Shocking! The Broke Campus Heartthrob Is My Child’s Father – Bab 71-80
Bab 71
Setelah menutup telepon, Jiang Ruo Qiao menyimpan rekaman percakapan yang berlangsung hampir satu jam itu.
Manusia mustahil tidak memiliki naluri untuk melindungi diri.
Meski menurutnya, selama seseorang masih berpikiran waras, pasti tidak akan setuju jika Jiang Yan bersama putri mereka, membiarkan keluarga pihak laki-laki memanfaatkannya. Namun bagaimana kalau kekuatan alur cerita terlalu kuat? Bagaimana jika suatu hari nanti Jiang Yan benar-benar bersama Lin Kexing, sementara dia sendiri justru menjadi duri bagi keluarga Lin?
Saat itulah, jika Nyonya Lin mengingat kejadian hari ini, dia mungkin bukan merasa berterima kasih, melainkan justru merasa waspada.
Karena itu, dia harus menyisakan jalan keluar untuk dirinya sendiri — satu kartu as agar keluarga Lin tidak bertindak gegabah.
Dan kartu as itu adalah rekaman percakapan ini.
Ia yakin, Nyonya Lin tidak akan mengabaikan hal ini. Justru sebaliknya, beliau pasti akan menggunakan caranya sendiri untuk "membereskan" Ibu Jiang. Jika suatu hari Jiang Yan benar-benar bersama Lin Kexing, demi kebahagiaan putrinya, Nyonya Lin tentu tidak ingin Jiang Yan mengetahui masalah antara dirinya dengan sang ibu. Ia berharap rekaman ini tidak pernah harus digunakan, dan ia percaya bahwa Nyonya Lin sebagai wanita dari keluarga terpandang, pasti akan membuat keputusan yang paling bijak.
Jika Jiang Yan dan Lin Kexing tidak berakhir bersama seperti dalam cerita aslinya, maka Nyonya Lin pun tidak akan mencari masalah dengannya seumur hidup.
Namun jika mereka benar-benar bersama, maka rekaman ini adalah senjata paling ampuh.
Setelah memikirkan hal ini dan memiliki kartu as di tangan, barulah Jiang Ruo Qiao berani dengan mantap menelepon Nyonya Lin.
Setelah menyimpan rekaman itu, ia merasa belum cukup aman. Ia harus membuat cadangan dan menitipkannya kepada seseorang yang sangat ia percayai.
Saat itu, yang muncul di benaknya adalah wajah lembut dan tampan seseorang.
Jika ada yang disebut sebagai sandaran hidup, setidaknya untuk saat ini, untuk bulan ini, di hati Jiang Ruo Qiao, Lu Yicheng adalah sandaran yang ia percaya sepenuhnya.
Setelah kembali ke asrama, Jiang Ruo Qiao membuat beberapa salinan rekaman tersebut dan mengirim pesan kepada Lu Yicheng:
[Kirimkan alamat email-mu padaku.]
Lu Yicheng tidak bertanya kenapa, langsung mengirimkan alamat emailnya.
Jiang Ruo Qiao:
[Oke, Lu Yicheng, aku sudah mengirimkan file yang sangat penting bagiku ke emailmu. Tolong bantu aku simpan baik-baik ya. Terima kasih.]
Lu Yicheng:
[Baik.]
Ia pun tidak bertanya apa file penting itu.
Lu Yicheng mengeluarkan laptop dari tasnya, masuk ke email, dan benar saja, ada email baru masuk.
Email tersebut berisi lampiran, tampaknya file audio.
Lu Yicheng tentu saja penasaran, tapi hanya sebatas itu. Ia tidak membuka file tersebut. Ia menyimpan file itu ke dalam laptop-nya, lalu demi rasa aman, juga membuat salinan di cloud drive miliknya.
Jiang Ruo Qiao tahu, dengan karakter Lu Yicheng, selama ia tidak mengatakan, pria itu tidak akan membuka dan mendengarkan.
Inilah alasan kenapa ia mempercayai Lu Yicheng.
Dia tidak akan bertanya itu file apa, atau apakah dia boleh mendengarkannya. Tapi apa yang diminta Jiang Ruo Qiao, dia pasti akan lakukan dengan sebaik mungkin. Itulah Lu Yicheng.
---
Keesokan harinya, Jiang Ruo Qiao baru mengetahui dari dosennya alasan diminta mengisi formulir data.
Ternyata, hal ini berkaitan dengan kegiatan promosi untuk perayaan ulang tahun kampus A University. Mereka kebetulan terpilih. Pihak kampus memutuskan untuk memilih sejumlah mahasiswa berprestasi, melewati proses seleksi bertahap. Mereka yang terpilih akan diberikan medali penghargaan, serta difoto bersama untuk diunggah di situs resmi kampus.
Bagi mereka yang sudah terjun ke dunia kerja, mungkin ini bukan hal yang begitu membanggakan.
Namun bagi Jiang Ruo Qiao, ini cukup membuatnya girang hingga hampir ingin mentraktir seluruh teman sekelas.
Untung saja dia cukup stabil secara emosional. Bagaimanapun, pengumuman resminya belum keluar... Tidak boleh buru-buru menyebarkannya. Kalau sampai tidak lolos, akan sangat memalukan.
Baginya, ini adalah hal besar. Kenapa? Karena menjadi mahasiswa A University saja sudah luar biasa. Jika mendapatkan medali mahasiswa berprestasi, itu akan tercatat dalam CV-nya. Terlebih, situs resmi A University punya halaman khusus "Alumni Berprestasi", yang berisi profil lulusan luar biasa dari masa ke masa, atau alumni yang telah berjasa bagi almamater.
Tidak diragukan lagi, jika terpilih, foto angkatan mereka juga akan dipajang di halaman tersebut.
Jiang Ruo Qiao merasa sangat bersemangat.
Siapa yang ingin hidup tanpa dikenal setelah lulus?
Jika fotonya muncul di halaman website kampus, meskipun hanya di sudut terkecil, itu bisa bertahan hingga belasan tahun.
Menjadi saksi masa-masa gemilangnya di universitas. Bahkan jika kelak, sepuluh tahun kemudian, hidupnya dipenuhi rutinitas, membuka laman itu kembali pasti akan memberikan kebanggaan tersendiri.
Setelah bertanya lebih lanjut pada dosennya, ia baru tahu bahwa salah satu pejabat kampus kebetulan menyebut namanya saat mengobrol dengan Ketua Jurusan Bahasa Asing. Ketua jurusan pun kemudian mulai memperhatikan dirinya. Meski begitu, dosennya menegaskan, sekalipun tanpa penyebutan dari pejabat tersebut, ia tetap akan merekomendasikan Jiang Ruo Qiao.
Jiang Ruo Qiao pun membuka halaman Alumni Berprestasi di website kampus, menopang dagunya sambil melamun.
Mendadak ia merasa memiliki target yang lebih besar.
Apakah karena berdiri di posisi yang lebih tinggi? Pemandangan yang dilihat pun menjadi berbeda.
Dalam benaknya yang melayang-layang, tiba-tiba ia terpikir sebuah bayangan: Bagaimana jika sepuluh tahun lagi, Si Yan diterima di kampus ini? Saat ia membuka website kampus, melihat foto dirinya, apa yang akan ia rasakan?
Hanya membayangkannya saja sudah membuat Jiang Ruo Qiao terkekeh, wajahnya tampak ceria.
Tunggu dulu —
Tunggu dulu!
"Tidak boleh, ini tidak benar." Jiang Ruo Qiao menepuk dahinya. "Kalau aku sudah punya pikiran seperti ini, bukankah berarti aku menaruh tekanan besar padanya? Seakan-akan aku mengharapkannya juga harus masuk kampus ini?"
Potongan-potongan kecil dalam hidup membuat Jiang Ruo Qiao makin sadar — menjadi orang dewasa itu sungguh mudah sekali tanpa sadar berubah jadi orang tua yang menyebalkan.
Dengan cepat, ia pun login ke akun kecil WeChat miliknya.
Lalu memposting di Moments:
[Mantra harian: Aku ingin menjadi orang tua yang paling bijak, love and peace~]
Sebenarnya akun kecil itu tidak punya banyak teman.
Hanya ada tiga guru Si Yan, seorang ibu murid yang dikenalnya saat mengantar jemput, dan... Lu Yicheng.
Ibu teman Si Yan sangat antusias, cepat-cepat memberikan like dan komentar:
[Benar sekali, setiap hari selalu niat begini, tapi tiap hari juga dibuat anak marah sampai mati jadi terlihat seperti ibu galak di mata orang lain! Semangat bersama!!]
Guru wali kelas Si Yan, Guru Xiong, juga memberikan like.
Lu Yicheng agak terlambat memberi like dan komentar.
Lu Yicheng:
[Semangat bersama.]
Ia pun ingin menjadi ayah yang paling bijak.
Baru saja mengirim komentar itu, tiba-tiba ia melihat Lu Si Yan diam-diam menggambar seekor kura-kura kecil di dinding dengan pensil!
Lu Yicheng sungguh sangat, sangat tak berdaya. Kenapa? Karena ia tahu Si Yan suka menggambar, terutama menggambar kura-kura. Baik dirinya maupun Jiang Ruo Qiao selalu berusaha memfasilitasi. Di rumah saja ada beberapa papan gambar, belum lagi buku gambar. Namun entah mengapa, Si Yan tetap suka mencorat-coret di dinding!
Kenapa bisa begitu?
Lu Yicheng bukannya tak membaca banyak buku. Sebagian besar hal di dunia ini bisa ia pahami dengan logis. Namun urusan ini, benar-benar membuatnya pusing. Ia benar-benar tidak paham.
Si Yan sendiri tahu bahwa itu perbuatan salah. Ia langsung berpura-pura polos sambil minta maaf:
"Papa, maaf ya."
Lu Yicheng: "……"
Yang lebih membuatnya bingung lagi adalah, Si Yan tahu itu salah, tapi tetap melakukannya. Setelah itu minta maaf sangat cepat. Lalu di lain waktu, tetap akan mengulanginya.
Ia sungguh tak mengerti.
Akhirnya ia memutuskan untuk bertanya pada ibu anak itu. Dia lebih pintar darinya.
Lu Yicheng mengambil foto gambar kura-kura kecil di dinding, mengirimkannya kepada Jiang Ruo Qiao:
[Foto]
Jiang Ruo Qiao:
[??]
Lu Yicheng:
[Dia gambar lagi di dinding. Aku nggak paham, kenapa nggak digambar di papan gambar atau di buku gambar, kenapa harus di dinding?]
Kenapa ya? Kenapa begitu?
Jiang Ruo Qiao membaca pesan itu di asrama sambil merenung.
Ia menjawab dengan pelan:
[Mungkin... karena yang dilarang itu justru semakin menarik?]
Yang tak bisa didapatkan justru semakin diinginkan. Yang terlalu mudah diraih malah tak dihargai.
Siapa yang tak suka tantangan? Semakin dilarang anak kecil melakukannya, mereka malah semakin ingin mencoba melanggar batas.
Lu Yicheng menerima penjelasan itu dengan terbuka:
[Mungkin.]
Menjadi orang tua bijak, sungguh sulit.
Bahkan Lu Yicheng yang begitu sabar pun bisa dibuat naik darah oleh Si Yan. Melihat gambar kura-kura kecil di sudut dinding, ia hanya bisa menghela napas. Rumah ini rumah sewa orang lain, jadi cukup merepotkan. Ia pun mulai berpikir bagaimana memperbaikinya agar kembali seperti semula.
Di grup orang tua murid, guru wali kelas mengumumkan:
[@semua, sesuai arahan, demi membantu proses pendidikan sekolah, mohon semua orang tua bergabung di ruang live streaming jam 7 malam ini, untuk belajar menjadi "Orang Tua Bijak di Era Baru". Mohon kerja samanya. Terima kasih. Jika sudah dibaca, mohon balas di grup.]
Jiang Ruo Qiao merasa lelah.
Ia merasa, TK zaman sekarang benar-benar berbeda jauh dari masa kecilnya.
Dulu, keluarga hanya menitipkan anak ke TK, tak ada tugas apa-apa. Sekarang...
Meski begitu, ia tetap bersemangat, membalas di grup dengan antusias:
[Siap, terima kasih Guru Xiong! 🌹🌹]
Live streaming ini, Lu Yicheng tidak bisa ikuti.
Karena ia harus ke kantor untuk menyelesaikan masalah sistem. Demi tidak mengganggu Jiang Ruo Qiao dalam "perjalanan menjadi orang tua bijak", Lu Yicheng pun memutuskan untuk membawa Si Yan ke kantor.
Jiang Ruo Qiao sendiri tidak ingin teman sekamarnya tahu bahwa ia sedang menonton live streaming semacam itu.
Kemungkinan besar ia akan dianggap aneh...
Jadi ia memanjat ke tempat tidur, memakai earphone bluetooth, dengan khusyuk mengikuti live streaming.
Di layar muncul seorang ibu berusia sekitar 40-50 tahun. Ia tampak sangat profesional.
Jiang Ruo Qiao menyimak dengan serius. Lagipula, guru wali kelas sudah meminta agar sebaiknya semua orang tua menulis kesan dan catatan...
Namun saat sedang asyik mendengarkan...
Yun Jia, teman sekamarnya, baru selesai mandi. Melihat Jiang Ruo Qiao diam-diam sudah naik ke tempat tidur, ia penasaran. Sambil berjinjit memegang pagar tempat tidur, ia bertanya,
"Nonton apa sih, cantik?"
Gerak cepat, Jiang Ruo Qiao langsung menyembunyikan ponselnya di bawah bantal, wajahnya serius berkata:
"Nggak nonton apa-apa."
Melihat wajah paniknya, Yun Jia tersenyum nakal, memegang dagunya, lalu berkata pelan:
"Kirim ke aku ya, orang baik rezekinya lancar~"
Jiang Ruo Qiao:
"?"
Yun Jia merendahkan suara sambil berkata:
"Aku nggak bakal bilang ke siapa-siapa kok."
Jiang Ruo Qiao:
"???"
— 🎐Read only on blog/wattpad: onlytodaytales🎐—
Bab 72
Jiang Ruo Qiao menatap Yun Jia dengan ekspresi datar.
Sejak lama dia sudah tahu, semua teman satu kamarnya itu memang kutu buku mesum. Seperti pepatah, burung yang sama berkumpul bersama... Tapi Yun Jia ini apa nggak terlalu nggak peka ya? Kalau dia memang benar-benar menonton video macam itu, apa mungkin dia akan duduk tegak seperti ini? Dengan wajah seolah habis mandi bunga dan bersembahyang? Padahal dia sedang belajar ilmu berkualitas tinggi untuk jadi ibu bijak berkualitas tinggi.
Jiang Ruo Qiao malas membantah, karena Yun Jia adalah tipe orang yang kalau penasaran akan terus bertanya sampai tuntas.
Kalau dia bilang bukan, Yun Jia pasti akan bilang, "Kita kan udah kenal banget, aku nggak ngerti kamu orang macam apa? Jangan sok jaim deh."
"Kalau bukan nonton video itu, terus kamu nonton apa?"
Supaya semua pertanyaan itu mati sebelum berkembang, itu prinsip hidup Jiang Ruo Qiao. Maka dia hanya mengangguk, "Nanti aku kirim ke kamu."
Yun Jia: "Hehehe."
Jiang Ruo Qiao: cape deh.
Setelah menonton siaran langsung selama satu jam penuh, tatapan mata Jiang Ruo Qiao kosong, pikirannya seolah habis dibersihkan. Tapi dia tidak lupa screenshot dan kirim ke grup kelas, bahkan mention gurunya, sambil menulis rangkuman panjang penuh perenungan mendalam, dan berjanji akan bekerjasama dengan guru ke depannya demi membantu anak tumbuh sehat dan kuat. Jujur saja, waktu nulis esai dulu pun dia nggak pernah se-serius ini.
