Shocking! The Broke Campus Heartthrob Is My Child’s Father – Bab 61-70
Bab 61
Pada sore hari, berkat kerja sama Jiang Ruoqiao dan Lu Yicheng, akhirnya mereka berhasil membawa Lu Siyan naik ke posisi kedua di kelas.
Masih tertinggal beberapa puluh bunga merah kecil untuk mencapai posisi pertama. Namun, semua tugas yang bisa mereka kerjakan sudah selesai, jadi mereka hanya bisa menunggu dengan sabar hingga hari esok. Jiang Ruoqiao masih merasa sangat bersemangat—mungkin karena ini adalah pertama kalinya dia menggunakan aplikasi taman kanak-kanak seperti ini, dan anehnya, membantu Siyan mengerjakan tugas untuk memenangkan bunga merah terasa lebih seru daripada berselancar di Weibo atau belanja online~
Jiang Ruoqiao mengirim pesan pada Lu Yicheng: 【Besok kita lanjut lagi.】
Lu Yicheng hanya bisa tersenyum pasrah. Baru kali ini ia benar-benar merasakan sisi lain dari Jiang Ruoqiao.
Sisi yang lebih ceria dan hidup.
Sore itu ada rapat organisasi mahasiswa, Jiang Ruoqiao berjalan ke sana sambil memegang payung.
Di sana, dia juga bertemu dengan Wang Jianfeng.
Dia sebenarnya tidak terlalu akrab dengan Wang Jianfeng, tapi karena sama-sama anggota organisasi mahasiswa, mereka sering makan bersama dalam acara kumpul-kumpul. Lama kelamaan, Jiang Ruoqiao pun cukup mengenalnya.
Satu kalimat cukup untuk menggambarkan Wang Jianfeng—tahu kerasnya dunia, namun tidak menjadi keras karenanya.
Jiang Ruoqiao menyapa Wang Jianfeng dengan senyuman tenang.
Wang Jianfeng malah tampak sedikit terkejut.
Dia mengira setelah insiden dengan Jiang Yan, Jiang Ruoqiao pasti akan bersikap seolah-olah dia tak ada. Bagaimanapun juga, dia sekamar dengan Jiang Yan, dan juga teman dekatnya.
Wang Jianfeng buru-buru membalas senyuman Jiang Ruoqiao.
Baru setelah duduk, Wang Jianfeng sadar: …Meskipun Jiang Ruoqiao dan Jiang Yan sudah resmi putus, tapi Lu Yicheng sekarang sedang mendekatinya…
Mungkinkah karena alasan itu Jiang Ruoqiao masih bisa bersikap ramah padanya?
Kegiatan organisasi mahasiswa cukup padat, untungnya setiap tahun selalu ada mahasiswa baru, jadi selalu ada darah segar yang masuk. Beban kerja Jiang Ruoqiao pun tak terlalu banyak. Saat rapat berakhir, sudah hampir jam lima sore. Setelah ketua dan wakil ketua pergi, anggota lainnya mulai menguap dan meregangkan tubuh.
Jiang Ruoqiao sudah membuat janji makan malam dengan senior dari jurusan kimia.
Senior ini dulunya satu SMA dengannya, meski berbeda jurusan sekarang, Jiang Ruoqiao lebih suka memanggilnya shijie (kakak senior perempuan), karena terasa lebih akrab.
Shijie-nya dulu adalah murid berprestasi. Saat shijie kelas 12, Jiang Ruoqiao masih kelas 10.
Waktu dia kelas 11, shijie-nya sudah diterima di Universitas A, bahkan fotonya terpajang di papan prestasi depan gedung sekolah. Setiap kali lewat, Jiang Ruoqiao pasti berhenti untuk melihat. Selama dua tahun itu, shijie adalah sosok yang dia jadikan panutan.
Padahal saat SMA, dia juga banyak menghadapi godaan, apalagi usia puber, banyak siswa laki-laki bagus yang menyukainya. Tapi setiap kali mulai goyah, dia akan kembali ke papan prestasi dan melihat foto itu.
Tak ada yang lebih penting daripada masa depan. Tak ada satu orang pun yang bisa menghalangi langkahnya ke depan.
Akhirnya dia juga berhasil masuk Universitas A, dan fotonya pun dipajang di papan prestasi sekolah, berdampingan dengan shijie-nya.
Sekarang dia sudah semester lima, dan shijie-nya sedang menjalani tahun pertama S2.
Mereka sama-sama berasal dari kampung halaman yang sama dan dari sekolah yang sama pula. Hubungan mereka sangat baik selama dua tahun terakhir.
Mereka bertemu di depan kantin.
Shijie menggandeng tangan Jiang Ruoqiao dengan akrab dan mereka naik ke lantai atas kantin. Saat itu sedang jam makan malam, jadi ramai sekali. Setelah memesan makanan dan duduk di sudut yang agak sepi, shijie langsung bertanya, “Aku dengar kamu sudah putus dengan pacarmu?”
Jiang Ruoqiao belum sempat menjawab.
Shijie menepuk dahinya, “Aduh, aku kurang teliti. Kalau sudah putus, berarti bukan pacar, tapi mantan pacar.”
Jiang Ruoqiao tersenyum tipis, “Memang mantan pacar sekarang.”
Shijie menghela napas lega, “Berarti yang dibicarakan di forum bukan gosip belaka. Oke, aku gak mau bahas dia lagi. Kalau sudah jadi mantan, berarti sudah gak ada hubungannya. Dia gimana pun juga udah bukan urusanmu.”
“Tepat sekali.” Jiang Ruoqiao tertawa, “Aku paling takut kalau orang tanya kenapa putus. Rasanya... ya, sudah jadi masa lalu saja.”
Shijie mengangguk, “Baguslah, kamu dari dulu memang selalu tegas.”
Dia sempat terdiam, ragu-ragu sejenak.
Jiang Ruoqiao malah jadi penasaran, “Shijie, kenapa?”
“Soalnya di forum katanya Lu Yicheng lagi deketin kamu.” Shijie memandangnya, “Benarkah?”
Jiang Ruoqiao sendiri bingung menjawabnya. Setelah berpikir agak lama, akhirnya dia berkata, “Nggak bisa dibilang lagi deketin. Cuma karena beberapa situasi tertentu, kami memang harus sering berkomunikasi.”
Shijie tertawa, “Itu namanya lagi dideketin, dong? Nggak apa-apa juga. Ruoqiao, kamu itu cewek yang luar biasa. Siapa pun yang suka kamu, itu wajar banget, kamu memang pantas dicintai.”
Jiang Ruoqiao menunduk, tersenyum.
“Aku sebenarnya cukup kagum sama dia,” kata Shijie sambil mengaduk nasi, “Di jurusanku ada adik kelas perempuan, sekarang semester tiga. Katanya waktu itu dia naik bus dan mengalami hal gak menyenangkan. Kebetulan Lu Yicheng juga ada di bus itu. Semua orang diam saja, cuma dia yang berani berdiri dan membantu. Anak itu memang punya rasa keadilan. Dia juga ganteng, sikapnya baik. Adik kelasku itu sampai naksir berat dan mengejar dia cukup lama. Tapi dia tetap sopan dan jaga jarak. Akhirnya dia bicara baik-baik, dan adik kelasku pun berhenti mengejar.”
Jiang Ruoqiao tertegun.
Dulu dia memang pernah mendengar orang lain bicara soal Lu Yicheng.
Tapi saat itu dia masih orang luar, tak begitu peduli. Sekarang, mungkin karena posisinya sudah berubah, saat mendengar cerita-cerita itu, dia jadi membayangkan seperti apa dia saat berdiri membela orang lain di dalam bus, atau seperti apa sikapnya yang tenang dan penuh pengertian saat menolak seseorang.
Sosok Lu Yicheng mulai menjadi semakin jelas dalam benaknya.
Jiang Ruoqiao mendengarkan dengan serius.
Shijie buru-buru menambahkan, “Eh, kamu jangan salah paham. Adik kelasku itu orangnya baik, dan dia naksir Lu Yicheng waktu yakin dia masih jomblo.”
Jiang Ruoqiao tersenyum ringan, “Dia sekarang juga masih jomblo.”
“Beda rasanya,” kata Shijie, “Lagian adik kelasku itu sekarang juga udah punya pacar baru, mereka udah jadian pas liburan musim panas dan hubungannya stabil.”
Jiang Ruoqiao: “……”
Kenapa rasanya tetap agak aneh ya?
Saat Jiang Ruoqiao sedang mengobrol dengan shijie, Lu Yicheng baru saja selesai menyiapkan makanan untuk Lu Siyan. Tubuhnya masih berbau minyak masakan. Dia masuk ke kamar mandi, membuka keran air dan hendak membasuh wajahnya, saat ponselnya bergetar beberapa kali. Dia ragu sebentar, takut itu pesan dari Jiang Ruoqiao. Dia buru-buru menutup keran, mengeluarkan ponsel dari saku dan menyalakannya. Ternyata itu pesan dari Wang Jianfeng.
Lu Yicheng sendiri tak tahu harus lega atau kecewa.
Dia membuka kunci ponselnya dan membuka aplikasi WeChat.
Pesan Wang Jianfeng langsung terlihat jelas: 【Lao Lu, baru sekarang aku nanya. Kamu beneran lagi deketin Jiang Ruoqiao?】
Lu Yicheng menutup ponsel.
Meletakkannya di atas meja wastafel, membuka keran, lalu menampung air dan membasuh wajahnya. Mungkin karena terlalu cepat, rambutnya ikut basah. Dia mematikan keran, menatap pantulan dirinya di cermin.
Sambil mengelap wajah, dia melihat sekilas ke arah wastafel, ada sabun muka pria di sana.
Dia ambil kembali ponsel yang tadi ditaruh, membuka kunci, menatap layar dengan serius, lalu membalas pesan itu dengan sangat sungguh-sungguh: 【Ya.】
Balasan Wang Jianfeng langsung muncul: 【……】
Lu Yicheng menunduk, pandangannya tenang.
Beberapa detik kemudian, Wang Jianfeng mengirim pesan lagi: 【Bro, semangat ya!】
Meskipun hatinya agak campur aduk, sebagai teman, Wang Jianfeng juga merasa Lu Yicheng tidak salah.
Apakah Lu Yicheng merebut pacar Jiang Yan? Tanpa bertanya pun, dia bisa menjamin dengan keyakinan penuh soal integritas temannya. Banyak orang mungkin bisa begitu, tapi Lu Yicheng bukan salah satunya.
Jadi, dalam bayangan Wang Jianfeng dan teman-teman lainnya, mungkin Lu Yicheng sudah menyukai Jiang Ruoqiao sejak lama, tapi dia tidak pernah melakukan apa pun, tidak mengatakan apa pun.
Baru setelah Jiang Ruoqiao benar-benar putus dengan Jiang Yan, dia akhirnya berani mengejar cintanya.
Apa dia bisa disalahkan? Tentu saja tidak. Lu Yicheng hanya… terlalu mencintai Jiang Ruoqiao.
Sebagai teman, tentu saja dia harus mendukung sepenuhnya.
Cuma ya...
Kalau suatu hari Jiang Ruoqiao hadir dalam acara kumpul-kumpul kamar mereka atau reuni kelas sebagai pacar Lu Yicheng... Wang Jianfeng sudah mengelus dagunya dan mulai membayangkan: nanti harus bersikap bagaimana ya?
Benar-benar bikin pusing!
Malam itu, setelah Jiang Ruoqiao berbincang dan bergosip ringan dengan ketiga teman sekamarnya, dia pun tertidur.
Lalu dia bermimpi—dalam mimpinya, dia seperti berada dalam sudut pandang Tuhan, menyaksikan semuanya dari kejauhan.
Hujan badai mengguyur, seorang wanita muda berdiri tak berdaya di bawah atap sambil memeluk tubuhnya sendiri.
Air merembes perlahan, membasahi ujung gaunnya dan rambutnya.
Wajahnya dipenuhi kebingungan dan kesedihan, air mata mengalir pelan di pipinya.
Jiang Ruoqiao tahu, itu dirinya. Mungkin dirinya beberapa tahun ke depan, karena wajah, gaya rambut, dan pakaiannya terlihat lebih dewasa.
Namun kebanggaan dalam dirinya seperti telah hancur berantakan.
Itulah mengapa wajahnya terlihat seperti itu.
Sebagai orang luar, Jiang Ruoqiao merasa sangat sedih melihat dirinya sendiri, bahkan ingin sekali memeluk dan menghiburnya.
Saat dia sangat cemas namun tak bisa berbuat apa-apa, tiba-tiba dari tengah hujan, seseorang muncul—seseorang membawa payung, menerobos hujan deras, melangkah pasti menuju ke arah wanita itu tanpa ragu sedikit pun.
Akhirnya, orang itu berdiri di depannya.
Dan Jiang Ruoqiao pun akhirnya bisa melihat dengan jelas siapa dia.
Itu… Lu Yicheng!
Lu Yicheng memegang payung hitam, menatap wanita itu dengan lembut.
Wanita itu menoleh sekali, lalu memalingkan wajah.
Lu Yicheng mengeluarkan tisu dari sakunya dan menyodorkannya padanya, suaranya tenang dan memberi rasa aman, “Hujannya besar sekali, tidak apa-apa. Aku antar kamu pulang.”
Wanita itu mendengarnya, matanya memerah, dan air matanya jatuh makin deras.
Dalam tidurnya, Jiang Ruoqiao entah kenapa bisa merasakan semua emosi dari “dirinya” dalam mimpi itu, dan air matanya pun membasahi bantal.
— 🎐Read only on blog/wattpad: onlytodaytales🎐—
Bab 62
Ketika Jiang Ruoqiao terbangun, ia meraba wajahnya—masih terasa lembap.
Dia tidak tahu mengapa dia menangis, tapi dalam mimpinya, “dia” menangis, dan ia pun ikut-ikutan menangis tanpa bisa dikendalikan.
Dia menatap kosong ke arah kelambu di atas tempat tidur. Setelah beberapa saat, ia merogoh di bawah bantal dan mengambil ponsel, membuka kunci layar, lalu membuka halaman pencarian. Di kolom pencarian, ia mengetik:
[Bermimpi diri sendiri menangis di bawah hujan, lalu ada pria datang membawa payung—apa artinya?]
Setelah mengetuk tombol cari, ia baru sadar: giao, bukankah dia sudah melewati usia di mana seseorang bangun dari mimpi lalu buru-buru buka Kamus Mimpi online?
Kenapa dia masih melakukan hal semacam ini??
Aaaaaarghhh!
Jiang Ruoqiao hampir saja keluar dari halaman itu, tapi kemudian berpikir: toh sudah terlanjur dicari, waktunya juga sudah terbuang, dan kebodohan pun sudah dilakukan.
Kalau tidak dilihat hasilnya, bukankah itu rugi?
Lihat saja, deh!
Dengan jari-jarinya yang putih dan ramping, ia menggulir layar, melihat berbagai macam tafsir. Terutama yang aneh-aneh seperti "akan hamil", "melahirkan anak laki-laki di bulan Oktober", "anak perempuan di bulan Mei"—benar-benar tak tertahankan untuk dibaca. Baru kali itu dia benar-benar sadar, apa-apaan sih yang aku lakukan ini??
Dia turun dari tempat tidur, mengambil baju ganti dan masuk ke kamar mandi. Sambil menggosok gigi, ia mencoba mengingat-ingat mimpi tadi.
Mimpi itu mirip sekali dengan mimpi pertama yang pernah ia alami.
Mimpi lain biasanya makin kabur setelah bangun.
Tapi mimpi ini, justru makin lama makin jelas—sama seperti mimpi yang dulu itu.
Jiang Ruoqiao berpikir, mungkinkah ini juga sesuatu yang pernah terjadi di novel aslinya, hanya saja tidak dituliskan oleh penulis? Itu mungkin saja. Sambil mencuci muka dan menggosok gigi, ia memutar kembali adegan-adegan dalam mimpi itu. Entah kenapa, ia benar-benar merasa tenang. Dia merasa kasihan pada “dia” di dalam mimpi itu. Tapi kalau “dia” punya seseorang seperti Lu Yicheng di sisinya—hari itu pasti tidak akan terasa begitu kelam. Karena ada Lu Yicheng.
Mungkin memang Lu Yicheng punya semacam kekuatan seperti itu. Dia akan membawakan payung untuk “dia” di tengah hujan lebat, mengantar pulang, dan juga pasti akan menemani “dia” melewati masa kelam itu, menuju arah hidup yang baru, bukan begitu?
Hari ini adalah hari pertama Lu Siyan masuk taman kanak-kanak.
Sebagai orang yang sangat menghargai momen penting, tentu saja Jiang Ruoqiao tidak akan melewatkannya. Saat ketiga teman sekamarnya masih tertidur, dia sudah selesai mandi dan merias wajah dengan rapi, menyemprotkan parfum, dan melangkah keluar kamar dengan perasaan gembira.
Yang tidak ia sangka, ia lagi-lagi melihat Lu Yicheng di depan asrama. Di tangannya ada kantong sarapan—sepertinya hari ini pun dia tetap membawakannya sarapan.
Jiang Ruoqiao berdiri di depannya dengan wajah bingung, “Hari ini kan hari pertama Siyan masuk taman kanak-kanak.”
Lu Yicheng juga tampak sedikit bingung. “Aku tahu. Terus?”
Jiang Ruoqiao berkata, “Jadi kenapa kamu masih mengantar sarapan ke sini?”
Lu Yicheng diam beberapa detik, lalu menjawab, “Aku baru antar dua hari.”
Hari ketiga sudah berhenti? Tidak lanjut? Masa mengejar orang sesingkat ini? Dulu Jiang Yan bahkan mengantar sarapan selama berbulan-bulan tanpa putus.
Masa cuma dua hari?
Jiang Ruoqiao: “……”
Ia merasa tak berdaya. “Kamu ini polos banget, ya? Padahal kamu juga nggak benar-benar ngejar aku.”
Tatapan Lu Yicheng sedikit berubah, tapi dia tidak berkata apa-apa. Ia hanya menyerahkan kantong sarapan padanya.
Saat Jiang Ruoqiao menerimanya, dia bertanya, “Terus Siyan gimana? Bukannya masuk jam delapan dua puluh?”
Lu Yicheng menjawab, “Dia masih di rumah. Sekarang baru jam tujuh setengah. Masih cukup waktu.”
“Oh oh.” Baru saat itu Jiang Ruoqiao sadar bahwa Lu Yicheng membeli tiga porsi sarapan—dua porsi berisi bakpao dan susu kedelai, sementara miliknya adalah kopi Americano dan croissant seperti biasa.
Jiang Ruoqiao: “?”
Dia menatapnya dengan heran. “Kok ini?”
Lu Yicheng menjawab dengan tenang, “Bukannya kamu suka ini?”
Jiang Ruoqiao ingin memukul jidatnya sendiri—tapi tangannya sedang penuh. “Kemarin kamu bawa bakpao dan susu kedelai.”
