita sudah bersumpah jadi saudara sejiwa!”
“? Bisa saja sumpahnya diputus kok.”
Jiang Ruoqiao: “…”
Tentu saja mereka cuma bercanda. Gao Jingjing berkata, “Ayo ngomong, tugas penting apa. Asal bukan suruh kami ngurusin Jiang Yan ya, bukan kan?”
Jiang Ruoqiao: “? Sejelek apa sih reputasiku sampai kamu bisa berpikir begitu?!”
Gao Jingjing: “Hahahahaha~”
“Sudahlah, kembali ke topik utama. Pertama…” Jiang Ruoqiao memulai.
Luo Wen tak bisa menahan tawa, “Aku yakin ini nggak cuma satu tugas penting deh.”
“Hey!”
“Baiklah baiklah, Kakak silakan ngomong, kami dengar.”
“Pertama, kasih tahu semua orang yang mungkin tahu, bahwa aku dan Jiang Yan udah putus. Aku mau putus total sama orang ini.” kata Jiang Ruoqiao.
Ini memang hal yang harus dilakukan.
Putus itu harus diumumkan ke seluruh dunia. Biar nggak ada orang di jalan yang masih mengira mereka berdua pasangan. Itu nggak baik. Nggak baik buat dia, dan lebih nggak baik buat pacar barunya di masa depan.
Tiga orang itu kompak menjawab: “Cuma itu? Tentu saja nggak masalah!”
Kalau bisa segera lepas, kenapa harus nunggu? Masa depan nggak perlu dicemari dengan undangan nikah Jiang Yan dan Lin Kexing.
Sebaiknya selamanya jangan ada hubungan lagi.
Jiang Ruoqiao sangat puas.
Lihatlah, inilah kekuatan persahabatan, inilah hati para sahabat. Cowok… itu semua cuma sekelebat bayangan. Saat penting seperti ini, tetap yang bisa diandalkan adalah para sahabat.
Jiang Ruoqiao berpikir lagi, “Kalau ada yang tanya soal alasan putus…”
Yun Jia: “Itu mah gampang. Cowok yang nggak bisa jaga etika, ya minggir aja. Putus itu solusi terbaik!”
Luo Wen: “Ya ampun, masak kita harus nutupin kesalahannya? Dia kasih aku uang satu miliar pun aku baru mikir buat bohong.”
Jiang Ruoqiao: “… Nggak perlu sampai satu miliar, satu juta aja cukup. Nanti kita bagi dua.”
Luo Wen menatapnya sinis: “Kamu ini masih punya harga diri nggak sih?”
Gao Jingjing: “Tapi ini sebenarnya kasus sosial yang bagus. Biar cewek-cewek waspada sama yang namanya ‘adik perempuan’ ini, dan cowok-cowok juga mikir, sebenarnya mereka kekurangan keluarga atau pacar sih?”
Tapi Jiang Ruoqiao menggeleng, “Itu bisa dilakukan, tapi nggak perlu. Kalau ada yang tanya, bilang aja kami putus karena beda prinsip hidup. Jawaban yang resmi-resmi aja~ kalian tahu kan alasan para artis pas putus itu gimana? Ikutin aja gaya mereka~”
Memang dia ingin berada di posisi moral yang tinggi, tapi bukan berarti dia harus menyudutkan Jiang Yan sampai hancur dan nggak bisa bangkit lagi. Itu nggak perlu. Cuma soal pacaran, bagi dia dan dia juga, ini hanya bentuk penyelamatan yang tepat waktu.
Yang dia harapkan adalah orang-orang segera melupakan masa lalunya dengan Jiang Yan. Lagipula, kalau saat ini dia mengungkit soal Lin Kexing, apa untungnya bagi dia? Opini publik itu seperti pedang bermata dua, dan dia sendiri nggak yakin bisa mengendalikannya. Membawa Lin Kexing masuk hanya akan bikin cerita makin rumit dan dramatis. Jangan lupa, Lin Kexing itu anak perempuan keluarga Lin, pemilik perusahaan perhiasan besar.
Pengalamannya sebagai penonton drama bertahun-tahun memberitahunya bahwa dalam hidup, jangan terlalu ekstrem. Dia nggak perlu juga membangun citra “korban malang yang dikhianati”, karena apa dia mau setiap kali orang melihatnya nanti, yang diingat adalah kisah penuh drama dengan Jiang Yan? Bayangin aja udah bikin dia merinding.
Dia juga bukan tipe orang yang suka tenggelam dalam cinta.
Dia benar-benar ingin berpisah baik-baik dengan Jiang Yan. Jangan ribut, jangan saling menjelekkan, jangan bongkar aib. Itu semua buruk! Dia nggak mau hal semacam itu tercatat dalam sejarah hidupnya.
Ketiga teman sekamarnya setelah mendengar itu semua, ikut merenung. Tapi pada akhirnya tetap menghormati keputusan Jiang Ruoqiao.
Jiang Ruoqiao mendengarkan mereka berdiskusi bagaimana cara menangani kedua hal ini, dan hatinya sungguh terharu. Sebenarnya dia sangat ingin menceritakan tentang Siyuan, tapi dia juga sadar sekarang belum saatnya. Setidaknya tunggu sampai urusan putus dari Jiang Yan ini benar-benar selesai, baru cari waktu yang tepat untuk bicara jujur.
“Teman-teman cantik, aku sudah putuskan,” kata Jiang Ruoqiao. “Selama seminggu ke depan, minuman kalian semua aku yang traktir. Mau minum apa aja, silakan~”
Yun Jia langsung angkat tangan, “Sehari batasnya berapa gelas?”
Jiang Ruoqiao: “Berapa?? Kalian mau minum berapa gelas sih?!”
Ngurusin Lu Siyuan si tukang habisin duit aja sudah cukup berat. Masa sekarang teman-temannya juga berubah jadi penghabis uang?
Saat Jiang Ruoqiao sedang sibuk diskusi sama teman-temannya…
Lu Yicheng selesai memandikan Lu Siyuan, lalu mengambil piyama dan masuk ke kamar mandi. Di sekitar kampus A, harga tempat tinggal sangat mahal. Rumah kontrakan Lu Yicheng kecil, kamar mandinya lebih kecil lagi. Dengan tinggi hampir 1,9 meter, dia merasa sangat sempit di dalamnya. Berdiri di bawah pancuran, air menghapus kelelahan seharian. Lu Yicheng mengusap wajahnya, dan seperti biasa, inilah saat-saat paling tenang dalam harinya, saat dia bisa berpikir.
Konfliknya dengan Jiang Yan sudah pecah, dan banyak hal yang harus dipertimbangkan dan disusun dengan baik ke depannya.
Hubungannya dengan Jiang Ruoqiao tidak bisa dihindari, dan seiring dengan Lu Siyuan masuk TK, interaksi mereka akan semakin sering. Sekarang Jiang Ruoqiao juga sudah putus dari Jiang Yan. Di mata orang lain, dia dan Jiang Yan dulunya teman… lalu bagaimana pandangan orang terhadap hubungan mereka bertiga nantinya?
Kurang lebih ada tiga cara menghadapi ini.
Cara pertama, tidak melakukan apa-apa. Tapi risikonya, Jiang Ruoqiao bisa disalahpahami sebagai orang yang selingkuh, bahkan dianggap berkhianat saat masih pacaran.
Cara kedua, langsung mengakui hubungannya dengan Siyuan dan keterikatan dengan Jiang Ruoqiao. Ini adalah pilihan paling buruk, karena bertentangan dengan kesepakatan mereka sebelumnya untuk tidak mengungkapkannya. Sekarang setelah makin dekat dengan Siyuan, dia semakin tidak rela anaknya mengalami hal-hal buruk. Siyuan akan segera masuk TK. Dia ingin Siyuan punya kehidupan normal, banyak teman, tidak jadi bahan gosip. Tidak ingin orang lain memperlakukannya seperti makhluk aneh.
Cara ketiga… menciptakan kesan bahwa dia jatuh cinta pada pacar temannya, dan setelah mereka putus, dia mulai mengejarnya. Tentu saja, ini akan menimbulkan kesalahpahaman.
Tapi setelah mempertimbangkan ketiga pilihan itu…
Kalau bukan Siyuan yang disakiti, maka Jiang Ruoqiao yang disalahpahami.
Kalau bukan mereka, maka dia yang jadi sasaran.
Walaupun sebelumnya dia belum pernah menaruh perasaan pada Jiang Ruoqiao, sekarang dia tidak rela dia disalahpahami. Apalagi sekarang…
Tidak perlu pertimbangan lebih lanjut.
Mungkin ini juga adalah keinginannya yang terdalam.
Lu Yicheng sudah membuat keputusan. Meski keputusan ini akan menimbulkan kesalahpahaman, tapi tak masalah. Setidaknya ini bisa menjelaskan kenapa setelah Jiang Ruoqiao dan Jiang Yan putus, dia dan Jiang Ruoqiao semakin dekat. Toh dia dan Jiang Yan sudah benar-benar pecah, cepat atau lambat orang-orang akan melihat dia mengantar Jiang Ruoqiao pulang, atau makan bersama.
Keesokan paginya, Lu Yicheng bangun sangat pagi.
TK belum mulai. Lu Siyuan masih tertidur lelap. Selama ini Lu Yicheng sudah paham kebiasaan anaknya, jadi dia menggunakan waktu pagi untuk cepat-cepat mandi dan keluar rumah.
Karena belum masuk semester baru, banyak mahasiswa belum kembali ke kampus. Kampus di pagi hari sangat sepi.
Lu Yicheng membawa sesuatu di kedua tangannya.
Dia berjalan cepat ke arah asrama perempuan.
Sebenarnya sebelum hari kemarin, dia hampir tidak pernah ke daerah itu. Asrama laki-laki dan perempuan dipisahkan cukup jauh. Kalau pun pernah lewat, dia selalu cepat-cepat pergi, tidak pernah menoleh. Karena asrama perempuan tidak ada hubungannya dengannya. Dia gugup, meski pagi itu dingin, telapak tangannya berkeringat.
Sampai di depan asrama perempuan.
Dia berdiri seperti patung.
Melangkah sejauh ini saja sudah sangat sulit.
Lu Yicheng dikenal baik di kampus, jadi saat ada mahasiswi satu jurusan lewat dan melihat dia berdiri diam seperti pohon, mereka heran dan bertanya, “Lu Yicheng, butuh bantuan?”
Lu Yicheng terdiam sejenak.
Mahasiswi itu dengan sabar menunggunya. Mereka beda kelas, tapi di jurusan mereka, reputasi Lu Yicheng sangat baik.
Biasanya kalau orang lain minta tolong, Lu Yicheng selalu membantu tanpa banyak tanya.
Sekarang dia yang butuh bantuan, tentu tidak bisa diabaikan.
Lagi pula, dia juga penasaran. Apa yang bisa membuat cowok favorit jurusan mereka terlihat ragu dan gelisah begini?
Padahal Lu Yicheng itu tipe cowok sempurna yang tidak mudah diganggu masalah.
Apa sih masalahnya?
Lu Yicheng sadar dia terlalu lama diam, lalu menatap gadis itu dan dengan susah payah berkata, “Teman, boleh tolong panggilkan Jiang Ruoqiao dari jurusan Bahasa Asing?”
Melihat ekspresi gadis itu yang terkejut, dia buru-buru menambahkan, “Aku datang mengantar sarapan untuknya.”
Mahasiswi: “????”
Siswi lain yang lewat: “!!!!” Apa-apaan ini????
Apa yang sebenarnya terjadi??? Lu Yicheng datang mengantar sarapan buat Jiang Ruoqiao?? Baru liburan satu musim panas, apa yang kami para penonton gosip lewatkan di sini?!
— 🎐Read only on blog/wattpad: onlytodaytales🎐—
Bab 54
Lu Yicheng tahu ini akan menimbulkan kehebohan, dan melihat ekspresi terkejut dari teman-teman sejurusannya saja sudah cukup membuatnya pusing.
Ia menggenggam erat kantong sarapan di tangannya, lalu dengan suara tenang dan lembut mengingatkan, “Teman?”
Gadis itu baru sadar, buru-buru menjawab, “Lu Yicheng, kamu bilang tadi cari siapa? Aku nggak dengar jelas.”
Lu Yicheng berkata, “Jiang Ruoqiao, dari jurusan Bahasa Asing.”
Gadis itu dalam hati: ternyata aku nggak salah dengar.
Baru masuk semester baru, langsung disuguhi gosip segar kelas satu. Ini pasti akan jadi berita panas yang mengguncang seluruh kampus! Yang bikin tambah seru: dia adalah saksi pertama! Betapa membanggakan.
“Boleh ya?” tanya Lu Yicheng lagi.
Gadis itu cepat-cepat mengangguk, “Boleh, boleh. Aku kebetulan tahu dia tinggal di kamar mana.”
Jiang Ruoqiao? Dia cukup kenal.
Tentu, kenal di sini bukan berarti mereka berteman. Tapi siapa sih yang nggak kenal Jiang Ruoqiao?
Dia itu bunga kampus! Cowok suka cewek cantik, tapi cewek lebih suka cewek cantik. Setiap kali melihat Jiang Ruoqiao, suasana hati langsung bagus. Dibandingkan cowok ganteng, cewek lebih bisa menghargai kecantikan sesama wanita. Misalnya, mereka bisa langsung sadar kalau Jiang Ruoqiao potong rambut, ganti lipstik, atau parfum!