Seorang ibu dari teman sekelasnya mengirim pesan pribadi ke dia: [Kamu keren banget, aku buka sepuluh menit saja sudah tutup. Bosan banget, dari TK kecil sudah begini.]
Jiang Ruo Qiao terkejut.
Wajahnya saat ini benar-benar kayak "orang polos yang baru sadar dibohongi dan dikhianati."
[??? Cuma nonton sepuluh menit? Bukannya Bu Guru bilang harus nonton sampai habis dan bikin refleksi?]
Ibu itu membalas: [Jangan bilang kamu nonton sampai habis?]
Jiang Ruo Qiao: [...] iya.
Benar-benar tidak beranjak sedikit pun.
Ibu itu: [👍👍 hebat, padahal sebenarnya nggak usah se-serius itu, sudah dengar banyak, baca banyak, nanti kalau saatnya marah, ya marah saja.]
Jiang Ruo Qiao: [... kupikir semua orang harus nonton sampai habis.]
Ibu itu: [Hahaha, kita ini udah pada veteran, anakku waktu TK kecil dulu juga ada acara begini, aku sama ayahnya pertama-tama nonton serius, lama-lama ya cuma absen doang terus sibuk sendiri.]
Jiang Ruo Qiao: [Oh begitu rupanya.]
Jadi... dia yang nonton sampai habis dan nulis refleksi panjang lebar ini... di mata para orang tua itu kelihatan kayak polos banget ya?
Sakit hati. Auto menarik diri.
—
Sementara itu, Lu Yicheng membawa Lu Suyan ke kantor buat lembur. Lu Suyan di samping membaca dan menggambar, Lu Yicheng sedang menunggu sistem reboot, sambil iseng membuka ponsel, melihat-lihat grup kelas.
Hanya Jiang Ruo Qiao saja yang benar-benar mengirimkan refleksi.
Bu Guru membalas: 👍 @Orangtua Lu Suyan.
Beberapa orang tua lain melihat ada yang serajin itu, langsung mikir, waduh, bakal pada saingan nih? Lalu beberapa ikut-ikutan komen, suasana di grup jadi ramai. Tapi Lu Yicheng melihat, Jiang Ruo Qiao tidak muncul lagi.
Lu Yicheng bisa menebak alasannya, ingin tertawa, tapi takut suara ketawanya menarik perhatian bocah kecil.
Dia berpikir sebentar, akhirnya mengirim pesan pribadi ke Jiang Ruo Qiao:
[Kerja keras ya. Menurutku apa yang kamu tulis sangat bagus, logis dan runtut, layak dibaca, mengingatkan kita bahwa dalam hal pengasuhan anak, perjalanan kita masih panjang.]
Jiang Ruo Qiao: [Aduh, maaf ya bikin repot.]
Masih sempat-sempatnya dia kirim kata-kata formal begitu. Ya ampun.
Lu Yicheng: [Kamu yang kerja keras.]
Jiang Ruo Qiao: [.]
Lu Yicheng tersenyum, tahu dia pasti lagi bad mood. Dia melirik layar komputer, kira-kira masih beberapa menit lagi, jemarinya dengan cepat mengetik pesan:
[Kita ini masih pemula, sementara orang tua lain sudah punya pengalaman minimal lima tahun. Kita bahkan belum lima bulan. Menurutku kita sudah sangat baik.]
Jiang Ruo Qiao berguling di tempat tidur, lalu miring memeluk bantal, menatap layar ponsel, mengetik:
[Oh ya, dulu kamu bilang aku ini ibu nilai 70, sekarang kamu kasih nilai berapa?]
Lu Yicheng tersenyum sambil mengetik:
[Minimal 95.]
Jiang Ruo Qiao tersenyum kecil:
[Masa sih? Kalau kamu kasih nilai buat dirimu sendiri berapa?]
Lu Yicheng: [90.]
Wow~
Dia malah dapat nilai lebih tinggi lima poin?
Jiang Ruo Qiao: [Benarkah? Aku nggak percaya .jpg]
Lu Yicheng melihat stiker yang dia kirim, tak tahan tertawa pelan. Untung Lu Suyan lagi serius baca buku, nggak merhatiin. Kalau tidak, si bocah pasti sudah loncat-loncat datang ke sini.
Lu Yicheng: [Serius.]
—
Di tempat lain, Ny. Lin sudah sangat lelah. Di satu sisi dia harus memastikan gala amal berjalan lancar tanpa cacat, di sisi lain dia masih sangat marah. Kalau gadis 20 tahun seperti Jiang Ruo Qiao bisa kepikiran sejauh itu, masa dia tidak?
Kebohongan ibu Jiang, dan betapa rapinya semua disembunyikan malam itu, cukup untuk membuat Ny. Lin sepenuhnya sadar.
Ny. Lin datang ke sekolah tempat putrinya belajar.
Begitu bertemu putrinya, rasa sakit dan amarah langsung menyeruak.
Selama ini Lin Kexing sangat tertekan. Kepergian Jiang Yan, sikap acuh tak acuhnya, membuatnya sedih tapi tak berdaya. Setelah kejadian itu, dia tak berani memulai kontak, tapi juga ingin bertemu. Perasaan yang jauh lebih menyiksa daripada sekadar patah hati. Dalam waktu singkat dia jadi kurus, pipinya yang dulunya agak berisi kini sudah terlihat tulang pipinya.
Mata Lin Kexing kehilangan cahaya. Melihat ibunya datang, dia berusaha tersenyum, "Mama, kenapa datang?"
Melihat keadaan putrinya, Ny. Lin tak perlu konfirmasi apa-apa lagi.
Hatinya sakit, ingin marahi putrinya, tapi dia sadar itu hanya akan membuat anak makin jauh.
"Mama cuma mau lihat sayangku, kenapa kamu kurusan?" Ny. Lin menggenggam pergelangan tangan putrinya yang kurus, hatinya makin sakit. "Makan di sekolah nggak cocok?"
Lin Kexing menggeleng, "Bukan, mungkin cuaca panas, jadi kurang selera makan."
Mendengar itu, Ny. Lin baru ingat, setahun belakangan ini memang sudah beberapa kali begini.
Tapi dulu anaknya bilang kurang nafsu makan, ibu Jiang juga bilang Kexing pencernaannya lemah, jadi dia cuma minta ibu Jiang bantu atur pola makan anaknya.
Tapi sekarang dipikir lagi... Jiang Yan dengan Jiang Ruo Qiao itu mulai dekat sejak kapan ya? Mungkin setengah tahun lalu?
Awalnya dia memang tidak sepenuhnya percaya ibu Jiang — sejujurnya dia tidak pernah benar-benar percaya siapapun. Sampai anaknya umur 8 tahun, dia maunya segalanya diurus sendiri. Tapi setelah ibu Jiang datang bawa Jiang Yan, dan setelah diingatkan, dia baru sadar selama ini terlalu banyak menghabiskan waktu di urusan remeh. Suaminya juga berharap dia lebih aktif di dunia sosial. Maka dia mulai sibuk di dunia amal.
Bukan karena dia bodoh. Awalnya dia menerima usul ibu Jiang karena memang masuk akal.
Sepuluh tahun ini, ibu Jiang sangat berhati-hati, tidak pernah memperlihatkan ambisi atau niat buruk. Awalnya mungkin pura-pura, tapi sepuluh tahun konsisten, semua orang pasti luluh.
Ny. Lin bahkan takut membayangkan — apakah ibu Jiang yang mempengaruhi perasaan putrinya terhadap Jiang Yan, atau sebaliknya.
Apapun jawabannya, sebagai ibu dia tak bisa terima.
"Bagaimana kalau kamu pulang saja?" tanya Ny. Lin.
Lin Kexing menggeleng, "Di sini aku baik-baik saja. Lagipula tante tiap minggu datang menjengukku, dia sangat baik."
Dulu dengar kalimat itu dia tidak merasa apa-apa. Tapi sekarang, setelah tersadar, dia kaget — sejak kapan putrinya jadi lebih dekat ke ibu Jiang daripada ke dirinya?
Ny. Lin mengepalkan tangan.
Dia dalam hati terus mengingatkan diri: jangan buru-buru, anak masih 18 tahun. Kalau dia lebih perhatian, putrinya pasti akan kembali.
Dan soal...
Ny. Lin memeluk putrinya. Dalam hati berkata: Kalau orang membalas kebaikan dengan kejahatan, aku akan balas kejahatan dengan kejahatan.
—
Lu Yicheng selesai setting sistem.
Di rumah, meski Lu Suyan sering nakal, di luar dia sangat manis dan pengertian, berusaha tidak merepotkan. Melihat Suyan sedang menggambar, Lu Yicheng menghampiri, bertanya sambil bertopang di meja, "Lagi gambar apa?"
"Gambar papa, mama, sama aku." jawab Suyan.
Lu Yicheng ingin lihat, tapi Suyan nggak kasih.
"Baiklah, papa hormati privasimu." kata Lu Yicheng.
Suyan memperhatikan tangan ayahnya, lalu membuka telapak tangannya sendiri, bolak-balik dibandingkan. Tangan papa besar banget, kenapa tanganku kecil ya?
Lu Yicheng bertanya, "Kamu lihat apa?"
"Lihat tangan papa," jawab Suyan polos. "Mama bilang tangan papa bagus, jadi aku penasaran, tanganku bagus nggak ya?"
Lu Yicheng jantungnya berdebar.
Dia bilang tanganku bagus?
Refleks, dia menundukkan pandangan ke tangannya. Dia sendiri nggak tahu mana yang dibilang bagus atau nggak. Tapi kalau dia bilang begitu... tentu saja hatinya tergetar.
"Kapan mama bilang begitu?" tanya Lu Yicheng.
Suyan melirik, "Dulu."
Lu Yicheng: "..."
Baiklah, dia paham — maksudnya di masa depan. Jantung kembali tenang, dia tersenyum getir. Ya tentu saja, dia (di masa kini) nggak akan bicara begitu ke anak.
"Tapi tangan papa sekarang beda." kata Suyan.
Sebelum Lu Yicheng sempat tanya apa bedanya, Suyan sudah ambil pulpen dan mulai menggambar di tangan ayahnya.
Lu Yicheng malah nggak melarang.
Dengan serius, si bocah menggambar jam tangan di pergelangan tangan Lu Yicheng. Lalu mendongak bangga, "Sekarang papa punya jam tangan!"
Memang, Lu Yicheng tidak biasa pakai jam tangan.
Lu Yicheng tersenyum, "Terima kasih jam tangannya."
"Belum selesai!" kata Suyan. Lalu dia menggambar cincin di jari manis kiri ayahnya. "Sekarang selesai. Papa kalau pakai jam, pasti pakai cincin juga~"
Lu Yicheng tertegun, menatap cincin yang digambar di jari manis.
Saat itu juga, dia tanpa sadar berpikir — di masa depan, cincin pernikahanku bakal kayak apa ya?
— 🎐Read only on blog/wattpad: onlytodaytales🎐—
Bab 73
Di tangan kiri Lu Yicheng, terdapat gambar jam tangan dan cincin yang digambar oleh Lu Siyan.
Setelah pulang ke rumah, seperti biasa Lu Yicheng membawa anaknya ke kamar mandi untuk mencuci tangan. Lu Siyan yang sedang memikirkan Lego yang dibelikan oleh Jiang Ruoqiao, setelah mencuci tangan, bahkan belum sempat mengeringkannya sudah seperti belut licin melesat keluar.
Lu Yicheng berdiri di depan wastafel, melirik tangan kirinya, setelah ragu beberapa saat, ia tetap menuangkan sabun dan perlahan mencucinya sampai bersih.
Dalam batas tertentu, Lu Yicheng sebenarnya sama seperti Jiang Yan, di dalam hatinya juga merindukan kehangatan sebuah keluarga.
Manusia adalah makhluk sosial, Lu Yicheng juga bukan pulau terpencil. Sejak neneknya meninggal, ia hidup sendiri — melewati Tahun Baru sendirian, semua hari raya juga sendirian, bahkan saat sakit pun sendirian. Terkadang, setelah sibuk seharian, saat pulang ke rumah, hanya ada kegelapan yang menyambut. Ia mengira dirinya sudah terbiasa dengan kesepian ini, sampai kehadiran Lu Siyan...
Awalnya, ia memang cemas dan gelisah. Setiap malam saat menutup mata, yang ia harapkan hanyalah bangun keesokan paginya dan mendapati Lu Siyan sudah lenyap, kembali ke masa depan yang diceritakannya.
Ia tahu, dirinya sulit memikul tanggung jawab membesarkan seorang anak.
Namun kini, ia sudah terbiasa dengan keberadaan anak ini. Setiap malam sebelum tidur, ia selalu melihat wajah tidur Lu Siyan. Bahkan di tengah malam, ia kerap terbangun untuk menyelimuti atau membangunkan Lu Siyan untuk ke kamar mandi.
Kehadiran Lu Siyan juga membawa Jiang Ruoqiao masuk ke dalam hidupnya.
Segala hal yang terjadi belakangan ini membuatnya mendapatkan pemahaman baru tentang dirinya sendiri.
Ia menjadi rapuh. Saat Jiang Ruoqiao dan Jiang Yan belum berpisah, perasaan yang ada di dalam dirinya bahkan tidak berani ia telaah terlalu dalam.
Ia menjadi hati-hati, lebih berhati-hati dibandingkan saat menghadapi soal ujian nasional, rasanya ingin membawa penggaris ke mana-mana untuk selalu menjaga jarak yang tepat dengannya.
…
Ia menundukkan kepala, bekas tinta pena yang digunakan Lu Siyan terlalu membandel, samar-samar masih terlihat bekas pada jari manisnya.
Jiang Ruoqiao jelas tidak bisa merasakan betapa perasaannya begitu bergejolak hanya karena cincin itu.
Di kehidupannya, ada banyak hal yang jauh lebih penting daripada urusan cinta.
Belajar, bekerja, anak, dan tentu saja, keluarga!
Tentang mimpi yang ia alami malam itu, Jiang Ruoqiao tidak hanya memikirkan bagaimana ibu Jiang Yan menjebaknya atau menyindirnya, yang paling ia khawatirkan adalah kesehatan kakek-neneknya. Itu jauh lebih penting daripada tipu daya ibu Jiang Yan.
Jiang Ruoqiao merasa sangat bersalah.
Kalau kondisi neneknya memburuk, mengapa ia tidak menyadarinya lebih awal? Ini bukan soal ceroboh, melainkan karena ia sudah dewasa, punya urusan sendiri, dan hal-hal itu kini lebih penting baginya dibandingkan kakek-nenek, sehingga ia jadi lalai.
Sekarang, ia sangat bersyukur bahwa dirinya hidup dalam sebuah novel.
Juga bersyukur bisa bermimpi tentang masa depan, sehingga ia bisa berusaha sekuat tenaga untuk menghindari penyesalan.
Malam itu, Jiang Ruoqiao menelepon rumah di Xishi.
Ia memang selalu menelepon kakek-neneknya setiap minggu. Sekarang, pendengaran mereka sudah tidak sebaik dulu, jadi suara di telepon pun otomatis menjadi lebih keras.
> "Apa?" suara berat kakeknya terdengar dari seberang, "Mau kami ke Jingshi akhir bulan? Mau ke sana buat apa?"
Sepertinya nenek di sana bertanya sesuatu, sang kakek menjawab:
> "Si Qiao Qiao mau kami ke Jingshi! Entah apa yang dipikirkannya!"
Tentu saja Jiang Ruoqiao tidak bisa bilang tujuannya agar mereka ke sana untuk berobat.
Xishi juga punya rumah sakit yang bagus, tapi di novel aslinya, kakek-nenek memang pergi ke Jingshi, sepertinya di sana ada pakar dan fasilitas paling canggih untuk mengobati penyakit tersebut.