Bodoh amat sih orang ini?
Dengan wajah serius, Lu Yicheng menjelaskan, “Hari pertama aku antar, kamu bilang besoknya mau bakpao dan susu kedelai. Makanya kemarin aku bawain. Tapi kamu tidak bilang mau makan apa hari ini, jadi aku beliin yang biasa kamu suka.”
Jiang Ruoqiao: Oh Tuhan...
Kenapa bisa ada cowok sepolos ini?
Dia bertanya, “Jadi kalau aku nggak bilang mau makan apa, kamu akan selalu bawain kopi dan croissant?”
Lu Yicheng menangkap nada bicara aneh dari Jiang Ruoqiao, sempat ragu sejenak, lalu mengangguk jujur.
Memang itu niatnya.
Jiang Ruoqiao mulai introspeksi: jangan-jangan dia sendiri yang terlalu nggak tegas?
Mereka saling pandang beberapa saat, lalu sama-sama malu dan mengalihkan pandangan. Akhirnya Lu Yicheng yang menyerah lebih dulu, dengan hati-hati bertanya, “Gimana kalau besok-besok aku tanya dulu kamu mau sarapan apa?”
Jiang Ruoqiao: “Nggak usah, nggak usah. Bakpao dan susu kedelai aja.”
Kantin A University memang terkenal dengan harga terjangkau dan kualitas top.
Jenisnya banyak, porsinya besar, bahan-bahannya berkualitas. Yang terpenting: murah.
Contohnya bakpao—kulit tipis, isi banyak.
Contohnya susu kedelai—kental dan gurih.
Dan murah.
Lu Yicheng: “……”
Ia berpikir sejenak. “Tapi kalau sarapan cuma itu terus, nanti bosan juga. Gini aja, kita ganti menu setiap minggu. Nanti aku konsultasi dulu sama kamu.”
Jiang Ruoqiao: “?”
Dia tertawa. Di bawah cahaya pagi, lesung pipinya terlihat, wajahnya cantik dan segar seperti embun pagi. “Lu Yicheng, kamu ini ya…”
Dia tidak melanjutkan.
Tapi telapak tangan Lu Yicheng terasa hangat. Ia menatap Jiang Ruoqiao. Aku ini kenapa? Lanjutannya apa?
Jiang Ruoqiao tidak menjawab.
Tapi senyumnya sudah cukup mengatakan semuanya.
“Sudah ya.” Jiang Ruoqiao berkata, “Kamu pulang dulu. Aku antar sarapan ke kamar, lalu menyusul kalian. Hari ini aku juga mau antar Siyan sekolah.”
Lu Yicheng mengangguk, tapi tidak langsung pergi. Ia menunggu sebentar.
Begitu melihat Jiang Ruoqiao masuk gedung asrama, baru dia pergi. Dalam perjalanannya, pikirannya penuh dengan satu pertanyaan: Apa maksudnya ‘kamu ini ya…’?
Saat Jiang Ruoqiao sampai di kamar, tiga temannya sudah bangun. Dari atas ranjang mereka menyoraki:
“Amithaba! Terima kasih, Lu dewa kampus! Terima kasih, Lu dewa pelajaran!”
……
Jiang Ruoqiao sengaja sewa sepeda di bawah gedung, lalu mengayuh ke arah apartemen sewaan Lu Yicheng.
Ketika sampai, Lu Yicheng dan Lu Siyan sudah menunggu.
Lu Siyan sudah mengenakan seragam taman kanak-kanaknya—kemeja pendek dan celana pendek. Dengan kaos kaki dan sepatu, dia benar-benar terlihat seperti bintang kecil kesayangan.
Lu Siyan langsung berlari menghampiri. Jiang Ruoqiao spontan berjongkok dan memeluk si gembul itu, mencium bau khas anak-anak dari tubuhnya. “Hari ini kamu mulai sekolah, ya.”
Lu Siyan manyun dan menarik tali ranselnya. “Kalian senang banget, ya. Lihat aja tuh, senyumnya nggak bisa disembunyikan.”
“Mana ada!”
Lu Siyan berkata, “Emang! Dulu juga gitu, tiap kali libur sekolah, kalian selalu mengeluh terus, berharap sekolah nggak pernah libur! Hmph~ aku nggak ngerti kalian?”
Jiang Ruoqiao: “……”
Lu Yicheng: “……”
Yah, mereka memang belum bisa benar-benar merasakan lelahnya jadi orang tua saat anak libur sekolah, dan betapa senangnya saat anak masuk sekolah lagi.
Tapi tetap saja… mereka senang!
Karena dari jam 8:20 pagi sampai jam 4 sore, mereka bebas dari tanggung jawab~
“Benar kan yang aku bilang?” Lu Siyan mendengus puas. “Tiap kali sekolah mulai, Mama pasti makan nambah setengah mangkuk, Papa bersih-bersih sambil nyanyi!”
Semakin bicara, Lu Siyan semakin semangat.
Ya ampun…
Jiang Ruoqiao dan Lu Yicheng diam saja. Setelah mendengar ocehan panjang lebar Lu Siyan, mereka akhirnya jalan bersama.
Lu Siyan menggenggam tangan Jiang Ruoqiao dengan tangan kirinya, dan tangan Lu Yicheng dengan tangan kanannya.
Setelah melampiaskan keluhannya, Lu Siyan malah merasa sangat bahagia. Ia menoleh ke Papa, lalu ke Mama, sambil tersenyum, “Papa, Mama, aku mau naik pesawat~”
Lu Yicheng dan Jiang Ruoqiao tampak heran. “Naik pesawat? Tapi kan kita semua harus sekolah. Kamu mau pergi liburan?”
Kali ini Lu Siyan yang merasa frustasi. “Pesawat… pesawat kalian nggak tahu, ya?”
Dia menatap langit dan menghela napas panjang. “Papa Mama yang muda ini bodoh banget ya! Maksudku digendong dan diayun ke atas! Itu lho, naik pesawat gaya aku!”
Itu memang “ritual wajib” setiap kali diantar ke sekolah atau dijemput pulang~
Barulah mereka paham. Mereka saling pandang, lalu bersiap, mengangkat tubuh Lu Siyan yang melompat dengan riang, “terbang” melintasi beberapa batu di jalan.
“Seru, seru! Lagi dong~”
Jiang Ruoqiao: “…………”
Walau kehabisan kata-kata, dia tak sadar senyumnya mengembang begitu cerah.
Mungkin inilah yang disebut momen paling bahagia bagi anak kecil.
Diantar oleh Papa Mama ke sekolah, digandeng tangan, dan bercerita tentang apa yang terjadi di taman kanak-kanak.
Begitu Lu Siyan masuk ke taman kanak-kanak, Lu Yicheng dan Jiang Ruoqiao berpisah karena masing-masing ada urusan.
Urusan Jiang Ruoqiao adalah mencari tahu tentang mimpinya.
Dia masih ingat detail bangunan dalam mimpinya. Dengan rasa penasaran, dia coba cari info di internet. Tak disangka, ada netizen baik hati yang memberikan lokasi. Tempat itu berada di dekat kawasan teknologi—tidak terlalu terpencil, tapi juga bukan daerah paling ramai. Tidak ada mall besar, dan agak jauh dari stasiun metro.
Tapi dia tetap pergi.
Dan ketika sampai di kedai kopi itu—ia tertegun.
Persis seperti dalam mimpi. Satu-satunya perbedaan hanyalah, dalam mimpi tempat itu tampak tua, sementara yang sekarang terlihat baru direnovasi, dengan karangan bunga ucapan selamat di depan pintu.
Ia mencoba berdiri di sudut yang sama seperti dalam mimpi, menengadah.
Sama persis. Hanya saja dalam mimpi, itu hari hujan lebat—sekarang, hari cerah.
Jiang Ruoqiao makin yakin: itu bukan sekadar mimpi. Itu adalah bagian dari novel asli, hanya saja tidak dituliskan.
Kalau dia tidak “sadar”, kalau Lu Siyan tidak datang, semua pasti akan terjadi seperti alur aslinya.
Untuk pertama kalinya, Jiang Ruoqiao merasakan sensasi antara mimpi dan kenyataan yang kabur.
Sebenarnya mana yang nyata? Apa yang ia alami sekarang adalah kenyataan? Atau mimpi? Apakah dia benar-benar sudah mengubah takdirnya?
Saat ia sedang berpikir, seperti ada firasat, ia menoleh ke arah lain—dan terdiam.
Tak jauh darinya, seseorang berjalan ke arahnya.
Sama seperti di dalam mimpi.
Dalam mimpi, Lu Yicheng membawa payung dan berjalan ke arah Jiang Ruoqiao dengan langkah tegas.
Dalam kenyataan, Lu Yicheng berjalan di bawah terik matahari dengan langkah mantap, tanpa ragu sedikit pun.
Jiang Ruoqiao terpaku menatapnya.
Lu Yicheng juga kaget. Saat ini dia sedang kerja paruh waktu di perusahaan Li Ge. Posisinya cukup spesial, jadi atasannya menitipkan beberapa materi pelatihan ke senior yang kebetulan kerja di pabrik besar dekat situ. Setelah ambil dokumen dan naik bus untuk pulang, di perjalanan ia melihat Jiang Ruoqiao. Awalnya dikira salah lihat. Tapi saat bus berhenti di halte berikutnya, ia memutuskan turun, lalu setengah berlari ke arah itu—dan benar saja, itu memang dia.
Kenapa dia bisa ada di sini?
Lu Yicheng berjalan mendekat. Di bawah terik matahari, keningnya basah oleh keringat, tapi ia tetap tersenyum lembut dan bertanya:
“Panas begini, kenapa kamu di sini?”
— 🎐Read only on blog/wattpad: onlytodaytales🎐—
Bab 63
Jiang Ruo Qiao masih saja terpaku menatap Lu Yicheng.
Tatapan begitu fokus dari Jiang Ruo Qiao membuat telapak tangan Lu Yicheng mulai berkeringat, bahkan telinganya sedikit memerah. Namun, ia tetap sabar menunggu jawabannya.
Ia memang cukup terkejut. Matahari sebesar ini, dengan kepribadian Jiang Ruo Qiao, ia jelas tidak akan suka berada di luar ruangan.
Lalu, apa yang membuatnya berada di sini?
Jiang Ruo Qiao akhirnya sadar dan buru-buru menjawab, “Oh, aku ada urusan di sekitar sini. Kamu sendiri, kenapa di sini?”
Nada bicaranya sedikit gugup.
Benar-benar aneh. Dia datang ke tempat ini, dan Lu Yicheng juga ada di sini, sama persis seperti dalam mimpinya. Meski kata-katanya berbeda, tapi nada suaranya sama lembutnya.
“Aku?” Lu Yicheng tertawa, “Aku kerja paruh waktu di perusahaan milik kakak tingkat. Posisi kerjanya agak rumit, banyak yang harus dipelajari. Kakak tingkat itu punya kenalan senior yang kebetulan punya data yang aku butuhkan. Nah, orang itu kantornya di sekitar sini.”
Jiang Ruo Qiao mengangguk. Ya juga, di sini memang ada sebuah perusahaan besar.
Lu Yicheng melihat jamnya. “Kamu langsung pulang ke kampus? Kalau nggak buru-buru, kita bisa makan dulu.”
Nada bicaranya terdengar santai, tapi sebenarnya dia juga sedang gugup. Kenapa gugup, dia sendiri juga tak tahu pasti.
Jiang Ruo Qiao hanya menjawab, “Oh.”
Lu Yicheng berpikir: Itu artinya dia setuju, kan?
Mereka berdua tidak terlalu familiar dengan area ini. Meskipun banyak pekerja kantoran, hampir semua perusahaan di sini punya kantin sendiri, jadi restoran di sekitar sini tidak punya banyak pelanggan. Jiang Ruo Qiao berjalan di bawah terik matahari dengan payung sambil mengikuti Lu Yicheng. Setelah hampir satu kilometer, ketika dia hampir frustrasi dan ingin memesan taksi, akhirnya mereka menemukan tempat makan.
Tapi...
Jiang Ruo Qiao berdiri di depan beberapa warung kecil, tampak ragu.
Lu Yicheng bertanya hati-hati, “Kamu mau makan di mana?”
Dia mengikuti petunjuk dari aplikasi peta.
Tapi ternyata restoran hotpot yang dituju hari ini tutup.
Yang tersisa hanya warung makan seperti Sha County fast food, masakan rumahan porsi kecil, dan mie Lanzhou.
Lu Yicheng menggaruk kepala, agak canggung, dan menawarkan, “Gimana kalau kita cari tempat lain? Pasti ketemu cepat kok.”
Dia sangat gugup.
Gugupnya hampir selevel dengan saat ujian masuk universitas.
Dia takut Jiang Ruo Qiao akan marah. Dari penampilannya saja, kelihatan dia bukan tipe yang suka tempat seperti ini. Tapi ini bukan salahnya. Tadi memang dia ingin ke restoran hotpot, tapi malah tutup.
“Cepat??” Jiang Ruo Qiao juga punya emosi. “Kamu maksudnya jalan lagi dua puluh menit di bawah matahari? Lu Yicheng!!”
Lu Yicheng cepat-cepat minta maaf, “Maaf, maaf, ini salahku.”
Melihat dia begitu cepat dan tulus mengakui kesalahan, Jiang Ruo Qiao malah jadi tak punya tenaga untuk marah. Dia melambai lesu, “Sudahlah, kamu juga nggak salah.”
Lu Yicheng bertanya, “Jadi?”
Jiang Ruo Qiao menjawab, “Kita pilih tempat makan terdekat saja.”
Dia berhenti sejenak dan menambahkan dengan tegas, “Jaraknya tidak boleh lebih dari seratus meter.”
Lu Yicheng mencatat dalam hati: lain kali jangan ajak dia jalan terlalu jauh, dan pastikan dulu restoran yang dituju buka atau tidak.
Ingat itu, Lu Yicheng.
Akhirnya, mereka masuk ke warung masakan porsi kecil.
Tidak terlalu ramai. Jiang Ruo Qiao jelas tidak tertarik memilih menu, jadi dia langsung duduk, dan menyerahkan urusan pesan makanan ke Lu Yicheng. Kalau sendirian, dia paling-paling hanya ambil satu lauk daging dan satu sayur. Tapi sekarang mereka berdua, dan apalagi bersama Jiang Ruo Qiao… Lu Yicheng pun memilih lauk-lauk paling mahal.
Ketika pelayan datang membawa enam atau tujuh mangkuk kecil, Jiang Ruo Qiao terpana, “Kita bisa habiskan semua ini?”
Lu Yicheng menjawab, “Sepertinya… bisa.”
Jiang Ruo Qiao jadi bersemangat, tersenyum dengan lesung pipi muncul, dan menggoda, “Lu Yicheng, mana prinsip ‘value for money’-mu?”
Bukankah dia selalu bicara soal efisiensi dan harga? Biasanya dia pasti hanya ambil empat menu paling banyak. Kenapa sekarang jadi pesan enam sampai tujuh?
Lu Yicheng tahu sedang digoda, tapi tetap berusaha terlihat serius. “Menurutku, makan siang dengan masakan porsi kecil sudah sangat value for money.”
Jiang Ruo Qiao terdiam.
Memang benar juga.
Enam tujuh lauk, totalnya pasti tidak sampai seratus yuan.
Lauk daging memang agak mahal, tapi yang paling mahal pun tak sampai dua puluh yuan.
Sayuran malah jauh lebih murah.
Lu Yicheng melihat Jiang Ruo Qiao diam saja, diam-diam merenung—apa mungkin setiap kali dia ajak makan tempatnya terlalu murah?
Sebelumnya ajak ke kios pangsit, sekarang ke warung porsi kecil. Kalau dihitung-hitung, makan paling mewah malah saat dia masak sendiri di rumah...
Tapi memang warung ini murah meriah dan rasanya enak. Jiang Ruo Qiao tidak makan banyak, hanya satu mangkuk nasi. Sisanya semua dihabiskan oleh Lu Yicheng.
……
Setelah makan, mereka kembali ke kampus bersama.
Jiang Ruo Qiao harus melihat data pelanggan dan membuat rencana kunjungan A University. Lu Yicheng ada kelas siang.
Saat Lu Yicheng masuk kelas, Jiang Yan dan yang lain sudah duduk.
Suasana langsung jadi agak canggung.
Semua orang saling lirik dan bertukar pandang. Setelah dua hari, siapa yang tidak tahu bahwa Lu Yicheng sedang mendekati Jiang Ruo Qiao? Siapa yang tidak tahu Jiang Ruo Qiao baru saja putus dari Jiang Yan? Hubungan mereka jelas tidak bisa seperti dulu.
Dulu, mereka berempat sekamar dan selalu duduk bareng.
Du Yu bahkan sudah otomatis menyimpan kursi untuk Lu Yicheng, tapi begitu melihat Jiang Yan duduk di belakang, dia langsung tutup mulut.
Lu Yicheng pun tahu diri, tidak duduk di sana. Dia mencari tempat kosong dan duduk dengan tenang, mengeluarkan buku dan catatan dari tasnya.
Jiang Yan tetap tanpa ekspresi, memutar-mutar pena. Setiap kali pena jatuh ke meja, jantung Du Yu ikut berdebar.
Bukan hanya Du Yu, teman-teman lain juga waswas, takut keduanya bakal bertengkar.
Tapi Lu Yicheng tampak sama sekali tidak terpengaruh.
Akhirnya, Du Yu tak tahan lagi. Karena Jiang Yan terlalu mengganggu dengan suara penanya, dia pun “berkorban”, membawa buku dan tas ke sisi Lu Yicheng dan duduk di sebelahnya.
Penonton: “……”
Wang Jianfeng: “……”
Astaga, dia telat satu langkah!
Ini bukan soal berpihak sebenarnya. Du Yu dan Wang Jianfeng sudah sepakat, mereka tidak akan memihak siapa pun dalam masalah ini. Alasan Du Yu pindah duduk karena dosen mata kuliah ini sering tunjuk orang menjawab pertanyaan.
Kalau ada Lu Yicheng, mereka merasa lebih aman.
Setelah Du Yu duduk, Wang Jianfeng jadi tak bisa pindah, takut dikira ikut-ikutan mengisolasi Jiang Yan. Padahal baik Lu Yicheng maupun Jiang Yan, dua-duanya teman mereka. Mereka tak ingin menjauhkan siapa pun.
Cuma belakangan ini Jiang Yan memang agak susah didekati.
Wajahnya selalu dingin, bikin orang bingung mau ngobrol apa.
Sebaliknya, Lu Yicheng tetap seperti biasa.
Begitu dosen masuk, langsung merasa ada suasana berbeda, dan berkata dengan bahagia, “Sudah tahun ketiga ya, kalian semakin dewasa. Nggak ada yang main HP, nggak ada yang tidur, nggak ada yang ngobrol. Bagus sekali, terus dipertahankan, ya. Saya sangat senang.”