Cowok bisa begitu? Hah!
Gadis itu bersemangat sekali, langsung berlari ke asrama putri.
Mereka memang beda lantai, tapi dengan kecepatan seperti kejar-kejaran, dia sampai ke depan kamar Jiang Ruoqiao, lalu mengetuk pintu.
Saat itu, jam-jam rawan bagi para penghuni kamar yang masih malas-malasan bangun tidur.
Jiang Ruoqiao baru keluar dari kamar mandi, duduk di meja, menyemprot wajahnya dengan face mist sambil bersiap makeup ringan.
Yun Jia, yang baru saja turun dari ranjang, kebetulan paling dekat dengan pintu. Ia membukanya dan melihat seorang gadis berambut pendek yang tak dikenalnya, lalu bertanya heran, “Ada perlu apa, ya?”
Si gadis pendek tetap semangat, tapi mencoba menahan nada girangnya, “Ada yang cari Jiang Ruoqiao di bawah.”
Takut terlalu lambat, dia langsung menambahkan, “Lu Yicheng dari jurusan kami! Dia nyari Jiang Ruoqiao! Dia bilang mau kasih sarapan!”
Yun Jia: “??”
Baru saja bangun, pikirannya masih setengah jalan. Setelah beberapa detik, dia akhirnya sadar, lalu menoleh kaku ke arah Jiang Ruoqiao di dekat jendela.
“Ruoqiao, ada yang nyari. Lu Yicheng, katanya kasih kamu sarapan…”
Semakin mengucap, dia semakin sadar, lalu menjerit, “APA?! LU YICHENG NGASIH SARAPAN?!”
Si gadis pendek merasa sangat puas.
Ternyata bukan cuma dia yang heboh. Tuh lihat, siapa pun yang dengar gosip ini pasti bakal heboh!
Jiang Ruoqiao baru selesai menyemprot face mist, masih pakai headband berbulu di dahinya, bengong.
Apa-apaan ini? Bahkan dia sendiri nggak tahu kenapa Lu Yicheng tiba-tiba datang. Bawa sarapan pula? Rasanya kok nggak masuk akal.
Jiang Ruoqiao berdiri. Si gadis pendek menatapnya penuh kekaguman.
Jiang Ruoqiao tersenyum sopan, “Oke, aku segera turun. Terima kasih ya.”
Gadis pendek dalam hati: ASTAGA, TANPA MAKEUP AJA CANTIK BANGET!! BENER-BENER BUNGA KAMPUS~~
“Ngga masalah!” Gadis pendek sebenarnya pengin banget tinggal lebih lama buat nguping lebih lanjut. Tapi jelas mereka baru bangun, dan dia hanya penyampai pesan. Nggak sopan kalau numpang nongkrong. Akhirnya dia pun pergi, walau berat hati. Begitu membalik badan, dia langsung ambil ponsel dari tasnya, mengetik cepat di layar, membagikan gosip ini ke grup asrama dan grup sahabat:
> 【GILA!!! Kalian nggak bakal percaya!! Tadi pagi aku beli mie campur di kantin—btw, si koki mie masih jago banget, enaknya parah—eh eh balik ke topik, aku ketemu Lu Yicheng di depan asrama putri, ya, LU YICHENG! Si jenius jurusan kita! Dia di depan asrama, nyari siapa coba? JIANG RUOQIAO! Dan dia BAWA SARAPAN buat JIANG RUOQIAO!! (Inget ya, pas kalian share gosip ini, jangan lupa sebut aku sebagai saksi pertama. Aku si penggali pertama gosip ini!)】
Sementara itu, Jiang Ruoqiao belum turun.
Dia harus berpikir dulu.
Di bawah tatapan tiga teman sekamar yang antusias, dia tetap tenang duduk di depan meja, mulai skincare dan makeup.
Sambil mengusap wajahnya, dia berpikir: ini maksudnya Lu Yicheng apa sih?
Tapi makin dipikir, makin masuk akal—ini mungkin strategi Lu Yicheng. Mereka pasti akan sering berinteraksi ke depannya, apalagi setelah dia putus dari Jiang Yan, sementara Lu Yicheng itu sahabat Jiang Yan. Gimana pun mereka bersikap, pasti jadi sorotan. Jadi, bisa jadi ini pengorbanan dari Lu Yicheng. Demi menanggung semua omongan, dia pasang badan.
Oke, ini terdengar seperti sesuatu yang akan dilakukan Lu Yicheng.
Dan dia tidak heran.
Tapi… karena Lu Yicheng sudah berbuat sejauh ini, dia juga tidak bisa tinggal diam.
Lagi pula, sekarang mereka sedang berada di perahu yang sama.
Ketiga teman sekamarnya tidak lagi peduli urusan sendiri, berdiri rapi seperti penjaga pintu di belakangnya.
Setelah memoles lip gloss tipis di bibirnya, Jiang Ruoqiao akhirnya berdiri dan berkata, “Sahabat-sahabatku, walaupun rencananya sedikit berubah, kita tetap bisa lanjutkan misi awal, bukan?”
Lalu, dengan gaya bercanda, dia membungkuk, “Kakak-kakakku, aku mohon bantuannya. Kalian mau tiap hari minta 10 gelas boba pun aku setuju.”
Ketiga teman matanya langsung bersinar, “Santai aja~ Tapi selain boba, kita ada syarat lain. Kita mau tahu semua detailnya, ngerti maksudnya, kan?”
“? Nggak ngerti.”
“Kamu ngerti.” Yun Jia menggosok-gosok tangan, “Maaf ya kami kurang pengalaman. Cuma penasaran... waktu ciuman, Lu Yicheng suka posisi gimana ya? Terus tangannya tuh—”
Jiang Ruoqiao langsung pasang muka serius, “Stop. Kamu mencemari telingaku.”
Setelah itu, dia langsung keluar kamar seolah kabur.
Begitu Jiang Ruoqiao keluar, ketiga teman sekamar langsung heboh diskusi.
“Lu Yicheng beneran nganter sarapan. Sepertinya dia mulai naksir Ruoqiao.” Yun Jia mengusap dagunya. “Tapi dia bawa empat porsi nggak ya?”
Sudah lama mereka nggak dapat sarapan gratis.
Setiap kali Jiang Ruoqiao jomblo, banyak cowok yang ngasih cemilan atau sarapan, dan semuanya punya taktik: kasih empat porsi! Itu cara tak langsung untuk ambil hati temannya juga. Dulu Jiang Yan juga pernah nganterin sarapan lama banget, tapi begitu jadian, dia jadi malas (ke teman-temannya). Sudah lama mereka nggak makan sarapan dari Jiang Yan.
Luo Wen berkata, “Menurutku sih nggak. Lu Yicheng kayaknya bukan tipe cowok yang peka begitu. Katanya dia nggak pernah pacaran, nggak punya pengalaman. Bisa ingat nganterin sarapan aja udah bagus, mana kepikiran bawa empat porsi.”
Gao Jingjing mendorong kacamatanya, “Ngomong-ngomong, kalau sarapannya dari sang jenius, mungkin ujian kita aman dari remedial?”
…
Saat Jiang Ruoqiao selesai makeup, hampir seluruh asrama putri sudah tahu soal sarapan dari Lu Yicheng. Saat dia turun, beberapa kamar membukakan pintu sedikit, mengintip.
Entah kenapa, suasananya bikin Jiang Ruoqiao merasa agak malu.
Dia turun cepat, dan sebelum keluar, sudah melihat Lu Yicheng berdiri tegak di bawah pohon, membawa banyak kantong.
Dia berhenti sejenak.
Tepat saat itu, Lu Yicheng mengangkat kepala dan melihat ke arahnya.
Mata mereka bertemu.
Jiang Ruoqiao menggigit bibir, lalu dengan langkah sengaja diperlambat, berjalan anggun ke arahnya.
Banyak gadis di balkon berpura-pura menjemur atau mengambil baju, semuanya melihat ke bawah.
Cowok ganteng nganter sarapan buat cewek cantik bukan hal aneh.
Tapi kalau cowoknya Lu Yicheng dan ceweknya Jiang Ruoqiao—efeknya dobel.
“Kamu ngapain ke sini?” tanya Jiang Ruoqiao.
Lu Yicheng juga agak canggung.
Ini pertama kalinya dalam hidup dia beli sarapan buat cewek.
Dia jadi kikuk, suaranya agak serak, “Nanti aku jelasin lewat SMS.”
Jiang Ruoqiao miringkan kepala, “Kenapa nggak kasih tahu dulu lewat pesan? Kamu kan punya nomorku.”
Lu Yicheng: Uh…
Dia menggenggam kantong lebih erat, lalu berkata setenang mungkin, “Kamu nggak sadar?”
Wah, sekarang Lu Yicheng juga belajar nakal.
Mulai bisa balik nanya.
Belajar dari siapa coba?
Sudahlah, pertanyaan ini bisa diskip.
Jiang Ruoqiao mengalah, ganti topik, “Beli sarapan apa?”
Lu Yicheng menyerahkan kantongnya.
Dia mendekat untuk melihat.
Lu Yicheng kembali mencium wangi bunga yang manis.
Tanpa sadar, dia menahan napas. Jiang Ruoqiao membuka kantong dan melihat isinya.
Ini sebenarnya sudah termasuk tindakan cukup akrab—ngintip sarapan seseorang.
Dia terkejut. Lu Yicheng beli kopi dan croissant—sama persis seperti yang pernah dia beli dulu. Dia ternyata ingat!
Tapi, kopi dan croissant-nya cuma satu porsi. Tiga lainnya adalah bubur dan susu kedelai dari kantin.
Jelas, kopi dan croissant untuknya.
Sisanya buat teman-teman sekamar.
Cowok memang punya naluri seperti ini ya.
Jiang Ruoqiao menatapnya sambil senyum menggoda.
Lu Yicheng akhirnya jujur, “Mahal soalnya.”
Jiang Ruoqiao tak tahan, tertawa pelan, matanya berkilau.
Lu Yicheng tak punya pilihan. Pagi-pagi dia ke kedai kopi favorit Jiang Ruoqiao, pesan sesuai pesanan terakhirnya: kopi hitam dan croissant, sekitar tiga puluh ribu. Satu porsi oke lah. Tapi empat?
Akhirnya, untuk yang lain, dia beli sarapan dari kantin.
“Besok masih mau nganter?” Jiang Ruoqiao tersenyum.
Lu Yicheng terdiam sejenak, “Mau.”
Kalau mau pura-pura, sekalian total.
Dia tahu Jiang Ruoqiao bukan cewek yang mudah didekati.
Nggak cukup satu sarapan.
Jiang Yan dulu aja nganter dua bulan lebih.
Dia harus lebih ekstra.
Jiang Ruoqiao mengedip, “Mau nganter terus? Kalau gitu aku transfer uangnya ya.”
Lu Yicheng: “?”
Dia cepat-cepat geleng, “Nggak usah.”
Dia masih sanggup bayar.
Masa narik uang cewek. Dia bukan kurir.
Jiang Ruoqiao lihat dia ngotot begitu, menahan senyum. Oke, nanti cari cara lain buat balas budi.
Lagipula sekarang mereka senasib. Bisa jadi waktu dia beli sarapan itu, hatinya juga sama sakitnya.
“Bubur sama susu kedelainya enak?” Jiang Ruoqiao tanya, “Kalau gitu, besok aku makan itu aja.”
Lu Yicheng terkejut, “Bukannya kamu biasanya ngopi?”
Jiang Ruoqiao menjawab, “Sesekali pengin ganti rasa.”
Lu Yicheng mengerutkan alis, agak bingung, agak ragu, “Sebenarnya nggak mahal-mahal banget juga.”
Tiga puluh ribu, dia masih bisa bayar. Dia tahu cewek itu suka kopi itu.
Jiang Ruoqiao menyipitkan mata, “Besok aku makan bubur dan susu. Protes?”
Lu Yicheng: “…Nggak.”
— 🎐Read only on blog/wattpad: onlytodaytales🎐—
Bab 55
Mood Jiang Ruoqiao sedang bagus, dan baru kali ini dia punya waktu untuk memperhatikan Lu Yicheng dengan saksama.
Dia masih mengenakan kombinasi abadi kaos T-shirt dan celana hitam. Hari ini, bukan sepatu kanvas seperti biasanya, melainkan sepasang sepatu olahraga. Bukan merek terkenal, tapi terlihat bersih sekali, seperti baru disikat. Dan tentu saja, ransel hitam yang juga menjadi ciri khasnya.
Wajahnya tidak terlihat ada luka atau bekas pukulan.
Lu Yicheng merasa agak tidak nyaman karena Jiang Ruoqiao terus memerhatikannya. Dia bisa menebak apa yang sedang dipikirkannya, jadi dia menurunkan suaranya dan berkata, “Aku tidak berkelahi.”
Meskipun hampir saja terjadi perkelahian, tapi tetap saja akhirnya tidak terjadi.
Mungkin di masa depan tetap akan berkelahi.
Jiang Ruoqiao merasa lega. Hal semacam ini juga tidak pantas ditanyakan terlalu jauh. Lagipula, melihat Lu Yicheng baik-baik saja, berarti dia tidak diperlakukan kasar oleh Jiang Yan. Ia menerima empat bungkus sarapan yang dibawa Lu Yicheng, wajahnya tampak santai, “Terima kasih, mereka pasti senang sekali. Soalnya kami semua malas, dua tahun sekolah, jumlah sarapan yang kami beli sendiri di kantin bisa dihitung dengan jari.”