Sayangnya, Jiang Ruoqiao sendiri tidak tahu penyakit apa yang diderita neneknya dalam cerita aslinya.
Tapi kalau mereka sampai ke Jingshi, pasti ada alasannya. Saat ini, ia tidak ingin menyia-nyiakan waktu sedikit pun.
> "Kakek, nenek," Jiang Ruoqiao membujuk dengan sabar, "Ayo jalan-jalan saja, kan kalian juga ingin lihat Jingshi. Akhir September nanti udaranya sudah sejuk, aku juga punya libur, bisa temani kalian jalan-jalan."
Suara nenek terdengar,
> "Buat apa buang-buang uang? Menurutku, pemandangan di seluruh negeri ya sama saja, nggak menarik."
Jiang Ruoqiao terus membujuk.
Sebenarnya alasan utama mereka tidak mau datang hanyalah karena takut membuang uang.
Akhirnya Jiang Ruoqiao mengeluarkan "senjata pamungkas":
> "Aku sudah pesan tiket, kalau dibatalkan, kena denda. Hotel juga sudah dipesan, kalau nggak ditempati, nggak bisa refund."
Kakek-nenek: "……"
Akhirnya mereka pun setuju berangkat ke Jingshi.
Sebenarnya, di dalam hati mereka senang juga. Sepanjang hidup mereka belum pernah bepergian jauh, punya perasaan khusus terhadap kota besar seperti Jingshi.
Baru beberapa menit yang lalu masih keras kepala, sekarang malah antusias membicarakan baju apa yang akan dibawa.
Setelah menutup telepon, Jiang Ruoqiao bersandar di balkon asrama, menatap bintang-bintang di langit.
Betapa indah. Padahal baru beberapa waktu berlalu, tapi rasanya seolah-olah sudah melewati beberapa tahun.
Dari mahasiswi biasa yang ceria, kadang sedikit licik dan sedikit ingin pamer, kini ia menjadi dewasa yang punya tanggung jawab — di atas ada yang harus dirawat, di bawah ada anak yang harus dibesarkan.
---
Sehari sebelum Festival Pertengahan Musim Gugur, ibu Lin akhirnya punya waktu luang, katanya ingin menemani putrinya yang sudah lama tidak pulang.
Dapur rumah Lin adalah dapur terbuka, hari itu suasananya sangat ramai.
Ibu Lin membuat kue bulan sendiri, ibu Jiang Yan membantu di samping, sementara Lin Kexing duduk di kursi tinggi dengan kepala tertunduk, mendengarkan ibu dan tante mengobrol.
Ibu Lin bertanya sambil tersenyum:
> "Libur mahasiswa kan biasanya sama, kenapa Kexing sudah pulang, sementara Ah Yan belum?"
Belum sempat ibu Jiang Yan menjawab, ia sudah menggoda,
> "Jangan-jangan dia ke rumah pacarnya buat rayakan Zhongqiu?"
Ibu Jiang Yan tanpa sadar melirik Lin Kexing, lalu kembali fokus memilih telur asin.
Ia menjawab sambil tersenyum:
> "Ah Yan bilang ada urusan, jadi Zhongqiu ini nggak pulang."
Ibu Lin tertawa,
> "Mungkin memang lagi sama pacarnya, anak muda wajar saja."
Lin Kexing yang memegang ponsel tampak tenang di permukaan, namun saat mendengar Ah Yan tidak pulang, matanya berkedip sedih.
Ibu Jiang Yan tetap tersenyum seolah menyetujui perkataan ibu Lin.
Ibu Lin lalu menoleh ke putrinya:
> "Kexing, kok kayaknya murung, makin kurus lagi?"
Ibu Jiang Yan langsung tegang, tapi tetap santai berkata:
> "Memang perut Kexing lemah, tiap musim panas pasti kurusan. Di kantin kampus pasti nggak bisa makan sebagus di rumah. Kalau perlu, nanti aku tiap hari kirim sup dan lauk ke sana."
Ibu Lin semakin tersenyum:
> "Bisa saja."
Dulu ia tak sadar.
Kalau memang ibu Jiang Yan benar-benar peduli, kenapa anaknya malah makin kurus, makin pendiam, makin pemalu?
> "Kexing, bagaimana menurutmu?" tanya ibu Lin.
Lin Kexing mengangkat kepala dengan bingung,
> "Aku? Terserah saja, ikut tante."
Ibu Lin tersenyum,
> "Baiklah, tapi nanti biar Aqin yang antar. Ada urusan penting yang harus tante urus, aku nggak tenang kalau suruh orang lain. Jadi tante mau minta bantuan kamu buat survei lokasi buat klub. Orang lain suka ceroboh, cuma kamu yang teliti."
Ibu Jiang Yan tak curiga.
Memang sebelumnya ibu Lin juga sering minta tolong. Meski saat ini ia sedang cemas soal Ah Yan dan Kexing, ia tidak bisa menolak.
Ibu Jiang Yan mengangguk,
> "Baik."
Ibu Lin tersenyum makin dalam.
Ia hanya punya satu putri. Setelah lama hidup di lingkungan keluarga kaya, ia paham benar. Menikahkan anak bisa karena aliansi keluarga atau karena cinta. Jika pilih cinta, maka calon suami harus benar-benar baik dan latar belakang keluarganya sederhana. Ah Yan jelas tidak memenuhi syarat itu.
Karenanya, ia harus tegas memutus semua kemungkinan Kexing dan Ah Yan bersama.
Mengusir mereka berdua dari keluarga Lin? Itu bukan masalah besar.
Sebagai sesama ibu, ia sangat tahu bagaimana harus menghadapi Jiang Yan dan di mana titik lemahnya.
---
Hari Zhongqiu, Lu Siyan dengan tulus meminta Jiang Ruoqiao untuk merayakannya bersama.
Jiang Ruoqiao tak punya keluarga di Jingshi, jadi ia tak punya alasan menolak.
Ia juga tak menganggap rumah sewa Lu Yicheng sebagai rumahnya sendiri. Pagi-pagi, ia membawa buah dan susu — tradisi di kampung halamannya, tak boleh datang bertamu dengan tangan kosong.
Lu Yicheng awalnya ingin agar Jiang Ruoqiao menemani Lu Siyan di rumah saja, tapi Lu Siyan bersikeras ikut belanja. Jalan-jalan jelas lebih seru!
Akhirnya Jiang Ruoqiao ikut pergi ke pasar bersama dua "Tuan Lu".
Pasar hari ini ramai sekali, penuh sesak.
Lu Yicheng harus menjaga agar Lu Siyan tidak terinjak, juga memperhatikan suasana hati Jiang Ruoqiao.
Jiang Ruoqiao memang kurang nyaman dengan keramaian seperti ini, apalagi baunya bercampur — daging, unggas, seafood, buah, camilan. Meskipun ada nuansa kehidupan, ia tetap menahan
— 🎐Read only on blog/wattpad: onlytodaytales🎐—
Bab 74
Hari raya Pertengahan Musim Gugur kali ini, bagi Lu Yicheng dan Jiang Ruoqiao, jelas terasa damai dan tenteram.
Pagi-pagi sekali, ibu Jiang merebus sup ayam di dapur paviliun samping, lalu menuangkannya ke dalam termos untuk dikirim ke putranya. Selain itu, dia juga menyiapkan beberapa perlengkapan rumah tangga. Menjelang berangkat, dia mendengar bibi Aqin masuk dan berkata:
“Tahukah kamu siapa yang datang?”
“Siapa?”
Aqin yang gemar bergosip mendekat dan berkata pelan:
“Itu lho, Bibi Wang Cuizhen, yang dulu mengurus nona. Dua tahun lalu menantunya melahirkan, dia tidak sempat mengurus semuanya, jadi berhenti kerja. Hari ini dia datang, katanya mau bertemu nyonya. Tapi kan nyonya dan tuan lagi keluar, saya lihat bibi Wang kayaknya mau nungguin nyonya pulang. Menurutmu, ada urusan apa ya?”
Bibi Wang yang disebut Aqin itu dulu juga pernah bekerja bersama ibu Jiang.
Ibu Jiang tidak begitu suka pada bibi Wang. Baginya, bibi Wang hanyalah seorang wanita desa yang tidak banyak berpendidikan, hanya karena cekatan di dapur saja bisa direkrut keluarga Lin sebagai asisten dapur. Sebelum ibu Jiang datang ke keluarga Lin, bibi Wang sempat dipromosikan untuk merawat Lin Kexing, tetapi nyonya Lin tak pernah benar-benar membiarkan putrinya terlalu dekat dengan seorang asisten. Hanya saja, karena Lin Kexing kecil sangat menyukai bibi Wang, nyonya Lin pun mengalah dan membiarkannya ikut merawat keseharian putrinya.
Setelah ibu Jiang datang, nyonya Lin jelas lebih mempercayai sahabat lamanya ini. Dibandingkan bibi Wang, ibu Jiang jauh lebih berpendidikan dan memiliki tutur kata yang lebih halus. Seiring waktu, nyonya Lin mulai mempercayakan hal-hal penting padanya. Sementara Lin Kexing yang kurang memiliki teman sebaya, makin akrab dengan Jiang Yan, putra ibu Jiang yang dua tahun lebih tua.
Sejak itu, bibi Wang mulai menyimpan rasa iri terhadap ibu Jiang. Bagi ibu Jiang sendiri, bersaing dengan wanita desa tak berpendidikan adalah hal yang merendahkan martabat.
Menurut ibu Jiang, bibi Wang ini memang seperti katak jelek: tak bisa menggigit, tapi bisa membuat orang jijik.
Saat bibi Wang keluar dari keluarga Lin, ibu Jiang justru merasa lega.
Sekarang, bahkan ibu Jiang pun merasa penasaran—apa yang membuat bibi Wang datang lagi setelah dua tahun? Mau minta uang?
Saat hendak keluar, ibu Jiang mendengar petugas keamanan berbicara pada kepala pelayan:
“Bibi Wang bilang ada urusan penting dengan nyonya. Karena dia bukan orang dalam lagi, kita nggak bisa langsung membiarkan dia masuk. Dia tinggalkan nomor telepon, nanti kalau nyonya pulang tolong disampaikan. Sebenarnya bibi Wang dulu baik banget sama kami, sering bantu.”
Ibu Jiang mendengar sepintas, hanya tersenyum tipis kepada mereka, lalu pergi.
Sepanjang jalan, entah kenapa, hatinya gelisah.
Dia merasa seakan-akan sesuatu yang buruk akan terjadi.
Bahkan saat bertemu putranya, Jiang Yan, di luar, pikirannya masih tak fokus.
Jiang Yan sendiri juga sedang tak bersemangat. Beberapa hari lalu, platform tiket mengingatkannya bahwa dia pernah membeli dua tiket untuk jalan-jalan saat cuaca dingin. Awalnya dia berencana membawa Ruoqiao jalan-jalan, tetapi sekarang…
Keduanya sama-sama tak bersemangat. Saat hendak berpisah di depan restoran, tiba-tiba seseorang berteriak:
“Akhirnya aku menemukan kalian!”
Jiang Yan terkejut.
Dia merasa orang itu agak familiar. Setelah diperhatikan, barulah dia ingat—itu adalah bibi Wang, mantan pengurus di keluarga Lin yang sudah dua tahun kembali ke kampung. Kenapa dia ada di sini?
Ibu Jiang makin merasa cemas.
Instingnya mengatakan, kehadiran bibi Wang pasti membawa masalah besar, mungkin berhubungan dengannya.
Dengan tenang dia berkata, “Bibi Wang, kau ya?”
“Harusnya kau sudah tahu aku datang mencari nyonya untuk apa.” Bibi Wang berkata sinis sambil melirik Jiang Yan.
Ibu Jiang berkata datar, “Itu urusan kalian, aku tak tahu.”
Dia lalu berkata pada putranya, “Yan, kamu pulang dulu. Mama mau bicara dengan bibi Wang.”
Jiang Yan ragu, melihat jelas bahwa bibi Wang datang dengan niat tak baik. Masa dia harus pergi begitu saja?
Namun sebelum dia sempat berbicara, bibi Wang menariknya:
“Jangan pergi! Kalian ibu dan anak sama saja! Kalian harus ikut denganku menemui nyonya, biar tuan dan nyonya lihat siapa kalian sebenarnya!”
Deg!
Ibu Jiang merasakan firasat buruk.
Namun dia tetap berusaha tenang, membentak: “Lepaskan putraku! Kalau mau gila, pergi ke tempat lain!”
“Benarkah? Aku cuma minta tiga puluh juta. Bayar saja, besok jam lima sore kalau uangnya tak ada, aku akan menemui nyonya.”
Jiang Yan marah: “Kalau begini, aku akan lapor polisi!”
“Silakan! Kita lihat apakah ibumu berani!” kata bibi Wang.
“Aku ini tak takut siapa pun!” Bibi Wang menepuk dada, “Mari kita lihat siapa yang benar!”
Mendengar kata-kata itu, ibu Jiang makin panik.
Apakah bibi Wang benar-benar memegang bukti? Ataukah cuma menggertak?
Jiang Yan berkata, “Bibi Wang, kalau ada bukti, bawa saja. Jangan bertindak kasar di sini.”
“Tanyakan pada ibumu. Dia berusaha membuatmu jadi menantu keluarga Lin!” kata bibi Wang.
Ibu Jiang membentak: “Omong kosong! Jangan asal bicara!”
“Kalau tak percaya, kita adu bukti!” jawab bibi Wang.
Lin Kexing menyukai Jiang Yan, hanya sedikit orang yang tahu.
Namun sekarang, mendengar bibi Wang berkata begitu... Ibu Jiang makin panik. Apakah benar bibi Wang punya bukti? Dan bagaimana bisa dia tahu?
Jiang Yan makin pusing.
Ia teringat pada kata-kata Ruoqiao:
“Ibumu tahu Lin Kexing suka kamu. Kamu harus lebih hati-hati.”
Banyak hal makin jelas di pikirannya.
Ibu Jiang awalnya mengira masalah ini cukup rumit, tapi melihat ekspresi anaknya sekarang, dia makin sadar—ini bisa bertambah parah.
Dia harus menenangkan bibi Wang, sekaligus menenangkan putranya!
"Yan, dengarkan Mama..." katanya lembut.
Namun, Jiang Yan memandang ibunya dengan kekecewaan yang amat dalam.
“Kenapa, Mama? Kenapa harus begini?”
Ibu Jiang ingin menarik tangannya, namun Jiang Yan membentak: “Cukup!”
Dia tak tahan lagi.
Tak tahan dengan perhitungan ibunya, tak tahan dengan segala tipu daya.
Lebih dari itu, dia tak tahan dengan dirinya sendiri—begitu bodoh sampai tak menyadari hal yang jelas ini.
Jika sejak awal dia bisa menyadari, mungkinkah hubungannya dengan Ruoqiao tak perlu berakhir seperti ini?
Dengan wajah pucat, Jiang Yan berbalik dan pergi cepat, nyaris seperti melarikan diri.
Ibu Jiang merasa dunia runtuh.
Dia kini sadar—masalah ini memang dijebak untuk menghancurkannya. Bahkan skema sederhana pun bisa membuatnya kehilangan segalanya—terutama kepercayaan anaknya.
Betapa kejamnya nyonya Lin!
Ibu Jiang masih mencoba bertahan:
“Yan, masa kamu tak percaya Mama? Siapa yang paling ingin kamu bahagia kalau bukan Mama?”
“Iya iya, Mama kamu paling ingin kamu jadi menantu keluarga Lin, pakai pengaruh mereka untuk naik derajat,” ejek bibi Wang.
Ibu Jiang menarik napas dalam.
Dia tahu, makin marah makin celaka.
“Bibi Wang, aku tak pernah ingin menjatuhkanmu. Kalau dulu aku datang dan menyebabkan penghasilanmu berkurang, itu bukan kesengajaan.”