Mahasiswa: “……”
Bukan, Pak. Anda salah paham.
Kami tetap seperti biasanya.
Hanya saja, sekarang kami sedang nonton drama kehidupan nyata!
Di media sosial Jiang Ruo Qiao, banyak yang mengikuti.
Ada penggemar yang bertanya:
【Kak, bukannya kamu bilang mau upload video tentang saling tukar kado sama pacar? Aku masih nungguin, lho. Mau jadi referensi juga, soalnya Natal sebentar lagi~】
Jiang Ruo Qiao memang pernah mengisyaratkan akan unggah video semacam itu.
Waktu itu dia sengaja bicara begitu, karena memang sudah merencanakan video itu bersama mantannya.
Ia pun membalas komentar itu dengan hati-hati:
【Maaf ya, videonya belum sempat diedit, eh sudah keburu putus TAT】
Langsung banyak yang menyadari dan bertanya:
【Kenapa putus?? Gimana ceritanya?】
Jiang Ruo Qiao membaca komentar-komentar itu dan tersenyum.
Dia tidak akan membicarakan hal buruk tentang Jiang Yan.
Kalau pun harus marah, cukup di dalam hati. Tidak perlu disampaikan ke publik.
Pertama, mereka pernah menjalin hubungan, pernah saling mencintai. Tidak perlu saling menyalahkan setelah putus, apalagi mereka putus baik-baik.
Kedua, ini menyangkut citra publiknya. Dengan bersikap tenang dan tidak menjelekkan siapa pun, di masa depan, jika pihak sana mencoba mencoreng namanya, maka publik akan bisa menilai siapa yang lebih baik.
Ia membalas komentar itu dengan nada santai:
【Mungkin karena dia suka bubur tahu asin, dan aku suka bubur tahu manis? Hahaha, becanda kok. Dia orang baik, kita punya banyak kenangan indah, tapi kadang dalam hubungan, bersama itu bahagia, tapi berpisah justru lebih bahagia. Demi kebaikan bersama, kami memilih kembali menjadi orang asing.】
Dan ini langsung menarik perhatian banyak penggemarnya.
Di sebuah asrama kampus.
Meng Siyu berkata dengan marah, “Xiao Qiao putus. Aku tadi tanya temanku di A University, suruh cek forum kampus. Katanya si cowok ada masalah perilaku! Xiao Qiao baik banget, nggak bilang satu kata pun yang jelek tentang si brengsek itu!”
Lin Kexin yang mendengar merasa sangat tidak nyaman.
Sejak hari itu, Jiang Yan hanya dua kali kembali ke apartemen, lalu beberapa hari lalu membawa barang-barangnya dan pergi dari Mingmen Huafu.
Selama waktu itu, dia tidak menghubunginya, bahkan satu pesan pun tidak.
“Bisa nggak kita lihat foto cowoknya?”
“Brengsek banget sih, gimana sih orang kayak gitu bisa nyakitin cewek seperti Xiao Qiao? Kalau aku cewek, aku juga suka sama dia. Kok dia malah nggak tahu menghargai? Matanya ketutup kotoran sapi ya?”
Mendengar orang lain mengutuk Jiang Yan, Lin Kexin menarik napas dalam-dalam, tak tahan lagi, lalu berkata dingin, “Kamu tahu apa? Kamu kenal mereka? Kamu bahkan nggak kenal, kenapa asal bicara?”
Tiga teman sekamarnya langsung terdiam.
Eh………
Seketika suasana jadi aneh.
Lin Kexin melirik mereka dan keluar dari asrama.
“Dia maksudnya apa, sih?!”
“Aku kan nggak ngomongin dia, kenapa dia sewot?!”
Keesokan harinya, Jiang Ruo Qiao bertemu dengan klien dari luar negeri.
Sesuai dengan yang tertulis di data, klien tersebut adalah seorang ibu yang tampak baik dan ramah.
Perkiraan umur lima puluh tahunan.
Namanya adalah Merry. Ia bercanda bahwa namanya Merry karena dia orang yang ceria, dan suaminya bermarga Mei (梅).
Merry bahkan memberikan Jiang Ruo Qiao sebuah parfum sebagai hadiah pertemuan pertama.
Bagi Merry, kunjungannya kali ini adalah untuk memenuhi harapan terakhir suaminya. Ia ingin melihat tempat-tempat yang pernah dikunjungi sang suami. Bahkan, bertahun-tahun yang lalu mereka berdua pernah datang ke A University.
Jiang Ruo Qiao telah mempersiapkan jadwal yang padat, mengajak Merry berkeliling kampus sambil memperkenalkan berbagai tempat dengan Bahasa Inggris yang fasih. Dia cukup gugup dan bersemangat, untungnya Merry sangat ramah.
Saat mereka sedang berjalan di jalan kecil kampus, mereka bertemu Lu Yicheng.
Lu Yicheng sedang mendorong sepedanya, berdiri tidak jauh dari sana.
Dia sepertinya hanya kebetulan lewat, dan awalnya ingin menyapa, tapi begitu melihat wanita di samping Jiang Ruo Qiao, dia ragu.
Dia ingat, Jiang Ruo Qiao bilang bahwa dia sibuk beberapa hari ini karena mengurus klien dari luar negeri.
Maka, dia merasa tidak sepatutnya mengganggu.
Dia tidak mendekat, Jiang Ruo Qiao pun tidak mungkin meninggalkan Merry hanya untuk menyapanya.
Dia terus memperkenalkan arsitektur kampus kepada Merry, sambil menjelaskan berbagai cerita di baliknya. Karena masih pagi, suasana kampus sepi. Lu Yicheng masih bisa mendengar sepenggal-sepenggal penjelasan Jiang Ruo Qiao.
Dia sempat tertegun. Dalam cahaya pagi, sinar matahari menembus pepohonan dan menyinari tubuh Jiang Ruo Qiao. Dia mengenakan gaun putih sederhana yang pas potongannya, berbicara dengan lancar dan percaya diri. Bahasa Inggrisnya sangat fasih, membuat siapa pun melirik.
Ini adalah sisi Jiang Ruo Qiao yang belum pernah Lu Yicheng lihat.
Dia memancarkan semangat hidup, semangat seorang mahasiswi berusia dua puluhan.
Pada saat yang sama, juga memancarkan rasa percaya diri yang luar biasa.
Seperti cahaya yang menyilaukan.
Jiang Ruo Qiao masih memperkenalkan tempat.
Tiba-tiba, Merry tertarik dan berkata, “Qiao, lihat, ada seorang pemuda yang sedang menatapmu.”
Jiang Ruo Qiao: “……”
Merry tertawa geli, “Lihat matanya yang dalam itu, lihat tatapan matanya—aku berani jamin, dia sedang melihatmu.”
Baru saat itu Jiang Ruo Qiao menoleh dengan malu-malu ke arah Lu Yicheng.
Lu Yicheng melihat mereka berdua menoleh, segera mengalihkan pandangan dan bersiap pergi.
Merry tertawa, “Dia malu, anak laki-laki yang polos.”
Jiang Ruo Qiao tidak tahan, akhirnya tertawa pelan.
Lucu rasanya. Mendengar orang lain menyebut Lu Yicheng sebagai “anak laki-laki yang polos”, dalam bahasa Mandarin masih wajar, tapi begitu disebut “boy” dalam bahasa Inggris, rasanya geli sendiri.
Lu Yicheng mendengar tawa itu, makin gugup, mendorong sepeda hendak pergi. Tapi sebelum benar-benar pergi, dia masih sempat menundukkan kepala memberi salam kecil, lalu buru-buru kabur.
— 🎐Read only on blog/wattpad: onlytodaytales🎐—
Bab 64
Lu Yicheng mengayuh sepeda menjauh.
Pagi bulan September belum terlalu panas. Mengayuh sepeda di jalanan kampus, suasana hati Lu Yicheng pun jarang-jarang terasa ringan seperti ini.
Kenapa bisa merasa ringan, dia sendiri juga tidak tahu alasannya.
Setelah memarkir sepeda sewaan di deretan dekat gedung perkuliahan, dia berjalan ke arah ruang multimedia. Orang semakin ramai. Universitas A juga termasuk salah satu tempat populer yang sering dikunjungi wisatawan saat datang ke Kota Jing. Hari ini dia ada kelas pilihan, dan baru saja duduk di bangku, sudah terdengar beberapa mahasiswi di belakang yang sedang membicarakan acara penyambutan mahasiswa baru.
"Tahun ini yang jadi MC mahasiswa semester dua. Kemarin aku lihat Tang Jiaxi dari jurusan media cari Jiang Ruoqiao, katanya sih mau tanya-tanya soal pengalaman."
"Wow, anak semester dua udah berani jadi MC sekarang. Belum lama ini aku lihat ada postingan di forum kampus, katanya Tang Jiaxi baru pantas disebut kampus belle... Jujur aja, Tang Jiaxi memang cantik, tapi menurutku tetap ada yang kurang dibanding Jiang Ruoqiao. Nggak tahu apa. Yang pasti, banyak yang nggak setuju sama postingan itu."
"Mungkin karena nggak punya aura pintar kayak Jiang Ruoqiao… Hahaha, menurutku sih Jiang Ruoqiao itu punya nuansa akademik, cocok sama selera kita. Aku kira mereka berdua nggak akur, ternyata Tang Jiaxi nyari Jiang Ruoqiao juga."
"Jiang Ruoqiao tahun lalu jadi MC di acara penyambutan mahasiswa baru, pembawaannya keren banget. Aku masih ingat ada yang unggah cuplikannya ke Weibo, banyak juga yang retweet. Tang Jiaxi mungkin memang mau belajar dari dia. Aku lihat mereka barengan minum bubble tea, kelihatannya sih akur-akur aja."
Biasanya hal-hal semacam ini nggak pernah masuk ke telinga Lu Yicheng.
Dia biasanya langsung masuk ke mode "hanya baca buku orang bijak" begitu masuk kelas.
Tapi hari ini, dia malah menyimak dengan cukup serius.
Acara penyambutan tahun lalu, dia sempat diajak temannya buat nonton.
Tentu saja dia melihatnya — melihat Jiang Ruoqiao. Dia masih ingat senyum di wajahnya saat berjalan ke arah lain, dan pita warna-warni yang menempel di rambutnya.
Setelah kelas usai dan orang-orang makin sedikit, entah kenapa, Lu Yicheng membuka ponselnya dan mencari rekaman acara penyambutan mahasiswa baru tahun lalu di Universitas A. Meski hanya setahun yang lalu, hasil pencarian memunculkan banyak video pendek. Dia menontonnya satu per satu, yang paling panjang pun tak lebih dari lima menit.
Melihat video-video itu, ingatannya tentang hari itu semakin jelas.
Ternyata saat itu dia memakai gaun ungu muda.
Di atas panggung, Jiang Ruoqiao sama sekali tidak gugup. Ia tampil percaya diri, tidak takut berbicara di depan banyak orang, kerja samanya dengan MC pria sangat mengalir. Ia menunjukkan sisi yang humoris sekaligus elegan dan percaya diri — semuanya memancarkan bakat yang unik milik Jiang Ruoqiao.
Bagi Lu Yicheng, jika dia menyukai seseorang, maka orang itu pasti bersinar terang dalam suatu hal hingga menarik perhatiannya.
Dua puluh tahun hidupnya terlalu sibuk dan fokus pada dunianya sendiri.
Kalau bukan karena seseorang yang begitu mencolok, dia tak akan pernah mengangkat kepala untuk melihat.
Ketertarikannya pada seseorang selalu dimulai dari rasa kagum.
Jiang Ruoqiao awalnya menarik perhatian Lu Yicheng karena sikap dan kemampuan luar biasanya dalam menangani insiden dengan Si Yan.
Meski menghadapi tekanan, ia bisa dengan cepat menerima kenyataan dan bertanggung jawab atas bagiannya.
Setelah itu, semakin dia mengenalnya, dia makin tertarik — bukan sebagai pacar Jiang Yan, tapi sebagai dirinya sendiri. Seperti kerja kerasnya, kesungguhannya dalam bekerja, keahlian profesionalnya, juga kepercayaan dirinya dan sinar dalam dirinya sendiri. Inilah Jiang Ruoqiao. Bukan milik siapa pun.
Jiang Ruoqiao mengatur jadwalnya dengan sangat rapi.
Menjelang siang, dia membawa Melly ke kantin. Awalnya dia ragu, apakah harus membawanya ke kantin internasional yang agak jauh, tapi kemudian berpikir: kalau Melly sudah datang sejauh ini, tentu dia ingin mencoba makanan lokal. Dia sudah berdiskusi dengan asisten Melly sebelumnya mengenai pantangan makanan — karena banyak orang asing memang agak susah cocok dengan makanan lokal, seperti mahasiswa asing yang pernah dia temui sebelumnya yang tak bisa memahami kenapa orang lokal suka makan ceker ayam.
Makan siang kali ini cukup sederhana, sudah disesuaikan dengan selera Melly.
Ternyata Melly sangat menyukai masakan Tiongkok. Yang mengejutkan, Melly berkata, "Ini mungkin takdir? Dulu suami saya juga pernah membawa saya ke sini, dan memesan mie yang sama."
Jiang Ruoqiao tersenyum, "Nggak tahu sih autentik atau nggaknya, tapi saya dengar suami Anda berasal dari Shanghai. Teman saya dari sana juga paling suka makan mie di kantin ini."
Dia memang sudah mempersiapkan semuanya dengan matang untuk jadwal kali ini.
Makan siang berjalan sangat menyenangkan bagi Melly.
Yang tak disangka, saat mereka keluar dari kantin, mereka bertemu dengan salah satu pemimpin kampus.
Yang mengejutkan lagi, pemimpin kampus itu mengenal Melly. Setelah ngobrol, Jiang Ruoqiao baru tahu bahwa mendiang suami Melly dulu sering mendonasikan dana ke kampus sebagai bentuk penghargaan terhadap almamaternya, jadi tak heran jika pemimpin itu mengenalnya.
Setelah tahu maksud kedatangannya, Melly memperkenalkan Jiang Ruoqiao sambil tersenyum ramah, "Ini Qiao, mahasiswamu juga. Dia penerjemah dan pemandu saya selama di sini. Gadis yang sangat cerdas dan hebat."
Pemimpin kampus itu melihat Jiang Ruoqiao dan bertanya dengan ramah, "Sudah lulus?"
Jiang Ruoqiao menggeleng, "Belum. Sekarang masih kuliah semester lima. Karena jadwal kuliah tak padat, saya ambil kerja paruh waktu untuk melatih kemampuan bahasa dan persiapan ujian sertifikasi."
Tentu saja itu versi resmi untuk pemimpin kampus.
Alasan sebenarnya adalah untuk meningkatkan kemampuan, bukan karena uang.
Pihak kampus juga tidak melarang mahasiswa untuk kerja paruh waktu, apalagi bagi mereka yang punya kondisi ekonomi khusus dan butuh biaya tambahan.
Pemimpin itu mengangguk, tampak berpikir, "Kamu dari jurusan apa?"
Jiang Ruoqiao langsung menjawab nama jurusan dan program studinya. Dia gugup sampai telapak tangannya berkeringat. Kebanyakan mahasiswa jarang berbicara langsung dengan pemimpin kampus. Meski dia ikut organisasi kampus, jarang bersentuhan dengan petinggi kampus. Jadi rasa gugup bercampur dengan antusiasme.
Tampaknya Jiang Ruoqiao dari jurusan bahasa asing meninggalkan kesan baik di mata pemimpin kampus.
Setelah pemimpin itu pergi, Melly tersenyum, "Qiao, dia itu teman dekat suamiku dulu. Waktu suamiku ke luar negeri, dia tetap tinggal dan mengajar di kampus. Orang yang sangat baik."
Jiang Ruoqiao memang pernah mendengar reputasi baik pemimpin kampus itu.
Benar-benar orang baik, bahkan ada beberapa siswa yang ia bantu hingga bisa kuliah di Universitas A.
Hari itu berlalu dengan cepat. Meski Melly masih ingin berkeliling, kondisi kesehatannya membuatnya harus kembali ke hotel sekitar pukul empat sore. Asistennya datang menjemput, sekaligus berdiskusi dengan Jiang Ruoqiao soal jadwal besok. Besok Melly akan bertemu temannya, dan Jiang Ruoqiao bersama asistennya akan bertemu perwakilan bagian amal dari Lin Jewelry. Melly mengerti sedikit bahasa Mandarin, tapi asistennya benar-benar tidak bisa. Jadi peran Jiang Ruoqiao sebagai penerjemah sangat penting.
Jiang Ruoqiao pulang ke asrama dalam keadaan super lelah.
Teman sekamarnya tidak ada, sedang sibuk dengan acara organisasi. Jiang Ruoqiao mandi lalu berbaring di tempat tidur, tak ingin bergerak sedikit pun. Tapi dia masih ingat harus mengerjakan tugas untuk Lu Siyan agar mendapat poin bunga merah. Belum sampai setengah jam mengerjakan tugas, dia sudah menerima pesan singkat dari Lu Yicheng.
Mereka sudah bertukar kontak WeChat, tapi jika ada hal penting, Lu Yicheng tetap lebih suka SMS.
Lu Yicheng: “Sudah selesai kerja?”
Jiang Ruoqiao malas mengetik, langsung menelponnya.
Dia meringkuk di atas tempat tidur. Telepon langsung diangkat. Suara jernih khas Lu Yicheng langsung terdengar, “Halo, kamu lagi bisa bicara?”
Jiang Ruoqiao tertawa kecil.
Di sisi lain, Lu Yicheng memegang ponsel di telinga, mendengar suara tawanya yang lembut dan sedikit malas, entah kenapa, rasanya seperti membawa kehangatan yang menyengat ke telinganya.
Lu Yicheng menunduk, telinganya sedikit memerah.
“Lu Yicheng, ini aku yang telepon kamu. Menurut kamu, aku bisa bicara atau nggak?” pikir Jiang Ruoqiao dalam hati, Dasar bodoh, udah nggak ada obat.
Lu Yicheng terdiam beberapa detik.
“Jadi, kamu telepon ada apa? Aku udah kelar kerja.”
Barulah Lu Yicheng berkata, “Jam enam nanti aku harus ke kantor, ada urusan yang harus diselesaikan. Kalau kamu ada waktu, bisa nggak datang jaga Siyan?”
Soal pengasuh belum ada perkembangan.
Bukan cuma Jiang Ruoqiao yang rewel, bahkan Lu Yicheng sendiri pun belum puas dengan kandidat yang ditawarkan agen.
Jadi, sementara ini, masalah itu ditunda dulu.
Jiang Ruoqiao sebenarnya sama sekali tak ingin bergerak.
Ingin rebahan selamanya, tapi…
Anak kecil tetaplah anak kecil!
Akhirnya dia paham curhatan para senior yang sudah menikah dan punya anak di media sosial: “Asal dunia belum kiamat, tetap harus bangun urus anak!”