Itu benar-benar fakta.
Seperti kata pepatah, “Burung sejenis akan berkumpul bersama.” Empat orang di asrama mereka bisa seakrab itu memang karena mereka mirip.
Jiang Ruoqiao sendiri cukup teratur soal makan tiga kali sehari. Tapi kalau disuruh bangun pagi-pagi buat antre di kantin, itu hal yang hampir mustahil.
Tiga teman sekamarnya juga begitu — malas bangun pagi.
Lu Yicheng tampak ragu setelah mendengarnya. Dia bertanya dengan hati-hati, “Masa sih? Setahuku, Jiang Yan sering beliin kalian sarapan.”
Bukan cuma Jiang Yan, juga ada orang lain yang naksir dia, atau naksir cewek lain di asramanya. Mereka juga pernah bawakan sarapan.
Jadi, bagaimana mungkin jumlah sarapan di kantin bisa dihitung dengan jari?
Senyum di wajah Jiang Ruoqiao perlahan memudar. “Oh, kamu teliti sekali, ya.”
Logika kamu benar-benar kuat.
Lu Yicheng sadar dia salah ngomong, dan langsung diam.
Jiang Ruoqiao menarik napas dalam-dalam, tetap menjelaskan, “Maksudku, kami sendiri yang beli sarapan itu jarang sekali.”
Lu Yicheng: “...Oh.”
Dia berkata lagi, “Maaf, aku salah paham.”
Melihat dia begitu, Jiang Ruoqiao tidak tahu harus berekspresi bagaimana. Wajahnya sempat kaku, tapi akhirnya dia tertawa juga, “Udah deh, aku tahu kalian para siswa genius itu emang sangat teliti. Makasih buat hari ini.”
Lu Yicheng benar-benar merasa lega dari dalam hatinya. “...Sama-sama, memang sudah tugasku.”
Jiang Ruoqiao berpikir, dasar bodoh, benar-benar bodoh.
“Ya udah, aku naik duluan,” Jiang Ruoqiao berkata pelan, “Kalau ada apa-apa, telpon aja.”
Lu Yicheng: “Oke.”
Dia menatapnya masuk ke gedung asrama putri, lalu mendongak — tepat saat itu dia melihat beberapa kepala mengintip dari balkon asrama, seperti mainan "pukul tikus", muncul lalu masuk lagi. Dia merasa sangat tidak nyaman, tapi tetap berjalan pergi dengan postur tegap. Langkah kakinya jauh lebih cepat dari biasanya.
Jiang Ruoqiao membawa empat bungkus sarapan naik ke asrama.
Tiga teman sekamarnya langsung mengerubunginya.
“Gila, dia beneran bawain kita sarapan!”
“Ah, ini favoritku! Baozi! Katanya, susu kedelai di kantin tuh laku banget, cepet habis. Eh, kalian pikir, makan sarapan dari sang dewa kampus bisa bikin nilai ujian kita naik ga ya?”
Tiga teman sekamarnya semua pura-pura nggak lihat bahwa Lu Yicheng bawain jenis sarapan yang beda buat Jiang Ruoqiao.
Jiang Ruoqiao — cewek urban elegan — dapat kopi dan croissant.
Mereka bertiga — cewek-cewek merakyat — dapat susu kedelai dan baozi.
Jiang Ruoqiao membuka tutup kopi dan menyesap sedikit. Rasa dingin dan pahit menyebar di mulutnya, membuatnya makin segar, “Udah deh, jangan lebay, mana ada sampai jadi jenius karena sarapan…”
“Eh iya, di forum kampus udah ada postingannya!” Yun Jia menunduk melihat ponselnya. “Ruoqiao, aku kirim link-nya ke kamu ya. Tenang aja, kita bertiga siap jaga kolom komentar buat kamu.”
Hah—
Jiang Ruoqiao langsung melupakan kopinya, buru-buru buka link-nya.
[Wow!! Pangeran kampus kita pagi-pagi muncul di depan asrama putri buat ngapain??]
Oke.
Judulnya cukup menarik.
Dia langsung terpancing.
Begitu dibuka—
---
[Postingan Utama]
Seperti yang semua orang tahu, hal paling menyakitkan buat mahasiswa itu adalah kembali ke kampus setelah libur. Aku semalam hampir nggak bisa tidur. Tolong dong bagian teknisi perbaiki AC di asrama kami, ini terlalu menyiksa!
Pagi-pagi aku dan teman-temanku bangun lebih awal dari biasanya buat berebut beli mie campur. Eh, baru turun ke bawah, langsung liat si pangeran kampus! Walau selera kita beda, tapi berdasarkan polling di thread lain, Lu Yicheng itu yang paling banyak dipilih! Di thread ini dilarang nyinyir atau menyangkal statusnya sebagai pangeran kampus, oke?
Dan yang lebih gila, dia keliatan makin ganteng!
Tapi kami belum sempat membahas mengapa dia begitu setia pada ransel hitamnya, tiba-tiba… kami denger sesuatu yang bikin kaget: Dia datang untuk nganterin sarapan buat Jiang Ruoqiao.
What??
Setahuku, Jiang Ruoqiao itu pacarnya Jiang Yan.
Jadi, pertanyaannya:
1. Apakah Jiang Ruoqiao dan Jiang Yan sudah putus?
2. Sarapan itu dikasih atas nama dirinya sendiri, atau mewakili temannya?
3. Lu Yicheng!! Apakah kamu sedang mengejar Jiang Ruoqiao??
Secara pribadi, aku sih sangat berharap jawabannya “ya” buat nomor tiga! Alasannya:
Pertama: Pangeran & Putri kampus = jodoh ideal!
Kedua: Siapa sih yang gak suka nonton cinta segitiga panas? Ayolah, siapa?! Kalo kamu gak suka, ayo kita debat!
---
Komentar-komentar:
1L: Gila, pagi-pagi langsung dikasih drama sepanas ini??
6L: Aku mau bilang… kemarin kayaknya aku udah liat Lu Yicheng nganterin Jiang Ruoqiao, loh. Kirain aku salah lihat. Tapi sekarang liat thread ini, kayaknya emang bener!
15L: Aku ada info valid. Temanku itu teman dekat sekamar Jiang Ruoqiao. Mereka udah putus pas liburan musim panas, dan ya, sarapan itu murni dari Lu Yicheng sendiri, dan iya, dia emang lagi ngejar Jiang Ruoqiao.
22L: Udah putus? Kenapa? Aku awalnya suka banget sama mereka loh.
38L: Alasan putus ya standar lah. Gak cocok, beda tujuan hidup. Kabarnya Jiang Yan mau langsung kerja setelah lulus, Ruoqiao mau lanjut S2. Lagian, masa putus harus ada alasan resmi segala? Kadang cuma karena udah gak cocok aja. Aku juga putus musim panas ini, dan sayangnya, berat badan gak turun, merasa rugi (sori nyempil curhat dikit).
56L: Itu semua gak penting! Yang penting tuh: sahabat demi cewek yang sama jadi musuh?! Astaga, drama banget!! Dulu aku gak terlalu ngefans Lu Yicheng karena keliatan terlalu kalem. Tapi sekarang? Charm-nya naik drastis banget! Lu Yicheng, aku dukung kamu!
---
Sementara itu, asrama cowok juga sedang kacau.
Terutama kamar asrama Jiang Yan — sejak pagi dibombardir pesan dan telpon. Semua nanya tentang isi thread forum itu.
Jiang Yan cuma rebahan kayak mayat hidup. Tatapan kosong ke langit-langit. Semalam waktu dia pulang, aura dinginnya bikin kamar serasa lemari es.
Dia gak bilang apa-apa, ekspresinya menyeramkan.
Seolah-olah dia baru kehilangan segalanya.
Du Yu dan Wang Jianfeng udah sadar sejak kemarin malam, tapi gak berani nanya.
Pagi ini, Du Yu baru sikat gigi, tiba-tiba ditusuk dari belakang dan dikasih link thread itu. Begitu dibuka dan lihat ada foto-fotonya juga, dia langsung kaget sampai batuk dan semprotin pasta gigi ke mana-mana.
Du Yu buru-buru kumur dan masuk kamar, “Gila! Ini apa-apaan di forum?! Beneran Lu Yicheng ngejar Jiang Ruoqiao??”
Dan kelihatannya semua isi thread itu masuk akal!
Jiang Yan langsung duduk tegak. Suara dentuman ranjangnya keras.
Tubuhnya menegang.
Seperti busur yang ditarik maksimal.
Wang Jianfeng panik ngasih kode ke Du Yu biar diam, tapi Du Yu gak sadar, malah makin heboh, “Mana mungkin sih?! Tapi fotonya jelas banget! Itu emang Lu Yicheng! Jangan-jangan dia beneran suka Jiang Ruoqiao?!”
Gila. Parah.
Jiang Yan lompat turun dari tempat tidur.
Mukanya penuh amarah dan kedinginan.
Du Yu baru sadar...
Oke, gak perlu klarifikasi lagi. Liat tampang Jiang Yan aja udah cukup buat tahu... semua itu beneran terjadi.
Dalam hati Du Yu udah teriak-teriak kayak ayam dipotong:
“Aaaaaa Lu Yicheng beneran ngejar Jiang Ruoqiao?!”
Kapan mulainya sih? Kenapa dia gak tahu sama sekali?!
— 🎐Read only on blog/wattpad: onlytodaytales🎐—
Bab 56
Saat ini, Du Yu hanya ingin duduk santai dan menikmati gosip, hatinya penuh dengan keterkejutan, sama sekali tidak peduli bahwa di asrama masih ada seorang Jiang Yan yang terengah-engah tapi masih hidup.
Jiang Yan seluruh tubuhnya diselimuti oleh lapisan es.
Wang Jianfeng merasakan suasana di asrama yang nyaris meledak, dia segera memotong aksi nekat Du Yu, “Adik bungsu, ayo kita ke kantin beli mie campur, kamu kan bilang pengen makan mie campur, kalau terlambat, youtiao dan susu kedelai asin juga bakal habis.”
Du Yu setelah diingatkan Wang Jianfeng, hendak berkata, “Makan mie campur apaan, makan youtiao apaan, mana ada yang lebih enak dari gosip,” tapi dia tiba-tiba memperhatikan ekspresi dingin Jiang Yan, baru sadar: Oh, bos Jiang ada di asrama ya...
Du Yu juga bukan orang yang benar-benar nggak peka.
Dia sangat disukai di Universitas A.
Dia lalu tepuk dahinya, “Lihat aku, hampir lupa, ayo, Wang, aku traktir!”
Wang Jianfeng berusaha mencairkan suasana, “Ah sudahlah, saldo kartu makanmu masih ada? Bukannya kamu biasanya nggak pernah isi ulang?”
Du Yu: “......”
Hanya bisa tahan.
Keduanya seolah biasa saja membawa ponsel dan kunci asrama lalu keluar. Begitu pintu asrama tertutup, Du Yu langsung mencengkeram Wang Jianfeng, “Sial, ternyata beneran, tapi jangan-jangan ada kesalahpahaman di dalam?”
Wang Jianfeng belum sempat menjawab.
Saat mereka sampai di tangga, bertemu dengan beberapa cowok dari asrama lain yang super kepo.
Seorang cowok berkacamata hitam menggosok tangannya, tak bisa menyembunyikan rasa penasaran dan semangatnya, “Lao Wang, Xiao Du, kalian asrama beneran ya? Dengar-dengar Jiang Ruoqiao putus sama Jiang Yan??”
Du Yu: “......”
Kenapa dia malah dipanggil Xiao Du?
Wang Jianfeng santai banget, “Gak tahu.”
Cowok itu: “Kalian satu asrama masa gak tahu?”
Cowok lain ikut berkata, “Iya dong, kalian dekat banget, masa gak tahu, bilang dong! Bagi-bagi gosip, maaf ya, ini pacar aku yang terlalu kepo, makanya aku disuruh nyari tahu.”
Wang Jianfeng: “......”
“Gak tahu.” Jawaban Wang Jianfeng sangat resmi, “Kami gak tahu.”
Cowok lain nanya lagi, “Aku cuma penasaran, kenapa Jiang Ruoqiao yang putusin Jiang Yan ya?? Pasti dia yang putusin dia.”
Du Yu tanpa ekspresi: “Mau urusan lo apa?”
“Baik, pertanyaan terakhir, bener gak Lao Lu ngejar Jiang Ruoqiao? Itu yang paling kami penasaran!”
Wang Jianfeng sekali-sekali mengumpat.
Keduanya cepat-cepat menghindar dari para cowok itu dan turun dari asrama.
Tentu saja sepanjang jalan ketemu banyak temen, tatapan mereka cukup aneh——
Penasaran, bingung, jijik... bahkan semangat?
Du Yu keluarkan ponsel, “Gak bisa gini, aku harus tanya Lu Zong (Bos Lu) sebenernya gimana, kok rasanya orang luar lebih tahu dari kita?”
Dunia ini terlalu mengerikan.
Kenapa sampai urusan putusnya Jiang Yan dan Jiang Ruoqiao bisa sampai diselidiki sampai keluar begini?
Wang Jianfeng melarang, “Tunggu dulu. Kamu belum ngerti Lao Lu ini orang kayak gimana, kalau dia mau ngomong, pasti ngomong, kalau gak mau, kamu ngomel juga percuma.”