“Aku tak peduli. Yang penting, kebenaran pasti terungkap,” jawab bibi Wang, menatap Jiang Yan.
“Kalau tak percaya, kamu bisa langsung tanya Lin Kexing di kampus.”
Kini semua jelas.
Jiang Yan teringat pada malam itu, saat Lin Kexing masuk ke kamarnya... semua detil itu kini bermunculan lagi.
Ia mulai paham.
Mungkin jauh di lubuk hatinya ia sudah tahu, hanya saja ia terlalu lambat menyadarinya.
Dengan wajah penuh kekecewaan, Jiang Yan bertanya pelan: “Kenapa Mama lakukan ini?”
Ibu Jiang panik, ingin menjelaskan, namun Jiang Yan berkata tegas:
“Tak perlu bicara lagi!”
Dia tak tahan.
Tak tahan pada ibunya. Tak tahan
— 🎐Read only on blog/wattpad: onlytodaytales🎐—
Bab 75
Saat ini, Jiang Yan benar-benar tidak punya tempat untuk mencurahkan isi hatinya.
Dulu, dia pasti akan mencari Lu Yicheng. Lu Yicheng adalah teman yang dia percayai. Tapi sekarang, mereka berdua sudah mustahil bisa berteman lagi. Bahkan untuk menjaga hubungan yang sekadar dingin dan formal saja sudah sangat melelahkan. Adapun Du Yu dan Wang Jianfeng… Du Yu tak usah disebut lagi, memang orangnya heboh dan ribut, tak mungkin bisa memberikan saran yang berguna. Wang Jianfeng memang orang yang baik, tapi hubungan mereka berdua juga tidak terlalu dekat.
Tanpa sadar, dia sudah berjalan sampai ke depan gedung asrama putri.
Awalnya dia hanya berniat duduk sebentar lalu pergi. Tak disangka, Ruo Qiao malah pulang.
Dia tak bisa menahan diri untuk berpikir, andai saja aku dan Ruo Qiao belum putus, betapa bagusnya.
Melihat dia masih ingin menceritakan keterkejutannya, keputusasaannya, namun Jiang Ruo Qiao sama sekali tak sabar untuk mendengarnya. Baginya, memang benar ibu Jiang punya banyak sekali keburukan. Bahkan bisa dibilang, dalam cerita aslinya, akhir tragis pemeran wanita pendukung memang didorong oleh sang ibu. Tapi meski sang ibu merencanakan semuanya dengan cermat, pada akhirnya yang menikmati hasilnya adalah Jiang Yan. Mungkin karena dia ini orangnya terlalu realistis, terlalu perhitungan. Jika seseorang, berkat trik ibunya, bisa punya rumah, mobil, dan jadi kaya raya, lalu masih menunjukkan wajah penuh penderitaan sambil berkata betapa ibunya telah menyakitinya… dia akan merasa itu sungguh munafik, sungguh membingungkan.
Itulah sebabnya, perpisahan dia dengan Jiang Yan adalah sebuah akhir yang sudah ditakdirkan.
Karena meski tampaknya mereka sejalan, kenyataannya tidak.
Dia tak bisa berempati padanya.
Penderitaannya, pergulatannya, rasa sakitnya — bahkan seandainya saat ini mereka masih berpacaran — dia hanya akan menghiburnya di permukaan saja. Tapi sebenarnya, dia hanya akan merasa mati rasa.
Jiang Yan masih terlalu dilindungi oleh ibunya.
Jiang Ruo Qiao merasa dirinya bukan penyelamat siapa-siapa. Jika seseorang berharap padanya untuk diselamatkan, dia akan langsung kabur sejauh-jauhnya. Dalam hidup ini, lebih baik menyelamatkan diri sendiri... dia pun tak berharap ada Bodhisattva yang menyelamatkannya, juga tak akan menjadi Bodhisattva bagi orang lain.
“Cukup.” Jiang Ruo Qiao memotong perkataannya. “Aku tak bisa menghiburmu. Kau juga tak akan bisa mendapatkan hiburan dariku.”
Jiang Yan berkata lirih, “Aku… aku bukan ingin minta dihibur.”
Jiang Ruo Qiao berbalik, wajah datar menatapnya. “Kau bisa lihat aku sangat lelah, kan? Aku cuma ingin segera naik dan beristirahat.”
Pagi ini, dia bangun sebelum jam lima.
Tadi malam, dia sibuk menerjemahkan dokumen sampai hampir jam dua belas. Total tidurnya tak sampai lima jam.
Pagi ini dia juga sudah syuting empat jam. Naik mobil kembali ke kampus, sekarang hanya ingin istirahat.
Dia sungguh heran, apa dia tidak melihat aku sangat kelelahan?
Jiang Yan langsung gelagapan. “Ruo Qiao…”
Jiang Ruo Qiao mengangkat tangan, memberi isyarat ‘stop’. “Sudahlah. Kita juga bukan teman. Tak usah bicara lagi. Aku naik dulu.”
Sebenarnya tak sepenuhnya salah Jiang Yan.
Kalau mau menyalahkan, mungkin hanya karena dia tak tahu cara berbicara to the point.
Atau salah dia sendiri yang terlalu suka kepo.
Selesai berkata begitu, dia pun pergi. Jiang Yan hanya terpaku di tempat, menatap kepergiannya.
Begitu masuk ke asrama, Jiang Ruo Qiao belum sempat menuang air, sudah menerima telepon dari Lu Suyan. Bocah ini memang suka sekali menelepon, sampai-sampai tagihan telepon bulanan hampir mengalahkan dia.
“Mama, kepiting bakar itu enaaaak banget!” Lu Suyan sesekali membuka kulkas untuk melihat kepiting hidup yang masih berbuih. “Hari ini kepitingnya lebih enak dari kemarin, sayangnya Papa cuma izinkan aku makan satu.”
Dia menatap kepiting itu sambil menelan ludah.
Kapan ya, kepiting ini bisa lebih pintar, misalnya keluar sendiri dari kulkas, masuk sendiri ke panci, hidupkan kompor sendiri?
Lalu duduk manis menunggu aku makan?
Jiang Ruo Qiao menangkap kata kunci. “Papamu beli kepiting lagi hari ini?”
“Bukan, Mama. Ini dikasih wali murid papaku. Lebih besar dari kemarin!” kata Lu Suyan riang. “Papa bilang mau anter dua buat Mama. Mama sudah terima belum?”
Jiang Ruo Qiao: belum…
Dia bertanya lagi, “Kau ingat, kapan Papamu keluar rumah?”
Lu Suyan berlari ke ruang tamu, melihat jam dinding.
Bocah ini memang pintar, sudah lama bisa membaca jam.
“Ingat! Papa keluar jam dua belas lewat setengah!”
Jiang Ruo Qiao melihat jam di pergelangan tangan. Sekarang sudah jam dua belas lima puluh.
Sudah lewat dua puluh menit.
Dengan kecepatan Lu Yicheng, dari kompleks ke kampus tak lebih dari delapan menit.
Tak mungkin selama ini.
Tadinya dia bingung, tiba-tiba teringat Jiang Yan di bawah tadi. Baru tersadar: jangan-jangan dia lihat aku bicara sama Jiang Yan, jadi langsung pergi?
Ah… haruskah dibilang sial? Kepiting yang sudah di depan mulut malah terbang.
“Mungkin ada urusan yang menghambat.” Saat menghadapi Suyan, Jiang Ruo Qiao selalu berubah jadi Mama bawel. “Kalau Papa tak di rumah, kau tak boleh sembarangan bukakan pintu untuk orang asing…”
Kalimat itu sudah dihapal luar kepala oleh Lu Suyan!
Sambil menghitung pakai jari, dia berkata, “Tahu, tahu. Tak bukakan pintu buat orang asing, tak keluar rumah, tak main colokan listrik, tak main air dari kran, tak hidupkan kompor gas, tak dekat-dekat jendela, Mama! Aku sekarang duduk manis di sofa, diam kayak patung!”
Ah, dia lupa lapor.
Barusan dia sebenarnya pakai bangku kecil buat buka kulkas lihat kepiting.
Jiang Ruo Qiao tertawa, pura-pura manja, “Apa kau bosan dengar Mama bawel?”
Lu Suyan buru-buru berkata, “Bukan! Tidak!”
Dia membela diri. “Cuma Papa Mama selalu bilang begitu, aku kan sudah ingat semua… Waktu Papa Mama nggak di rumah, aku kayak, kayak…” dia berpikir sejenak, lalu dapat ide, “kayak pahlawan yang titik akupunturnya dipencet! Diam, tak bergerak. Tadi ada nyamuk gigit aku pun tak sempat tepuk.”
Selama ini bersama Suyan, Jiang Ruo Qiao benar-benar merasa dunia anak-anak penuh imajinasi dan romantisme.
Misalnya, beberapa malam lalu, saat lihat bulan, dia berkata, “Mama, lihat deh. Bulan kayak lampu yang digantung di langit.”
Atau, waktu dia jemput Suyan pakai payung, dia bilang, “Mama bawa payung kayak bawa bunga.”
“Sekarang boleh bergerak.” kata Jiang Ruo Qiao. “Boleh tepuk nyamuk.”
Lalu dia mulai berpikir, apa aku terlalu sadis ya…
Ah, jadi Mama memang ribet ya!
Lu Suyan nakal berkata, “Tapi Mama pahlawan, harus buka titik akupuntur aku dulu, biar aku bisa gerak.”
Jiang Ruo Qiao tersenyum, “Wah, gimana caranya buka?”
Lu Suyan: “Mua~ gitu.”
Jiang Ruo Qiao tertawa, lalu ke ponsel memberi ciuman kecil, “Sudah ya.”
Lu Suyan langsung hembuskan napas lega, “Makasih Mama pahlawan! Sekarang aku bisa gerak, tapi nyamuknya sudah kabur. Mungkin dia takut kalau nyedot lagi, kalorinya kelebihan.”
Jiang Ruo Qiao: “…”
Duh, anakku kok pintar banget sih!! Bisa bilang kayak gitu, tentang kalori kelebihan, gemes banget!
Kalau Suyan di hadapannya sekarang, pasti sudah dia cium-cium!
Lu Suyan melanjutkan, “Soalnya aku makan banyak, makan ayam, minum susu, makan daging, nggak suka sayur. Jadi darahku pasti kalorinya tinggi.”
Jiang Ruo Qiao tertawa, “Hahaha sayang, kau lucu sekali.”
Mama umumkan, kau anak paling lucu di dunia, eh, di seluruh jagat raya!
Lu Suyan agak malu dengar sebutan ‘sayang’, kupingnya merah, “Mama jangan bohong ya, aku percaya lho.”
Jiang Ruo Qiao tertawa, “Mana mungkin Mama bohong ke kamu. Sekarang Mama telepon Papa dulu, soalnya si kurir kepiting belum datang.”
Lu Suyan: “Siap!”
Dia tambah, “Meski Papa kurir telat, Mama tetap harus kasih bintang lima ya.”
Jiang Ruo Qiao: “Hahaha jangan becanda!”
Setelah menutup telepon, Jiang Ruo Qiao masih tersenyum.
Seperti Lu Yicheng, dulu Lu Suyan baginya adalah beban, ketidakpastian. Tapi sekarang, dia adalah bagian penting yang tak tergantikan.
Dia berpikir sejenak, lalu menelepon Lu Yicheng.
Di sana agak lama baru diangkat.
Jiang Ruo Qiao dalam hati: Wah, si bodoh ini mungkin ngambek.
Dulu, tiap dia telepon, selalu cepat diangkat. Hari ini, rekor lama banget.
“Halo.” Suaranya tetap datar dan lembut.
Jiang Ruo Qiao berkata, “Mana kepitingnya?”
Lu Yicheng menghela napas, “Taruh di Bu Penjaga Asrama.”
Tadi sempat mau langsung pergi.
Tapi hampir sampai gerbang kampus, ingat dia suka makan itu, jadi balik lagi ke asrama. Untung Jiang Yan sudah pergi, dia pun titipkan kepiting matang itu ke Bu Penjaga Asrama.
Jiang Ruo Qiao juga menghela napas.
Sebenarnya dia ini… memang susah berempati.
Dari dulu begitu. Sahabat baiknya, waktu putus cinta sampai kurus kering, dia tak bisa memahami.
Bahkan saat ibu kandung menangis di depannya curhat susah payah hidup, dia juga lebih banyak mati rasa daripada terharu.
Dia ini orang yang egois, mungkin bisa dibilang dingin. Tapi entah kenapa, walau tak merasa salah, selalu merasa kayak sedang menyakiti Lu Yicheng.
Jarang-jarang, dia berkata, “File audio yang aku kirim tempo hari, kamu sudah dengar?”
Lu Yicheng tak menyangka dia akan menyinggung itu, sempat terdiam, “… belum.”
Jiang Ruo Qiao tersenyum kecil, “Kamu nggak penasaran?”
“Bukan.” jawab Lu Yicheng jujur. “Kamu bilang cuma buat disimpan.”
Tak bilang boleh didengarkan.
Jiang Ruo Qiao: Orang jujur, ya ampun.
Dia berpikir, “Kalau kamu mau dengar, boleh kok.”
Lu Yicheng terdiam beberapa detik, “… nggak usah.”
“Kenapa? Nggak penasaran?”
Suara Lu Yicheng malah jadi agak santai, bahkan bercanda, “Katanya ada pepatah, rasa penasaran bisa bikin kucing mati.”
Jiang Ruo Qiao: “…”
Astaga!
Dia tersenyum, “Ya sudah, makasih hari ini.”
Lu Yicheng baru paham maksudnya, “Nggak usah, sudah seharusnya.”
Setelah menutup telepon, Jiang Ruo Qiao merasa senang, langsung kirim pesan WeChat ke Lu Yicheng: kirim lima bintang.
Lu Yicheng: 【?】
Jiang Ruo Qiao: 【Lima bintang.】
Lu Yicheng lihat pesan itu, lalu lihat lima bintang sebelumnya, akhirnya tak tahan tertawa.
Sebenarnya dia tahu, meski belum lama bersama, dia tahu, gadis ini orangnya sangat teguh.
Kalau dia sudah putuskan putus, pasti akan putus, dan takkan menoleh ke belakang.
Tapi kenapa, tetap saja ada perasaan aneh yang tak bisa diungkapkan?
— 🎐Read only on blog/wattpad: onlytodaytales🎐—
Bab 76
Di keluarga Lin, setelah perayaan Festival Pertengahan Musim Gugur, suasana kembali seperti sebelumnya, agak sepi dan tenang.
Dua putra Tuan Lin juga sudah kembali. Lin Kexing diantar oleh Nyonya Lin ke rumah orang tuanya untuk tinggal beberapa hari. Pada siang hari, pemilik rumah itu hanya Nyonya Lin.
Sejak Nyonya Lin mengambil alih pekerjaan amal, ia memiliki ruang rapat dan ruang kerja sendiri di rumah megah mereka.
Hari ini, di ruang kerja yang luas itu, hanya ada Nyonya Lin dan Ibu Jiang.
Rumah ini memiliki efek peredam suara yang sangat baik, dan Nyonya Lin sengaja menutup pintu. Ia duduk di kursi kantor yang besar, dengan penuh minat menikmati ekspresi wajah Ibu Jiang. Tentu saja, setelah dipikir-pikir, ia masih merasa takut.
Apakah rencana Ibu Jiang bisa berhasil? Tentu bisa.
Apakah peluang keberhasilannya besar? Sangat besar.
Nyonya Lin bahkan tidak tahu apakah harus berterima kasih pada Jiang Yan karena tidak punya maksud lain terhadap Kexing. Jika dipikir lagi, kalau bertahun-tahun kemudian Kexing dan Jiang Yan benar-benar bersama, bertekad menikah, bisakah dia menghentikannya? Tentu tidak bisa. Kalau Kexing sudah bersama Jiang Yan, sebagai ibu, demi kebaikan anaknya, apakah dia akan membantu menantu laki-lakinya? Pasti akan.