Untungnya, Siyan sudah lima tahun, Jiang Ruoqiao menghibur diri.
“Oke.” Jiang Ruoqiao melirik jam, “Aku akan usahakan sampai sebelum jam enam.”
Lu Yicheng mengangguk, sebelum menutup telepon, bertanya lagi, “Kamu sudah makan malam?”
Jiang Ruoqiao tertawa, “Baru jam lima sepuluh, siapa juga yang makan secepat itu.”
Setelah mengucapkan itu, dia sadar maksud pertanyaan Lu Yicheng, langsung menambahkan, “Tapi kamu nggak perlu siapkan makanan buat aku. Aku ada jadwal syuting pertengahan bulan, sekarang harus mulai jaga makan.”
Lu Yicheng sangat perhatian soal makanan Siyan.
Setiap malam, dia akan melaporkan apa saja yang dimasak, biar Jiang Ruoqiao tahu Siyan makan apa.
Sangat bertanggung jawab.
Setiap kali melihat laporan menu plus foto — karena sebagai orang akademis, Lu Yicheng percaya pada prinsip “tidak ada bukti = tidak sahih” — Jiang Ruoqiao cuma bisa: "………"
Kenapa sih harus kirim foto makanan menggoda begitu?!
Lu Yicheng mendengar penjelasannya, ragu sejenak, lalu bertanya, “Masih ada waktu, bagaimana kalau aku siapkan salad sayur buat kamu?”
Menurut Lu Yicheng, dia memang harus bertanggung jawab atas makan malam Jiang Ruoqiao juga.
Dia tahu, Jiang Ruoqiao sudah bekerja keras seharian. Idealnya, dia tak boleh diganggu. Tapi situasinya khusus. Dia harus ke perusahaan Li-ge, dan itu bukan urusan sebentar. Meninggalkan Siyan sendirian di rumah beberapa jam membuatnya tidak tenang — apalagi Siyan terus merengek ingin bertemu “Mama”.
Jiang Ruoqiao berpikir: Salad sayur?
Dia sempat ragu.
Seolah bisa membaca pikirannya, Lu Yicheng menambahkan, “Tenang saja, aku nggak akan pakai sayuran berdaun. Hanya timun, tomat ceri, wortel, dan udang. Gimana?”
— 🎐Read only on blog/wattpad: onlytodaytales🎐—
Bab 65
Sekitar pukul lima sore, matahari belum tenggelam, di luar masih sangat terik.
Jiang Ruoqiao tanpa mengeluh mengoleskan banyak tabir surya dan membawa payung keluar rumah.
Setiap hari dia selalu merasa perlu menghela napas: demi anak, semua dilakukan dengan sukarela.
Dari Universitas A menuju rumah kontrakan Lu Yicheng, dengan kecepatannya, berjalan kaki butuh sekitar sepuluh menit.
Saat Jiang Ruoqiao sedang berjalan ke sana, Lu Yicheng juga sedang sibuk di rumah. Ia sudah menyiapkan makan malam untuk Lu Siyuan, dan sekarang sedang membuat salad sayuran khusus untuk Jiang Ruoqiao. Saat ia sadar kehabisan saus salad di rumah, ia segera berlari ke toko kecil di luar kompleks perumahan dan dengan teliti memilih satu botol saus salad. Setelah kembali, ia merasa ada yang terlewat. Ketika mengusap keringat di dahinya, ia baru teringat—sekarang awal September, cuacanya masih sangat panas. Entah Jiang datang dengan jalan kaki atau naik sepeda, pasti dia akan kepanasan.
Lu Yicheng berpikir sejenak, lalu kembali ke ruang tamu, menutup pintu balkon dan dua kamar tidur, lalu mengambil remote AC dari lemari atas dan menyalakan AC model berdiri di ruang tamu.
Lu Siyuan yang duduk di sofa awalnya berkeringat deras, begitu melihat tindakan ayahnya, belum sempat senang, sudah sadar inti masalahnya, lalu berkata dengan cemberut, “Aku kepanasan, Papa tidak peduli, tidak mau nyalakan AC. Tapi Mama mau datang, Papa takut Mama kepanasan, takut Mama marah, langsung nyalain AC.”
“Yang ini…” Lu Yicheng juga punya alasan kuat, “Kamu jangan bilang Papa pelit. Tiap malam tidur kita pakai AC, kan?”
Ia menambahkan, “Soalnya kalian di taman kanak-kanak sudah seharian di ruang ber-AC. Kalau pulang ke rumah masih terus-terusan di AC, malah nggak bagus, bisa kena penyakit karena AC.”
Tapi Lu Siyuan membalas tajam, “Tapi sekarang Papa nyalain AC.”
Lu Yicheng dengan wajah serius menjawab, “Makanya, kamu pengen Mama kepanasan waktu datang? Dia kerja seharian, pasti lelah, harusnya bisa istirahat dengan nyaman.”
Begitu mendengar Mama-nya lelah, tentu saja Lu Siyuan tidak berani protes lagi.
“Jangan ganggu dia hari ini,” tambah Lu Yicheng, “Biar dia bisa istirahat lebih banyak.”
Lu Siyuan tidak terima dan bergumam, “Nggak ada yang lebih sayang Mama selain aku~”
“Bagus kalau begitu.” Lu Yicheng kembali ke dapur, tentu saja menutup pintu dapur juga, supaya ruang tamu cepat dingin.
……
Saat Jiang Ruoqiao sampai, memang benar dia kepanasan.
Tapi begitu masuk rumah, langsung terasa sejuk, dia langsung berpikir: hidupku diselamatkan oleh AC.
Untung saja, Lu Yicheng tidak pelit dalam hal seperti ini, langsung nyalakan AC tanpa basa-basi.
Lu Yicheng sudah menyiapkan salad sayur untuknya.
Dibilang salad sayur, tapi tidak kelihatan ada sayuran berdaun—Jiang Ruoqiao senang akan hal itu. Tapi… beberapa saus salad memang tinggi kalori!
Lu Yicheng tampaknya menangkap kebimbangannya, dengan senyum lembut di matanya ia menjelaskan, “Toko di luar kompleks agak kecil, merek saus salad nggak banyak, aku pilih yang kalorinya paling rendah.”
Jiang Ruoqiao menatapnya heran, “Kok kamu tahu aku mikirin soal itu?”
Lu Yicheng berpikir sejenak, “Mungkin karena kamu sering khawatir soal kalori, jadi aku kebiasaan begitu.”
Jiang Ruoqiao: “……”
Ia menjelaskan, “Aku nggak selalu begini kok. Cuma akhir bulan ini ada jadwal syuting. Bosnya kasih bayaran besar. Setelah kontraknya habis, aku mau mulai pola makan yang lebih sehat.”
Lu Yicheng mengangguk, mengelap tangannya, lalu melihat jam, “Aku pergi dulu ya, bakal usahakan cepat pulang, supaya nggak ganggu kamu balik ke asrama.”
Jiang Ruoqiao menjawab, “Kerjain aja dulu, nggak usah buru-buru.”
Setelah Lu Yicheng pergi, tinggal Jiang Ruoqiao dan Lu Siyuan di rumah.
Lu Siyuan sudah makan malam, sekarang duduk di seberang Jiang Ruoqiao, menopang dagu dengan tangan kecilnya, “Mama, enak nggak?”
Jiang Ruoqiao menjawab objektif, “Makanan begini nggak bakal enak-enak amat.”
Dibandingkan dengan BBQ atau hotpot, salad sayur tentu kalah jauh soal rasa.
Tapi Lu Siyuan tetap memandangi salad itu.
Jiang Ruoqiao menusuk satu udang dengan garpu dan menyuapkannya, “Coba deh.”
Lu Siyuan langsung hap, mengunyah… lalu berkata, “Tetap lebih enak udang saus tomat buatan Papa.”
Jiang Ruoqiao cemberut, “Aku juga tahu…”
Setelah makan, meski Lu Yicheng sudah bilang piringnya tinggal taruh di dapur, nanti dia cuci, tapi Jiang Ruoqiao merasa nggak enak, jadi tetap cuci sendiri hingga bersih.
Lu Siyuan sekarang TK kelas besar. Baru-baru ini Jiang Ruoqiao tahu kalau TK juga punya PR rumah.
Tapi tentu saja beda dengan PR anak SD.
Hari ini PR-nya adalah menggambar.
Setelah selesai, orang tua harus foto dan kirim ke grup orang tua murid agar dilihat guru.
Jiang Ruoqiao menemani Lu Siyuan duduk di meja kecil. Di bawah cahaya lampu, bulu matanya panjang dan lentik, ia serius menggambar dengan krayon dan pensil. Goresan anak kecil memang masih lugu, tapi tetap lucu. Jiang Ruoqiao memotret dari berbagai sudut, ingin memotret anaknya sekece mungkin. Setelah dapat puluhan foto, dia malah bingung—biasanya cukup kirim satu foto ke grup, tapi ada tiga yang bagus banget, mana yang harus dipilih??
Bingung.
Awalnya dia ingin kirim ke Lu Yicheng dan minta pendapatnya.
Tapi dia ingat, Lu Yicheng sedang kerja.
Akhirnya, dia pilih sendiri dengan susah payah, lalu ganti ke akun WeChat khusus orang tua, kirim foto ke grup “TK Angin Kencang, kelas besar (3)” dan menandai tiga guru.
Di grup, para orang tua juga sedang kirim foto dan tag guru—itulah bentuk laporan PR.
Setelah PR selesai, Lu Siyuan pun lega.
Dia juga merasa PR tiap hari itu menyebalkan!!
Waktu bersama antara ibu dan anak berjalan nyaman dan hangat. Lu Siyuan hebat, bisa sendiri ke kamar mandi, keramas, mandi, minum susu, lalu gosok gigi. Setelah sikat gigi, dia bangga menunjukkan, “Mama, gigi aku putih nggak?”
Lu Siyuan memang punya kebiasaan baik. Setelah makan camilan atau permen, pasti gosok gigi atau kumur.
Jiang Ruoqiao memuji, “Paling putih sedunia!”
Orang yang bersih, baik besar maupun kecil, memang menambah nilai!
Biasanya sebelum tidur, Lu Siyuan membaca buku. Tapi hari ini dia minta main stiker. Itu adalah buku stiker yang dibeli Jiang Ruoqiao, tapi entah Lu Yicheng taruh di mana. Dia juga nggak tahu, dan nggak mungkin tanya ke anaknya, jadi Jiang Ruoqiao menelpon Lu Yicheng. Telepon cepat diangkat, “Halo?”
Jiang Ruoqiao bertanya, “Buku stiker yang kubeli buat Siyuan, kamu taruh di mana? Dia mau main.”
Lu Yicheng berpikir sejenak, “Di laci kedua ruang kerja.”
Ia memang mengubah salah satu kamar jadi ruang kerja.
Baginya itu perlu, karena dia kerja paruh waktu di perusahaan temannya, dan malam hari harus pakai laptop. Supaya nggak ganggu Lu Siyuan tidur, dia cari rumah yang punya dua kamar.
Jiang Ruoqiao bertanya, “Aku boleh masuk nggak?”
Baginya ruang kerja dan kamar tidur itu area pribadi.
Kamar tidur sih nggak bisa dihindari karena dia harus temani Siyuan tidur.
Tapi ruang kerja… lebih baik minta izin dulu.
Lu Yicheng menjawab, “Tentu boleh.”
Ia menjelaskan, “Di ruang kerja nggak ada apa-apa kok.”
Jiang Ruoqiao tertawa, “Oke.”
Cara ngomongnya lucu juga.
Dia memutar kenop pintu dan masuk ke ruang kerja. Terakhir kali dia masuk sini waktu masih lihat-lihat rumah ditemani agen. Saat ulang tahun juga dia belum sempat masuk. Sekarang begitu lihat, dia sedikit terkejut. Ruang kerja ini sudah diubah Lu Yicheng jadi cukup bagus. Bukan cuma ruang kerja, tapi juga ruang baca untuk anak. Rak buku berbentuk jerapah lucu dipenuhi buku cerita anak, ada yang bahasa Inggris dan ada juga yang Mandarin.
Ada meja kecil, di atasnya ada laptop hitam tertutup, juga lampu meja, dan beberapa buku yang jelas-jelas buku teknis yang dia sendiri tidak mengerti.
Telepon belum dimatikan.
Jiang Ruoqiao membuka laci kedua sesuai petunjuk dan benar saja, buku stikernya ada. Tapi di bawah buku itu ada satu buku catatan.
Dia penasaran, “Di bawah buku stiker ada buku catatan, itu juga buat Siyuan?”
Lu Yicheng terdiam sejenak, lalu jujur menjawab, “Bukan, itu buku catatan keuanganku.”
“Oh?” Ini agak mengejutkan, Jiang Ruoqiao merasa ini seperti stereotip, belum pernah lihat cowok yang bikin buku catatan keuangan. Lalu ia bertanya, “Boleh kulihat?”
Penasaran ingin tahu dia itu hematnya bagaimana.
Lu Yicheng tidak langsung menjawab.
Barulah Jiang Ruoqiao sadar: mungkin dia terlalu lancang.
Benar juga, itu hal pribadi. Dia buru-buru berkata, “Ah maaf, aku cuma asal ngomong. Tenang aja, aku nggak buka kok.”
Lu Yicheng dengan suara lembut menjawab, “Bukan, aku bukan menolak. Cuma bukunya membosankan. Kalau kamu mau lihat, silakan. Bukan hal pribadi juga kok.”
Jiang Ruoqiao menahan tawa, “Oh oh.”
Setelah menutup telepon, dia awalnya ingin taruh kembali buku itu.
Tapi kemudian ragu… lihat dikit deh. Toh dia sudah mengizinkan, kan?
Mungkin bisa dapat inspirasi tentang cara hidup hemat darinya.
Jiang Ruoqiao membawa buku stiker dan buku catatan itu ke kamar.
Lu Siyuan sudah duduk di atas ranjang.
Dia berikan buku stiker, Lu Siyuan langsung bersorak gembira. Buku itu memang pas banget buatnya—dia suka mobil dan ini buku stiker bertema kendaraan.
Sementara itu, Jiang Ruoqiao duduk di kursi dan dengan serius membuka buku catatan itu.
Di halaman kedua tertulis awal mulai mencatatnya.
Tahun lalu.
Awalnya dia pikir buku ini bakal membosankan. Tapi ternyata dia baca dengan antusias.
Seperti tanggal sekian, beli pasta gigi 12 yuan, deterjen 28 yuan.
Beli buku teknis 50 yuan…
Eh? Ada juga catatan traktir orang makan, 48 yuan? Hotpot pedas porsi besar?
Lalu pembelian tisu, kaos kaki…
Hingga dia melihat satu tanggal yang terasa familiar—
Pengeluaran hari itu: kulit pangsit 2,5 yuan, daging babi 28 yuan, dua ikat daun bawang (gratisan)…
Dia buka aplikasi kalender di ponselnya.
Hari itu… hari itu adalah malam tahun baru Imlek.
Dia melewati malam itu sendirian, ya? Ya, dia sendirian.
Masak sendiri, makan pangsit sebagai malam tahun barunya? Tatapan Jiang Ruoqiao perlahan terfokus, hatinya jadi rumit.
Kalau kakek-neneknya juga tidak ada, mungkin dia juga akan sendiri saat tahun baru.
Dia pun mengambil sticky note dan pena dari tasnya.
Lalu menggambar satu koin emas super besar dan menulis satu kalimat kecil: Kamu pasti akan kaya raya.
Setelah menggambar dan menulis, dia tempelkan di sampul buku catatan itu, lalu taruh kembali ke tempatnya semula.
Ya, dia sungguh yakin, Lu Yicheng pasti akan kaya nanti.
Kalau orang sekeras dia saja tidak mendapatkan balasan baik, maka dunia ini memang sudah rusak.
Malam pun tiba.
Lu Yicheng akhirnya berhasil membantu Li-ge menyelesaikan masalah sistem. Begitu lihat jam, sudah jam delapan malam. Dia harus cepat-cepat pulang.
Saat dia sedang merapikan barang, Li-ge datang dengan membawa segelas air, “Hari ini kamu benar-benar membantu banget. Yang lain sedang cuti semua, aku pikir-pikir, cuma kamu yang bisa bantu.”
Lu Yicheng: “Sudah seharusnya.”
Li-ge menyesap airnya dan menepuk bahu Lu Yicheng, “Ayo, sebentar lagi juga tengah musim gugur. Perusahaan kita kecil sih, tapi soal tunjangan tetap ada. Lihat deh, kamu mau yang mana, ambil aja. Ini tunjangan khusus Festival Pertengahan Musim Gugur.”
Lu Yicheng sempat ragu, tapi tetap ikut ke pantry.
Benar saja, banyak barang ditumpuk.
Ada kue bulan—yang ini jelas tidak akan ia ambil. Kalau dibawa pulang, Siyuan pasti akan makan habis. Di aplikasi taman kanak-kanak bahkan ada artikel yang mengingatkan anak kecil sebaiknya jangan makan kue bulan terlalu banyak karena tinggi gula dan lemak.
Ada juga tisu, minyak goreng, dan beras kemasan.
Awalnya Lu Yicheng mau ambil barang kebutuhan rumah tangga ini. Tapi begitu matanya menyapu satu kotak cantik, dia langsung berhenti, “Li-ge, itu apa?”
Li-ge melirik, lalu menjawab, “Cangkir kopi, kayaknya.”
Lu Yicheng mendekat, mengambilnya dan meneliti.
Benar, cangkir kopi bermerek, desainnya bagus dan terlihat mewah.
“Aku mau ini,” katanya, “boleh?”
Li-ge heran, “Tentu boleh. Tapi kamu kan nggak minum kopi.”
Dia pikir Lu Yicheng pasti akan ambil tisu atau beras.
Lu Yicheng tidak menjawab.
“Ya udah, ambil aja.”
Sepuluh menit kemudian, Lu Yicheng dengan hati-hati membawa cangkir kopi itu masuk ke gerbong kereta bawah tanah, menjaganya sepanjang perjalanan.
— 🎐Read only on blog/wattpad: onlytodaytales🎐—
Bab 66
Ketika Lu Yicheng sampai di rumah, Lu Siyan sudah tertidur lelap.
Sejak mulai masuk taman kanak-kanak, jadwal tidurnya sudah secara paksa diperbaiki. Jiang Ruoqiao juga sangat mengantuk, dan terus memaksakan diri untuk tetap terjaga. Kini setelah Lu Yicheng pulang, dia bisa bersiap kembali ke kampus. Lu Yicheng tetap bersikeras untuk mengantar dia sampai ke gerbang kampus. Meski sudah bulan September, cuaca masih panas, dan area sekitar Universitas A sangat ramai. Mereka melewati jalan kecil, mungkin karena semakin dekat dengan Festival Pertengahan Musim Gugur, bulan di langit pun tampak semakin bulat—tergantung terang dan indah di angkasa.