Du Yu akhirnya simpan ponselnya, “Urusan ini... kok rasanya aneh ya, kayaknya Lu Zong gak bakal ngelakuin hal kayak gitu.”
Betul juga.
Siapa sih Lu Yicheng? Kalau dia mau pacaran, cuma perlu sekejap, tapi dia sama sekali gak punya waktu dan minat soal cinta.
Orang yang sama sekali gak punya waktu dan minat pacaran, walau ada niat juga gak mungkin cari cewek yang bakal bawa banyak masalah kan?
Wang Jianfeng juga berpikir begitu, baru mau mengangguk, tiba-tiba ingat kejadian di rumah makan desa, wajahnya jadi serius.
Bukan gak mungkin juga.
Misalnya, waktu siang Jiang Ruoqiao mau ambil air sumur buat cuci sepatu.
Waktu itu Lu Yicheng jelas ngobrol sama dia di ruang tamu, tapi saat sadar Jiang mau ambil air, belum selesai ngomong dia langsung keluar bantu.
Misalnya, saat main game Truth or Dare, kenapa Lu Yicheng pilih minum alkohol.
Dia terakhir kali kontak sama cewek siapa?
Pertanyaan ini sulit dijawab?
Misalnya, saat Jiang Ruoqiao ketemu Jiang Yan dan Lin Kexing terus pergi, mereka gak ada yang menahan Jiang Yan, bukan karena bantu Jiang Yan, tapi karena pasangan yang mau putus, orang lain gimana bisa ikut campur? Tapi kenapa Lu Yicheng langsung maju?
Ini memang pertanyaan, tapi situasinya terlalu kacau, gak ada yang sempat mikir tenang.
Orang seperti Lao Lu biasanya gak suka ikut urusan orang lain... kecuali, kecuali ada alasan kuat.
Apa alasannya? Gak kepikiran.
“Tunggu saja.” Wang Jianfeng serius, “Nunggu Lao Lu ngomong.”
Sebenarnya hubungan mereka di asrama kelihatannya sederhana, tapi sebenernya nggak semudah itu.
Kalau harus milih, Du Yu lebih suka Lu Yicheng, karena dia orang yang dapat diandalkan. Jiang Yan... juga bukan buruk, orangnya jujur, tapi rasanya kurang sesuatu. Kalau sekarang ada masalah, baik Du Yu maupun Wang Jianfeng, pertama kali akan cari bantuan ke Lu Yicheng, bukan Jiang Yan.
Sementara itu, Jiang Ruoqiao juga memantau situasi ini secara penuh.
Gak heran, ada beberapa orang yang komentar anonim bilang dia main dua kaki, katanya dia gak punya malu karena berhubungan dengan dua pria, tapi komentar seperti ini cepat diredam, di antara banyak komentar, beberapa itu memang mencolok tapi gak sampai bikin orang kesel banget. Di mana pun, meskipun berita hubungan seperti ini, selama korban gak sempurna, biasanya akan disalahkan. Kasus Jiang Ruoqiao ini cuma seperti gerimis kecil.
Yang mengejutkan... karena Lu Yicheng selama ini punya reputasi baik, tak ada satu pun orang yang menyangka dia penyebab putusnya Jiang Ruoqiao dan Jiang Yan, atau dia yang ikut campur.
Ini...
Jiang Ruoqiao: “?”
Ini bisa dibilang contoh bagus orang baik dapat balasan baik, semua orang percaya dia punya karakter baik. Komentar negatif memang ada, ada yang serang Jiang Yan, ada yang serang dia, tapi gak ada yang serang Lu Yicheng. Jiang Ruoqiao geli sendiri, ya sudah, dalam semua kejadian ini, Lu Yicheng paling tidak bersalah, dia juga gak mau nama baiknya rusak karena dia.
Berita sebesar ini, paling cuma ramai selama beberapa hari.
Berita besar di dunia hiburan pun biasanya gak lebih dari tiga sampai empat hari, apalagi ini urusan kampus.
Mayoritas mahasiswa di Universitas A lebih peduli hidup dan belajar mereka sendiri, jarang yang terlalu fokus sama kehidupan pribadi orang lain. Jiang Ruoqiao sudah pengalaman, masalah ini, sebesar dan se-dramatis apapun, paling lusa pagi udah gak ada yang ngangkat lagi.
Setelah keluar dari forum, Jiang Ruoqiao biasa cek akun sosial media-nya.
Sejak sadar susahnya ngurus anak, dia sangat perhatian sama penghasilan dan asetnya, tiap hari harus cek sedikit hasil, kalo gak pakai oksigen.
Video "nostalgia" yang dia upload beberapa hari lalu, hasilnya luar biasa.
View-nya lebih banyak dari video lain, juga banyak share, komentar, dan like.
Setiap videonya dibuat dengan serius, jadi produksinya gak banyak, tapi pemirsa tetap stabil, popularitas juga stabil, kali ini platform kayaknya lihat video dia punya nilai promosi, sampai muncul di halaman depan, otomatis videonya lebih banyak yang lihat, bahkan dia sendiri agak kaget: Kayaknya bakal terkenal nih!
Sayangnya, dia sebenarnya gak tertarik.
Setelah tahu cerita aslinya, makin gak minat jadi seleb online.
Sore harinya, dosen pembimbing Lu Yicheng ada urusan, jadi dia minta Jiang Ruoqiao untuk mengantar Lu Siyuan foto kartu identitas.
Guru TK minta sepuluh foto satu inci latar biru.
Jiang Ruoqiao dengan senang hati setuju.
Sore itu, setelah menerima Lu Siyuan dari Lu Yicheng, Lu Yicheng juga pesan, “Di seberang jalan ada studio Dream Photography yang bisa foto kartu identitas, harganya murah, foto langsung jadi, 9 foto satu paket, harganya 20 yuan.”
Jiang Ruoqiao pura-pura dengar, tapi setelah Lu Yicheng pergi, dia langsung bawa Lu Siyuan naik taksi ke studio yang pernah dia datangi sebelumnya.
Studio Dream Photography itu lumayan terkenal, hasil fotonya juga jauh lebih bagus, tentu harganya agak mahal.
Fotografer bahkan puji Lu Siyuan, “Anak ini ganteng dan imut banget, lebih dari bintang cilik di TV.”
Lu Siyuan berdiri di depan latar biru, pelan-pelan bangga, “Soalnya ayahku paling ganteng, ibuku juga paling cantik.”
“Serius?” fotografer bercanda, “Nanti kalau kamu besar, ayahmu gak bakal paling ganteng lagi.”
Lu Siyuan tanya, “Kenapa?”
Jiang Ruoqiao tertawa di belakang fotografer, “Karena kamu yang paling ganteng.”
Lu Siyuan agak malu, “Jangan sampai ayah dengar ya.”
Fotografer sangat ahli.
Dengan wajah Lu Siyuan yang bagus, hasilnya sangat memuaskan.
TK minta sepuluh foto, awalnya Jiang Ruoqiao mau cetak dua set, tapi akhirnya minta cetak tiga set.
Lu Siyuan tanya, “Kenapa cetak banyak banget?”
Jiang Ruoqiao sentuh dagunya, “Kayaknya buat koleksi,” dia ambil satu dan simpan di dompet, “Misalnya kayak gini.”
Lu Siyuan ketawa kecil.
Setelah selesai masih ada waktu, Jiang Ruoqiao bawa Lu Siyuan jalan-jalan ke supermarket. Lu Siyuan gak mau duduk di troli kayak bayi lain, dia serius bilang, “Aku udah lima tahun, gak boleh kayak bayi.”
Di sebelah ada ibu dorong anak laki-lakinya yang berumur enam tahun duduk di troli: “...”
Ibu itu tertawa, menggoda anaknya, “Lihat deh, si ganteng ini pinter banget.”
Anak ibu itu santai banget, malah menyerah, “Mungkin kakiku pendek.”
Ibu: “...”
Jiang Ruoqiao juga tertawa, dia dan ibu itu saling memuji, “Anakmu lucu banget.”
Ibu itu juga mau bilang anak Jiang Ruoqiao ganteng, tapi lihat Jiang Ruoqiao yang masih sekitar umur 20-an, mungkin masih mahasiswa, lalu bilang, “Adikmu juga ganteng.”
Lu Siyuan: “?”
Bukan adik!
Bunda, berhenti!!
Lu Siyuan mukanya ditiup, dengan susah payah dorong troli, dia gak mau Jiang Ruoqiao yang dorong, alasannya jelas, “Ayah selalu begitu.”
Ayah gak ada, tentu saja dia yang harus melakukannya.
Jiang Ruoqiao: “...oke, kamu saja.”
Supermarket besar, ibu dan anak itu keliling hampir setengah jam, selain beli makanan dan keperluan, Jiang Ruoqiao juga sengaja ke bagian perawatan tubuh, di sana ada pramuniaga, pramuniaga melihat Jiang Ruoqiao serius belanja, lalu memuji habis-habisan, “Nona, kalau beli dua set sekarang, ada hadiah loh.”
Akhirnya Jiang Ruoqiao beli dua set.
Pramuniaga dengan ekspresi misterius ambil satu sabun muka pria dari kardus, “Hadiah awalnya sikat gigi, tapi saya lihat kamu murah hati, saya kasih sabun muka!”
Senang banget?
Terharu banget?
Jiang Ruoqiao: “...”
Karena dia belanja banyak banget, sampai troli penuh, Lu Siyuan sudah perkiraan, dia telepon Lu Yicheng.
Lu Yicheng selesai urusan dan buru-buru datang ke sini.
Tentunya dia sampai dan menghadapi pemandangan ini——
Jiang Ruoqiao dan Lu Siyuan berdiri di samping, kaki mereka ada dua tas belanja besar, tasnya penuh barang.
Lu Yicheng tiba-tiba sakit kepala.
“Masih ada struknya?” tanya Lu Yicheng.
Jiang Ruoqiao: “Kayaknya masih, aku cari.” Dia jongkok, di dalam tas cari struk belanja, panjang sekali, cukup jelas berapa banyak barang dibeli.
Lu Yicheng: “Kamu mau?”
“Gak mau.” Buang-buang, dia sadar Lu Yicheng gak mungkin tanya tanpa alasan, lalu berikan struk itu ke dia, “Kamu mau? Ini buat kamu.”
Lu Yicheng terima, “Tunggu sebentar ya.”
Dia bawa struk ke tempat tukar hadiah.
Lu Yicheng sudah pernah ke supermarket ini, tahu ada program tukar barang kalau belanja sampai jumlah tertentu.
Dia beri struk ke petugas, petugasnya nenek ramah, “Nak, kamu pilih sendiri, mau apa.”
Lu Yicheng lihat rak barang.
Ada beras kemasan kecil, minyak goreng botol kecil, telur karton, sabun cuci, tisu, dan lain-lain.
Matanya berhenti pada barang warna merah muda.
“Nenek, itu apa?”
Nenek menoleh, ambil barang merah muda, “Kamu maksud ini? Itu topi pengering rambut. Mau? Kayaknya ada warna abu-abu, mau tukar?”
“Gak usah.” Lu Yicheng bilang, “Aku mau yang merah muda saja.”
Nenek kasih topi pengering rambut.
Lu Yicheng menunduk lihat, kelihatan lumayan. Dia lari kecil kembali ke Jiang Ruoqiao dan Lu Siyuan, agak ragu, berikan topi pengering rambut itu ke Jiang Ruoqiao, “Ini buat kamu.”
Jiang Ruoqiao matanya tertuju pada topi pengering rambut itu: “?”
— 🎐Read only on blog/wattpad: onlytodaytales🎐—
Chapter 57
Jiang Ruoqiao tetap menerimanya: “Apa ini?”
Lu Yicheng menjawab, “Topi pengering rambut.”
“Aku tahu. Aku bisa melihatnya.” Jiang Ruoqiao mendongak sekilas padanya. “Maksudku, ini dari mana asalnya?”
Lu Yicheng menggaruk hidungnya dan menjelaskan dengan suara lembut, “Sebenarnya banyak supermarket punya kegiatan seperti ini, belanja sampai jumlah tertentu bisa ditukar dengan barang kebutuhan sehari-hari. Supermarket ini juga begitu. Barang yang kamu beli hari ini kebetulan mencapai jumlah itu, jadi aku tukar dengan topi pengering rambut. Sepertinya kamu akan butuh.”
Jiang Ruoqiao mengangguk pelan.
Ia mengangkat kepala dan menatapnya, tak kuasa menahan tawa. Karena saat ini orang-orang berlalu lalang di supermarket, mereka berdiri di tempat terang benderang, dan dia malah serius sekali menjelaskan aturan supermarket, rasanya sangat membumi, menghangatkan hati.
Umm.
Apa istilahnya, membalas kebaikan dengan kebaikan.
Meski topi pengering rambut itu ditukar pakai poin.
Jiang Ruoqiao awalnya tak tahu harus bagaimana dengan facial wash yang diberikan oleh SPG, tapi sekarang bisa dimanfaatkan. Ia mengobrak-abrik tas, menemukan facial wash pria itu dan menyerahkannya padanya. Matanya cerah, pupilnya di bawah cahaya tampak berwarna amber yang indah, “Ini buat kamu. Gak tahu kamu pakai atau enggak.”
Lu Yicheng tampak sangat terkejut.
Ia menatapnya, lama tak mengulurkan tangan untuk menerimanya.