“Ada lagi yang mau dibicarakan?” tanya Nyonya Lin.
Ibu Jiang menggeleng.
Tidak ada yang ingin dikatakan lagi, seperti kata pepatah, menang atau kalah.
Namun, dia masih ingin tahu satu hal.
Semua ini hampir sempurna tanpa celah, bahkan anaknya sendiri, Jiang Yan, tidak tahu rencana ibunya. Dari mana Nyonya Lin mengetahuinya?
Di keluarga Lin, dia sangat berhati-hati. Setiap kata yang dia ucapkan pada Lin Kexing, bahkan kalau tersebar, sulit untuk dipermasalahkan.
Bagaimana Nyonya Lin mengetahuinya?
Sejak kemarin Ibu Jiang terus memikirkan hal ini, namun tak menemukan jawaban.
Dia pernah curiga pada Jiang Ruoqiao, tapi langsung menolak pikiran itu. Jiang Ruoqiao hanyalah seorang mahasiswa berusia 20 tahun, dia dan Nyonya Lin tidak kenal, berbeda kelas sosial, bahkan tidak mungkin bertemu, jadi kemungkinan Jiang Ruoqiao yang membocorkannya kecil.
Kalau bukan itu, apakah Kexing?
Juga tidak mungkin, Kexing sekarang tenggelam dalam kesedihan, tidak ingin orang lain tahu tentang hal itu, dan pasti tidak akan mengatakannya pada Nyonya Lin dengan sukarela.
Lalu siapa?
Ibu Jiang akhirnya bertanya, “Bagaimana Anda mengetahuinya?”
Nyonya Lin tidak menjawab. Setelah tahu pikiran Ibu Jiang, dia tahu orang ini seperti ular berbisa. Meskipun tidak ada hubungan dengan Jiang Ruoqiao, tapi Jiang Ruoqiao adalah mahasiswa yang baik hati memberitahu dia. Dia tidak perlu menyebut Jiang Ruoqiao karena itu tidak menguntungkan dirinya. Setelah diam sebentar, Nyonya Lin berkata, “Memang ada yang memperhatikan perubahan Kexing, dia hampir kurus kering, aku memang sibuk sehingga tidak memperhatikan, tapi bukan berarti orang lain tidak melihat. Aku sangat peduli pada anakku, jadi aku suruh seseorang menyelidiki, ternyata malam itu Kexing pulang dari restoran desa tapi tidak pulang ke rumah, aku curiga dan ingat kamu bilang ingin merawat teman sakit…”
Ibu Jiang tertawa kecil, ternyata dari sini ada celah.
Nyonya Lin tersenyum sedikit, “Apakah ini namanya membalas kebaikan dengan kejahatan, atau…” dia berhenti sejenak, “orang baik ditipu?”
“Balas kebaikan dengan kejahatan?” Ibu Jiang mengunyah kata itu, lalu menatap ke atas, “Bukankah itu belas kasihan? Selama sepuluh tahun ini, kamu pasti senang, senang bisa menginjak aku, melihat aku seperti pelayan yang melayani kamu.”
Nyonya Lin tetap tenang, “Entah niatku tulus atau belas kasihan, sepuluh tahun ini kalian ibu dan anak hidup enak, bukan? Enak sampai mau mengatur putriku, mengincar harta keluarga kami.”
Ibu Jiang tertawa kecil, “Mengatur putrimu? Apakah kamu tahu siapa putrimu? Apa kamu pikir aku yang menggoda putrimu suka pada Yan? Kenapa putrimu begitu patuh padaku? Kamu pernah berpikir? Itu karena aku tahu apa yang ada di hatinya, aku mengatakan apa yang dia suka dengar. Malam itu aku tidak di sampingnya, tidak menahannya, dia sendiri yang berjalan ke kamar Yan dalam gelap.”
Saat ini, keduanya saling menyakiti.
Ibu Jiang tahu Nyonya Lin tidak akan memperbesar masalah ini. Nyonya Lin takut Lin Xiansheng tahu, dan lebih takut orang lain tahu.
Kalau tidak, kenapa dia masih bisa bertahan sampai sekarang?
Yang tidak punya tidak takut pada yang berkaki, Ibu Jiang sangat paham ini.
“Apakah aku yang menggoda dia, atau aku hanya mengatakan apa yang ingin dia dengar, dia sendiri yang salah paham, itu tidak jelas?” Ibu Jiang tertawa, “Putrimu ini gagal.”
Kalau dia yang menilai tanpa melihat latar belakang keluarga, dia yakin pacar Jiang Yan jauh lebih baik dari Lin Kexing.
Tidak ada ibu yang tahan dengan orang lain berkata seperti itu pada anaknya.
Nyonya Lin yang tadinya tenang, hanya bisa berkata Ibu Jiang memang tahu cara memancing kemarahannya dan membuatnya tidak senang.
Melihat wajah Nyonya Lin yang memerah, Ibu Jiang merasa lega: sepuluh tahun! Dia sudah tahan sepuluh tahun!
“Kalau Wen Yuan masih hidup, kalau keluarga Jiang masih ada,” Ibu Jiang terus mengejek, “Kamu kira aku mau putrimu jadi menantu?”
Wajah Nyonya Lin menjadi sangat serius, tapi saat mendengar kalimat yang seharusnya paling menyakitkan itu, api kemarahan di hatinya langsung padam, dia malah tersenyum dengan tenang, “Kalau kamu tidak bilang, aku sudah lupa soal itu. Kamu tahu kenapa aku merawat kalian dulu? Kalau kamu bilang itu belas kasihan, aku lebih suka bilang itu rasa kasihan.”
Mereka sudah kenal hampir tiga puluh tahun.
Siapa yang tidak tahu siapa?
“Wen Yuan meninggal karena kecelakaan mobil, jelas sebabnya,” Nyonya Lin tersenyum, “Tapi kamu mungkin tidak tahu, dia saat itu hendak ke mana.”
Ibu Jiang: “Apa hubungannya denganmu? Wen Yuan hanya mau membeli obat untuk Yan!”
“Kamu percaya?” Nyonya Lin berkata, “Dia pergi mengantar selingkuhannya ke luar negeri, hendak ke bandara, mungkin Tuhan tidak tega, jadi membuatnya meninggal. Aku tidak tahu harus menyumpahinya atau kasihan padamu. Kamu pikir dia yang dulu miskin tiba-tiba jadi kaya, dia akan setia padamu? Jujur aku tidak mengerti apa tujuanmu merencanakan semua ini. Kalau demi anakmu, apakah itu benar-benar yang dia inginkan? Kalau demi dirimu, apa yang kamu dapatkan?”
Nyonya Lin merasa sedih, “Kamu ingat cita-citamu waktu sekolah? Kamu mungkin lupa, tapi aku ingat. Kamu bilang ingin jadi orang terkenal, pengusaha sukses, membangun kariermu. Tapi sekarang? Kamu berubah untuk siapa? Aku tahu kamu ingin menghidupkan kembali keluarga Jiang, tapi kamu sudah pikirkan? Apakah itu keluarga Jiang milik Wen Yuan, atau keluarga Jiang milik anakmu Jiang Yan? Kalau kamu mau buka perusahaan sendiri dan jadi pengusaha, aku akan bilang hebat. Tapi kamu hanya demi keluarga Jiang, aku merasa kasihan padamu.”
Ibu Jiang tidak percaya semua itu, dia tetap tenang dan tertawa, “Apa yang kamu katakan hanya untuk memancing aku marah, aku tidak percaya satu kata pun.”
Nyonya Lin memandangnya dengan iba dan prihatin, “Kamu coba tanya anakmu, apa benar? Kamu kira dia tidak tahu? Kenapa dia bosan membicarakan ayahnya, bahkan tidak pernah membicarakannya? Setiap kali kamu menyebut, apakah dia senang?”
Ibu Jiang menggeleng, “Aku tetap tidak percaya.”
……
Ibu Jiang meninggalkan rumah Lin.
Nyonya Lin tidak pernah merasa tenang soal orang ini, dia menyuruh seseorang mengawasi Ibu Jiang.
Ibu Jiang pernah pergi menemui Jiang Yan, tapi Jiang Yan tidak mau bertemu. Setelah itu, dia hidup berantakan kembali ke kampung halamannya. Di usia empat puluhan, dia tidak rela jadi pekerja biasa, juga tidak punya banyak tabungan. Bisa dibayangkan betapa sulit hidupnya nanti.
Nyonya Lin sangat mengenal Ibu Jiang. Dia tetap mendengarkan, tapi menipu diri sendiri tidak mau percaya, bahkan tidak berani memeriksa kebenarannya.
Nyonya Lin tahu apa yang dipikirkan Ibu Jiang. Sekarang Ibu Jiang pergi sebenarnya menunggu Jiang Yan mencari dan peduli padanya. Jika Jiang Yan menemukannya, dia akan menggunakan fakta Wen Yuan selingkuh untuk menuntut dan mengadukan. Saat itu, dia akan jadi ibu yang tersiksa selama bertahun-tahun disembunyikan
— 🎐Read only on blog/wattpad: onlytodaytales🎐—
Bab 77
Sebelumnya, Jiang Ruoqiao sudah membelikan Lu Siyuan paket uji coba les sepatu roda.
Malam ini, awalnya Jiang Ruoqiao yang akan mengantar Lu Siyuan ke kelas, kebetulan Lu Yicheng juga sedang luang, akhirnya mereka bertiga pergi bersama. Sekarang ini berbagai macam les minat makin banyak bermunculan, rasanya kalau anak-anak tidak punya keahlian tambahan seperti ada yang kurang. Jiang Ruoqiao merasa dirinya sudah cukup dewasa, bolehlah kalau mau berlomba antar orang dewasa, tapi jangan berlomba soal anak-anak... tapi pada akhirnya tetap saja dia membeli paket uji coba...
Dengan wajah menyesal, Jiang Ruoqiao berkata, “Kamu nggak tahu, mamanya Zhang Yuchen itu pinter banget ngomong, aku belum sempat mikir, tahu-tahu jariku udah klik buat beli.”
Mama Zhang Yuchen itu temannya di akun WeChat alternatif.
Perempuan itu benar-benar jenius.
Menurut Jiang Ruoqiao, mama Zhang Yuchen seharusnya kerja di bidang sales, pasti sukses besar. Mama Zhang Yuchen juga punya niat ke arah sana. Setelah Jiang Ruoqiao memujinya beberapa kali, perempuan itu sudah mantap akan mulai cari kerja di bidang sales setelah libur Golden Week.
Melihat ekspresi Jiang Ruoqiao yang jarang seperti ini, Lu Yicheng pun tertawa duluan. Saat Jiang Ruoqiao melirik ke arahnya, dia buru-buru menahan tawa. “Mama Zhang Yuchen itu rambut pendek, kan?”
Jiang Ruoqiao mengangguk.
“Aku pernah ketemu dua kali waktu jemput Siyuan,” kata Lu Yicheng. “Memang kelihatan pintar bergaul.”
“Pintar banget,” ujar Jiang Ruoqiao sambil kagum. “Tapi dia baik kok. Kadang kalau aku nanya sesuatu, dia selalu sabar banget jawabnya. Kayak pas beli les sepatu roda ini, dia kasih tahu apa saja yang harus diperhatikan, bahkan nelponin aku segala. Orangnya ramah banget.”
Kalau mau lihat contoh ratu sosialisasi, ya mama Zhang Yuchen ini.
Jiang Ruoqiao percaya, mama Zhang Yuchen pasti bisa jadi juara sales.
Sesampainya di pusat sepatu roda, Jiang Ruoqiao yang sebelumnya sudah menambahkan WeChat pelatih untuk booking waktu, langsung disambut ramah. Di arena sudah ada beberapa anak yang sedang pemanasan. Lu Siyuan jelas terlihat sangat bersemangat. Satu sesi berlangsung selama satu jam. Pelatih mengantar Lu Siyuan mengganti perlengkapan, pakai helm, sepatu roda, pelindung lutut, dan siku.
Orang tua cukup menonton dari luar arena.
Saat kelas berlangsung, Lu Siyuan sangat serius. Pelatih memulai dengan latihan berjalan di atas karpet.
Satu jam pun berlalu, Lu Siyuan masih belum puas.
Kelihatan banget dia suka les sepatu roda ini. Jiang Ruoqiao pun berpikir, soal lomba-lombaan itu biarlah. Ini kan bukan pelajaran tambahan, asal Siyuan suka, ya bukan lomba namanya~
Saat mereka bertiga keluar dari pusat sepatu roda, langit sudah benar-benar gelap.
Golden Week sudah dekat, di mana-mana terlihat bendera nasional.
Lu Siyuan rupanya juga punya bakat sosialisasi. Di alun-alun dia langsung bermain bareng anak-anak lain. Baik Lu Yicheng maupun Jiang Ruoqiao, dalam hati mereka sama-sama berharap Siyuan bisa banyak berinteraksi dengan teman sebaya. Jadi mereka pun tidak buru-buru pulang, melainkan mencari tempat duduk untuk menonton Siyuan bermain dengan teman-teman barunya.
Setelah duduk, Lu Yicheng berkata, “Aku ke sana dulu beliin Siyuan air minum.”
Tadi berangkat agak buru-buru. Air yang dibawa sudah habis diminum Siyuan.
Jiang Ruoqiao mengangguk.
Tak disangka, saat Lu Yicheng kembali, selain membawa dua botol air mineral, dia juga membawa es krim cone.
Es krim cone itu mirip sekali dengan yang dulu pernah dibeli Jiang Ruoqiao buat Siyuan di toko es krim Italia.
Bagian atas es krim dibentuk seperti bunga, dari warnanya kelihatan rasa vanilla.
Jiang Ruoqiao memandangnya.
Lu Yicheng menyerahkan es krim itu padanya.
Jiang Ruoqiao: “? Buat aku?”
Lu Yicheng mengangguk, “Tadinya mau beliin buat Siyuan, tapi lihat dia lagi asyik main, ya sudahlah.”
Sekarang cuaca memang sudah tidak terlalu panas, tapi kalau es krim dibiarkan terlalu lama tetap saja meleleh, makanya dia hanya beli satu.
Jiang Ruoqiao menerimanya. “Makasih.”
Tapi tetap merasa aneh, di daerah ini, es krim seperti itu pasti harganya tidak murah, paling tidak tiga puluh yuan.
Hmm... rasanya yang dimakan bukan es krim, melainkan keringat hasil kerja keras Lu Yicheng.
Dia ragu-ragu untuk mulai makan. Lu Yicheng yang duduk di sebelahnya melihat ekspresinya, lalu berkata, “Tenang saja, aku nggak beli dengan harga normal.”
Jiang Ruoqiao memandangnya. “Maksudnya?”
Lu Yicheng membuka ponsel, memperlihatkan postingan di Moments. “Aku lihat ada promo, toko baru buka, katanya kalau share Moments dan dapat 38 like, bisa beli es krim setengah harga.”
Jiang Ruoqiao melirik sebentar.
Eh, malah kebetulan lihat komentar di bawah postingan itu—
【? Lu Ge, akun kamu dibajak ya?】
【Baru pertama kali lihat Lu Zong share yang begini, hahaha】
【Aku tebak, pasti beliin buat siapa nih? Coba deh lihat nama tokonya, norak banget, ‘Lebih Manis dari Cinta Pertama’ hahahaha】
【Perlu ditebak lagi? Pasti buat Jiang Ruoqiao~ (Lu Zong, kalau kepepet butuh uang bilang aja, kita temen deket kok, bisa patungan buat bantu ngegebet cewe impian!)】
Jiang Ruoqiao: “……”
Lu Yicheng baru sadar ternyata ada komentar di bawah, refleks langsung menutup lagi, wajah agak canggung. “Nggak mahal kok, nggak sampai dua puluh.”