Lu Yicheng masih membawa cangkir kopi itu. Sesampainya di gerbang sekolah, ia akhirnya menyerahkannya padanya.
Jiang Ruoqiao menatap dengan bingung.
“Cangkir, buat minum kopi,” kata Lu Yicheng.
Jiang Ruoqiao mengangguk. “Aku tahu.”
Tapi kenapa kamu memberikannya padaku? Dari mana datangnya?
Jiang Ruoqiao mengenali cangkir itu. Dia sebenarnya sempat ingin membelinya, tapi karena harganya di internet sempat naik secara berlebihan, dia akhirnya urung. Meski dia kadang orang yang impulsif saat belanja, tapi hanya untuk cangkir, dia tidak ingin jadi korban konsumerisme.
Jangan-jangan ini dibeli Lu Yicheng?
Meski sekarang harganya sudah turun, dia tetap merasa tidak seperti tipe orang yang rela mengeluarkan lebih dari dua ratus yuan hanya untuk sebuah cangkir.
Lu Yicheng pun jujur mengaku, “Aku tadi ke kantor, katanya ini hadiah Festival Pertengahan Musim Gugur.”
Ia sengaja melewatkan bagian paling penting.
Misalnya saat Brother Li menyuruhnya memilih hadiah, atau sebenarnya dia lebih cocok memilih tisu dan minyak beras.
Yah, bahkan dia sendiri merasa aneh. Kenapa dia memilih cangkir yang tidak terlalu berguna itu?
Jiang Ruoqiao akhirnya mengerti. “Oh, jadi ini hadiah Festival Pertengahan Musim Gugur.”
Lu Yicheng mengangguk. “Aku juga nggak minum kopi. Siyan juga sudah punya cangkir sedotannya sendiri. Kalau disimpan di rumah cuma bakal berdebu.”
Jadi karena nggak ada yang pakai, terus kamu kasih ke aku?
Jiang Ruoqiao hanya menggumam, tidak terlalu banyak basa-basi, dan menerima cangkir itu. “Kalau begitu makasih ya, aku memang suka cangkir ini.”
Lu Yicheng menjawab, “Bagus kalau kamu suka.”
Jiang Ruoqiao sempat terpikir ingin mencari tahu harga cangkir itu dan mentransfer uangnya ke Lu Yicheng, tapi ketika hendak mengucapkan niat itu, dia melihat senyum hangat di wajah Lu Yicheng, lalu kata-kata itu tertelan. Apa itu tidak terlalu kaku dan formal? Tapi dia sudah menerima cangkir darinya, dan sekarang Lu Yicheng juga sering mengantarkan sarapan setiap pagi… Melihat buku catatan keuangannya saja sudah cukup untuk tahu betapa hemat hidupnya.
Mungkin… aku harus lebih sering ajak Siyan jalan-jalan ke supermarket.
Kalau dia yang belanja kebutuhan Siyan dan camilan buahnya, Lu Yicheng jadi bisa lebih hemat. Lalu setiap kali dia juga bisa sekalian bawain bahan makanan?
“Oh ya.”
Saat hendak berpisah di depan gerbang sekolah, Jiang Ruoqiao memanggil Lu Yicheng.
“Besok nggak usah bawain sarapan,” katanya. “Besok pagi aku harus pergi, sarapan bakal aku selesaikan di luar.”
Lu Yicheng mengangguk. “Kerjaan?”
“Iya,” jawab Jiang Ruoqiao. “Dan bakal sibuk beberapa hari.”
Lu Yicheng mengangguk ringan. “Kalau begitu, lusa?”
Jiang Ruoqiao: “Besok kita lihat dulu.”
“Baik.”
Setelah berpisah, Jiang Ruoqiao berjalan masuk ke kampus. Sesekali melihat ke arah cangkir, sesekali merenungi percakapan dengan Lu Yicheng. Tiba-tiba dia teringat satu hal yang sangat penting—sebuah hal yang selama ini terlewat olehnya: sekarang, dari luar, Lu Yicheng sedang dalam proses mengejarnya. Maka pertanyaannya muncul: kalau nanti saatnya tiba, dia akan menerima atau menolak?
Jiang Ruoqiao mendadak berhenti melangkah, menatap langit: Kenapa rasanya… aku seperti sudah masuk perangkap?
Jangan-jangan, Lu Yicheng memang sedang memainkan skenario "mengejar dia bertahun-tahun tanpa hasil tapi tetap setia"?
Jiang Ruoqiao, kamu kenapa sih!!
Padahal dari awal sudah bilang tak mau ada hubungan apa-apa dengan Lu Yicheng, tapi lihat sekarang, dia malah mengikuti alur cerita, sedikit demi sedikit, hingga menjadi begini. Setidaknya dari luar, hubungan mereka sudah terlihat: seorang pengejar dan yang dikejar.
Gila, ini terlalu menakutkan. Untuk pertama kalinya Jiang Ruoqiao benar-benar merasa betapa kuatnya pengaruh “masa depan”.
Sungguh menakutkan.
Dia berani jamin, Lu Yicheng bukan sengaja mengejarnya. Dan dia juga bukan sengaja ingin bekerja sama dengan pengejarannya. Mereka hanya karena keadaan, lalu dipaksa untuk berada dalam hubungan ini.
Kalau tidak begitu, siapa juga yang bisa menjelaskan kenapa mereka jadi makin dekat?
Padahal semua keputusan diambil berdasarkan kondisi terbaik saat itu. Tapi entah kenapa, semuanya terasa mengarah ke masa depan yang pernah Lu Siyan sebutkan.
Apakah akhir dari cerita di novel itu benar-benar adalah akhir?
Ataukah dunia tempat Lu Siyan berada adalah masa depan setelah novel itu tamat?
Kalau menikah dengan Lu Yicheng dan melahirkan Siyan adalah kelanjutan dari cerita itu…
Apakah dia benar-benar berhasil mengubah akhir hidupnya?
Semakin dipikir, semakin merinding.
Jiang Ruoqiao mempercepat langkahnya, berlari kecil menuju asrama.
Plot ini terlalu dalam, dia butuh rebahan!
Karena terlalu banyak berpikir tentang hal-hal mengerikan dan membingungkan, Jiang Ruoqiao tak bisa tenang semalaman. Di sisi lain, Lu Yicheng juga pulang ke rumah sewa secepat mungkin. Saat sampai di dapur, baru sadar semua piring dan garpu sudah dicuci bersih oleh Jiang Ruoqiao. Tidak menyisakan apa pun untuknya. Menatap bak cuci piring yang kosong, malah ada sedikit rasa kehilangan. Setelah merapikan mainan dan buku anak milik Lu Siyan, dia pun mandi.
Selesai mandi dan hendak ke kamar, dia melewati ruang kerja dan berhenti sejenak. Mengikuti suara hati, dia masuk ke dalam dan mengambil buku catatan keuangannya dari laci.
Proses ini membuatnya agak malu.
Dia tidak pernah menyembunyikan kenyataan bahwa dirinya miskin. Tidak juga menutupi kondisi hidupnya. Tapi hanya dengan membayangkan Jiang Ruoqiao melihat catatan keuangannya, dia langsung timbul perasaan yang sulit dijelaskan.
Dia masih terbayang-bayang—bagaimana perasaan Jiang Ruoqiao ketika melihat catatan itu, bagaimana dia menilai kehidupannya.
Tiba-tiba matanya menangkap selembar sticky note di sampul buku catatan itu.
Setelah membacanya, dia sempat terdiam, lalu tersenyum tulus.
Sulit untuk menggambarkan perasaannya.
Saat masih kecil dan belum mengerti dunia, dia juga pernah punya rasa ingin jajan. Dia masih ingat, suatu hari neneknya pulang membawa satu batang sosis tepung untuknya. Dia begitu terkejut dan gembira.
Perasaan itu bertahan beberapa hari.
Ya, terkejut dan gembira.
Sekarang, melihat gambar emas batangan yang digambar Jiang Ruoqiao, rasanya sangat menggemaskan.
Apakah dia akan kaya suatu hari nanti? Sebenarnya, dia tak pernah berpikir sejauh itu. Sebelum hari ini, hal terjauh yang dia pikirkan tidak pernah lebih dari satu bulan ke depan. Masa depan terasa terlalu jauh, terlalu sulit untuk digapai. Dia hanya fokus pada langkah di depan, menjalaninya setahap demi setahap.
Tapi hari ini, pada momen ini, dia mulai membayangkan masa depan.
Jiang Ruoqiao tidak tidur nyenyak semalaman. Pagi-pagi buta, saat langit masih gelap, dia sudah bangun.
Ini pekerjaan penting. Tentu harus mempersiapkan diri dengan sangat serius.
Dengan gerakan pelan, dia kembali menyetrika roknya. Rok yang dia kenakan punya efek jatuh yang lembut, jadi tidak boleh ada lipatan. Semalam sudah disetrika sekali, tapi pagi ini tetap harus setrika lagi. Lalu dia menggambar alis dan eyeliner dengan teliti. Wajahnya yang masih muda berumur dua puluh tahun cenderung terlihat polos, jadi dia ingin tampil lebih profesional. Setelah memastikan dari ujung rambut hingga mata kaki semuanya rapi, dia pun mengambil tas dan dokumen, lalu meninggalkan asrama.
Pengalaman kemarin memberi banyak inspirasi.
Kalau bukan karena pekerjaan ini, dia tidak akan punya kesempatan bertemu dengan orang seperti Meili, apalagi bisa meninggalkan kesan di mata dosen dan pimpinan kampus.
Perusahaan ini menyediakan jasa penerjemahan lisan dan tulisan, kebanyakan untuk klien bisnis. Ini dunia yang tak bisa ia jamah jika hanya di kampus atau bekerja di toko hanfu. Dia tidak se-naif itu untuk berpikir bahwa jadi penerjemah akan langsung membuatnya bersahabat dengan para pengusaha. Tapi dia merasa, dari orang-orang seperti itu, dia bisa belajar banyak hal berharga—hal yang tidak akan dia dapatkan dari buku pelajaran.
Dengan harapan besar akan masa depan, Jiang Ruoqiao menuruni tangga.
Mood-nya yang bagus langsung hancur seketika.
Karena di depan asrama wanita, berdiri seorang pria.
Jiang Yan.
Langsung bikin malas. Jiang Ruoqiao tidak perlu menebak, sudah tahu pasti dia datang mencarinya.
Jiang Yan akhirnya berpikir ulang dan berniat memperbaiki diri. Kalau dia masih menyukainya dan tidak ingin kehilangannya, maka tentu dia harus berusaha mendapatkan kembali Jiang Ruoqiao. Dia membawa empat porsi sarapan, termasuk kopi dan croissant kesukaannya.
Jiang Ruoqiao sangat ingin langsung pergi, tapi sayangnya Jiang Yan malah mengikuti.
“...Aku sedang buru-buru,” kata Jiang Ruoqiao.
Jiang Yan mengerti, buru-buru menyerahkan satu porsi sarapan padanya.
Jiang Ruoqiao menolak. “Nggak perlu.”
Dia langsung melangkah pergi. Jiang Yan dari belakang berkata, “Ruoqiao, aku tahu sekarang aku bilang apa pun juga nggak ada gunanya.”
Jiang Ruoqiao tidak mau dengar, mempercepat langkahnya.
Jiang Yan tetap mengikuti. “Aku akan membuktikan dengan tindakan, Ruoqiao. Aku akan berubah. Aku hanya ingin kamu tahu, aku ini bukan orang yang buruk.”
Dulu mungkin Jiang Ruoqiao masih ingin membalas dengan sindiran seperti: “Terus adik kesayanganmu, Lin Kexing, gimana? Ibumu gimana?” Tapi sekarang dia bahkan tidak tertarik lagi.
Satu kalimat cukup menggambarkan semuanya:
Sudut pandangnya sudah berubah.
Setelah pikirannya terbuka, dia tidak lagi sibuk memusingkan hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan dirinya.
Dia masih punya banyak rencana untuk menambah pengalaman dan penghasilan.
Daripada sibuk mikirin drama Jiang Yan dan Lin Kexing, atau ibu Jiang yang bersikap manis di luar tapi menusuk di dalam, bukankah lebih penting untuk memikirkan dirinya sendiri?
Lebih baik banyakin kerja, tambah pemasukan!
Jiang Ruoqiao melangkah cepat meninggalkan tempat itu.
Untungnya, Jiang Yan tidak terus mengejar dan merayu.
Namun, kejadian itu tetap dilihat beberapa orang. Lu Yicheng, yang baru saja mengantar Siyan naik ke bus sekolah, langsung mendapat pesan dari temannya:
【Bro Lu, kamu gimana sih? Kejar cewek cantik kok lemes gitu?】
Ini teman dari SMA-nya, satu angkatan tapi beda kelas. Keduanya diterima di A University dan hubungannya cukup baik.
Lu Yicheng tidak paham maksudnya, dan membalas:
【Maksud kamu apa?】
Temannya langsung membalas:
【?? Kamu nggak tahu ya? Pacarku tadi lihat si Jiang Ruoqiao dikasih sarapan sama Jiang Yan. Sepertinya Jiang Yan mau balikan. Bro Lu, kamu baru kejar dia beberapa hari udah lemes? Nanti diserobot orang loh.】
Jiang Yan? Tatapan Lu Yicheng mendadak jadi dingin.
Sebenarnya itu bukan hal aneh. Semua orang tahu Jiang Yan menyukai Jiang Ruoqiao, dan dia juga bukan tipe yang gampang menyerah.
Lu Yicheng awalnya ingin menjawab: “Dia buru-buru pagi ini,” tapi lalu berpikir ulang. Kalau ngomong begitu, bisa-bisa malah disalahpahami. Akhirnya dia hanya menjawab jujur:
【Oke, aku tahu.】
Teman:
【??】
【Apa kamu udah nggak kejar dia lagi?】
Lu Yicheng:
【Bukan begitu.】
Teman:
【Kalau gitu semangat dong! Target: jadian sebelum Qixi tahun depan!】
Qixi tahun depan...
Lu Yicheng menatap pesan itu dan terdiam.
Bagaimana situasinya nanti di Qixi tahun depan?
Kemungkinan besar dia masih dalam tahap mengejarnya. Mungkin, dia akan terus mengejar Jiang Ruoqiao… bertahun-tahun lamanya.
Lu Yicheng:
【Terima kasih.】
— 🎐Read only on blog/wattpad: onlytodaytales🎐—
Bab 67
Jiang Yan juga berniat untuk bangkit kembali.
Ia sudah memikirkannya dengan sangat jernih: jika penjelasannya tidak dapat diterima oleh Ruo Qiao, maka tidak apa-apa. Masalah di rumah makan keluarga bisa dianggap selesai. Ia tidak perlu menjelaskan hubungannya dengan Lin Kexing, karena tidak peduli bagaimana masa lalu mereka, mulai sekarang, ia sudah memutuskan untuk tidak ada lagi keterlibatan dengan Lin Kexing. Sebenarnya, pada titik ini, ia tidak ingin—atau mungkin takut—untuk mengetahui perasaan Lin Kexing yang sesungguhnya terhadapnya.
Mereka berdua tumbuh besar bersama sejak kecil, mungkin cara mereka berinteraksi selama ini telah membuatnya menjadi tumpul terhadap perasaan itu.
Tidak peduli bagaimana perasaan Lin Kexing terhadapnya, apakah memang ada rasa cinta atau tidak, itu semua tidak terlalu penting lagi. Ia pasti akan menjaga jarak dengannya, dan sekarang ia memang sedang melakukannya.
Ke depannya, ia tidak akan pergi lagi ke rumah keluarga Lin, juga tidak akan bertemu dengan Lin Kexing. Tidak peduli ibunya memintanya bagaimana, ia tidak akan menuruti lagi.
Sekarang, mungkin ia sudah bisa kembali mengejar Ruo Qiao?
Jiang Yan memberikan empat porsi sarapan yang dibelinya kepada teman-temannya. Ia masih ada urusan, hendak pergi ke kantor klub. Belum sampai ke pintu, ia sudah mendengar suara keramaian diskusi di dalam. Namun ketika ia mendengar satu nama disebutkan, ia berhenti melangkah.
“Aku dengar Lu Yicheng kerja paruh waktu di perusahaan Senior He, benar nggak sih?”
“Iya, katanya Senior He sudah ngajak dia sejak tahun kedua kuliah, dan baru-baru ini dia setuju. Dengar-dengar nih, tahu nggak gaji yang dikasih ke dia?”
Orang itu bicara dengan nada penuh rahasia. “Aku dapat info dari dalam, katanya buat ngeyakinin Lu Yicheng tetap di sana, Senior He nawarin gaji segini...”
“Sebanyak itu?? Bukannya katanya perusahaan Senior He nggak untung-untung amat?”
“Walau begitu, perusahaan itu punya pemilik dari kalangan anak orang kaya. Semua cuma demi mimpi, ya begitulah.”
“Gaji setinggi itu bikin iri banget. Mending kerja begitu daripada jadi guru les, kan?”
Orang itu tertawa sinis, “Kamu juga mesti punya kemampuan kayak Lu Yicheng dulu. Aku denger dari dosen, dia bakal jadi salah satu talenta top di bidang ini nanti. Emang pantas digaji segitu. Sekarang aja dia belum lulus S1, coba kalo udah lulus dan lanjut S2, Senior He mungkin udah nggak mampu bayar dia.”
Semua terdiam.
Memang, Lu Yicheng adalah mahasiswa paling pintar di jurusan mereka, punya kemampuan yang solid, masa depannya sudah bisa dipastikan akan cerah.
“Tapi ya, kenapa sekarang baru dia terima kerja itu? Jangan-jangan ada hubungannya sama Jiang Ruo Qiao dari jurusan bahasa asing? Beberapa waktu ini ke mana-mana denger kabar mereka.”
“Kayaknya emang ada hubungannya. Ngejar cewek idaman itu mahal, bro.”
Seorang perempuan langsung menyela dengan tidak senang, “Apa-apaan sih maksud kamu? Nada kamu nyindir banget. Menurut kalian, cewek yang pacaran harus bayarin semuanya gitu? Menjijikkan.”
“Lagian mereka pacaran baik-baik kok, kenapa dari mulut kalian malah kayak Jiang Ruo Qiao itu cewek matre segala, jijik banget.”
“Eh, salah paham, Kak. Sumpah, gue nggak bermaksud gitu. Liat deh, muka gue kayak cowok pelit nggak sih?” Ia membela diri, “Maksud gue, pacaran emang butuh biaya lebih dari jomblo. Dan Lu Yicheng orangnya serius, mungkin aja dia memang mau siapin segalanya dari awal, kayak DP rumah atau apa gitu.”
“Sebenarnya bisa dimengerti, kita kan udah tingkat tiga, suka sama seseorang pasti mikir ke masa depan juga. Gue sekarang pacaran juga udah mulai mikirin harga rumah di Beijing, bikin pusing, tapi mau gimana lagi? Kita nggak akan lama lagi di kampus, setelah itu masuk dunia nyata, masalah bakal datang satu per satu…”
Jiang Yan tidak tahan mendengarnya lagi.