Jiang Ruoqiao merasa agak canggung, tapi tetap menjelaskan dengan tegas, “Ini produk gratis yang dipaksa diberikan SPG padaku. Ini facial wash cowok, aku gak bisa pakai, dan juga gak tahu harus gimana. Kalau kamu mau, ambil aja. Kalau gak, ya udah.”
Lu Yicheng belum sempat bicara.
Tiba-tiba Lu Siyan di samping malah membongkar, “Mana ada dipaksa dikasih. Tadi tante SPG-nya bilang, kalau gak mau facial wash, bisa pilih sikat gigi.”
Jiang Ruoqiao: “??”
Lu Siyan, bukankah kamu pendukung berat mama? Hari ini kenapa gitu!! Malah bongkar rahasia mama!!
Ia harus membela diri, “Aku kan gak bodoh. Sikat gigi berapa sih, facial wash ini harganya lebih mahal. Siapa pun pasti pilih yang lebih mahal.”
Itu fakta. Sikat gigi cuma beberapa ribu, facial wash ini harganya puluhan ribu.
Tentu pilih facial wash dong! Soal bisa dipakai atau tidak urusan belakangan, yang penting bisa ambil untung~
Dia tampak agak kesal, hendak menarik kembali facial wash itu, sambil menggerutu, “Gak mau ya udah.”
Tapi Lu Yicheng mengulurkan tangan, mengambil facial wash itu, dan berkata pelan, “Jangan dibuang.”
Jiang Ruoqiao: “……”
Karena sudah ketemu, waktunya berpisah. Jiang Ruoqiao sudah memisahkan belanjaan mereka, hampir sebagian besar adalah untuk Lu Siyan, hanya sedikit untuk dirinya sendiri. Lu Yicheng melirik tas belanjaannya, lalu ragu bertanya, “Berat gak? Gimana kalau aku antar Siyan dulu, terus bantu kamu bawa ke asrama?”
Jiang Ruoqiao mendongak menatapnya.
Tak tahu apakah dia benar-benar tulus atau cuma basa-basi.
Tapi siapa pun tahu, barang yang dia bawa jelas gak berat.
Hanya dua set perlengkapan mandi, sekotak kecil yoghurt tanpa gula, dan sedikit anggur Shine Muscat.
Berat dari mana? Lu Siyan saja bisa membawanya sambil berlari-lari.
“Gak perlu, ringan kok.” Jiang Ruoqiao menjawab, “Aku bisa bawa sendiri ke asrama.”
Lu Yicheng mengangguk.
Mereka berpisah di depan supermarket, Jiang Ruoqiao berjalan ke arah kiri, Lu Yicheng menenteng tas belanjaan di satu tangan dan menggandeng Lu Siyan dengan tangan lainnya ke arah kanan.
Cahaya matahari sore memanjangkan bayangan mereka.
Jiang Ruoqiao segera kembali ke asrama.
Sepanjang hari dia memantau arah opini di forum, dan para “saudari” sangat membantu. Pengaruh dari insiden itu terhadap dia dan Lu Yicheng, berkat usaha banyak orang, sudah ditekan sampai minimum. Sekarang orang-orang tak lagi fokus pada benar tidaknya tuduhan selingkuh, tapi lebih pada… apakah Lu Yicheng bisa mendapatkan hatinya, dan apakah Lu Yicheng akan bertarung dengan Jiang Yan. Bahkan ada yang menulis “makalah kecil” untuk menganalisis segala kemungkinan. Jelas arah angin sudah berubah.
Karena itu, sekarang pemasaran juga jadi salah satu cara populer untuk mencari nafkah.
Seolah-olah benar atau tidaknya suatu hal tidak penting lagi. Siapa yang bisa mengendalikan opini, dia yang memegang “kebenaran” dan kekayaan.
Awalnya Jiang Ruoqiao juga tenggelam dalam dunia itu. Dia juga mendapatkan pencapaiannya sekarang karena memasarkan dirinya sendiri, dan sudah punya cukup banyak pengikut. Tapi setelah membaca novel asli dan mengalami kejadian ini, dia merasa tidak bisa terus tenggelam. Itu sebabnya dia menolak keras menjadikan jalur “influencer” sebagai arah hidupnya. Tanpa koneksi, tanpa latar belakang, semua hanyalah istana pasir. Seperti dalam novel, akun yang dibangun susah payah oleh tokoh wanita antagonis, bisa dihapus dalam semalam. Apa yang telah dia usahakan bertahun-tahun, bagi kapital, hanyalah satu kalimat. Dengan satu kata saja, semuanya bisa dihancurkan.
Baru sekarang dia benar-benar paham: Kapital adalah akar dari semua kejahatan.
Dalam novel, usaha bertahun-tahun si tokoh antagonis bukan hanya hancur begitu saja, tapi pekerjaan dan hidupnya setelah itu juga sangat sial. Semua hanya karena satu hal—dia pernah berpacaran dengan seseorang, dan kebetulan orang itu juga pernah menyukainya. Itu jadi “dosa aslinya”.
Sekarang, pemikiran Jiang Ruoqiao cukup ekstrem.
Siapa pun yang coba ganggu dia, dia akan “potong tangan” orang itu.
Di sisi lain, di rumah kontrakan.
Beberapa hari terakhir Lu Yicheng belum mulai kuliah secara resmi, jadi masih punya banyak waktu untuk masak buat Lu Siyan.
Setelah sampai rumah, Lu Yicheng mulai membereskan barang-barang yang dibeli Jiang Ruoqiao, lalu mengelompokkannya satu per satu.
Ada buah-buahan, dan semuanya mahal, seperti anggur Shine Muscat, jenis melon yang kelihatan mahal, dan buah waxberry sebesar bola pingpong.
Ada camilan, yang membuat Lu Yicheng pusing. Haruskah dia berkata, anak-anak sebaiknya kurangi konsumsi camilan dengan asam lemak trans ini?
Ada juga pasta gigi.
Pasta gigi yang membuat napasnya tercekat saat membayar, Jiang Ruoqiao membelikan dua buah untuk Lu Siyan.
Lu Siyan memeluk erat pasta gigi itu. “Ini mama yang belikan. Rasanya jeruk. Mama bilang pasta gigi dia juga rasa jeruk~ jadi habis gosok gigi, mulutku baunya akan sama kayak mama.”
Lu Yicheng mendengar itu, tangannya mengepal erat.
Selain barang-barang itu, Jiang Ruoqiao juga beli bahan makanan, ada sayap ayam, tomat, kentang…
Eh, sabun mandi dan sampo ini gimana ceritanya?
Lu Yicheng tak habis pikir. Kenapa dia beli ini? Di rumah masih ada. Kalau habis pun dia pasti akan beli.
Lu Siyan melihatnya memegang sampo di satu tangan dan sabun mandi di tangan lain, lalu langsung berkata, “Mama bilang, sampo yang kamu beli itu ada kandungan apa gitu… aku juga lupa. Pokoknya mama bilang sampo ini bagus, bikin rambut lembut kayak rambut mama.”
“Mama juga bilang, sabun mandi kamu itu murahan, wanginya murahan. Katanya merek itu dia bahkan gak pernah dengar, merek abal-abal.”
Lu Siyan mencari-cari dan menemukan kotak yang desainnya cantik, lalu dengan bangga berkata, “Ini mama yang beliin buatku, katanya ini sabun dan sampo khusus anak-anak~~”
Apa pun yang ada tulisan “khusus anak-anak” pasti mahal.
Lu Yicheng mengusap dahi. Beli buat Lu Siyan sih masih bisa diterima, tapi sampai beliin buat dia juga…
Dia sedikit menyadari maksudnya.
Mungkin karena dia pernah belikan sarapan buat dia dan gak mau dibayar, jadi dia merasa harus membalas dengan cara lain.
Benar-benar…
Lu Yicheng bahkan tak sadar, wajahnya kini dihiasi senyum tipis.
Lu Siyan terus ngoceh memamerkan barang-barang. Intinya hanya satu: Mama adalah yang paling jago belanja, semua yang mama beli aku paling suka! Mama paling sayang aku!!
Akhirnya dia kehausan.
Telinga Lu Yicheng pun mendapat ketenangan sejenak.
Setelah minum, Lu Siyan pergi ke kamar mandi.
Ruang tamu sempit itu hanya menyisakan Lu Yicheng. Tatapannya tanpa sadar melirik ke arah tas belanjaan, lalu setelah ragu beberapa saat, akhirnya ia mengangkat tangan dan mengambil facial wash pria itu.
Sebenarnya dia pernah pakai facial wash, tentu bukan dia yang beli.
Dia memang gak akan beli barang begituan.
Beberapa kali dulu Du Yu dan Wang Jianfeng beli, mereka sekalian membelikannya, lalu dia tinggal bayar.
Dia juga gak peduli merek atau apa pun.
Apalagi memperhatikan kemasan facial wash pria.
Tapi saat ini, seseorang yang biasanya merasa waktu sangat berharga seperti dia, justru membaca dengan serius satu per satu bahan dan petunjuk pemakaian di belakang kemasan facial wash itu. Seriusnya seperti sedang membaca jurnal ilmiah.
Saat Lu Yicheng sedang khusyuk membaca, terdengar suara flush dari kamar mandi, lalu pintunya terbuka.
Lu Yicheng langsung seperti orang yang tertangkap basah, seolah-olah barang yang dia pegang itu berbahaya, buru-buru menyembunyikan facial wash itu kembali ke dalam tas belanjaan.
Tapi raut wajahnya belum sepenuhnya bisa menutupi kepanikan.
Untungnya, Lu Siyan sama sekali tidak memperhatikannya.
— 🎐Read only on blog/wattpad: onlytodaytales🎐—
Bab 58
Pemilik toko Hanfu setiap tahun saat 11.11 selalu mengadakan promosi, juga sekaligus meluncurkan produk baru.
Bulan lalu, Jiang Ruoqiao sudah melakukan pemotretan untuk koleksi musim gugur, tapi itu baru sebagian, sisanya dijadwalkan sekitar akhir September hingga awal Oktober. Pakaian musim gugur lebih tebal dari musim panas, agar terlihat anggun di depan kamera, Jiang Ruoqiao akan lebih memperhatikan bentuk tubuhnya. Dia pun tidak berencana makan malam di luar, hanya mencuci anggur Shine Muscat yang dibelinya, lalu membaginya kepada ketiga teman sekamarnya, masing-masing diletakkan di atas meja mereka. Sebotol yogurt tanpa gula dan beberapa butir anggur adalah makan malamnya hari ini.
Matahari terbenam.
Sementara Jiang Ruoqiao sedang serius memilih BGM untuk video berikutnya, dia tanpa sadar menoleh ke arah balkon. Cahaya jingga menyinari seluruh bumi, membuat suasana hati jadi terasa lebih baik.
Dia mengeluarkan ponsel, berniat memotret pemandangan damai ini, namun tiba-tiba ponselnya berdering—nomor telepon rumah.
Dia ragu sejenak, tapi akhirnya tetap mengangkatnya.
Sampai terdengar suara serak dari seberang, “Ruoqiao, ini aku.”
Senyuman di wajah Jiang Ruoqiao langsung lenyap, dia berusaha bicara dengan sopan dan berjarak, “Ada urusan apa?”
Kedatangan Jiang Yan bukan hal yang mengejutkan.
Dalam novel aslinya, tokoh perempuan antagonis selalu digambarkan sebagai wanita yang mata duitan dan matre saat putus cinta, sedangkan tokoh pria selalu memohon-mohon agar tidak ditinggalkan.
Apalagi sekarang.
Jiang Yan sedang berada di kios kecil dekat kampus, dia menggunakan telepon umum untuk meneleponnya. Tapi saat panggilannya tersambung, dia malah tidak tahu harus berkata apa. Haruskah dia bertanya soal hubungannya dengan Lu Yicheng? Haruskah dia bertanya kenapa dia tidak menolaknya? Dia ingin bertanya, tapi nilai-nilai yang tertanam sejak kecil membuatnya tak mampu mengungkapkannya. Karena dia tahu, tak peduli bagaimana pun dia menilai hubungan Ruoqiao dengan Lu Yicheng, semuanya tak akan mengubah kenyataan bahwa dialah yang bersalah.
Meskipun kini dia membenci Lu Yicheng, tapi Jiang Yan juga tak bisa menyangkal kepribadian Lu Yicheng. Setelah dua tahun bersama, Jiang Yan tak bisa mengingkari integritas Lu Yicheng hanya karena satu kejadian ini.
Apalagi menyangkal gadis yang sangat dia cintai.
Berbagai emosi ini hampir membuatnya gila.
Setelah beberapa saat hening, Jiang Ruoqiao lebih dulu buka suara: “Kalau tidak ada hal penting, aku tutup ya.”
Barulah Jiang Yan bicara dengan suara rendah, “Ruoqiao, maaf. Aku tidak salah paham soal kamu dan Lu Yicheng.”
Jiang Ruoqiao malah tertawa, dengan nada acuh tak acuh berkata, “Oh, ya sudah, terima kasih ya.”
Jiang Yan mendengar nada sarkasme dalam ucapannya, “... Maaf. Ruoqiao, ini salahku. Aku yang kehilanganmu.”
Jiang Ruoqiao: “?”
Apa-apaan ini.
Padahal dulu Jiang Yan masih cukup normal, kenapa setelah putus malah makin mirip tokoh pria dalam novel yang dia baca?