Harga itu memang wajar.
Sebenarnya dia juga nggak terlalu mau repot-repot share Moments segala demi beli es krim, cuma saat lihat harganya, dia kepikiran dia (Jiang Ruoqiao) kayaknya agak peduli soal begini, kalau aku share Moments kan lumayan, jadi nggak terlalu boros.
Jiang Ruoqiao mencicipi es krim, “Enak banget.”
Lu Yicheng, kamu benar-benar hebat.
Tadinya dia nggak merasa canggung, sekarang jadi makin canggung.
Lu Yicheng berkata, “Lain kali aku nggak usah share Moments buat ngumpulin like lagi.”
Jiang Ruoqiao merasa standar humornya makin rendah. Dengar kalimat itu, malah terasa ada nada sedikit ngambek, dia pun tertawa, “Nggak apa-apa.”
“Cuma jangan suruh aku kasih like,” lanjut Jiang Ruoqiao, “dan jangan suruh aku bantu potong harga di link belanja online, ya.”
Ada yang bisa ngerti perasaannya nggak?
Lu Yicheng jelas paham, “Nggak akan, tenang aja.”
Hari ini mungkin contoh sempurna overthinking tapi malah jadi blunder.
Mereka pun ngobrol santai. Hubungan mereka saat ini memang belum bisa dibilang dekat, tapi sudah bisa ngobrol hal-hal ringan. Lu Yicheng teringat kejadian siang tadi, dengan nada tenang berkata, “Ingat nggak, dulu aku bilang di kartu keluarga aku cuma ada namaku sendiri?”
Jiang Ruoqiao yang sedang makan es krim menoleh.
Hari ini dia pakai kaos abu-abu, dipadukan celana hitam yang sudah jadi andalannya.
Wajahnya memang tampan, hanya saja kesan kalem dan hangat membuat garis wajah yang tajam jadi lebih lembut.
Penampilan seperti ini justru membawa kesan baik bagi siapa pun yang baru pertama kali melihat.
“Ayah ibuku meninggal saat aku masih kecil. Selama ini nenek yang membesarkan aku.” Lu Yicheng bercerita. “Nenekku orang yang hidupnya sangat berat. Suaminya meninggal waktu dia masih muda. Demi anak-anak, dia nggak menikah lagi, kerja keras sekuat tenaga. Setelah anaknya menikah dan hidup mulai membaik, anak dan menantunya malah meninggal. Sampai sekarang aku selalu merasa, akulah yang membebani dia. Aku nggak bisa melakukan apa-apa, cuma bisa belajar sebaik mungkin, supaya bisa membawakan hidup yang lebih baik buat dia.”
“Buat orang biasa kayak aku, belajar adalah jalan keluar terbaik. Semakin bagus nilai, semakin bisa meringankan beban nenek. Awalnya dapat beasiswa, kemudian tunjangan bulanan, kalau prestasi bagus bisa dapat bonus.” Lu Yicheng tersenyum getir. “Terus terang, aku bukan belajar karena suka, tapi karena ingin cari uang, juga demi masa depan.”
Jiang Ruoqiao mendengarkan dengan tenang.
Dalam hal ini, dia dan Lu Yicheng memang punya kesamaan.
Memang, buat mereka berdua, jalan terbaik yang bisa dipilih sekarang hanyalah belajar.
“Hidup memang penuh penyesalan. Sampai sekarang aku masih benci diri sendiri, kenapa dulu nggak lebih peka, kenapa nggak tahu lebih awal soal penyakit nenek. Waktu ketahuan, sudah stadium akhir. Mau bilang apa pun, tetap salahku yang nggak cukup perhatian. Pernah ada masa aku merasa hidup ini nggak ada artinya. Sekaya apa pun, sebesar apa pun rumahnya, nenek nggak sempat lihat.” Lu Yicheng meremas kedua tangannya, tatapan dalam mengarah ke Lu Siyuan yang sedang asyik bermain di alun-alun. “Kadang aku mikir, kalau saja Siyuan lahir lebih awal, nenek pasti akan senang. Saat menjelang ajal,” suara Lu Yicheng mulai serak, “dia sangat khawatir soal aku...”
Entah kenapa, Jiang Ruoqiao juga ikut merasa sedih.
Dia dan Lu Yicheng punya latar belakang yang mirip. Dia dibesarkan oleh kakek-nenek, sementara Lu Yicheng oleh nenek.
Bedanya, kakek-nenek Jiang Ruoqiao masih hidup.
“Kematian itu bagian dari hidup. Kita hanya bisa berusaha biar nggak terlalu banyak penyesalan, biar mereka bahagia selama masih ada.” kata Lu Yicheng. “Kita ini cuma manusia biasa, nggak bisa melawan hidup dan mati.”
Jiang Ruoqiao terdiam beberapa detik, ikut memandang ke arah Lu Siyuan yang sedang asyik bermain.
Anak-anak memang punya energi yang luar biasa.
Nggak takut panas, nggak takut dingin.
Main sampai basah kuyup pun nggak merasa capek.
Siyuan juga hati-hati, sesekali melongok ke arah mereka dan melambaikan tangan, lalu lanjut main lagi.
“Sebenarnya aku tadinya nggak mau ngasih tahu siapa pun soal ini dalam waktu dekat,” kata Jiang Ruoqiao dengan jujur. “Aku malah berharap cuma aku dan kamu yang tahu, nggak bilang ke kakek-nenek, nggak bilang ke sahabat. Alasannya sih katanya takut mereka nggak bisa terima, padahal aku cuma mau hidupku tetap tenang, nggak mau ribet.”
Lu Yicheng tersenyum.
Mungkin sekarang, cuma mereka berdua yang bisa benar-benar paham perasaan ini.
“Sekarang aku mikir lagi, mungkin awalnya kakek-nenek bakal kaget, kayak kita waktu pertama dengar. Tapi aku yakin mereka pasti bakal sayang sama Siyuan. Siapa sih yang nggak suka Siyuan?” wajah Jiang Ruoqiao terlihat agak kehilangan. “Yang aku takutkan justru kalau di masa depan yang diceritakan Siyuan itu... mereka nggak sempat ketemu Siyuan. Aku nggak berani bayangin itu, aku pasti bakal nyesel banget.”
Ekspresi Jiang Ruoqiao makin teguh. “Aku udah mutusin, nanti pas mereka datang, aku bakal biarin mereka kenal dulu sama Siyuan. Setelah itu baru aku kasih tahu yang sebenarnya, bahwa Siyuan itu anakku.”
“Makasih ya.” kata Jiang Ruoqiao.
Lu Yicheng tersenyum. “Sudah sepantasnya.”
Dia cuma nggak mau Jiang Ruoqiao merasakan penyesalan seperti yang dia alami dulu.
— 🎐Read only on blog/wattpad: onlytodaytales🎐—
Bab 78
Keesokan harinya, saat tengah hari, Jiang Ruo Qiao naik metro menuju stasiun kereta cepat.
Karena kakek dan neneknya sudah berusia lanjut, sejak mereka naik kereta hingga turun, Jiang Ruo Qiao terus-menerus menelepon. Begitu melihat kakek neneknya yang membawa banyak barang dengan susah payah keluar dari kerumunan setelah pemeriksaan tiket, hati Jiang Ruo Qiao seperti diremas.
Ini adalah pertama kalinya mereka datang ke Kota Jing, selain untuk menjenguk cucu mereka, mereka juga membawa banyak barang.
Padahal di sini semua barang itu bisa dibeli, namun mereka tetap membawanya sendiri.
Menahan rasa haru, Jiang Ruo Qiao bergumam, "Di sini semua itu bisa dibeli, kok."
Neneknya melirik tajam, "Memangnya bisa sama? Kamu paling suka apel, apel ini dipetik langsung dari kebun Paman Wang, renyah, manis, tanpa polusi dan pestisida. Terus ini kenari, Kakekmu sengaja membeli dari desa. Beberapa hari ini kami sambil nonton TV sambil mengupasnya untukmu. Semua isinya sudah dikupas, kamu makan sedikit setiap hari ya."
Kakeknya menambahkan, "Kami juga bawakan telur ayam kampung, juga nitip beli dari orang lain. Di asramamu kan bisa masak air, rebus saja telurnya. Lihat kamu kurus begitu! Bisa diterbangkan angin!"
Jiang Ruo Qiao memesan taksi online.
Melihat ekspresi kurang setuju kakek neneknya, dia langsung menunjukkan ponsel, "Enggak mahal, kok. Sekarang ini gampang banget. Nih, kita bertiga ke tempat penginapan cuma dua puluh yuan lebih. Kalau naik metro harus ganti kereta beberapa kali."
Neneknya baru tersenyum, "Dua puluh lebih? Memang enggak mahal."
Ia memberi kode pada kakek.
Kakek pun hendak mengambil uang. Orang tua kalau bepergian selalu ekstra hati-hati. Sebelum berangkat, nenek bahkan menjahitkan kantong ekstra di dalam baju kakek untuk menyimpan kartu.
Kalau saja kakek tidak merasa mengganjal, kalau saja nenek tidak merasa kaki kakek bau, sebenarnya menaruh di sepatu paling bikin mereka tenang.
"Qiao Qiao, kamu sudah susah di luar, kenapa masih mau kasih kami uang," kata nenek. "Uang yang dulu kamu kasih masih kami simpan. Kami berdua juga punya uang pensiun, meski tidak banyak, cukup untuk hidup. Kamu muda, kuliah dan berteman butuh biaya. Uangnya simpan saja buat dirimu, ya."
Tentu saja Jiang Ruo Qiao menolak. Mereka pun tarik-menarik.
Akhirnya kakek mengalah, menyimpan lagi kartunya, "Baiklah, kami simpan saja. Nanti kalau kamu beli rumah, baru kami kasih lagi."
Dengan perasaan campur aduk, Jiang Ruo Qiao membawa kakek nenek ke penginapan yang sudah ia pesan.
Sesuai dugaannya, mereka sangat suka tempat itu, katanya seperti di rumah sendiri.
Sore harinya, setelah istirahat, Jiang Ruo Qiao mengajak mereka keluar makan. Kebetulan, begitu keluar kompleks, mereka bertemu Lu Yicheng yang baru saja menjemput Lu Siyuan.
Sebenarnya, Jiang Ruo Qiao memang ingin agar kakek neneknya bisa lebih akrab dengan Siyuan. Jadi dia tak ragu, langsung memanggil Siyuan sambil mengusap kepalanya.
Di depan orang lain, Siyuan sudah terbiasa tidak memanggil "Mama", jadi dia berseru ceria, "Xiao Qiao!"
Lalu dia menatap kedua orang tua itu dengan rasa ingin tahu dan antusias.
"Jadi ini kakek buyut dan nenek buyutku ya!" pikir Siyuan.
Jiang Ruo Qiao menggandeng tangan Siyuan, memperkenalkan, "Ini Lu Siyuan." Ia ragu sejenak. "Anak yang sangat manis."
Nenek tersenyum ramah. Ia memegang pisang pemberian Qiao Qiao, lalu menyerahkan ke Siyuan, "Nak, mau pisang?"
Siyuan menerimanya, lalu dengan suara nyaring berkata, "Terima kasih..." Lalu dia bingung, harus memanggil apa ya? Dia menoleh ke arah Jiang Ruo Qiao.
Qiao Qiao pun bingung. Masa iya disuruh manggil "nenek buyut"? Kan dia belum berani terus terang soal itu!
Untung nenek tak mempermasalahkan.
Saat itu, Lu Yicheng baru maju. Ia pun bingung.
Bagaimana dia harus memanggil kakek nenek Jiang Ruo Qiao? Memanggil "kakek nenek" rasanya terlalu dekat, mereka belum punya hubungan apa-apa.
Memanggil "kakek buyut nenek buyut"? Lebih enggak cocok.
Setelah berpikir, akhirnya dengan sangat sopan Lu Yicheng berkata, "Halo, Kakek Nenek."
Jiang Ruo Qiao: "?"
Ya sudahlah, begitu saja. Kalau dia manggil "kakek buyut nenek buyut", kakek nenek pasti langsung semangat, enggak bakal lapar atau ngantuk lagi.
Barulah kakek nenek menyadari ada cowok ganteng di situ.
Mereka tampak heran.
Qiao Qiao memperkenalkan, "Ini Lu Yicheng, teman kampusku, juga mahasiswa tingkat tiga."
"Oh, teman kuliah!" Nenek makin semangat, matanya mengamati Yicheng dari atas sampai bawah. "Kamu pasti adiknya anak ini ya. Kalian berdua mirip banget."
Lu Yicheng: "..."
Siyuan dalam hati protes: Aku lebih mirip Mama, kok!
Jiang Ruo Qiao: "?"
Yah, susah juga mau bilang nenek salah. Siapa juga yang nyangka mahasiswa ganteng ini adalah ayah dari anak lima tahun?
Lu Yicheng hanya tersenyum, tak mengiyakan atau menyangkal.
"Kalian sudah makan?" tanya Kakek sambil lihat jam tangan. "Kalau belum, ayo makan bareng, kami yang traktir."
Kakek nenek memang sangat ramah.
Dulu, Qiao Qiao pernah bilang teman-temannya suka acar pepaya buatan nenek. Seminggu kemudian, nenek kirim empat botol besar, satu botol per orang di asrama.
Lu Yicheng dan Siyuan serempak menoleh ke arah Qiao Qiao.
Jelas-jelas minta restu. Kalau dia setuju, mereka ikut, kalau enggak, ya enggak.
Jiang Ruo Qiao: "..."
Dua pangeran Lu ini, kenapa ekspresi dan tatapannya begini jelas banget?
Untung kakek nenek tak memperhatikan. Qiao Qiao mengangguk pelan.
Siyuan langsung sumringah: yohoo~~
Lu Yicheng pun lega, lalu berkata, "Kebetulan saya juga kosong. Terima kasih..." Ia berhenti sejenak, agak berat untuk bilang, "Terima kasih, Kakek Nenek."
Nenek langsung berkata, "Panggil saja Kakek Nenek Buyut, biar lebih akrab!"
Lu Yicheng makin lega, tapi tetap refleks menoleh ke Qiao Qiao.
Kali ini, Qiao Qiao meniru gaya Yicheng tadi, tak mengangguk atau menggeleng.
Setelah jeda beberapa detik, Lu Yicheng berkata, "Terima kasih, Kakek Nenek Buyut."
Siyuan lantas bertanya, "Aku juga boleh manggil Kakek Nenek Buyut, ya?"
Qiao Qiao dan Yicheng serempak berkata, "Tentu saja tidak boleh!!"
Siyuan: "...Oh."
Kakek tertawa, "Boleh kok, kalian kan kakak beradik, jadi sama-sama generasi cucu kami."
Siyuan yang rambut ikalnya biasanya riang, sekarang agak kecut, "Aku enggak berani."
---
Mereka berlima pergi ke restoran dekat situ.
Demi menyesuaikan selera orang tua, Qiao Qiao memesan makanan yang ringan.
Begitu duduk, Yicheng langsung sigap mencuci alat makan untuk semua orang.
Siyuan duduk di samping nenek. Nenek memandangi rambut ikalnya, "Ini rambutnya dikeriting ya?"
Anak-anak sekarang keren banget.
Siyuan malu-malu, "Orang-orang bilang dikeriting, tapi aslinya alami."
Kakek kagum, "Alami? Wah, kebetulan banget."
"Betul," sahut nenek bangga sambil menyentuh rambut yang baru diwarnai hitam kemarin. "Aku juga alami. Qiao Qiao juga alami. Memang jodoh."
Siyuan ingin bilang: Ini bukan jodoh, tapi genetik.
Qiao Qiao melihat Siyuan yang cepat akrab dengan kakek nenek, jadi bertanya-tanya, apakah ini yang disebut naluri darah? Yicheng sendiri diam saja, tapi selalu memperhatikan kebutuhan di meja. Nenek minta air, dia yang ambil. Kakek suka blueberry yam, begitu habis, dia langsung pesan lagi. Qiao Qiao merasa AC kurang dingin, dia langsung minta remote, mengatur suhu sambil tanya apakah cocok.