Ia pun masuk ke dalam.
Ruang kantor langsung sunyi senyap. Semua orang merasa canggung—mereka baru saja membicarakan mantan pacar Jiang Yan dan sahabat baiknya... dan mereka tidak tahu berapa lama Jiang Yan mendengar percakapan itu. Entah dia merasa malu atau tidak, yang jelas mereka semua merasa seakan sudah menggali kuburan sendiri di kampus A ini.
Hati Jiang Yan tidak setenang seperti yang ia tunjukkan di permukaan.
Setelah rapat klub selesai, ia secara refleks mengambil ponselnya. Padahal Ruo Qiao sudah memblokir semua kontaknya, ia tetap saja tidak bisa menahan diri. Ini sudah menjadi kebiasaan.
Jarinya berhenti sejenak.
Di halaman Moments (mirip Instagram), ada unggahan dari Lin Kexing sepuluh menit lalu:
"Mau nanya dong, yang punya pengalaman, kira-kira klub apa yang bagus di kampus ya? Bikin pusing."
Mata Jiang Yan tertunduk.
Seolah sudah membuat keputusan besar, ia langsung mengatur pengaturan privasi: membatasi Lin Kexing untuk melihat Moment-nya dan ia sendiri juga menyetel agar tidak melihat unggahan Lin Kexing.
Tentu saja, Jiang Yan tidak akan tahu, bahwa unggahan Lin Kexing itu hanya terlihat olehnya saja.
Sejak kejadian di rumah makan keluarga, Jiang Yan tak lagi berbicara dengan Lin Kexing, bahkan bertemu pun tidak.
Sementara itu, Jiang Ruo Qiao bertemu dengan asisten Mei Li.
Asisten Mei Li adalah seorang perempuan berusia tiga puluhan. Berbeda dengan sikap Mei Li yang ramah dan ceria, asistennya tampak lebih tegas dan profesional. Untungnya, Jiang Ruo Qiao sangat menyadari posisinya—ia hanya seorang penerjemah dan pemandu bagi Mei Li. Dalam hal pekerjaan, ia sangat kooperatif terhadap sang asisten.
Kadang memang begitu, ada kecocokan aura antar manusia.
Kerja sama Jiang Ruo Qiao membuat sang asisten sangat terkesan, terutama karena Ruo Qiao bekerja dengan sangat rapi dan memperhatikan semua detail.
Perusahaan Lin benar-benar serius dalam urusan amal.
Ruo Qiao menerima dokumen dari asisten Mei Li—isinya jauh lebih lengkap dari yang diberikan oleh pihak perusahaan sebelumnya.
Nyonya Lin memang telah melakukan banyak hal konkret. Misalnya, menyediakan bantuan medis untuk pasien atrofi otot tulang belakang, memberikan dukungan finansial bagi keluarga anak hilang, dan mendirikan organisasi perlindungan perempuan dan anak. Hal-hal ini sangat menarik perhatian Mei Li. Dan tentu saja, semua kegiatan ini tidak dilakukan secara diam-diam—sesekali tetap dipublikasikan, dan mendapatkan banyak perhatian serta apresiasi.
Ruo Qiao juga menerima profil pribadi Nyonya Lin.
Sebenarnya, Nyonya Lin adalah sosok yang sangat luar biasa.
Jika hanya dilihat dari penampilan, memang Nyonya Lin tidak bisa disebut cantik. Namun bagi Ruo Qiao, yang selama ini banyak mendapat keuntungan dari penampilannya, ia menyadari bahwa penampilan luar tidak sepenting itu. Ilmu pengetahuan, wawasan luas, dan kedewasaan justru jauh lebih penting. Pemahaman ini tumbuh seiring dengan makin banyaknya buku yang dibaca dan pengalaman yang dijalani.
Hubungan Nyonya Lin dan Tuan Lin termasuk dalam kategori "pernikahan beda usia".
Tuan Lin lebih tua sekitar sepuluh tahun, dan sebelum menikahi Nyonya Lin, ia pernah menikah—istri pertamanya meninggal karena kanker pada usia tiga puluh dan meninggalkan dua anak laki-laki.
Nyonya Lin dan Tuan Lin bertemu karena ketertarikan pada seni pertunjukan. Tuan Lin suka nonton opera, dan ibu Nyonya Lin adalah penyanyi opera terkenal di masa lalu.
Ceritanya cukup romantis.
Setelah menikah, Nyonya Lin melahirkan seorang anak perempuan, lalu sepenuhnya mendedikasikan diri pada kegiatan amal. Sebagai istri yang mendampingi Tuan Lin, ia menjalankan perannya dengan sangat baik dan telah berkontribusi besar bagi reputasi perusahaan Lin.
Hal ini membuat Jiang Ruo Qiao tercerahkan.
Awalnya, ia cukup heran. Meskipun Ibu Jiang memiliki maksud tersembunyi, Lin Kexing masih muda—seharusnya Nyonya Lin sebagai wanita berpengalaman bisa menyadari perasaan Lin Kexing terhadap Jiang Yan. Tapi setelah melihat betapa sibuknya Nyonya Lin dengan kegiatan amal tiap tahun, bisa dimaklumi kalau ia tidak memperhatikan detail seperti itu. Selain itu, Jiang Yan mulai tinggal di rumah keluarga Lin sejak usia sepuluh tahun, dan semua orang mungkin sudah terbiasa melihat hubungan dekat antara mereka sebagai hubungan kakak-adik biasa.
Hari itu, orang yang bertugas mendampingi Jiang Ruo Qiao dan asisten Mei Li adalah salah satu asisten dari tim Nyonya Lin.
Dibandingkan dengan jaringan perusahaan Lin yang besar di Beijing, Mei Li yang berasal dari luar negeri memang bukan siapa-siapa—ia hanya mengelola bisnis kecil di luar negeri.
Bahkan asisten Nyonya Lin pun ada dua orang.
Asisten yang bertugas hari itu masih baru dan hampir menangis ketika melihat jadwal:
"Ya Tuhan, kenapa harus saya? Bahasa Inggris saya jelek banget, bahkan ujian TOEFL saya gagal dua kali!"
Asisten itu menghafalkan kalimat sapaan sepanjang perjalanan dan bahkan mengunduh aplikasi penerjemah.
Namun tetap merasa tidak percaya diri. Ia pun berjalan keliling kantor, memohon pada rekan-rekannya,
"Tolong dong temenin aku ke sana, bahasa Inggris aku jelek banget. Aku bisa baca dan nulis dikit-dikit sih, tapi kalau disuruh ngomong, aku langsung beku!"
Saat sang asisten masih stres, Nyonya Lin kebetulan datang untuk membahas gala amal yang sangat penting. Selama persiapan acara ini, ia bahkan menginap beberapa malam di suite hotel.
Begitu masuk kantor, ia langsung mendengar keluhan asistennya dan penasaran,
"Bahasa Inggris? Kenapa?"
Meski proyek amal terdengar sederhana, setiap detailnya selalu ditangani langsung oleh Nyonya Lin. Apalagi perusahaan memiliki banyak proyek berjalan bersamaan, jadi tamu seperti Mei Li jelas tidak masuk jadwal utamanya.
Asisten panik.
Namun salah satu penanggung jawab menjelaskan,
"Nyonya, tamu ini adalah wanita asing yang ingin memahami proyek amal perusahaan kita."
Nyonya Lin mulai berpikir,
"Kenapa tidak dilaporkan ke saya?"
Penanggung jawab itu gelagapan,
"Kami sudah periksa latar belakangnya, dia cuma punya bisnis kecil di luar negeri..."
Nyonya Lin langsung paham.
Karena tamunya dianggap tidak punya latar belakang kuat, makanya staf menganggap sepele.
Hal itu membuatnya agak marah.
Perusahaan kini dijalankan oleh dua anak tiri, dan suaminya sudah bilang bahwa perusahaan akan fokus ekspansi ke pasar luar negeri. Apalagi, jika ada orang luar negeri yang datang dan memilih untuk berdonasi lewat perusahaan mereka, bukankah itu kesempatan bagus untuk promosi?
Ia pun melirik tajam ke arah penanggung jawab itu—kerabat jauh dari pihak istri pertama suaminya.
Lalu ia mengambil keputusan,
"Kebetulan saya ada waktu. Aimee, kamu ikut saya, kita temui tamu ini langsung."
…
Jiang Ruo Qiao tidak menyangka bahwa yang datang langsung adalah Nyonya Lin sendiri.
Begitu juga asisten Mei Li, tampak terkejut.
Asisten kerja Nyonya Lin, Aimee, memang cukup fasih berbahasa Inggris, tetapi tetap tidak sebaik Jiang Ruo Qiao yang merupakan mahasiswa jurusan bahasa. Beberapa hari terakhir ini, Jiang Ruo Qiao sudah belajar keras, menghafal banyak istilah teknis dalam dunia amal. Usahanya membuahkan hasil—bahkan Nyonya Lin sampai meliriknya dengan takjub dan memuji,
"Nona Jiang sangat luar biasa, kelihatannya masih muda, masih mahasiswa ya?"
Jiang Ruo Qiao mengangguk,
"Saya masih semester enam."
Asisten Mei Li juga memuji setelah mendengar terjemahannya,
"Qiao ini mahasiswa universitas top kalian, dia memang luar biasa."
Nyonya Lin sedikit terkejut,
"Nona Jiang memang sangat baik."
Entah itu sekadar basa-basi atau bukan, Nyonya Lin memberikan kartu namanya, lalu berkata pada asisten Mei Li,
"Kalau ada pertanyaan, bisa langsung hubungi saya."
Dan kepada Jiang Ruo Qiao, ia berkata,
"Kalau suatu hari Nona Jiang ingin bekerja, bisa pertimbangkan perusahaan kami. Kami memang sedang butuh orang seperti Anda."
Jiang Ruo Qiao dengan serius menyimpan kartu nama itu di dalam saku khusus di tasnya.
Karena dalam hidup ini, selalu lebih baik menyimpan satu kartu tambahan untuk masa depan, bukan?
— 🎐Read only on blog/wattpad: onlytodaytales🎐—
Bab 68
Jiang Ruo Qiao sempat merasa bahwa dirinya benar-benar tidak ada hubungan dengan kata "buddhis" alias santai, pasrah, tidak ngoyo.
Tapi setelah keluar dari Gedung Lin's Jewelry, entah kenapa dia tiba-tiba kepikiran soal kata itu. Sedikit mirip dengan keadaan dan mentalitasnya sekarang—novel adalah novel, kenyataan adalah kenyataan. Selama semua itu tidak menimpa dirinya, dia tidak akan repot-repot ikut campur hanya karena ada potensi drama di masa depan. Dia malah berharap seumur hidupnya tidak akan pernah memakai “kartu nama” itu. Dia benar-benar terlalu sibuk—sibuk kuliah, sibuk kerja, sibuk cari uang buat anaknya. Dari lubuk hati yang paling dalam, dia hanya ingin hidupnya tenang dan tidak ada lagi hal-hal aneh yang bikin ribet.
Setelah mengantar asisten Meili kembali ke hotel, dia melihat waktu masih cukup awal.
Setiap jurusan memang beda, tapi jurusannya sendiri di tahun ketiga tidak terlalu banyak mata kuliah. Setelah melihat jadwal kuliah, dia sadar besok pagi cuma ada dua kelas. Maka dia inisiatif mengirim pesan ke Lu Yicheng:
[Pekerjaan hari ini sementara sudah selesai, aku akan menjemput Siyuan dan ajak dia makan malam.]
Saat dia sudah berada di dalam gerbong kereta bawah tanah, baru dia menerima balasan dari Lu Yicheng:
[Oke.]
Lu Siyuan biasanya naik bus sekolah untuk pergi dan pulang. Tapi di TK Dafengche, aturannya cukup fleksibel. Orang tua boleh menjemput langsung, dan wali kelas akan mencatatnya agar bulan berikutnya sebagian biaya bus bisa dikembalikan.
Jiang Ruo Qiao sudah memberi tahu lewat grup dan aplikasi bahwa hari ini dia yang akan menjemput anaknya pulang sekolah.
Begitu sampai di gerbang TK, dia kembali mendapat pencerahan baru.
Di depan sekolah ada relawan orang tua yang menjaga ketertiban.
Satpam menaruh papan pengumuman di depan, misalnya: orang tua kelas 1 antre di sini, kelas 2 di sebelahnya, dan setiap orang tua harus antre sesuai kelas anaknya. Sebagian besar yang menjemput adalah kakek-nenek, jarang ada orang tua muda. Jiang Ruo Qiao menemukan papan kelas 3, lalu berdiri manis di antrean. Di depannya ada seorang ibu, di belakangnya ada seorang nenek. TK ini memang melepaskan muridnya per kelas, dan kelas 1 saja belum keluar, artinya kelas 3 masih harus menunggu sekitar sepuluh menitan.
Awalnya Jiang Ruo Qiao tidak berniat ngobrol dengan siapa pun.
Tapi entah kenapa, nenek di belakangnya terlalu ramah, langsung menarik dia bicara,
“Belum pernah lihat kamu sebelumnya. Cucu saya dari kelas kecil sudah diasuh guru kelas ini. Katanya ada teman baru datang, mungkin anak kamu, ya?”
Nenek itu mengamati Jiang Ruo Qiao,
“Kamu kakaknya, ya?”
Jiang Ruo Qiao tidak tahu harus jawab apa, hanya tertawa kecil untuk menghindar.
Memang benar, sejauh ini belum ada yang mengira dia adalah ibunya Lu Siyuan… karena pada dasarnya dia memang kelihatan masih seperti mahasiswi dua puluhan awal. Siapa pun juga tidak akan mengira dia sudah punya anak sebesar itu.
Lagi pula, sejak kebijakan anak kedua dibuka, orang-orang yang melihat Jiang Ruo Qiao bersama Lu Siyuan pasti mengira dia kakaknya.
“Nah, kalian daftarin anak ke kursus apa aja?” Nenek itu lanjut bertanya, “Cucu saya bikin pusing, kemarin diajari coding sama orang tuanya, hari ini malah pengen belajar sepatu roda. Padahal orang tuanya kerja, saya yang harus antar-jemput tiap hari.”
Pertanyaan si nenek ini menyadarkan Jiang Ruo Qiao dengan keras:
Ya ampun! Siyuan belum didaftarin ke kursus apa pun!
Ibu di depannya ikut menoleh,
“Mau belajar sepatu roda ya? Saya kasih saran, jangan langsung ambil paket panjang. Anak saya habis bisa main, malah nggak mau datang lagi. Padahal saya udah bayar setahun.”
Nenek itu langsung antusias, mendekat ke Jiang Ruo Qiao,
“Serius? Wah, saya harus bilang ke menantu saya nanti!”
Ibu itu buka ponsel,
“Pas banget, tempat sepatu roda ini lagi promo, saya lihat pelatihnya posting di WeChat. Ada kelas percobaan murah banget. Sekarang mereka lagi promo, 3 sesi coba cuma 200 yuan kurang. Bisa coba dulu, kalau anaknya suka baru daftar. Kalau enggak, ya nggak rugi-rugi amat.”
Jiang Ruo Qiao juga tanpa sadar buka ponsel.
Sebelum dia sadar apa yang terjadi, dia udah add WeChat si ibu tadi, masukin link yang dikasih, dan… beli tiga sesi kelas percobaan sepatu roda.
Jiang Ruo Qiao:
“?”
Tunggu, tunggu… apa yang baru saja terjadi?
Bukannya tadi dia datang buat jemput anak?
Kok malah kena racun promosi begini? Yang lebih parah—KOK BISA-BISANYA DIA IKUTAN??
Ini gak masuk akal!
Ibu itu lanjut,
“Sebenernya banyak kursus yang kasih kelas percobaan. Nanti saya share ke kamu ya. Pokoknya jangan asal daftar, yang penting anaknya suka dulu.”
Jiang Ruo Qiao matanya kosong:
“…Terima kasih.”
Sungguh, ini kenapa sih?
Bukannya dia itu orang paling teguh pendirian di asrama? Biasanya kalau ke salon rambut dan ditawari paket langganan, meski si stylist sampai mulutnya kering, dia tetap gak akan ambil. Bahkan toko buah yang punya promo “isi ulang 200 yuan, beli durian cuma 18.9 per kilo” pun tidak menggoyahkan hatinya. Semua itu hanya jebakan—ntar duitnya belum kepakai, tokonya bisa aja tutup. Sampai sekarang, selain kartu makan dan kartu perpustakaan, dia belum pernah punya kartu member apa pun. Sama sekali. Layak dicatat sejarah!
Pertanyaannya sekarang—siapa yang bisa jelasin kenapa tadi tangannya gerak sendiri beli tiga sesi kursus yang tempatnya aja dia gak tahu di mana???
Bahaya banget ini!
Sementara itu, Lu Siyuan awalnya tidak tahu kalau hari ini ibunya yang akan menjemputnya.
Biasanya anak-anak yang naik bus sekolah tetap tinggal di kelas ditemani guru. Yang dijemput akan dikawal guru ke pintu depan.
Biasanya dia tetap di kelas, tapi hari ini guru kelasnya memanggil untuk ikut barisan ke depan. Dia agak bingung, lalu diam-diam bertanya,
“Bu Xiong, apa keluargaku datang jemput?”
Bu Xiong sangat menyukai Lu Siyuan. Dia tersenyum dan membantu merapikan kerah baju anak itu,
“Iya, benar.”
Lu Siyuan langsung semangat.
Karena yang mungkin datang ya cuma papa atau mama.
Apakah papa? Atau mama?
Hanya dengan menebaknya saja, dia sudah merasa sangat senang dan bahagia.
Ketika kelas 3 antre di belakang kelas 2 dan berjalan rapi ke gerbang, Lu Siyuan berusaha menengok ke depan, meniru teman-temannya mencari sosok yang dikenal. Akhirnya dia melihat—MAMANYA DATANG!!
Lu Siyuan memegang tali ranselnya, wajahnya memerah karena senang.
Saat dia melangkah keluar dan kartunya dipindai, alat otomatis mengucapkan:
“Kelas 3, Lu Siyuan.”
Lu Siyuan langsung berlari dan memeluk Jiang Ruo Qiao, yang menyambutnya sambil mengusap keringat di dahinya.
“Xiao Qiao, kamu datang?” Lu Siyuan sangat mengerti situasi. Di depan umum, dia tidak pernah memanggil “mama”, melainkan memanggilnya “Xiao Qiao”.
Jiang Ruo Qiao menjawab:
“Anak ganteng, mulai dari sekarang sampai kamu tidur nanti, waktumu punya mama. Katakan, malam ini mau makan apa—semuanya boleh. Papa nggak ada, jadi kita bisa sedikit nakal.”
Mereka berdua tertawa diam-diam, seperti bersekongkol.