Sampai bilang kehilangan dia...
“Bukan begitu.” Jiang Ruoqiao langsung menjawab, “Pacaran dan putus itu hal yang wajar, Jiang Yan, kamu benar-benar nggak perlu seperti ini.”
Nggak perlu, benar-benar nggak perlu.
Dalam novel aslinya, Jiang Yan akhirnya menikah dengan Lin Kexing.
“Sudah ya, aku ada urusan.” Jiang Ruoqiao berhenti sejenak, lalu berkata dengan halus, “Sebenarnya kita juga nggak ada yang perlu dibicarakan.”
Maksudnya, jangan telepon dia lagi.
Yang paling penting, omongannya itu-itu saja, dia belum bosan, tapi Jiang Ruoqiao sudah bosan mendengarnya.
Kalau dia punya satu kelebihan, itu adalah tidak mudah terpengaruh oleh omongan orang lain.
Dia tidak akan tersentuh hanya karena Jiang Yan mengulang-ulang kata-kata yang sama.
Jiang Yan hanya menggumam pelan.
Jiang Ruoqiao pun menutup telepon tanpa ragu sedikit pun.
Jiang Yan memegang gagang telepon, mendengar suara nada sibuk dari seberang sana, rasa sakit yang tajam baru mulai terasa menusuk hati. Dia menutup telepon dengan tatapan kosong, lalu berjalan tanpa tujuan, sampai tiba di sebuah kedai kecil yang dulu pernah dia dan Ruoqiao kunjungi saat semester lalu. Ruoqiao sangat suka ramen di kedai itu.
Saat itu musim masuk sekolah.
Mahasiswa baru sudah mulai masuk dan bersiap untuk pelatihan militer. Beberapa hari ini, Lin Kexing terlihat makin kurus dan lesu, untungnya Ny. Lin sedang sangat sibuk akhir-akhir ini dan belum menyadarinya. Ibu Jiang mengantar Lin Kexing masuk asrama. Kampus Lin Kexing cukup jauh dari Universitas A. Setelah sampai, dia membantu Lin Kexing beres-beres. Lin Kexing berkata, “Yang ini bisa diserahkan ke orang lain kok.”
Dalam pandangan Lin Kexing, Ibu Jiang adalah asisten ibunya, tapi dia berbeda dari staf rumah lainnya.
Hal-hal seperti ini bisa diserahkan pada bibi asisten lainnya.
Ibu Jiang menepuk punggung tangannya dengan lembut, “Kalau diserahkan ke orang lain, saya tidak tenang. Saya sudah terbiasa.”
Di asrama, ada mahasiswi lain yang sedang memanjat tempat tidur untuk memasang kelambu. Mendengar ini, dia ingin lebih akrab dengan teman sekamarnya lalu berkata sambil tertawa, “Lin, ibumu baik banget ya. Ibu saya cuma nganter terus langsung pulang.”
Lin Kexing terdiam sejenak.
Ibu Jiang hanya tersenyum samar.
Akhirnya, Lin Kexing tidak membetulkan ucapan mereka.
Mungkin, di dalam hatinya, Ibu Jiang lebih seperti seorang ibu daripada ibunya sendiri, selalu peduli dan perhatian padanya.
Ibu Jiang membantu Lin Kexing memasang kelambu dan membereskan semua urusan kecil lainnya. Setelah ketiga teman sekamar lainnya datang, dia pun mengambil tiga kotak hadiah mewah dari atas meja, satu per satu diberikan sambil tersenyum, “Halo semuanya, ini hadiah perkenalan dari Kexing. Semoga kalian bisa akrab dan menjadi sahabat seumur hidup.”
Ketiga teman sekamarnya kaget, belum pernah menerima hadiah perkenalan seperti ini.
Lin Kexing juga tersenyum, berkata pelan, “Nggak tahu kalian suka atau nggak.”
Ibu Jiang terkekeh, “Anak ini polos dan lugu, ini pertama kalinya tinggal di luar, nanti akan hidup bersama. Kalau dia ada salah, mohon dimaklumi.”
Setelah semua selesai, Ibu Jiang bersiap pulang. Sebelum pergi, dia menarik Lin Kexing ke luar dan berbisik, “Bergaul baiklah dengan teman sekamar. Tapi kalau sampai dibully, jangan diam saja. Telepon rumah kapan saja.”
Lin Kexing mengangguk.
Saat dia kembali ke dalam, ketiga teman sekamar langsung bersikap ramah.
Sebenarnya, usia mereka memang masih muda dan sederhana, apalagi ketika mereka membuka kotak hadiah dan ternyata isinya adalah dompet dari merek ternama! Merek yang pasti tidak akan mereka beli, bahkan tidak mampu beli. Mereka langsung sadar bahwa mereka punya teman sekamar seorang anak orang kaya!
Sore harinya, keempatnya pergi makan bersama di kantin kampus.
Lin Kexing berkepribadian kalem dan pemalu.
Sampai malam hari, suasana di asrama sangat akrab, hingga seorang mahasiswi berbicara sambil maskeran, “Eh, menurut kalian Universitas A jauh nggak dari sini? Aku baru pertama ke Beijing, jadi nggak tahu.”
“Dibilang jauh ya jauh, dibilang dekat ya tetap harus ganti dua jalur MRT. Kenapa nanya?” goda seorang teman, “Jangan-jangan pacarmu di A?”
“Aku jomblo! Nggak punya pacar. Cuma ada kakak cewek favoritku di sana.” kata si cewek, “Kalian tahu blogger ‘Ru Jiang Ru Qiao’ nggak?” Belum sempat yang lain menjawab, dia dengan semangat berkata, “Dia idolaku, katanya dia cewek tercantik di A, rajin dan disiplin banget. Waktu aku kelas 3 SMA, aku pernah depresi, aku kirim pesan ke dia, dan dia beneran bales, kasih semangat! Aku suka banget dia!”
Dia sangat semangat bercerita.
Lalu buka galeri ponsel, memperlihatkan beberapa foto kehidupan Jiang Ruoqiao yang diunggah ke media sosial, satu per satu diperlihatkan ke teman-temannya, “Cantik banget, kan?”
Dua teman lainnya sangat antusias, “Beneran cantik! Dan cantiknya tuh elegan, pantes aja dibilang pintar juga~”
Saat giliran menunjukkan ke Lin Kexing, dia refleks memalingkan wajah, tidak mau melihat, dan reaksinya sangat dingin, tidak berkata sepatah kata pun.
Ketiga teman sekamar langsung menyadari bahwa suasananya agak...
Awalnya mereka benar-benar senang dan peduli pada Lin Kexing, tapi sekarang semua terasa sedikit canggung. Meski begitu, mereka tetap berusaha mencairkan suasana.
Mereka pun berdiskusi apakah sebaiknya mengembalikan dompet yang diberi Lin Kexing.
Mereka semua sudah cerita soal ini ke orang tua, awalnya untuk pamer, tapi ternyata orang tua mereka tidak mengizinkan menerima hadiah semahal itu.
Orang tua mereka bilang: "Kalau sudah menerima, nanti jadi sungkan. Kalian sekolah bertahun-tahun, masa nggak ngerti hal sederhana begini?"
Sementara itu, Jiang Ruoqiao sedang merapikan meja belajar, sambil membuka kembali buku pelajaran semester lalu.
Tiba-tiba ponselnya berdering, nama yang muncul adalah supervisor dari perusahaan tempatnya bekerja.
Dia langsung siaga, tidak berani menyia-nyiakan waktu, segera menjawab, “Halo Cathy, selamat malam.”
“Xiao Jiang, aku tidak mengganggu waktu istirahatmu, kan?”
Jiang Ruoqiao tersenyum tipis, “Sepertinya Anda punya gambaran yang salah soal jadwal tidur mahasiswa...”
Terdengar tawa renyah dari seberang, “Benar juga, waktu kuliah aku juga seperti kelelawar malam. Oke, langsung ke inti ya. Xiao Jiang, ada pekerjaan di perusahaan yang aku rasa cocok untukmu. Makanya aku tanya jadwalmu. Ini dari klien tetap kami, dia memperkenalkan seorang wanita dari luar negeri. Usianya sekitar lima puluhan. Dia ke sini untuk memenuhi keinginan terakhir almarhum suaminya. Suaminya orang Tionghoa, lulusan A juga, dan meninggal karena sakit tahun lalu. Sekarang, dia ingin menyumbangkan setengah dari warisan suaminya. Biasanya, klien seperti ini aku kasih ke staf senior, tapi karena dia ingin melihat kampus tempat suaminya kuliah, dan kamu juga dari A, menurutku kamu sangat cocok. Mau coba?”
Tentu saja Jiang Ruoqiao mau.
Pekerjaannya di perusahaan ini memang mengandalkan komisi. Dia tahu, tugas ini bukan proyek satu dua hari, pasti bayaran juga bagus. Kalau tidak, sang supervisor tidak akan bicara panjang lebar seperti ini.
“Aku bersedia,” kata Jiang Ruoqiao. “Kebetulan jadwal kuliahku juga tidak terlalu padat, aku bisa tangani ini.”
Sang supervisor terkekeh, “Sudah kuduga kamu bisa. Kalau begitu, besok ke kantor ambil dokumen ya.”
— 🎐Read only on blog/wattpad: onlytodaytales🎐—
Bab 59
Jiang Ruoqiao cukup bersemangat.
Berbaring di atas ranjang, ia menatap kelambu di atas kepalanya, teringat akan sebuah pepatah: "Sai Weng kehilangan kudanya, siapa tahu itu bukan keberuntungan?"
Jika Si Yan tidak datang dari masa depan, sesuai rencana awalnya, dia tidak akan mencari pekerjaan paruh waktu pada saat ini. Dia hanya akan menyesuaikan diri setelah kontraknya dengan nyonya pemilik rumah berakhir. Maka dia juga tidak akan curhat pada nyonya pemilik rumah tentang kegelisahannya, dan nyonya itu tidak akan mengenalkannya pada jalur ini.
Pekerjaan paruh waktu ini benar-benar berbeda dengan menjadi model di toko hanfu.
Dia sudah memutuskan untuk melanjutkan studi pascasarjana, maka selama beberapa tahun ke depan, dia tidak akan bisa benar-benar memasuki dunia kerja. Maka pekerjaan paruh waktu ini menjadi sangat penting. Dia akan mengenal para senior di bidang ini, dan juga akan mengumpulkan banyak pengalaman kerja. Setelah lulus S2 nanti, dengan pengalaman ini, seharusnya tidak sulit untuk mendapatkan pekerjaan yang bagus.
Dengan harapan terhadap masa depan, Jiang Ruoqiao pun tertidur.
Keesokan paginya, dia terbangun karena alarm.
Tak ada pilihan lain. Jiang Ruoqiao memasang wajah tersiksa. Siapa suruh dia harus bekerja sama dengan rencana "mengejar" ala Lu Yicheng? Siapa suruh dia bangun sebelum jam tujuh hanya untuk membelikannya sarapan?
Dia hanya bisa pasrah, berbaring sebentar di tempat tidur untuk membangun mental, baru kemudian bangun. Tiga teman sekamarnya masih berkencan dengan mimpi.
Dia berusaha tidak membuat suara, mengambil pakaian dan pergi ke kamar mandi. Setelah selesai bersih-bersih dan berpakaian rapi, dia menghela napas lalu keluar dari kamar.
Benar saja, Lu Yicheng sudah menunggunya di bawah.
Dengan jeda satu hari sebelumnya, Lu Yicheng kini sudah tidak terlalu canggung lagi saat berdiri di bawah asrama putri sambil menerima tatapan penasaran para mahasiswi lain.
Jiang Ruoqiao baru menyadari bahwa hari ini Lu Yicheng berpakaian sangat formal.
Tentu saja, ini formal jika dibandingkan dengan kaos putih dan celana santai yang biasa dia pakai.
Tubuhnya tinggi tegap dan ramping, hari ini dia mengenakan kemeja putih yang disetrika rapi, dipadukan dengan celana panjang hitam.
Ini pertama kalinya Jiang Ruoqiao melihatnya berpakaian seperti ini, tak pelak ia merasa segar.
Seperti seseorang yang biasanya selalu memakai piyama, tiba-tiba mengenakan gaun pesta yang mewah...
Saat ini, dia tidak tahu bahwa ekspresinya sangat mirip dengan tokoh pria di drama romantis.
Di pesta dansa, tokoh utama wanita yang biasanya biasa saja, tiba-tiba muncul dengan gaun indah, berjalan dengan malu-malu ke tengah keramaian, dan saat tokoh utama pria berbalik melihatnya, matanya penuh keterkejutan dan kekaguman.
Lu Yicheng tampak agak tidak nyaman.
Sebelum Jiang Ruoqiao bertanya, dia sudah menjelaskan duluan, "Hari ini ada rapat di TK Kincir Angin."
Jiang Ruoqiao langsung mengerti.
Sebenarnya dia juga seharusnya pergi, tapi karena harus ke kantor mengambil berkas, tadi malam dia sudah memberitahu Lu Yicheng.
Mulai besok, anak kecil Lu Siyan akan resmi masuk TK, menjadi murid kelas besar.
Wali kelas sudah memberitahu bahwa hari ini para orangtua harus datang ke TK untuk rapat, dan anak-anak juga akan tinggal setengah hari di sana.
Tak disangka Lu Yicheng sangat serius soal ini.