Siyuan ingin makan udang, Yicheng pun membukakan.
Di ruangan itu, Yicheng seperti "lebah pekerja", sibuk ke sana kemari, meski tak banyak bicara, keberadaannya terasa.
Saat itu, nenek ingin ke toilet, Qiao Qiao buru-buru menemani.
Mereka bergandengan tangan. Di toilet, setelah memastikan sepi, nenek berkata pelan, "Nanti tolong tanya pelayan, ada amplop merah enggak. Aku ingin kasih anak itu angpao, biar jadi kenang-kenangan dari kami."
Qiao Qiao terkejut, "Enggak perlu, Nek."
"Perlu," kata nenek. "Enggak usah banyak, ikut tradisi kami saja, dua ratus yuan sebagai tanda."
Di kota asal mereka, ada tradisi kalau ketemu anak kecil pertama kali, kasih angpao.
Biasanya keluarga dekat, kasih dua ratus yuan sebagai tanda.
Qiao Qiao terdiam.
Nenek menambahkan, "Anak itu baik, keluarganya pasti mendidik dengan baik. Aku suka. Dua ratus enggak banyak, cuma tanda sayang."
Qiao Qiao hanya bisa mengangguk. Restoran itu memang pelayanannya bagus, mereka mengantar amplop merah. Nenek mengambil dua ratus yuan, memasukkan dengan teliti.
Melihat tangan nenek yang keriput melipat amplop dengan hati-hati, Qiao Qiao menoleh. Ia baru dua puluh tahun. Sebelum Siyuan lahir, ia bahkan tak terpikir untuk menikah, apalagi punya anak. Tapi sekarang, melihat kakek nenek bermain dengan Siyuan, melihat nenek menyiapkan angpao dengan penuh kasih, perasaannya sungguh sulit digambarkan.
---
Di dalam ruangan, kakek melihat Yicheng mengambilkan pudding telur, sambil tersenyum bertanya, "Anak muda, kamu suka Qiao Qiao, ya?"
Tadinya Yicheng sedang mengambil pudding dengan tenang, mendengar itu langsung kaget, hampir tumpah.
Siyuan matanya berputar, berkata, "Wah, Kakek hebat banget! Punya mata tajam kayak Sun Wukong, bisa tahu gitu!"
Kakek tertawa, "Orang yang sudah tua punya mata tajam. Benar, kan, Nak?"
Yicheng: "..."
Dia tak tahu harus jawab apa.
Kakek mengelus dagunya, "Tahu enggak kenapa aku bisa lihat? Lihat saja kamu, dari tadi sibuk urusin kami semua. Yang enggak tahu pasti ngira kamu ini menantu kami!"
Yicheng akhirnya diam saja.
Meski cuma digoda sebentar, telinganya sudah memerah.
Mungkin memang dia terlalu perhatian tanpa sadar?
— 🎐Read only on blog/wattpad: onlytodaytales🎐—
Bab 79
Selesai makan, kecuali Lu Yicheng yang merasa canggung dan kikuk, semua orang tampak senang.
Nenek buyut memberikan angpao kepada Lu Siyuan. Setelah melihat Jiang Ruoqiao mengangguk, Lu Siyuan pun dengan gembira menerimanya. Dia memang paling suka menerima angpao! Apalagi ini angpao dari nenek buyut, maknanya tentu berbeda!
Jiang Ruoqiao kemudian mengantar kakek dan neneknya kembali ke penginapan.
Belakangan ini dia cukup sibuk. Baru saja selesai syuting, kini ia menerima tugas penerjemahan tertulis dari perusahaan. Dibandingkan dengan penerjemahan tertulis, dia lebih suka penerjemahan lisan, terlebih lagi materi dari perusahaan ini lebih bersifat bisnis. Setiap bidang memiliki istilah khusus masing-masing, yang tidak bisa dipahami hanya karena seseorang lulusan sastra Inggris. Menerjemahkan dokumen seperti ini sangat menguras tenaga dan pikiran, sementara bayarannya pun tidak terlalu tinggi, dihitung per seribu kata, hanya beberapa ratus yuan.
Sekilas kelihatannya lumayan, tapi sebenarnya tidak begitu tinggi.
Atasannya sudah memberitahu bahwa banyak senior di perusahaan yang tidak mau mengambil pekerjaan seperti ini.
Untuk menerjemahkan satu dokumen seperti ini, dia bisa dapat beberapa ribu yuan, tapi uang ini tidak didapat hanya dalam satu atau dua jam. Sangat menguras otak. Untuk dokumen yang ini saja, Jiang Ruoqiao sudah mulai mengerjakannya sejak kemarin… Setelah mandi, dia membuka laptop, membuka kamus, dan mulai bekerja. Ketika mendengar ketukan di pintu, secara refleks dia melirik jam di pojok kanan bawah layar, baru sadar sudah pukul sebelas malam.
Sudah bisa diduga, sepertinya nenek melihat lampu di kamarnya masih menyala saat bangun malam, jadi datang memeriksa.
Jiang Ruoqiao membuka pintu, dan benar saja, neneknya berdiri di depan.
Di tangan nenek ada mangkuk porselen yang masih mengepulkan uap panas. "Melihatmu belum tidur, nenek pikir kamu pasti masih sibuk, jadi nenek masakkan telur gula merah. Makanlah, ini bagus."
Jiang Ruoqiao tertawa geli. "Nenek, aku kan nggak pernah makan camilan malam."
"Nah, kalau otak bekerja keras, harus makan sesuatu." Nenek membujuk. "Ayo, nenek lihat di kalender, sebentar lagi kamu akan datang bulan. Makan ini bagus, dengarkan nenek. Kesehatan itu yang paling penting."
Ini mengingatkan Jiang Ruoqiao pada masa SMA dulu. Tidak berlebihan kalau dikatakan, waktu itu dia benar-benar belajar mati-matian.
Sejak dulu dia tahu, kalau ingin hidup enak, harus belajar dan masuk universitas yang bagus.
Waktu itu setiap hari selesai kelas tambahan malam sudah lewat jam sepuluh malam. Sampai rumah, selesai mandi, hampir jam setengah dua belas, tapi dia masih akan belajar lagi satu jam.
Di kelas 12, dia benar-benar kurang tidur. Tapi usahanya terbayar, setidaknya dia diterima di universitas impiannya.
Neneknya selalu khawatir dia kekurangan gizi. Dulu saat SMA, dia sering dipaksa makan telur gula merah.
Jiang Ruoqiao tak ingin mengecewakan niat baik nenek, jadi ia menerima mangkuk porselen itu dan memakannya perlahan.
Nenek duduk di tepi tempat tidur, memandangnya penuh kasih. "Qiaoqiao, nenek mau tanya, kamu sama si Lu itu hubungan apa? Nenek lihat dia perhatian sekali sama kamu."
Jiang Ruoqiao: "......"
Ternyata tujuannya buat bergosip!
Sambil menunduk, dia menjawab, "Cuma... teman satu kampus."
Kalau ada hubungan lain, nanti juga akan diceritakan.
"Nenek rasa bukan cuma itu."
Setiap wanita, kalau penasaran, bisa seperti detektif. Apalagi seorang nenek, dia detektifnya para detektif.
"Kamu lihat saja, dia perhatian banget sama kamu. Sama kami berdua juga perhatian." Nenek berkata, "Melihat dia, nenek jadi ingat papamu."
Ekspresi Jiang Ruoqiao sedikit berubah.
"Dulu papa kamu itu perhatian banget sama kami, lebih dari anak sendiri. Si Lu ini juga serius, di meja makan ada banyak orang, tapi dia bisa ingat kakek kamu suka makan ubi, tahu aku mau minum air. Nenek ini sudah pengalaman, kalau laki-laki peduli sama keluargamu, berarti dia peduli sama kamu. Kalau nggak, buat apa dia repot-repot begitu?"
Jiang Ruoqiao tidak berkata apa-apa.
Dia sudah dua puluh tahun, pernah pacaran tiga kali, pernah disukai banyak orang. Dia tahu betul apa yang Lu Yicheng rasakan.
Tapi, dia tidak pernah memaksakan perasaan.
Kalau Lu Yicheng bisa membuat dia jatuh cinta, ya dia akan maju.
Kalau tidak, walaupun ada Siyuan, dia tetap akan di tempat yang sama.
Sekarang Lu Yicheng sudah bilang apa? Tidak ada.
Dia juga belum menyatakan cinta, jadi bukan giliran dia untuk ribet mikirin ini.
Lagi pula, dia masih di sini, masih lajang, dan pacarnya nanti pasti orang yang dia suka.
Urusan cinta itu sederhana saja, masing-masing usaha sendiri.
Setelah seharian mengajak kakek nenek jalan-jalan, besoknya Jiang Ruoqiao membawa mereka ke rumah sakit.
Mereka berdua sebenarnya dibujuk.
Katanya itu fasilitas dari toko hanfu, setiap tahun ada kuota pemeriksaan kesehatan, kebetulan ada dua yang tersisa, dia beli dengan harga murah. Kakek nenek sebenarnya malas ke rumah sakit, merasa tempat itu kurang baik. Tapi karena dibujuk, akhirnya mereka mau.
Seharian mereka menjalani pemeriksaan lengkap. Kesehatan kakek masih sama, cuma hipertensi, kolesterol, dan gula darah tinggi. Tinggal minum obat sesuai anjuran dokter.
Tapi kesehatan nenek ternyata memang bermasalah, persis seperti di mimpinya.
Dokter melihat hasil pemeriksaan, mengernyit, menunjuk salah satu bagian di hasil CT. "Bagian ini agak mencurigakan. Sebaiknya bawa beliau untuk pemeriksaan lanjutan."
Kebetulan dokter ini juga orang kampung halaman yang sama, jadi dia berbaik hati memberi saran, menyuruh langsung ke rumah sakit besar untuk cek ulang ke dokter ahli, supaya tidak buang waktu.
"Dokter Huang Hongying itu ahlinya di bidang ini," kata dokter. "Cari dia, dia pasti beri saran terbaik. Tapi nomornya susah didapat, kamu harus cari cara."
Hati Jiang Ruoqiao langsung terasa berat.
Sekarang dokter belum bisa memastikan sebelum hasil patologi keluar.
Dokter ini sepertinya karena sesama kampung halaman, jadi memberi saran terbaik... Kaki Jiang Ruoqiao terasa lemas. Awalnya dia memang sudah menduga kemungkinan terburuk, tapi saat kenyataannya di depan mata, tetap saja takut.
Sekarang berobat itu susah, dapat nomor antrian juga susah.
Dia sudah memutuskan langsung cari nomor antrian untuk dokter Huang.
Sore harinya, dia bilang pada kakek nenek bahwa di asrama ada pengecekan kehadiran, jadi malam harus kembali ke kampus. Kakek nenek tak curiga, malah menyuruhnya cepat pulang. Setelah keluar dari penginapan, dia langsung naik metro ke rumah sakit.
Seharian dia mencari informasi online soal cara dapat nomor dokter Huang. Dokter ini memang ahli, banyak pasien dari seluruh negeri datang ke dia. Bisa lewat calo, tapi banyak yang tertipu. Di Beijing, biaya hidup mahal, tak bisa buang waktu.
Jiang Ruoqiao sama sekali tidak paham soal calo, jadi tidak mau coba.
Dia tidak mau buang waktu, takut nanti berpengaruh buruk pada nenek.
Akhirnya dia memutuskan mengikuti cara keluarga pasien lain, antri dari malam.
Sekarang online juga bisa booking, tapi untuk dokter ahli seperti ini, sebulan penuh sudah habis. Hanya ada beberapa kuota yang dilepas tiap pagi di loket rumah sakit.
Setelah sampai rumah sakit, dia menelepon Lu Yicheng.
Lu Yicheng cepat mengangkat. "Halo."
Dengan suara tenang, Jiang Ruoqiao berkata, "Lu Yicheng, aku mau minta tolong."
Dia benar-benar tak tahu bisa minta tolong siapa lagi.
"Kakek nenekku sudah tua. Sekarang mereka di penginapan. Aku di luar," kata Jiang Ruoqiao. "Kupikir, kamu tinggal di kompleks sebelah. Kalau ada apa-apa, bisa tolong bantu sebentar, ya?"
Lu Yicheng tentu saja langsung setuju, tapi dia tetap bertanya, "Kamu di luar?"
Jiang Ruoqiao menunduk, tidak ingin bohong. "Iya, aku di rumah sakit, mau antri nomor dokter spesialis, mungkin besok pagi baru bisa pulang."
Lu Yicheng terdiam sebentar, lalu bertanya, "Karena kondisi kesehatan orang tua, ya?"
"Mungkin. Pokoknya aku mau dapatkan nomor dulu."
Lu Yicheng tanya lagi, "Rumah sakit yang mana?"
Tak ingin membuat Jiang Ruoqiao berpikir macam-macam, dia berkata, "Aku cukup paham soal antrian nomor dokter."
Jiang Ruoqiao pun menyebutkan nama rumah sakitnya.
......
Satu jam kemudian, Jiang Ruoqiao berdiri bosan di antrean.
Rumah sakit memang tempat yang memperlihatkan segala sisi kehidupan.
Setiap hari di sini ada kelahiran, penuaan, penyakit, kematian.
Dulu dia pikir antri semalaman demi nomor dokter itu cuma omongan. Sekarang setelah datang sendiri, baru tahu itu benar. Di depannya sudah ada beberapa orang yang antri menunggu kuota esok pagi.
Orang-orang terus berdatangan dan ikut mengantri di belakang.
Saat Lu Yicheng datang, dia melihat pemandangan ini. Di tengah kerumunan, Jiang Ruoqiao tampak begitu mencolok. Dia berdiri, tidak seperti orang lain yang ngobrol atau main ponsel. Dia hanya diam menatap entah ke mana. Dari belakang tampak begitu kesepian. Ini membuat Lu Yicheng teringat beberapa tahun lalu, saat dia sendiri antri di musim dingin demi nomor dokter untuk neneknya, demi harapan hidup terakhir.
Dia memandanginya dari jauh.
Sulit menggambarkan perasaannya saat ini. Dia selalu merasa dirinya kesepian, tapi sekarang, kalau ada satu orang di dunia ini yang mengalami hal yang sama, mungkin hanya dia.
Di malam ini, dia melihatnya, seolah melihat dirinya di masa lalu.
Waktu itu, dia berdiri di belakang gadis itu. Di dunia ini, hanya ada dia dan dia.
......
Jiang Ruoqiao tersentak dari lamunannya saat seseorang menepuk bahunya. Dia menoleh, ternyata Lu Yicheng.
Dia agak terkejut. "Kamu datang?"
Lu Yicheng masih membawa ransel hitam, tersenyum. "Aku punya pengalaman, aku gantikan kamu antri."
Refleks pertama Jiang Ruoqiao adalah menolak. "Ah, nggak usah, terima kasih."
"Peralatanku lengkap," kata Lu Yicheng. "Aku juga sudah bilang ke Siyuan. Dia di rumah menunggu kamu jemput."
Sambil bicara, dia membuka ransel, memperlihatkan isinya. Dia memang tidak bercanda soal "peralatan lengkap".
Dia membawa kursi lipat kecil, kipas tangan, power bank, bahkan pasta gigi, sikat gigi, handuk, dan obat kumur.
Jiang Ruoqiao tak tahan tertawa. Ini pertama kalinya dia bisa benar-benar tersenyum hari ini. "Sampai bawa sikat gigi segala."
Dengan sedikit canggung, Lu Yicheng berkata, "Biar nggak usah beli lagi."