Ini memang sifat alami manusia—es krim yang dimakan diam-diam rasanya lebih manis, cemilan yang dicuri diam-diam terasa lebih enak.
Lu Siyuan tertawa,
“Mama, aku pengen burger, pengen pizza, pengen es krim, pengen BBQ dan hotpot juga…”
Mau semuanya? Berarti cuma restoran all-you-can-eat yang bisa penuhi semua keinginan.
Jiang Ruo Qiao langsung memutuskan pilih restoran buffet yang ratingnya bagus.
Dia bayar penuh, Lu Siyuan setengah harga. Jiang Ruo Qiao hanya ambil steak, tapi di depan Lu Siyuan sudah menumpuk berbagai makanan. Pipi kecilnya menggembung bahagia. Sebenarnya, sikap pasrah Jiang Ruo Qiao sekarang banyak terpengaruh oleh “penyembuhan” dari Lu Siyuan.
Seolah cinta dan dendam yang merepotkan itu tidak lagi penting.
Hidup ini, lebih baik diisi dengan hal-hal yang menyenangkan dan bermakna.
Daripada membalas dendam, dia malah merasa lebih seru bikin tantangan harian buat Lu Siyuan, agar anaknya bisa dapat bintang kecil dari guru.
Saat Lu Siyuan sedang makan udang, dia melihat ibunya menatapnya sambil menyandarkan dagu ke tangan. Dia sedikit kaget dan bertanya:
“Mama, kenapa lihat aku terus?”
Jiang Ruo Qiao tersenyum hangat:
“Aku cuma merasa… Siyuan itu kayak dokter.”
Bagi Jiang Ruo Qiao, Siyuan memang anaknya, tapi juga seperti dokter.
Tak seorang pun tahu, dalam dirinya ada gadis kecil yang kesepian, sensitif, dan rapuh. Kadang si gadis kecil ini muncul, membuat suasana hatinya mendadak murung. Hal-hal yang bahagia pun tidak bisa mengangkat semangatnya. Tapi sejak kehadiran Siyuan, dia tidak pernah merasakan itu lagi.
Tak heran orang bilang, setelah jadi orang tua, kita cenderung ingin memberikan semua yang tidak kita punya dulu ke anak-anak kita.
Tentu, seiring itu, kita juga sering menitipkan impian dan harapan pribadi yang belum tercapai ke anak-anak.
Dia hanya berharap bisa menjadi ibu yang memberi, bukan terus-menerus meminta.
Lu Siyuan mendengar itu, langsung membelalakkan mata, meletakkan garpunya—garpu itu menyentuh piring dan mengeluarkan suara jernih.
“Wah, keren! Mama, dulu kamu juga pernah bilang aku itu doktermu!”
Jiang Ruo Qiao tersenyum lembut. Dia tidak heran.
Di masa depan itu, Siyuan adalah "dokter" untuk “dirinya”. Lalu Lu Yicheng—apa perannya?
Setelah makan kenyang, Jiang Ruo Qiao mengantar Lu Siyuan pulang.
Masih cukup awal, jadi dia tidak membiarkan Lu Yicheng mengantarnya pulang. Tapi Lu Yicheng tetap bersikeras mengantarnya sampai gerbang kompleks.
Saat Jiang Ruo Qiao hendak pergi, Lu Yicheng ragu sebentar, lalu bertanya:
“Kamu besok pagi mau sarapan apa?”
Pertanyaan ini?
Jiang Ruo Qiao menoleh,
“Mau dibawain lagi?”
Lu Yicheng mengangguk,
“Iya.”
“Oh.” Jiang Ruo Qiao serius berpikir sejenak,
“Katanya mi campur enak ya?”
Mi campur di kantin kampus memang terkenal di kalangan mahasiswa.
Dia sendiri belum pernah coba, benar-benar kayak orang kampung baru datang ke kota.
Lu Yicheng sedikit terkejut,
“Lumayan.”
“Antrean panjang gak?” tanya Jiang Ruo Qiao.
“Enggak juga, aku biasanya bangun pagi.” Lu Yicheng menatapnya.
“Besok aku bawain mi campur, ya.”
Jiang Ruo Qiao:
“Makasih.”
Keesokan paginya, Jiang Ruo Qiao meminta Yun Jia untuk turun mengambil sarapan.
Tapi dia tiba-tiba ditelepon dosen, diminta segera mengisi formulir penting.
Baru saja dia membuka laptop dan masuk ke email, belum sempat membuka file yang dikirim, Yun Jia sudah muncul di depan pintu asrama dengan napas ngos-ngosan. Kelihatan jelas dia berlari naik tangga, poni sudah berantakan. Dia berpegangan pada kusen pintu sambil berkata setengah malu dan setengah gembira:
“Ruo Qiao, aku gak bisa ambil sarapannya.”
Jiang Ruo Qiao:
“?”
Yun Jia menariknya ke balkon. Saat itulah Jiang Ruo Qiao mengerti maksudnya.
Di bawah asrama putri, berdiri dua cowok jangkung dengan postur tegap.
Mata Jiang Ruo Qiao sangat jeli. Sekilas saja dia sudah tahu siapa mereka.
Lu Yicheng dan Jiang Yan.
Lu Yicheng di kiri, Jiang Yan di kanan, berdiri sekitar tiga meter terpisah.
Keduanya memegang sesuatu di tangan—sepertinya sarapan.
Jadi… ini semacam pertandingan, ya??
— 🎐Read only on blog/wattpad: onlytodaytales🎐—
Bab 69
Kemarin saat makan buffet bersama Lu Siyuan, Jiang Ruo Qiao masih merasa seakan hidup ini begitu damai dan tenang.
Namun sekarang, melihat Jiang Yan seperti sedang berduel dengan Lu Yicheng, satu-satunya pikiran yang ia miliki adalah: Hancurlah semua ini!
Apa gunanya? Apa maknanya? Kalau bisa, Jiang Ruo Qiao benar-benar ingin membedah kepala Jiang Yan dan meneliti isi otaknya, ingin tahu sebenarnya dia punya pola pikir macam apa. Dari mana datangnya rasa percaya diri itu, bahwa setelah semua yang terjadi, dia masih bisa mengejarnya lagi, dan berharap mereka bisa kembali bersama?
Dia juga makin tidak paham—apakah hubungan mereka dulu sedalam itu?
Bukankah mereka hanya bersama beberapa bulan? Dan dalam beberapa bulan itu, kadang dia sibuk, kadang Jiang Yan sibuk. Bahkan mereka tidak pernah mengalami banyak hal bersama, paling-paling hanya makan atau nonton film. Tapi Jiang Yan bisa punya obsesi sedalam itu padanya? Jiang Ruo Qiao benar-benar tak habis pikir.
Kalau dipikir dari sudut pandang lain, mungkin justru karena dia sangat “dingin” dalam hal perasaan, makanya di novel aslinya dia hanya menjadi tokoh wanita pendamping dengan akhir yang tragis.
Yun Jia berdiri di samping Jiang Ruo Qiao dan berkomentar, “Kamu nggak ngerasa kayak lagi main tebak-tebakan pilihan?”
Jiang Ruo Qiao: “?”
“Kayak kamu harus milih, mau balikan sama Jiang Yan si selir yang udah diasingkan ke istana dingin, atau sama Lu Yicheng si calon kesayangan kaisar?” Yun Jia masuk ke mode drama, bahkan pura-pura membungkuk sopan seperti dalam serial kerajaan.
Jiang Ruo Qiao mencubit dia tanpa ampun, “Berhenti ngayal!”
Yun Jia mengelus dagunya, “Tapi menurutku Jiang Yan udah nggak punya harapan.”
Dan bukan cuma mereka yang membahas ini—seluruh penghuni asrama putri juga seru menyimak drama yang sedang terjadi.
Ya, cerita idol remaja yang bersandar pada realita itu memang lebih seru.
Lu Yicheng merasa sangat tidak nyaman.
Sangat, sangat tidak nyaman.
Dia tidak menyangka akan bertemu Jiang Yan di sini. Sejak pertengkaran besar terakhir, mereka tidak pernah bicara lagi. Meski sesekali bertemu di kelas atau kantin, mereka hanya saling mengabaikan. Lu Yicheng sudah siap mental, dia tahu dirinya dan Jiang Yan sudah bukan teman, dan takkan pernah jadi teman lagi.
Tapi hari ini Jiang Yan juga datang mengantar sarapan.
Dan kebetulan bertemu di sini...
Lu Yicheng menengadah, menatap balkon asrama putri, bisa melihat banyak gadis sedang merekam mereka dengan ponsel.
Harus kendalikan opini publik.
Sebenarnya, orang-orang sudah hampir lupa soal ini. Tiap mahasiswa punya urusannya sendiri. Tapi aksi Jiang Yan ini pasti akan memicu antusiasme netizen kampus, dan jika diskusi makin liar, bisa-bisa arahnya tak terkendali. Misalnya… banyak yang mulai menuduh Jiang Ruo Qiao dengan niat jahat—menuduh dia sengaja memancing situasi ini.
Lu Yicheng tahu, mahasiswa di kampus ini pada dasarnya cukup rasional.
Tapi tetap saja, dua pria dan satu wanita, apalagi dua pria itu dulunya sahabat… seiring waktu, akan muncul suara-suara yang menyudutkan sang wanita.
Layaknya banyak kasus di masyarakat, meskipun perempuan adalah korban, tetap saja muncul komentator yang menghakimi.
Lu Yicheng menggenggam erat kantong sarapan.
Ia menarik napas panjang dan di bawah tatapan banyak orang, berbalik dan pergi. Masih pagi, dan nanti orang-orang akan makin ramai—ini bukan situasi yang dia inginkan.
Jiang Yan tidak menyangka Lu Yicheng akan pergi.
Dia tersenyum menyeringai. Ini namanya suka? Suka tapi menyerah begitu saja?
...
“Lu Yicheng beneran pergi!!” Yun Jia tak percaya, “Kok dia bisa pergi sih? Padahal kelihatan jelas dia yang lebih punya peluang menang!”
Gao Jingjing yang bersandar di pintu, tersenyum, “Tiba-tiba aku kepikiran satu cerita, mau denger gak?”
“Apa tuh ceritanya?”
“Dulu aku lihat di internet. Ada dua wanita yang sama-sama mengaku sebagai ibu dari seorang anak. Karena tak bisa dibuktikan, hakim pun berkata, ‘Ya sudah, rebut saja, siapa yang menang, anak itu miliknya.’ Dua wanita itu pun tarik-tarikan, dan si anak menangis karena kesakitan. Akhirnya salah satu wanita melepaskan. Dan ternyata dialah ibu kandung si anak.”
“Lho? Apa hubungannya?”
“Siapa yang paling peduli sama anak itu, dia lah ibunya,” ujar Gao Jingjing, “Sama seperti sekarang. Aku nggak anggap Lu Yicheng menyerah. Sebaliknya,” dia menatap Jiang Ruo Qiao, “Aku rasa dia pergi karena dia khawatir kamu akan dibicarakan orang. Kalau terus berlarut, pasti akan ada postingan di forum taruhan soal sarapan siapa yang kamu pilih. Kalau sampai ke situ, arah pembicaraan bisa jadi kacau. Dan itu gak baik buat kamu.”
Yun Jia baru sadar, “Iya juga ya. Berarti Jiang Yan turun pangkat lagi.”
Dia teriak ke dalam kamar, “Luo Wen! Dalam drama kerajaan, gelar apa yang lebih rendah dari ‘daying’ (selir tingkat rendah)?!”
Jiang Ruo Qiao merapikan rambutnya sambil tersenyum tenang, “Yuk, sarapan. Hari ini aku yang traktir.”
Luo Wen keluar dari kamar mandi, “Bos! Mau makan apa?”
Jiang Ruo Qiao menjawab dengan penuh gaya: “Mi campur!”
Luo Wen: “…………”
Mereka berempat pun turun ke bawah tanpa sekalipun menoleh ke arah Jiang Yan.
Namun Jiang Yan tidak kecewa. Saat dulu mengejar Jiang Ruo Qiao, dia juga butuh waktu lama untuk mendapat tanggapan.
Setelah mereka pergi, Jiang Yan pun menuju kelas. Di tengah jalan, dia mendapat telepon dari ibunya.
Kalau Lin Kexing, dia sekarang cenderung menghindar. Tapi untuk ibunya, perasaannya lebih rumit.
Kata-kata Jiang Ruo Qiao sangat berpengaruh padanya.
Meski begitu, telepon dari ibu tetap harus dijawab.
Ibunya tidak menyebut soal Lin Kexing, hanya berkata: “Ayan, sebentar lagi Festival Pertengahan Musim Gugur. Kamu mau kue bulan isi apa? Biar nanti dapur menyiapkan, sekaligus aku kirimkan juga untuk teman-teman sekamarmu.”
Jiang Yan menjawab dengan tenang, “Tak usah repot. Aku tetap di kampus saat festival nanti.”
Setelah jeda sejenak, dia berkata lagi, “Kalau Ibu ingin merayakan denganku, mari bertemu di luar saja.”
Pihak sana diam beberapa detik. “Kamu nggak pulang?”
Jiang Yan mengangguk, “Lagi pula, itu bukan rumahku.”
“Baiklah.” Ibu Jiang menghela napas panjang. “Kamu sudah dewasa, memang aku tak bisa mengatur semuanya.”
Hubungan ibu-anak itu memang tidak menyenangkan.
Jiang Yan lalu memutus telepon dengan alasan ada kelas. Di sisi lain, sang ibu tampak muram. Ia menyesal membiarkan Jiang Yan dan Kexing pergi ke vila. Rencana yang semula bagus jadi berantakan. Situasi sekarang semakin sulit! Untungnya Kexing tinggal di asrama, dan Nyonya besar sedang sibuk dengan gala amal. Jiang Yan tampaknya sudah mantap tak pulang, artinya Kexing akan terpengaruh. Kalau sampai nyonya atau tuan rumah tahu hubungan mereka merenggang, semuanya akan gagal.
Dari mana harus mulai membalikkan keadaan?
Setelah berpikir panjang, ibu Jiang memutuskan untuk menemui Jiang Ruo Qiao.
Ia yakin, Jiang Ruo Qiao adalah kunci utama.
---
Siang itu, Jiang Ruo Qiao ada kuliah.
Setelah makan siang bersama teman-teman sekamar, ia kembali ke asrama untuk tidur siang.
Aneh sekali, biasanya saat tidur siang dia tidak pernah bermimpi. Tapi kali ini, ia justru bermimpi dengan alur yang sangat dramatis.
Dalam mimpi, ia melihat dari sudut pandang orang ketiga.
Waktunya adalah tahun terakhir kuliah. “Dirinya” memiliki nenek yang sakit parah. Karena desakannya, kakek-neneknya datang ke Beijing untuk berobat. Tapi di sini, urusan rumah sakit tidak mudah. Mereka masih harus menunggu kamar rawat.
Lalu, suatu hari, ibu dari pacarnya datang mengajak mereka makan.
Kakek-neneknya tak bisa menolak niat baik sang calon mertua. Maka mereka pergi makan bersama, dan ia pun ikut. Ini adalah kali pertama dia bertemu ibu sang pacar secara resmi. Tapi karena khawatir dengan kesehatan neneknya, ia benar-benar tak punya mood menghadapi pertemuan ini.
Lalu, ibu pacarnya menunjuk tas yang dia bawa dan bertanya, “Ini hadiah dari Ayan ya?”
Dia mengangguk.
Kemudian si ibu bercerita, katanya tas itu awalnya ingin dibeli di butik resmi, tapi karena harganya mahal, akhirnya adik perempuan pacarnya membantu mencarikan dari kenalan, jadi harganya bisa lebih murah.
Dia sangat terkejut.
Pertama karena tas itu, kedua karena status keuangan keluarga pacarnya.
Sang ibu lalu berkata bahwa dia hanya bekerja sebagai asisten istri orang kaya, dan hidup mereka sangat sulit. Anaknya demi tas itu bahkan harus meminjam uang dan kerja lembur.
Dan dengan nada penuh kasih sayang, si ibu berkata: “Tanpa tekanan, anak itu nggak punya motivasi. Dia kerja keras demi kamu, sampai lupa makan. Xiao Qiao, kamu harus lebih perhatian ya.”
Kakek neneknya dikenal jujur dan sederhana. Mendengar ini, wajah mereka merah padam.
Karena menurut cerita sang ibu, demi tas itu, anaknya mengorbankan segalanya. Harga tasnya saja jutaan! Kakek-neneknya tidak bisa menerima. Makan siang itu berlangsung dalam diam yang canggung.
Setelah ibu pacarnya pergi, kakeknya sangat marah sampai tekanan darahnya naik dan nyaris pingsan. Untung cepat dibawa ke rumah sakit. Dokter berkata bahwa untuk orang lansia dengan tekanan darah tinggi, ini sangat berbahaya.
Neneknya pun tidak ingin tinggal di Beijing lagi. Ia memutuskan kembali ke kampung. Dua orang tua itu tak berani memarahi cucunya, hanya bisa menghela napas dan khawatir diam-diam. Neneknya bahkan bilang tidak mau berobat lagi dan ingin memberikan semua uangnya ke cucunya.
Mereka pikir cucu mereka miskin, jadi sampai harus menerima tas mahal dari pacarnya.
Orang tua punya prinsip keras—dia tak bisa melawan mereka.
Saat pacarnya kembali dari perjalanan kerja, kedua kakek-nenek itu sudah diam-diam pulang ke kampung dengan kereta.
Dia sangat marah. Pacarnya bahkan memberinya dompet baru.
Dia teringat kata-kata ibu pacarnya, tatapan kakek-neneknya, dan tubuh mereka yang bungkuk. Dia masih muda dan emosional, maka semua amarahnya ia tumpahkan pada pacarnya:
“Pergi! Tas ini juga barang bekas ya?! Nggak punya uang kenapa sok kaya! Aku minta?! Kalau tahu kamu kayak gini, aku nggak akan mau pacaran sama kamu!!”
Pacarnya hanya bisa menatapnya dengan ekspresi tak percaya...
...
Jiang Ruo Qiao terbangun dari tidurnya.
Ternyata begitu.
Dalam novel asli, alasan mereka putus memang disebut secara singkat. Ia tak tahu detilnya.
Jika dirinya tidak tahu plot asli dan menghadapi situasi yang sama, sangat mungkin dia juga akan bertindak dan berkata hal yang sama.
Karena dalam hidupnya, kakek dan nenek sangat penting. Dia tak bisa membiarkan mereka terluka karena dirinya.
Tak ada yang bisa dibandingkan dengan mereka.
Dan dalam novel, ibu Jiang Yan pasti berhasil menjaga citra. Dari sudut pandang orang luar, dia tak melakukan kesalahan. Tak berkata kasar, sikapnya tulus. Sementara dirinya, tak tahu bahwa Jiang Yan punya aura tokoh utama, maka marah pada pacarnya sangatlah wajar.