Tapi ya, kalau dia sendiri yang datang, mungkin dia akan lebih serius lagi. Bagaimanapun, ini adalah pertama kalinya dalam hidupnya hadir sebagai orangtua di rapat sekolah.
Jiang Ruoqiao merasa sedikit menyesal. Tapi bagaimanapun juga, pekerjaan tetap lebih penting sekarang, karena ini adalah tugas pertama sejak dia mulai bekerja.
"Belum pernah lihat kamu pakai baju kayak gini sebelumnya," kata Jiang Ruoqiao.
Sebenarnya terlihat jelas, kemeja dan celananya tidak mahal, tapi wajah dan posturnya memang memberi nilai plus.
Bisa dibayangkan, kelak dia akan menjadi seorang profesional yang hebat.
Lu Yicheng berkata, "Soalnya nggak begitu cocok."
Tapi dia merasa tetap harus sedikit formal, karena ini rapat, walaupun cuma rapat TK.
Jiang Ruoqiao tersenyum, "Aku nggak bilang nggak cocok, kok."
Tapi dia juga nggak bisa bilang cocok banget. Nanti kesannya dia seperti cewek naksir yang belum pernah lihat cowok ganteng.
Lu Yicheng tidak terlalu peduli, dia menyerahkan kantong sarapan padanya. Jiang Ruoqiao melihat isinya, cukup puas: empat porsi yang sama — roti kukus dan susu kedelai.
Eh, tunggu—
Jiang Ruoqiao terkejut melihat satu kantong kecil berisi jeruk yang sudah dikupas, lalu menoleh padanya.
Lu Yicheng pun sedikit menyesal dengan tindakannya yang mendadak.
Tadi di jalan menuju kampus, dia melihat orang jual buah di pinggir jalan, jeruknya terlihat segar dan cantik. Entah kenapa dia beli beberapa, dan saat beli sarapan, entah kenapa juga dia mengupas jeruknya.
Dia ingin bilang "salah masukin", tapi akhirnya tak bisa mengucapkannya, hanya bisa dengan canggung berkata, "Itu katanya Siyan yang minta."
Sejak bertemu dengannya, sepertinya dia mulai terbiasa untuk berbohong.
Tentu saja, dia cukup licik. Dia bilang "Siyan yang bilang", hanya mengacu pada saat di mobil dulu Siyan berkata, "Mama suka makan jeruk."
Jiang Ruoqiao menafsirkan bahwa "pagi ini Siyan yang minta dia kupasin."
Jiang Ruoqiao mengangguk, "Terima kasih."
Lu Yicheng: "Sama-sama."
Dia terdiam sejenak, tampak ragu.
Jiang Ruoqiao menebak dia ingin membahas soal sabun mandi dan sampo yang dia beli kemarin. Tapi karena dia tidak menyinggung, maka dia juga tidak menyebutnya.
Lu Yicheng harus kembali menjemput Lu Siyan dan bersama-sama ke TK Kincir Angin.
Jiang Ruoqiao juga harus segera ke kantor untuk mengambil data klien.
Mereka hanya ngobrol sebentar, lalu berpisah di bawah tatapan penasaran para pengamat.
Saat Jiang Ruoqiao kembali ke kamar, dia tiba-tiba teringat sesuatu — waktu itu saat mengunjungi TK Kincir Angin, karena belum mulai sekolah, mereka hanya melihat-lihat fasilitas dan beberapa ruang kelas. Kali ini Lu Yicheng masuk untuk rapat, seharusnya dia bisa melihat langsung ruang kelas tempat Lu Siyan belajar dan lebih banyak detail. Dia merasa sangat penasaran, bahkan lebih antusias dibanding saat pertama kali mendaftar di Universitas A.
Setelah berpikir-pikir, Jiang Ruoqiao mengirim pesan singkat ke Lu Yicheng secara tersirat: 【Nanti kamu pasti ke kelas besar tiga ya, tempatnya Siyan?】
Lu Yicheng memang pintar luar biasa.
Hanya dari kalimat itu, dia langsung paham maksudnya: 【Iya, mau aku video-in? Kirim nomor WeChat kamu ya, biar aku tambah.】
Jiang Ruoqiao: nice~
Orangnya lumayan ngerti juga, ya.
Jiang Ruoqiao langsung kirim ID WeChat-nya.
Sifat perfeksionisnya kembali muncul. Kalau mau tambah kontak lawan jenis, tentu harus si dia yang add duluan. Kalau dia yang minta dan berharap si dia menyetujui, kesannya jadi merendahkan diri, kan?
Belum sampai semenit, dia menerima permintaan pertemanan dari Lu Yicheng.
Disetujui~
Jiang Ruoqiao melihat nama WeChat-nya. Hmm, nggak mengejutkan, hanya "Lu", dan fotonya... memang seperti gaya orangtua.
Foto itu adalah potret dari belakang Lu Siyan sedang berlari ke depan, hasil jepretan candid.
Keduanya tidak langsung ngobrol.
Jiang Ruoqiao naik MRT menuju kantor, sepanjang jalan dia beberapa kali membuka ponsel untuk mengecek apakah Lu Yicheng sudah mengirim foto.
Dia sangat ingin melihat foto TK itu.
Tapi belum ada juga!
Saat dia keluar dari gerbong MRT, nada dering video call dari WeChat berbunyi. Dia buru-buru mengeluarkan ponsel dari tas, membersihkan tenggorokan, baru menjawab panggilan.
Di layar ponsel, wajah Lu Yicheng muncul.
Cowok yang nggak ngerti cara ambil angle pas video call.
Untung wajah Lu Yicheng cukup tampan untuk menahan angle dekat seperti itu.
Suara jernih Lu Yicheng terdengar, agak bising: “Aku sekarang di kelas besar tiga, kelasnya Siyan. Aku ganti kamera ya.”
Lalu layar tak lagi menampilkan wajah Lu Yicheng, melainkan ruang kelas yang tertata hangat dan penuh nuansa anak-anak.
Kelasnya cukup luas.
Dengan penjelasan dari Lu Yicheng, benar-benar menghibur, Jiang Ruoqiao menonton sambil tersenyum-senyum bahagia.
“Ini area membaca,” kata Lu Yicheng. “Guru bilang besok setiap anak harus bawa satu buku cerita, nanti mereka saling pinjam.”
Jiang Ruoqiao memegangi pipi, wah!
Banyak meja dan bangku kecil, lucu banget~
“Itu proyektor, guru kadang putar video, tapi tenang, durasinya pendek demi menjaga penglihatan anak-anak.”
“Itu area main…”
Lu Yicheng lanjut, “Lihat tuh, itu tempat tidur siang mereka.”
Jiang Ruoqiao akhirnya mengeluarkan suara kagum seperti orang desa ke kota.
Ini yang dulu tidak sempat dia lihat saat survei ke TK.
“Lucu banget!” Jiang Ruoqiao takjub melihat ranjang-ranjang kecil berjajar dua-dua, dengan bantal dan selimut kecil.
Lu Yicheng mendekat ke salah satu tempat tidur, “Lihat ini.”
Kamera diarahkan ke kepala ranjang.
Jiang Ruoqiao melihat ada foto pas ukuran kecil Lu Siyan yang tertempel di kepala ranjang.
“TK minta foto pas buat ditempel kayak gini. Di kursi kecil juga ditempel, di loker juga…”
Jiang Ruoqiao: “!”
Selain "lucu", dia nggak tahu mau bilang apa lagi.
Foto pas Lu Siyan sangat bagus.
Dia tersenyum ceria, memperlihatkan gigi putih kecil, membuat siapa pun ikut tersenyum.
Lu Yicheng bertanya lagi, “Mau lihat kamar mandinya?”
“Kalau nggak ada anak-anak yang pakai, aku mau lihat,” jawab Jiang Ruoqiao.
Lu Yicheng lalu berseru, “Lu Siyan, coba cek kamar mandi kosong nggak!”
Jiang Ruoqiao tersenyum manis.
Dari dalam terdengar suara, “Nggak ada orang!”
Lu Yicheng mengangguk, “Oke, aku tunjukin.”
Lu Siyan juga ikut mendekat, “Papa, kamu video call sama Mama, ya? Aku juga mau lihat~”
Lu Yicheng tak bisa menolak, lalu menyerahkan ponsel, “Kamu aja yang jelasin ke Mama.”
“Yes, Sir~”
Lu Siyan menggenggam ponsel, juga ambil angle sangat dekat.
“Mama~”
Jiang Ruoqiao tertawa, “Halo, murid kelas besar~”
Lu Siyan mengangguk serius, lalu mengarahkan kamera ke kamar mandi, “Ini kamar mandi, eh malu banget. Yang satu buat cewek, satu lagi buat cowok.”
Sesuai dugaan, kamar mandi didesain sesuai tinggi dan postur anak kecil.
Toilet jongkok kecil, urinal juga kecil.
Termasuk wastafel, sangat pas untuk ukuran anak seperti Lu Siyan.
Secara keseluruhan, fasilitasnya lengkap dan sesuai, sepadan dengan biaya bulanan lima ribuan untuk biaya hidup dan sekolah.
……
Jiang Ruoqiao tiba di kantor.
Setelah mengambil data klien dan berbincang dengan supervisor, dia pun pergi lagi. Awalnya dia ingin kembali ke asrama, tapi karena Lu Siyan hanya setengah hari di TK, dia memutuskan untuk menunggu di kafe dekat TK. Toh dia tak sempat ikut rapat hari ini, jadi sebaiknya dia yang menjemput. Hari pertama sekolah, tentu harus ada yang menyambut!
Dia masuk ke sebuah toko minuman dekat TK.
Waktu masih cukup awal, dia pun mengeluarkan dokumen dari tas dan mulai membacanya.
Selain profil klien perempuan dan suaminya, ada juga materi terkait kegiatan amal. Benar-benar riset yang menyeluruh.
Yang membuat Jiang Ruoqiao terkejut, ternyata dalam materi amal itu, ada juga informasi tentang Lin’s Jewelry.
Lin’s Jewelry termasuk pemain lama di industri ini, punya reputasi yang bagus. Selain karena kualitas produknya, juga karena selama lebih dari sepuluh tahun mereka konsisten melakukan kegiatan amal. Dijelaskan bahwa urusan amal ini ditangani langsung oleh istri direktur utama. Kegiatan amal Lin’s Jewelry sangat transparan, sehingga acara amal tahunan mereka selalu ramai. Entah orang datang karena tulus atau cuma pencitraan, Nyonya Lin memang melakukan banyak hal nyata. Karena istri yang baik ini, reputasi Lin’s Jewelry tetap sangat baik selama bertahun-tahun.
Dalam rencana perjalanan kliennya, tampaknya mereka juga akan hadir di gala amal Lin’s Jewelry.
Jiang Ruoqiao tersenyum simpul. Dunia ini sempit, ya.
Tapi dia tidak punya alasan untuk mengubah rencana klien. Toh hubungannya dengan Jiang Yan sudah benar-benar selesai.
……
Jiang Ruoqiao sudah berdiri di depan TK lima menit lebih awal.
Ini benar-benar perlakuan istimewa. Anak manusia yang bernama Lu Siyan seharusnya merasa terhormat. Dia belum pernah mau menunggu seseorang selama ini di bawah terik matahari.
Jam 11.30, Lu Yicheng dan Lu Siyan berlari secepat mungkin ke luar TK.
Semua gara-gara Jiang Ruoqiao mengirim pesan sepuluh menit lalu, bilang dia sudah menunggu di luar.
Ini nggak boleh dibiarkan!
Bukan cuma Lu Siyan yang merasa panik, bahkan Lu Yicheng pun berpikir: kalau sampai dia menunggu lebih lama sedetik pun, rasanya sudah berdosa.
Saat ayah dan anak itu jadi yang pertama keluar, Jiang Ruoqiao yang berdiri dengan payung sangat puas. Kalau soal disiplin, dua orang ini benar-benar luar biasa! Tidak membuatnya menunggu, harus diberi penghargaan!
— 🎐Read only on blog/wattpad: onlytodaytales🎐—
Bab 60
Lu Siyan terengah-engah, rambut ikalnya sampai berdiri lurus.
Daya tahan tubuh Lu Yicheng luar biasa, sprint seratus meter pun hanya membuat napasnya sedikit memburu. Secara refleks dia melihat jam tangannya, bagus, mereka tidak terlambat sedetik pun—mereka adalah yang pertama keluar.
Jiang Ruoqiao segera menarik Lu Siyan ke bawah payung matahari, dengan penuh kasih sayang mengeluarkan tisu untuk menyeka keringatnya. "Kamu ini gimana sih, kenapa lari kencang begitu?"
Dia melirik Lu Yicheng, “Kamu juga, nggak takut dia kepanasan?”
Lu Yicheng: "......"
Akhirnya Lu Siyan yang menjelaskan: "Aku nggak takut panas, aku lebih takut Mama marah!"
Mama marah itu yang paling mengerikan, kan?
Mana berani dia membiarkan Mama menunggu, apalagi menunggu di depan gerbang TK, di bawah terik matahari sebesar ini.
Jiang Ruoqiao: "......"
Maksudnya dia ini iblis apa gimana?
"Nggak kok." Dia mencoba berbicara selembut mungkin, "Aku rela kok menunggu."
Lu Siyan langsung menutup telinganya, "Nggak mau dengar! Siapa percaya, siapa apes!"