Dia menatap Jiang Ruoqiao dan berkata lembut, "Jangan khawatir, pulanglah temani kakek nenek. Hal seperti ini aku memang punya pengalaman."
Dalam situasi ini, memang tidak banyak yang bisa dia bantu. Justru hal-hal kecil seperti ini, yang bisa ia lakukan, tentu harus ia lakukan.
— 🎐Read only on blog/wattpad: onlytodaytales🎐—
Bab 80
Jarang sekali Lu Yicheng begitu cerewet.
Akhirnya, ocehannya membuat Jiang Ruoqiao pergi. Lu Yicheng merasa, begadang bukan hal yang cocok untuknya, dan malam-malam begini… lebih baik dia saja yang mengantre.
Jiang Ruoqiao melangkah keluar dari rumah sakit, tanpa sadar mendongakkan kepala melihat langit.
Festival Pertengahan Musim Gugur baru saja berlalu, bulan masih bulat sempurna. Ia teringat Lu Yicheng yang sedang antre di aula rumah sakit. Anehnya, meski mereka belum lama saling mengenal, setiap kali ia merasa tenang, itu selalu karena dirinya. Kakek dan neneknya punya dua anak perempuan: ibunya dan bibi kecilnya. Setelah ayahnya meninggal karena kecelakaan, ibunya membawanya ke rumah kakek dan nenek. Kemudian, ibunya menikah lagi dan pindah ke luar kota… Kakek dan neneknya sangat menyayanginya, khawatir dia tidak punya rumah, jadi sejak lama sudah bersepakat dengan bibi dan paman, bahwa rumah mereka kelak akan diwariskan padanya.
Bibinya juga sangat pengertian, tidak keberatan dengan hal itu.
Namun, di Xishi, ada adat yang berlaku: siapa yang mewarisi rumah, dialah yang harus bertanggung jawab merawat orang tua di masa tua.
Bagi Jiang Ruoqiao, meskipun tidak mendapat rumah, ia tetap akan merawat kakek dan neneknya.
Bibinya punya keluarga sendiri. Selain membantu mengelola supermarket bersama suaminya, juga harus mengurus dua anak. Jiang Ruoqiao paham, bibinya memang tidak sanggup sepenuhnya, jadi setelah menelepon bibinya, ia berkata dengan nada ringan dan optimis, bahwa karena jadwal kuliah di tahun ketiga ini tidak padat, biarlah ia yang sepenuhnya merawat nenek.
Di telepon, bibinya sampai menangis terharu, terus mengucapkan terima kasih.
Jiang Ruoqiao merasa tak layak menerima ucapan terima kasih itu. Meski dirinya orang yang cenderung dingin, ia tahu, jika bukan karena kakek dan nenek, hidupnya takkan sebahagia sekarang.
Ia bisa bersikap dingin terhadap siapa pun, tapi tidak terhadap kakek dan nenek.
Tanpa Lu Yicheng pun, ia yakin bisa menangani semua ini. Ia akan bangkit, membawa nenek berobat. Ia percaya pada dirinya. Tapi ia juga harus mengakui, karena ada dia, karena bantuan-bantuan kecil yang ia berikan, ia sempat merasakan apa itu 'lega'.
Keluar dari rumah sakit, Jiang Ruoqiao hendak menuju stasiun metro, tapi berhenti di depan toko buah.
Teringat sesuatu, ia tersenyum kecil, lalu masuk ke toko buah. Ia membeli jeruk dan pisang. Di toko itu juga ada camilan, ia membeli permen pelega tenggorokan, roti, telur asin dalam kemasan, lalu kembali ke rumah sakit dengan membawa kantong belanjaan.
Ia berdiri di aula, memandangi Lu Yicheng.
Ia sangat mencolok—dari satu barisan saja, dialah yang paling tinggi.
Ia menunduk, entah sedang apa.
Jiang Ruoqiao menebak, mungkin sedang melihat ponsel, mungkin sedang belajar kosa kata.
Tubuhnya ramping, namun tampaknya di saat genting, bisa memancarkan kekuatan besar.
Laksana pohon poplar, laksana pinus.
Aneh sekali, bahkan sebelum ia mendekat, Lu Yicheng sudah seperti merasakannya, lalu menoleh. Tatapan mereka bertemu, ia berjalan mendekat sambil bercanda, “Kupikir kau baru akan melihatku saat aku sudah di depanmu.”
Lu Yicheng tertawa kecil.
Ia juga merasa aneh. Sangat aneh. Kini seolah punya kemampuan baru—bahkan sebelum ia mendekat, ia sudah tahu itu dia.
Apakah karena suara langkah kaki? Ataukah aroma samar yang tak bisa ia jelaskan... Pokoknya aneh, misterius.
“Kenapa balik lagi?” Lu Yicheng berhenti sejenak. “Kau tahu tidak, antre pendaftaran itu ada ilmunya. Aku sudah berpengalaman, biar aku saja yang antre.”
Ia khawatir ia akan berubah pikiran lagi, ingin antre sendiri agar tidak merepotkannya.
Jiang Ruoqiao menggeleng, matanya berbinar, “Aku tiba-tiba kepikiran, perlengkapanmu kurang lengkap. Aku ke sini untuk menambahkannya.”
Lu Yicheng: “?”
Jiang Ruoqiao menyerahkan kantong padanya. Ia menerimanya, cukup berat.
Ada bantal leher…
Jiang Ruoqiao mengeluarkannya, memakainya di leher, mencontohkan, “Seperti ini, kalau kau mengantuk bisa bersandar.”
Setelah melakukan itu, ia baru sadar, rasanya agak bodoh.
Mana mungkin ia tidak tahu cara pakai bantal leher!!
Barang ini di mana-mana ada! Bahkan orang yang belum pernah lihat pun pasti langsung paham!
Lu Yicheng melihat keseriusannya, matanya penuh senyum. Ia merasa ia begitu... lucu. Sesekali, tatapan Si Yan juga mirip dengannya.
Dengan canggung, Jiang Ruoqiao melepas bantal dan memberikannya, “Pokoknya begitu, ini buatmu.”
Ia sudah memilih dengan saksama, merasa warna biru tua bergaris ini cocok untuknya.
“Terima kasih.” Lu Yicheng menerima, langsung memakainya.
Ia melirik isi kantong, agak terkejut.
Ada jeruk, pisang, roti, telur asin, permen pelega tenggorokan, bahkan ada kopi instan dan air soda rasa mint?
Jiang Ruoqiao merasa canggung, “Kopi instan merek ini lumayan enak, kalau kau kurang suka, tidak apa-apa. Air soda ini biasanya cocok untuk cowok.”
Lu Yicheng tertawa pelan, “Terima kasih, aku suka.”
Hanya saja barangnya banyak sekali, padahal ia tak biasa makan camilan malam.
Mereka sempat terdiam, lalu Jiang Ruoqiao berkata, “Saat aku umur sepuluh, kakek-nenek mengajakku ke luar kota naik kereta lama. Mereka belikan banyak camilan… tak disangka masih ada telur asin merek ini. Dulu rasanya enak.”
Mungkin suasana membuat perasaannya tersentuh.
Ia sampai menceritakan hal itu padanya—hal yang baginya berharga, meski bagi orang lain mungkin membosankan.
Lu Yicheng mengangguk, “Aku tahu merek ini. Waktu SMP, pernah sakit tak nafsu makan. Nenekku pikir aku suka telur ini, jadi sering membelikannya buat dicampur mi. Tapi menurutku, telur buatan nenek lebih enak…”
Baru sadar ia salah bicara, buru-buru menatapnya, menjelaskan, “Maksudku bukan begitu, tenang saja, telur ini akan aku makan. Aku tidak bilang ini tak enak.”
Sampai terbata-bata.
Jiang Ruoqiao tersenyum, “Aduh, kenapa jadi tegang begitu? Aku kelihatan seperti orang yang marah soal sepele?”
Lu Yicheng diam.
Jiang Ruoqiao menghela napas, “Si Yan benar-benar bikin aku punya reputasi buruk~”
Lu Yicheng tertawa, “Tidak juga.”
Sebenarnya, ia sendiri yang tegang.
Ia lanjut, “Nenekku sering bilang, karena tak berpendidikan, tak tahu cara mendidikku. Jadi sejak kecil, ia menyuruhku banyak baca. Katanya, karena aku yatim piatu, tak ada yang mengajarkanku bagaimana bersikap. Maka aku harus lebih banyak baca, anggap saja penulis-penulis hebat di buku sebagai guru, sebagai orang tua.”
Jiang Ruoqiao sangat setuju, “Nenekmu hebat.”
Berkat bimbingan nenek, Lu Yicheng menjadi seperti sekarang.
Sebenarnya, mereka tidak terlalu dalam berbicara.
Dalam obrolan sungguhan, jarang orang langsung membuka hati. Hubungan antar manusia memang begitu—harus mengetuk pintu, menunggu tuan rumah membukakan, baru masuk, basa-basi dulu sebelum akrab. Lu Yicheng kini masih di depan pintu Jiang Ruoqiao, tak berani mengetuk, hanya menunggu ia yang membuka. Tak ingin mengganggu.
Yang tak diketahui Jiang Ruoqiao, ia sudah diundang masuk ke dalam oleh Lu Yicheng.
---
Lu Siyan masih menunggu di rumah. Jiang Ruoqiao tak berani lama-lama, segera ke rumah kontrakan Lu Yicheng menjemputnya.
Sesampainya di penginapan, kakek-nenek sedang nonton drama di sofa. Mereka terkejut melihat cucunya pulang membawa anak kecil. “Ini siapa?”
Lu Siyan sama sekali tidak merasa sebagai orang asing.
Ini mamanya, berarti ini kakek-nenek mamanya. Artinya, ia pulang ke rumah sendiri.
Jiang Ruoqiao berkata, “Lu Yicheng ada urusan, minta tolong aku menjaga Siyan semalam.”
Kakek-nenek: “Oh?”
Cucunya sudah sedekat ini dengan anak muda itu? Sampai mau dititipi anak, luar biasa!
Jiang Ruoqiao pura-pura tak melihat tatapan ingin tahu mereka, setelah memberi beberapa pesan pada Lu Siyan, ia ke kamar mandi.
Awalnya kakek-nenek terkejut, tapi begitu lihat Lu Siyan, hati mereka langsung luluh. Aneh, lihat anak ini, hati jadi hangat! Malam itu, Siyan tidur sekamar dengan Jiang Ruoqiao. Besok paginya, ia harus sekolah.
---
Malam itu, mungkin karena pikirannya kacau, Jiang Ruoqiao bermimpi lagi.
Dalam mimpi, ia seperti penonton. Tidak tahu apa yang terjadi. “Dia” kehilangan kesempatan melanjutkan S2, tapi tetap teguh, memutuskan bekerja sambil mengejar gelar. Sang nenek kehilangan waktu terbaik untuk pengobatan. Saat ketahuan, kondisinya sudah parah. “Dia” membawa nenek ke Beijing untuk berobat. Saat hampir kelelahan, akun media sosialnya diretas. Dalam semalam, rumor menyebar.
Ada yang bilang “dia” suka memanfaatkan pria kaya, serakah, tega meninggalkan kekasih setia.
Ada yang bilang dulu tampil gemerlap karena ada transaksi gelap.
Ada yang bilang “dia” tak pantas jadi 'bunga kampus' A University—luar cantik dalam busuk.
Hal-hal yang tak pernah dilakukan digambarkan seolah nyata.
Hal-hal yang pernah dilakukan dilebih-lebihkan.
Intinya, ada yang berniat menghancurkannya.
Orang itu bahkan berhasil membuat platform memblokir akunnya, dengan alasan konyol.
“Dia” tak berdaya, baru sadar, karier yang dibangun ternyata rapuh.
Hatinya remuk.
Dari sudut pandangnya, sang nenek saat dirawat juga mendengar hinaan itu, pura-pura tak tahu, agar ia tak khawatir. Sambil menahan sakit, nenek diam-diam berdebat online, mengetik terbata-bata. Hanya dibalas ejekan: “Anak SD ya? Salah ketik banyak amat. Dibayar berapa sama cucumu?”
Nenek marah sampai sesak dada.
Kemudian, saat usia 23, nenek meninggal.
Di aula pemakaman, ia menangis sejadi-jadinya. Di foto, nenek tetap tersenyum padanya, seakan berkata: Qiao Qiao, jangan menangis.
---
Saat bangun, ekspresi Jiang Ruoqiao kosong.
Ingin menangis, tapi seperti ada yang menahan. Tenggorokan sesak, pahit.
Ia bangkit dengan wajah datar, mencuci muka, membantu Siyan bersiap, sarapan bersama kakek-nenek, lalu tersenyum pamit. Setelah mengantar Siyan ke bus sekolah, ia duduk melamun.
Pikiran bercampur aduk.
Tiba-tiba, telepon dari Lu Yicheng. Suaranya riang, “Dapat nomornya! Pas banget, Prof. Huang praktik sore ini. Nanti aku antar kartunya ke kamu!”
Jiang Ruoqiao memaksakan senyum, “Mm, terima kasih.”
Mereka janjian di gerbang. Jiang Ruoqiao berdiri, berjalan ke sana. Saat itu, ada motor listrik lewat. Meski sudah klakson, karena larut dalam pikiran, ia terlambat bereaksi. Ia terserempet, jatuh.
Pengendara sempat mengomel, Jiang Ruoqiao kosong, lalu berkata, “Tak apa, salahku.”
Orang itu jadi sungkan, “Kalau ada apa-apa, aku tinggal di blok 12.”
Jiang Ruoqiao: “Mm.”
Setelah orang itu pergi, ia tak segera bangkit. Menatap lutut yang lecet, telapak tangan berdarah. Saat menekan lutut, rasa sakit baru terasa, air matanya menetes.
---
Lu Yicheng, yang sudah menunggu, masuk ke kompleks. Dari jauh, ia melihat Jiang Ruoqiao duduk di tepi taman, tampak menangis.
Ia mendekat, melihat lututnya luka.
Benar-benar menangis.
Selama ini, ia sudah melihat banyak ekspresi Jiang Ruoqiao—marah, kesal, bahagia, pura-pura bahagia—tapi belum pernah melihat ia menangis.
Entah kenapa, ia merasa bukan luka di lutut yang membuatnya menangis, melainkan ia akhirnya menemukan alasan untuk menangis.
Ia paham betul. Dulu, waktu kecil, ia pun begitu. Bukan tangga yang membuatnya menangis, melainkan luka yang lama ia pendam.
Ia mendekat, duduk di sampPengendara motor listrik itu merasa agak bersalah melihat sikap Jiang Ruo Qiao yang tampak lemah dan pasrah. Ia buru-buru meminta maaf, “Maaf, saya tidak sengaja.”
Jiang Ruo Qiao mengangguk pelan, masih dengan tatapan kosong, “Tidak apa-apa, itu salah saya juga, saya tidak hati-hati.”
Pengendara itu menghela napas lega dan segera pergi, meninggalkan Jiang Ruo Qiao yang masih terduduk di trotoar. Perlahan-lahan, kesadaran kembali ke dirinya. Rasa sakit di lututnya mulai terasa, namun jauh lebih berat adalah beban di dalam hatinya.
Dia bangkit dengan susah payah, mencoba menguatkan diri. Di tengah keramaian jalan, dia merasa seperti berdiri sendiri, terasing dengan dunia yang bergerak cepat tanpa peduli.
Namun, ada satu hal yang selalu menguatkan dia: keluarga, dan terutama keberadaan Lu Yicheng yang diam-diam selalu mendukungnya.
Dengan langkah goyah tapi penuh tekad, Jiang Ruo Qiao berjalan kembali menuju rumah sakit, ke tempat di mana Lu Yicheng masih menunggu untuk menyerahkan nomor antrean dokter.
Meski lelah, dia tahu, dia tidak boleh menyerah.
— 🎐Read only on blog/wattpad: onlytodaytales🎐—
***
Comments
Post a Comment