Dengan demikian, berkat skenario yang dirancang, ia dengan mudah dicap sebagai matre dan penghianat cinta.
Semua orang, termasuk si tokoh utama pria, percaya bahwa dia marah karena tahu kondisi keuangan si pria.
Bagus. Sangat bagus.
Jiang Ruo Qiao selalu merasa—jika dia tidak tahu plot cerita, dan tidak tahu ibu Jiang begitu licik, dengan pengalaman dan usia 20 tahunnya, dia takkan bisa menang melawan ibu Jiang.
Kalau berakhir seperti itu, dia pun menerima.
Karena apesnya dia… adalah menjadi cinta pertama dari tokoh utama pria.
Saat Jiang Ruo Qiao bangun dari tidur siangnya, hatinya sangat tenang.
Dia sudah putus dengan Jiang Yan. Tas itu pun sudah ia kembalikan. Ibu Jiang seharusnya takkan datang lagi… Tapi baru saja berpikir begitu, setelah turun dari kelas dan kembali ke asrama—ia melihat ibu Jiang sudah berdiri di depan gedung asrama.
Jiang Ruo Qiao: “……”
Ini adalah pertama kalinya ia bertemu ibu Jiang secara langsung.
Melihat wanita ini, dia merasa tokoh dalam novel aslinya memang sangat sial. Kalau bukan karena tahu alurnya, dia pun mungkin akan percaya bahwa wanita dengan wajah ramah dan penuh senyum itu adalah orang baik.
Ibu Jiang mengenakan setelan warna terang, tetap terlihat cantik meski sudah usia 40-an. Dengan senyum lembut ia berkata, “Kamu pasti Xiao Qiao ya? Maaf mengganggu. Aku ibunya Jiang Yan. Boleh aku ajak kamu makan siang? Kamu punya waktu?”
Seperti kata pepatah: sudah trauma digigit ular, lihat tali pun takut.
Jiang Ruo Qiao yakin, kali ini kedatangan ibu Jiang berbeda dengan yang di novel.
Bagaimanapun, mereka sudah putus.
Tapi, dia tetap tidak berani lengah. Bahkan kini alarm di hatinya berbunyi kencang. Bayangkan—mereka sudah tak punya hubungan, tapi ibu Jiang masih datang mencarinya. Artinya apa? Bahwa bagi ibu Jiang, cerita ini belum berakhir. Dirinya masih punya nilai guna.
Jika dia tidak memberikan perlawanan, dengan kemampuan ibu Jiang, bisa saja dia “terjebak” tanpa sadar.
Apapun motifnya, Jiang Ruo Qiao tak mau lagi menebak.
Hancurlah semuanya.
Dia lelah.
Dengan senyum manis, Jiang Ruo Qiao berkata, “Tentu bisa, Tante. Boleh saya naik ke atas sebentar untuk ganti baju?”
Ibu Jiang tersenyum lembut, “Tentu, aku tunggu di sini. Santai saja, urusanmu lebih penting.”
Dengan senyum tetap terukir di wajahnya, Jiang Ruo Qiao naik ke atas. Dalam perjalanan, ia merogoh tas dan mengambil sebuah kartu nama dari saku rahasia. Ia menarik napas dalam-dalam.
Jiang Ruo Qiao, ini bukan saatnya untuk pasif. Sejelek-jeleknya, tak akan lebih parah dari nasibmu di novel.
Dia pun menekan nomor yang tertera di kartu nama.
Telepon tersambung.
Dengan senyum tenang di wajahnya, Jiang Ruo Qiao berkata, “Ny. Lin, halo. Saya Jiang Ruo Qiao, entah Ibu masih ingat saya atau tidak?”
— 🎐Read only on blog/wattpad: onlytodaytales🎐—
Bab 70 - Terjemahan Bahasa Indonesia
---
Jiang Ruo Qiao sangat menyadari kemampuannya sendiri.
Dibandingkan dengan seorang wanita yang mungkin selama sepuluh tahun terakhir terus memikirkan bagaimana bisa bangkit kembali, jelas dia sangat kalah jauh dalam hal kecerdikan. Kemampuannya untuk melihat sisi asli Ibu Jiang pun sebenarnya karena dia tahu alur cerita asli. Jika masa depannya sepenuhnya berada dalam kendali orang seperti itu, tentu sangat pasif. Untuk mengubah situasi yang pasif itu, bukanlah dengan melawan secara langsung, karena Ibu Jiang berada di posisi yang menguntungkan, baik menyerang maupun bertahan.
Dia mungkin tidak punya cukup kekuatan untuk menghentikan Ibu Jiang, tapi ada satu orang yang pasti bisa.
Orang itu jelas bukan Jiang Yan yang tidak berguna. Hubungan darah ibu dan anak sangat kuat. Meski Jiang Yan sangat menyukai Jiang Ruo Qiao, rasa sayangnya tidak mungkin mengalahkan ikatan dengan ibunya. Dan apa yang bisa dilakukan Jiang Yan saat ini? Paling-paling hanya bisa marah dan berteriak pada ibunya (itu pun mungkin hasil terbaik), namun Ibu Jiang tetap akan baik-baik saja.
Jadi, Jiang Yan benar-benar tidak ia pertimbangkan. Dia tidak bisa membantu sama sekali, malah bisa menjadi beban.
Tentu saja orang itu juga bukan Lin Kexing.
Jiang Ruo Qiao punya perasaan yang kompleks terhadap Lin Kexing. Dia tidak terlalu membenci, tapi juga jelas tidak menyukai. Saat berhadapan dengan Lin Kexing, mungkin karena kelembutan gadis itu, ia malah merasa seperti sedang membully seseorang… Tapi yang terpenting adalah, bagi Lin Kexing, Jiang Ruo Qiao adalah saingan cinta, sedangkan bagi Lin Kexing, Ibu Jiang adalah sosok yang bahkan lebih dekat daripada ibu kandung. Siapapun bisa tahu Lin Kexing akan lebih mempercayai Ibu Jiang.
Tapi, Nyonya Lin berbeda.
Meskipun Jiang Ruo Qiao selama ini merasa sedikit tidak nyaman dengan pepatah “Perempuan itu lemah, tapi menjadi kuat demi anak”, namun dalam beberapa hal pepatah itu memang benar. Dalam cerita asli, meskipun Jiang Yan sudah menunjukkan bakat dan kemampuannya, dan Lin Kexing mencintainya sepenuh hati, Nyonya Lin pada awalnya tetap tidak setuju — dan itu pun dalam situasi di mana Jiang Yan tidak memiliki catatan buruk.
Sekarang kondisinya jauh berbeda. Jika sejak awal Nyonya Lin tahu bahwa putrinya sudah menjadi target Ibu Jiang, dan bahwa sebagian bisnis serta koneksi keluarganya tengah dimanipulasi secara diam-diam, apakah ia akan tinggal diam? Tentu tidak. Lagipula, putrinya baru saja cukup umur. Ibu manapun pasti tidak akan bisa menerima ini.
Jiang Ruo Qiao dengan sopan berkata di telepon, “Nyonya Lin, saya menelepon Anda hari ini bukan untuk urusan pekerjaan, melainkan sedikit urusan pribadi. Maafkan saya, tapi saya merasa Anda berhak tahu tentang ini.”
Dia yakin, Nyonya Lin tidak tahu apa-apa tentang kejadian di penginapan.
Kalau Nyonya Lin tahu, tidak mungkin Ibu Jiang masih bisa dengan santai menemui mantan pacar anaknya.
Nyonya Lin di seberang telepon pun terdengar terkejut, “Nona Jiang, Anda bilang ini urusan pribadi?”
Tak heran Nyonya Lin heran. Jiang Ruo Qiao dan dirinya berada di generasi yang berbeda—Ruo Qiao bahkan bisa jadi anaknya. Status sosial juga berbeda. Yang satu masih mahasiswa, yang satu adalah istri direktur utama perusahaan perhiasan besar. Siapa yang menyangka mereka bisa punya urusan pribadi?
“Betul,” jawab Jiang Ruo Qiao. “Anda mungkin mengenal mantan pacar saya. Dia adalah Jiang Yan, putra dari asisten pribadi Anda.”
Nyonya Lin: “Hah?”
“Beberapa waktu lalu saya dan Jiang Yan sudah putus,” Jiang Ruo Qiao berhati-hati dalam memilih kata-kata. “Anda mungkin masih ingat, sebelumnya Jiang Yan membawa Nona Lin ke penginapan. Saat itu saya juga ada di sana. Kami putus pada malam itu.”
Nyonya Lin mulai menyadari ada yang janggal, “Tunggu, saya belum paham. Kamu mantan pacarnya Ayan, dan kalian putus di penginapan itu… jadi maksudmu, kalian putus karena Kexing?”
Jiang Ruo Qiao menjaga nada bicaranya tetap sopan, “Bukan hanya karena itu, sebenarnya. Tapi malam itu, Ibu Jiang datang menjemput Nona Lin. Apakah Anda tahu tentang kejadian itu?”
Nyonya Lin terdiam.
Entah sedang mengingat, atau baru menyadari sesuatu.
“Bu Lin, saat saya dan Jiang Yan putus, semuanya sudah berakhir. Saya pun tidak berniat menjalin hubungan lagi dengannya.” Jiang Ruo Qiao berkata agak berat. “Saya juga tidak ingin berdebat atau membuktikan apa-apa. Tapi Ibu Jiang datang menemui saya. Saya benar-benar tidak ingin terlibat lagi, jadi saya berani menelepon Anda. Anda tahu sendiri, kalau saya benar-benar berniat bicara, saya bisa langsung menyampaikan saat bertemu di perusahaan.”
Beberapa detik hening, lalu Nyonya Lin berkata, “Baiklah, saya mengerti. Apakah kamu butuh bantuan dari saya?”
Jiang Ruo Qiao menjawab, “Jika Anda bersedia, saya tidak akan menutup teleponnya. Anda bisa langsung mendengarkan pembicaraan saya dan Ibu Jiang.”
Nyonya Lin berpikir sejenak. “Kalau begitu, saya titip repot ya, Nona Jiang.”
Saat menekan nomor telepon tadi, Jiang Ruo Qiao juga menekan tombol perekam.
Alur cerita asli terlalu tidak menguntungkan baginya. Dia tak mungkin tidak berjaga-jaga. Dia butuh langkah mundur.
Jiang Ruo Qiao mengenakan pakaian olahraga yang nyaman.
Meletakkan ponsel di kantong, barulah ia turun. Ibu Jiang masih dengan wajah penuh senyum dan keramahan.
Itu mengingatkannya pada Lu Yicheng. Setelah bertemu Lu Yicheng, ia jadi sadar bahwa senyum Ibu Jiang itu palsu.
Dia tidak tahu apakah ini hanya perasaannya saja, tapi senyum Ibu Jiang yang tampak ramah itu seolah menyimpan perhitungan yang dingin.
Ibu Jiang tersenyum lembut, “Sebenarnya saya yang lancang hari ini, tapi setelah mendengar cerita tentangmu dari Ayan, saya sudah lama ingin bertemu. Ternyata kamu memang seperti yang saya bayangkan, tidak—bahkan lebih cantik dan luar biasa.”
Jiang Ruo Qiao pun membalas dengan senyum sopan, “Anda terlalu memuji. Saya yakin saya pun tak setampan Anda saat muda.”
Akhirnya mereka bertemu juga.
Keduanya sama-sama pandai bersandiwara dan berhitung. Setiap kalimat sangat terukur. Mereka pergi ke restoran kelas atas dekat kampus—jelas bukan tempat yang biasa dikunjungi mahasiswa.
Ibu Jiang cukup berhati-hati. Hanya mereka berdua saja, dan mereka dibawa ke ruang privat oleh pelayan.
Setelah pelayan pergi, hanya tinggal mereka berdua. Jiang Ruo Qiao melirik ponselnya, memastikan masih tersambung.
Ibu Jiang mengira dia sedang melihat jam, lalu berkata ramah, “Apakah aku mengganggu waktumu?”
Jiang Ruo Qiao menggeleng, membalikkan ponselnya di atas meja. “Saya hanya merasa ini belum jam makan. Jadi belum terlalu lapar.”
“Ayan pernah bilang, kamu memang kurus.” Ibu Jiang tertawa kecil. “Melihatmu, aku seperti melihat diriku waktu muda. Waktu itu aku juga sering menahan makan demi menjaga bentuk tubuh. Ayah Ayan suka bilang aku terlalu mementingkan penampilan. Sebenarnya aku seharusnya sudah lebih awal menemui kamu, tapi takut terlalu tiba-tiba. Pertemuan kali ini pun kurang resmi, seharusnya aku menemui keluargamu dulu.”
Kalau saja Ibu Jiang tidak menyebut soal keluarga, Jiang Ruo Qiao tidak akan langsung merasa emosi. Tapi begitu disebut, ia teringat ekspresi sedih kakek dan neneknya dalam mimpi.
Tangannya yang berada di bawah meja mengepal erat, tapi senyum di wajahnya makin lembut. “Maaf, Bu. Tapi mungkin Jiang Yan belum sempat bilang ke Anda—kami sudah putus. Sudah cukup lama juga.”
Ibu Jiang terlihat sedikit terkejut. Setelah beberapa saat baru ia menjawab, “Pantas, Ayan tidak bilang apa-apa padaku.”
Jiang Ruo Qiao tersenyum, “Saya kira Anda sudah tahu. Saya dengar dari teman-teman, malam itu Anda menjemput Nona Lin.”
Ibu Jiang menatapnya, “Jadi kalian putus karena Kexing?”
“Hmm, bagaimana ya,” Jiang Ruo Qiao tampak santai. “Anda juga tahu kejadian malam itu, kan?”
Ibu Jiang menghela napas, “Aku tahu. Ayan mengecewakanmu, juga mengecewakan Kexing. Tapi mereka itu seperti kakak-adik. Mungkin kamu merasa aku ini ibu yang membela anak, tapi itu benar. Kejadian malam itu hanya kesalahpahaman. Hanya kebetulan.”
“Kesalahpahaman? Kebetulan?” Jiang Ruo Qiao mengulang pelan, lalu tersenyum, “Oke, terserah Anda bilang apa. Tapi saya ingin tanya—kalau kejadian itu terjadi pada Anda, Anda melihat sendiri pacar Anda malam-malam berpelukan dan berciuman dengan ‘adik’nya, apa yang akan Anda lakukan?”
Ibu Jiang tahu Jiang Ruo Qiao menyimpan amarah.
Jika bukan karena situasi sudah terlalu rumit, jika bukan karena Ayan bersikeras tidak mau kembali ke rumah Lin, dia pasti takkan menemui Jiang Ruo Qiao.
Ibu Jiang berkata lembut, “Aku akan mencari tahu dulu sebelum membuat keputusan.”
Jiang Ruo Qiao tertawa kecil, “Saya mungkin tidak selapang Anda. Anda melihat mereka sebagai anak dan anak angkat yang lebih dekat dari ibu-anak. Malam itu Anda langsung menjemput Nona Lin. Menurut Anda, hubungan mereka itu normal? Mereka tidak ada hubungan darah. Yang satu 20 tahun, yang lain 18… setelah kejadian seperti itu, menurut Anda mereka bisa tetap berhubungan seperti biasa?”
Ibu Jiang sedikit menahan senyumannya. “Mereka tumbuh bersama. Ayan memang lebih perhatian pada Kexing, dan itu wajar. Ruo Qiao, kamu tak perlu terlalu mengkhawatirkan Kexing.”
Jiang Ruo Qiao tersenyum, “Sebenarnya bukan saya saja. Tiga teman sekamar Jiang Yan, teman-teman saya, bahkan pemilik penginapan pun merasa Kexing tidak hanya menganggap Jiang Yan sebagai kakak. Anda begitu menyukai Nona Lin, dan sepertinya tidak ingin Jiang Yan menjaga jarak darinya. Maka dari itu, saya rasa lebih baik saya mundur saja.”
Ibu Jiang lama terdiam.
Memang situasinya sekarang sangat rumit. Jiang Yan dan Jiang Ruo Qiao putus karena Kexing. Apa pun yang dikatakan nanti, apa pun yang coba ditutup-tutupi, Jiang Yan pasti sudah tidak ingin dekat dengan Kexing.
Karena kejadian malam itu benar-benar terjadi. Apa pun yang dikatakan, alasan Jiang Ruo Qiao untuk putus sangat masuk akal.
Jika mereka balikan, Jiang Ruo Qiao pasti akan menjaga jarak dengan Kexing, dan Jiang Yan juga. Kexing pun pasti akan sedih.
Tapi jika mereka tidak balikan, Jiang Yan pasti tak mau kembali ke rumah Lin. Saat ini, ia tidak pulang saat festival tengah musim gugur pun sudah cukup mencurigakan. Jika berlanjut, keluarga Lin pasti akan curiga, dan Kexing akan terus kecewa.
Ibu Jiang benar-benar menyesal. Jika waktu bisa diulang, ia tidak akan pernah membujuk Jiang Yan membawa Kexing ke penginapan.
Langkah itu benar-benar kesalahan besar.
Pikirannya kacau, dan semakin yakin bahwa ia tidak seharusnya menemui Jiang Ruo Qiao hari ini. Ia berkata, “Maaf, Ruo Qiao. Kamulah yang benar-benar jadi korban. Aku tidak seharusnya meminta terlalu banyak darimu. Maaf, semoga pertemuan kita hari ini tidak terlalu mengganggumu.”
Jiang Ruo Qiao tersenyum, “Oh begitu ya.”
Tidak mau pulang? Pantas saja Ibu Jiang terlihat sangat cemas.
Makan pun tidak jadi, Jiang Ruo Qiao pamit lebih awal karena ada urusan.
Setelah berjalan cukup jauh dari restoran, dia mengeluarkan ponselnya dari tas. Masih terhubung.
Dia menempelkan ponsel ke telinga dan berkata, “Nyonya Lin, saya sudah benar-benar putus dengan Jiang Yan, dan tidak akan kembali bersamanya. Jujur saja, mungkin saya terlalu perhitungan, tapi saya merasakan niat tersembunyi dari Ibu Jiang. Dia tidak menyukai saya. Hubungan saya dengan Jiang Yan juga tidak cukup kuat untuk bertahan menghadapi konflik dan intrik. Jadi saya memilih putus. Saya tidak berniat menjelekkan siapa pun. Saya pikir setelah putus saya akan tenang. Tapi hari ini Ibu Jiang kembali datang. Ini adalah bentuk perlindungan diri saya. Mohon pengertiannya.”
Setelah beberapa saat, suara Nyonya Lin terdengar, jauh lebih berat dari sebelumnya. “Nona Jiang, saya mengerti. Terima kasih. Terima kasih karena telah memberitahu saya tentang semua ini. Jangan khawatir. Saya akan urus semuanya dengan baik.”
— 🎐Read only on blog/wattpad: onlytodaytales🎐—
***
Comments
Post a Comment