Dia bahkan sengaja menurunkan tangan dan dengan serius berkata pada Lu Yicheng, “Papa juga jangan percaya, tahu nggak?”
Lu Yicheng menahan tawa.
Sebenarnya menurutnya ini nggak masalah, memang seharusnya nggak membiarkan orang menunggu, apalagi dia tahu Jiang Ruoqiao nggak tahan panas dan matahari, jadi lari lebih cepat pun nggak apa-apa.
Jiang Ruoqiao pun tak tahan lagi, tadinya mau pasang muka serius, tapi akhirnya juga tertawa, wajahnya jadi cerah kembali. “Oke deh, pokoknya dalam hati kalian aku itu orang yang nggak masuk akal.”
"Bukan."
Yang bicara kali ini adalah Lu Yicheng.
Jiang Ruoqiao mengangkat kepala memandangnya.
Mungkin karena panas, dia membuka beberapa kancing kemeja dan menggulung lengan baju sampai siku, memperlihatkan lengan rampingnya.
Dia menatapnya dengan lembut, masih menyisakan senyum di wajahnya. "Bukan, jangan salah paham. Kami hanya tidak ingin kamu menunggu terlalu lama."
Lu Siyan juga mengangguk, “Iya, itu alasannya.”
Jiang Ruoqiao pura-pura menggoda Lu Siyan, “Aku takut kamu menganggapku begitu lalu jadi benci aku.”
Lu Siyan terdiam sebentar, lalu langsung menerjang masuk ke pelukannya, memeluk pinggangnya, menggosok-gosok manja, dengan sungguh-sungguh berkata: “Nggak akan, aku selamanya nggak akan benci Mama. Aku lebih baik benci diriku sendiri daripada benci Mama.”
Papa pernah bilang, waktu dia masih di dalam perut Mama, dia suka bikin ribut, bikin Mama menderita dan jadi sangat kurus.
Waktu itu Mama nggak bisa makan apa-apa, makan dikit langsung muntah.
Waktu periksa kehamilan, ada satu pemeriksaan yang nggak lolos, Mama yang biasanya tenang dan kuat malah sembunyi di tangga darurat dan menangis lama sekali.
Papa bilang, Mama itu wanita paling kuat sedunia. Alasan Mama menangis adalah karena khawatir anak dalam kandungan nggak sehat, dan juga karena kehamilan membuatnya jadi rapuh.
Papa juga bilang, waktu Mama melahirkan dia, rasanya sangat sakit, sampai nggak bisa ngomong.
Papa bilang Mama sangat kuat dan berani, tapi tetap butuh perlindungan.
Jiang Ruoqiao terpaku.
Lu Yicheng malah menatap Lu Siyan dengan tatapan bangga.
Banyak momen di mana Jiang Ruoqiao merasa hatinya tersentuh oleh Lu Siyan. Momen-momen itu membuatnya semakin peduli pada anak yang tiba-tiba muncul ini. Membuatnya tersenyum setiap kali teringat padanya.
Ia juga membungkuk dan memeluk Lu Siyan, menepuk-nepuk punggungnya. “Makasih ya, kamu adalah orang yang selamanya nggak akan membenciku.”
Lu Siyan menoleh ke Lu Yicheng, “Kalau Papa? Papa juga nggak bakal benci Mama kan?”
Lu Yicheng tersenyum dan menjawab, “Tentu saja.”
“Tuh kan.” kata Lu Siyan, “Mama, aku dan Papa nggak akan pernah benci kamu.”
Jiang Ruoqiao tersenyum dan mengangguk.
Dari dalam TK mulai keluar beberapa orang tua dengan anak-anaknya.
Mereka bertiga juga tidak berlama-lama. Kebetulan sudah waktunya makan, Jiang Ruoqiao dengan alasan perayaan karena akhirnya mendapat pekerjaan sebagai penerjemah, bersikeras mengajak Lu Yicheng dan Lu Siyan makan enak.
Lu Yicheng tampak ingin mengatakan sesuatu.
Jiang Ruoqiao yang sudah mengerti tabiatnya langsung mengangkat tangan, membuat isyarat berhenti. “Lu Yicheng, ngerti??”
Lu Yicheng tak berdaya tapi tersenyum, “Ngerti. Tapi aku boleh kasih saran dikit?”
“Boleh, asal jangan bilang hal yang nggak mau aku dengar.” pikir Jiang Ruoqiao, aku ini nggak kenal kamu apa?
Pasti maksudnya dia pikir makan di luar itu nggak sebanding antara harga dan nilai.
*Cost performance, cost performance... kayak mantra aja.*
Beberapa waktu ini dia sampai tercuci otak! Dia nggak mau dengar kata-kata itu lagi!
Lu Yicheng berkata: “Jangan pilih restoran yang terlalu mahal.”
Jiang Ruoqiao menatap langit.
Lu Yicheng tersenyum, “Kamu juga susah payah cari duit.”
Jiang Ruoqiao menjawab dingin, “Oh.”
Tapi pada akhirnya dia tetap mempertimbangkan sarannya, tidak membawa mereka ke restoran mahal, melainkan memilih restoran hotpot yang cukup sedang. Pelayanannya sangat bagus, Lu Siyan yang manis mulut terus memanggil pelayan dengan “kakak cantik”, hasilnya dia dapat mainan bagus, bahkan juga dikasih potongan buah dan teh asam gratis.
Lu Yicheng langsung menyadari.
Siapa yang mewarisi kebiasaan tidak suka makan sayur?
Jiang Ruoqiao saat memesan lewat tablet, hampir semuanya adalah daging, Lu Yicheng merasa perlu mengingatkan, “Kita cuma bertiga, nggak usah pesan banyak-banyak.”
Jiang Ruoqiao: “Lu Yicheng.”
Tahu nggak apa sifat manusia yang paling mulia?
Saat orang lain sedang semangat pesan makanan, kamu harus belajar *diam*.
Dia pengen makan daging kambing, daging sapi, udang, ikan, juga bakso sapi. Semuanya dia pengen, boleh kan?
Lu Yicheng langsung diam.
Tapi beberapa saat kemudian dia berkata lagi, “Aku masih mau ngomong satu hal.”
Jiang Ruoqiao mengangkat alis, “Apa?”
“Harus pesan sayur.” katanya. “Siyan itu pilih-pilih makanan.”
Sekarang giliran Jiang Ruoqiao yang malu.
Waduh, ternyata dia yang nggak pesan sayur. Nggak kepikiran sama sekali.
Dia langsung menyerahkan tablet ke Lu Yicheng, tapi tetap keras kepala, “Aku bukannya nggak mau pesen, tapi biar kamu yang pesen.”
Lu Yicheng menerimanya, dengan cepat menelusuri daftar makanan yang dipesan. Menurut perhitungannya, sebenarnya ini agak banyak, tapi masih bisa dihabiskan.
Dia hanya menambahkan dua jenis sayuran.
Dua jenis sayuran daun yang sangat dibenci Jiang Ruoqiao dan Lu Siyan.
Sayur yang bisa ditoleransi Jiang Ruoqiao hanyalah mentimun, kentang, tomat, dan semacamnya.
Tapi daun-daunan? Big no.
Jiang Ruoqiao: “......”
Lu Siyan berkata pelan, “Lain kali jangan biarkan Papa yang pesan makanan.”
Selera ibu dan anak ini terlalu mirip, bahkan Lu Yicheng pun kagum. Suka makan daging, nggak suka sayur, paling nggak suka sayur daun, nggak suka daun bawang dan bawang putih, bahkan ekspresi jijiknya pun persis sama. Lu Yicheng mengangkat kepala memandang mereka berdua yang hampir melotot waktu tahu ada sayur daun, buru-buru menunduk, tapi tak bisa menahan senyuman yang nyaman dan bahagia.
Saat menunggu kuah mendidih, Lu Yicheng teringat sesuatu, mengeluarkan ponsel dan berkata: “TK nyuruh unduh sebuah aplikasi, tiap bulan bakal potong pulsa beberapa ribu, aku sudah unduh, kamu mau unduh juga nggak? Katanya di sana bisa lihat banyak info, kayak menu makanan harian, kehadiran anak, dan berita sekolah.”
“Tentu saja mau!”
Jiang Ruoqiao buru-buru mengeluarkan ponsel, “Aku mau unduh.”
Lu Yicheng memberitahunya nama aplikasinya.
Sekarang hidup mereka sudah mulai berjalan normal. Jiang Ruoqiao sudah putus dengan Jiang Yan, jadi mereka nggak perlu lagi sembunyi-sembunyi. Siyan besok mulai resmi sekolah, mereka juga sudah pindah ke rumah yang dekat dengan sekolah dan TK. Tinggal masalah pengasuh saja.
Saat Jiang Ruoqiao sedang mengutak-atik ponsel, Lu Yicheng berkata, “Kamu bakal sibuk akhir-akhir ini, gimana kalau biar aku yang cari pengasuh?”
Jiang Ruoqiao menatapnya.
Dia buru-buru menambahkan, “Tenang, aku cuma bantu saring awal, yang mutusin tetap kita berdua.”
Jiang Ruoqiao agak tak berdaya juga, “Nanti aku tanya-tanya deh ada yang bisa kasih rekomendasi. Cari pengasuh ini lebih penting daripada nyari sekolah dan rumah.” Lalu dia tiba-tiba mengernyit, “Gimana kalau pengasuhnya lihat anak kita lucu lalu diculik? Dijual?”
Hal begitu bukan nggak mungkin.
Lu Siyan yang sedang serius minum jus langsung angkat tangan, “Aku tahu jawabannya!”
Jiang Ruoqiao dan Lu Yicheng langsung menatapnya.
“110 itu nomor polisi! Kalau Papa Mama nggak ada, aku nggak boleh ikut siapa pun pergi, walaupun pengasuh! Meski dia janji mau beliin Lego atau es krim, aku tetap nggak boleh mau!” kata Lu Siyan, “Nomor telepon Papa Mama harus dihafal tiap malam, nomor KTP juga! Nama Papaku Lu Yicheng, Mamaku Jiang Ruoqiao, namaku Lu Siyan!”
Jiang Ruoqiao menopang dagu, “Pintar banget ya anak Mama.”
Lu Siyan tampak puas tapi pura-pura rendah hati, “Ah, biasa aja kok.”
Lu Yicheng memandang Jiang Ruoqiao, juga mengernyit, “Kamu bener juga, jadi cari pengasuh harus lewat saluran resmi.”
Gimana pun dipikir-pikir, rasanya cuma mereka berdua yang bisa dipercaya.
Mereka berdua sama-sama tipe yang teliti, sambil makan hotpot sambil saling memberi masukan, mencegah kesalahan.
Selesai makan hotpot, Lu Yicheng mau ajak Lu Siyan pulang untuk tidur siang.
Jiang Ruoqiao juga mau balik ke asrama, dia ada rapat organisasi mahasiswa.
Sesampainya di asrama, dia nggak tidur, malah rebahan di tempat tidur sambil mengeksplor aplikasi TK itu, makin dilihat makin ketagihan.
Di dalamnya ada menu makanan anak, saat dibuka bisa lihat seminggu ke depan mulai dari camilan pagi, makan siang, dan camilan sore.
Contohnya besok pagi, setelah Lu Siyan masuk sekolah, camilan paginya adalah susu siswa dan waffle rasa kurma merah.
Makan siangnya lebih mewah lagi, ada udang tiga warna, telur kukus dengan daging cincang, sup bola ikan tahu, dan nasi ketan hitam lembut.
Setelah tidur siang pun ada camilan, yaitu bakpao kacang merah dan anggur tanpa biji.
Jiang Ruoqiao merasa puas.
Sampai dia melihat bagian paling mencolok di layar—kolom “Bintang Kecil”.
Setelah ditelusuri, ternyata itu semacam papan peringkat bunga merah kecil, halaman ini akan menampilkan tiga anak teratas di kelas.
Semakin banyak bunga kecil yang didapat bulan ini, semakin tinggi peringkatnya.
Nggak perlu ditanya lagi, tentu saja dia harus bikin anaknya jadi yang paling top!
Cara mendapatkan bunga kecil ada banyak, seperti mengundang pengguna keluarga, menyelesaikan misi.
Misinya juga bermacam-macam, absen harian, unggah postingan foto, video, komentar atau balasan... pokoknya macam-macam.
Jadi, selama setengah jam berikutnya, Jiang Ruoqiao sibuk menyelesaikan misi demi mengumpulkan bunga kecil buat Lu Siyan.
Tapi tetap kurang sedikit.
Tanpa pikir panjang, dia kirim pesan ke Lu Yicheng: 【Cepat buka aplikasi dan selesaikan misi biar Siyan dapat bunga merah!】
Anaknya harus ada di posisi paling mencolok!
Siyan harus jadi bintang kecil~
Sayangnya, orang tua lain juga punya ambisi yang sama, posisi peringkat selalu kejar-kejaran.
Lu Yicheng: 【? Itu nggak ada gunanya.】
Memang benar sih.
Bunga merah itu sebenarnya nggak ada gunanya.
Jiang Ruoqiao yang lagi tiduran langsung balas: 【.】
Lu Yicheng melihat baik-baik, titik?
Kalau cuma kirim satu titik, itu artinya dia lagi nggak senang.
Lu Yicheng membalas: 【Oke deh, aku langsung kerjain misinya.】
— 🎐Read only on blog/wattpad: onlytodaytales🎐—
***
Comments
Post a Comment